▪ Selasa, 20 November, sore
Tak terasa aku sudah sebulan lebih di sini. Semua berjalan lancar, lebih lancar dari yang kubayangkan. Maksudku, dulu aku sempat berpikir bahwa beradaptasi dengan dunia asing itu akan sangat sulit, ternyata ngga juga. Menurutku malah asyik, ketemu orang baru, cerita baru, dan ... masalah baru.
Iya, selancar-lancarnya perjalanan, pasti ada tanjakan, belokan, lubang, dan sebagainya. Begitu juga denganku, masalah itu tetap ada. Salah satunya orang tuaku yang terus-terusan kangen dan memintaku pulang. Padahal aku baru sebulan keluar dari rumah. Mereka pikir, aku bisa pulang semudah itu.
Ngomongin kangen, aku sebenarnya merindukan Odi. Entah kenapa, kok 'calon suami orang' itu belum bisa sepenuhnya hilang dari otakku. Ngga baik banget, kan? Itulah kenapa, kadang aku bersyukur bisa pisah tak sengaja, atau aku akan melakukan khilaf disengaja.
“Buni! Ayo, pakai abayamu! Kita pergi sekarang,” ajak Maha membuyarkan racauanku. Gadis itu sudah rapi dengan jubah hitam dan niqob ber-swarovski-nya.
Bergegas aku menyambar abaya di balik pintu dan mengenakannya sambil lari mengejar Maha yang berjalan ke luar. “Kita mau ke mana, Amirah?” tanyaku setelah sampai di sisinya.
“Ketemu teman dan cari angin.” Gadis itu cepat-cepat masuk mobil, saat melihat Muhammad keluar dari rumahnya. “Khumar, cepetan jalan! Abaikan pria itu!” perintahnya sambil sesekali melihat Muhammad dari balik korden jendela mobil.
Khumar menggoyang-goyangkan kepala sambil tersenyum. Berbeda dengan kita yang akan menggerakkan kepala hanya di saat-saat tertentu saja. Orang India akan melakukan hal itu setiap saat. Bahkan sepertinya gerakan kepala itu sudah bisa mewakili perkataannya, tanpa bicara sekali pun. Seperti Khumar saat ini. Mungkin itu memang sudah menjadi kebiasaan mereka dalam berekspresi.
“Mentang-mentang tua dan pria, bisanya memerintah mulu. Emangnya dia pikir aku apaan? Salah satu dari istri-istri bodohnya? Enak aja! Lagian kenapa sih, Tuhan? Aku ngga terlahir sebagai pria saja?” Maha masih saja menyerocos sambil memandangi kukunya yang baru saja dicat merah terang.
Aku yang ngga tahu harus berbuat apa, hanya diam dan memandangi jalanan lewat kaca depan. Penginya sih, menyibak korden kaca dan memandangi luar lewat samping, tapi hal itu pasti akan membuat gadis itu jantungan.
Maha menyibakkan kain niqab-nya ke atas kepala dan memulai percakapan di ponselnya.
“Habibti! Kali ini saja, Allahi khalij (menginzinkanmu-bahasa dibikin alay)!” rengek Maha dengan masih memandangi kuteks merahnya.
Samar-samar terdengar suara wanita di ujung sana. Salah satu temannya mungkin.
“Aku ngga mau tahu. Pokoknya aku menunggumu Starbuck, Al Shatea Mall! Ma'a salamah, Ya Asl(madu)!” Gadis itu menutup ponselnya dengan bibir tersenyum puas.
Bersamaan dengan Khumar yang mulai memutar lagu India. Ngga seperti lagu India yang kebanyakan nge-beat, kali ini dia memutar akustik. Dan ... telingaku lebih menikmatinya
Terima kasih ya, yang trlah mengikuti perjalanan Poni selama ini.
Masih menerima kritik dan saran.
xoxo
Ernie tee