Frou

By andihaname

124K 19.5K 5.2K

[SELESAI] Gendis Jingga dan Niagara, dua orang yang mendirikan sebuah radio amatir bernama Frou. Lalu Rasio... More

La Sol El Luna
Light Inside
About a Friend
Bedroom Avenue
I Am You
You and Your Shadows
Farther Than I Might Have Ever Figured
Anaheim
We Don't Have Much to Say
Glitches
False Alarm
Less Afraid
a Lot of Fireworks But I Still Had a Reason to Smile
Oh Well
Words and Stories
If I Could I Would
I Love You But I'm Letting Go
Part of Me, Apart from Me
Let Me Erase You
Lost
Ironic
Blue Sky Thinking
Love Is
Self-Reflecting Room
From Satellite
[extra] About Frou Studio
Blurry
La Sol, El Luna (FINAL)
Quite Quiet [EPILOG}

Home

2.7K 552 123
By andihaname

Saint Fiction - Home

------

Pasca Gendis digiring Bam keluar dari studio, Gara belum bisa meredakan gemetar di tangan kanannya. Telapak tangannya seperti teraliri listrik tanpa henti, membuat Gara sulit mengendalikannya. Napasnya memburu, pelupuk matanya yang tertuju pada telapak tangan itu basah.

Ia tidak percaya beberapa menit lalu telapak tangan itu mendarat di pipi Gendis dan menghasilkan semburat merah yang pasti perih luar biasa.

Gara terduduk di sofa. Bahkan kekuatan untuk menopang tubuh menguap tak berbekas. Yang muncul di pikirannya saat ini adalah bagaimana caranya ia memutar waktu untuk menghentikan gerakan tangannya pada Gendis. Tapi tentu saja sia-sia, tidak ada yang bisa diperbaiki sekarang.

Rasio sudah keluar dari studio sejak beberapa menit lalu, bersikeras mengantar Gendis pulang walaupun Bam sudah melarangnya. Gara tidak mau tau bagaimana kelanjutannya. Membiarkan manusia itu bernapas saja adalah sebuah prestasi.

Entah sudah berapa jam berlalu ketika pintu studio terbuka. Bam sudah datang kembali, dan Gara tak berminat menyambutnya.

"Goblok banget lo, Gar."

Iya, Gara sudah tau. Bam tidak perlu memperjelas.

Bam duduk menghadap ke arah Gara di kursi putar lalu menggeleng-geleng prihatin.

"Gue nganter Gendis sampe kosannya. Dia nggak berhenti nangis sepanjang jalan," kata-kata Bam terasa menusuk sendi-sendi Gara. "Sakit lo, Gar, bisa-bisanya nampar cewek. Lo nyadar nggak, sih, lo nampar Gendis? Gendis, Gar, yang kalo nggak ada kabarnya dikit aja langsung bikin lo uring-uringan."

Gara diam, merasa tidak perlu membalas tajamnya kata-kata Bam. Tidak ada pembelaan diri maupun klarifikasi. Semua sudah jelas, menampar Gendis adalah kesalahan yang tidak pantas dimaafkan.

"Gue sempet cekcok sama Rasio tadi," lanjut Bam, yang berhasil membuat kepala Gara terangkat. "Dia mau nganterin Gendis pulang, tapi gue larang. Dia malah ngotot. Mau Rasio pacarnya Gendis kek, mau babu kek, nggak peduli gue. Di situasi kayak gini Gendis nggak boleh deket-deket sama setan kayak lo berdua."

Bam yang menekankan amarah pada setiap kalimatnya membuat sudut bibir Gara terangkat. Setidaknya Bam juga tidak memberi izin pada Rasio untuk dekat-dekat dengan Gendis-nya.

"Lo mau tidur disini aja, Gar? Apa di kosan gue?" tawar Bam kemudian.

"Disini aja. Lagian gue kayaknya nggak bakal tidur," sahut Gara lirih.

Bam sempat memperhatikan Gara selama beberapa detik sebelum bersuara. "Kontrol diri lo. Gue ngerti lo tadi dikendaliin emosi sampe-sampe tangan lo enteng banget. Nggak gampang untuk minta maaf ke Gendis, tapi gue tau cewek itu masih peduli sama lo."

"Udah enggak, Bam," Gara memilih untuk menolak hipotesis temannya itu. "Lo tadi denger, kan, Gendis bilang nggak mau ikut campur kehidupan gue lagi? Udah selesai. Dia udah nggak peduli. Udah capek."

"Gendis bukan orang kayak gitu. Gue aja yakin, masa lo enggak?"

"Setelah gue nyakitin dia? Sangsi gue," Gara tersenyum getir.

Bam tak mampu membalas kata-kata Gara. Mungkin menghibur adalah hal yang sia-sia untuk dilakukan sekarang karena Gara sedang ditimpa ribuan ton rasa bersalah.

"Jangan nyerah, Gar. Masih bisa diperbaiki," Bam menepuk-nepuk pundak Gara penuh simpati. "Mungkin butuh waktu lama, tapi lo sabar aja. Udah banyak yang lo lakuin ke Gendis, masa iya dia nggak peduliin lo lagi?"

Tunggu, Bam tampaknya belum mengerti duduk permasalahannya. Memang dari luar kelihatannya Gara telah melakukan banyak hal untuk Gendis, seolah-olah kebahagiaan cewek itu menjadi prioritas utamanya. Bam tidak tau bahwa Gara menggunakan kebaikannya untuk Gendis sebagai investasi dan jaminan agar cewek itu selalu dekat dengannya. Bam juga belum tau kalau Gendis mulai risih dengan begitu besarnya bentuk perhatian Gara, sehingga ia memutuskan untuk memilih orang lain.

Miris sekali bagaimana kepedulian dan kebaikan Gara ternyata hanya sebuah kedok yang menutupi rasa kepemilikan tak berkemanusiaan.

Kalau Gara rela melakukan apa saja tanpa timbal balik dari Gendis, tentu ia tidak memilih menarik diri dan berpacaran dengan Alika sebagai pelarian setelah tau Gendis milik Rasio sekarang.

"Sincerity is Scary, lagu barunya the 1975. Lo udah denger?" tanya Gara, melenceng jauh dari topiknya dengan Bam.

"Belom. Mabok lo tiba-tiba bahas lagu?" Bam terkekeh meledek.

Gara menggeleng dan ikut tertawa. "Enggak, gue kepikiran aja sama itu lagu. Kadang-kadang ketulusan bisa membunuh diri lo sendiri."

"Maksudnya?"

"Ya lo liat aja gimana gue ke Gendis. Tadinya gue tulus sama dia, sampe akhirnya gue merasa kebaikan gue harus ada imbalannya, lalu gue menuntut itu tapi sayangnya gue nggak mendapatkan yang diharapkan," tatapan Gara terarah ke meja siaran. "Pas gue sadar ketulusan gue nggak ada artinya, gue marah. Gue menuntut hak gue. Akhirnya Gendis malah pergi karena dia sadar gue minta imbalan. Sincerity kills me."

Bam menganga mendengar mirisnya kenyataan yang disampaikan Gara. Ia tidak berani berkomentar, apalagi mendebat. Maka dari itu yang dilakukannya adalah menepuk pundak Gara sekali lagi.

"Nggak ada yang sia-sia di dunia ini, Gar, termasuk ketulusan lo ke Gendis. Mungkin sekarang belum waktunya. Tapi percaya sama gue, lo bakal tetep jadi orang terbaik buat Gendis nggak peduli sebesar apapun batu yang menghadang jalan lo berdua."

Untuk sejenak, Gara terbuai oleh kalimat penenang dari Bam. Tapi sesudah itu, ia kembali diingatkan oleh kenyataan bahwa Gendis sudah punya orang lain yang bisa membuatnya melupakan semua kebaikan Gara.

"Thanks, Bam," bagaimanapun Gara harus menghargai pendapat temannya tersebut. "Semoga Tuhan sejalan sama pemikiran lo."

Bam nyengir. Kasian dia, tidak tau bahwa Gara hanya setuju sepuluh persen dari kata-katanya.

"Gue balik ke kamar, ya, Gar? Kalo ada apa-apa, langsung hubungi gue," pesan Bam sembari beranjak dari kursi.

Gara mengangguk. "Thanks udah dateng. Kalo enggak, nggak tau deh ini studio bakal jadi apa."

"Gue liat mobil lo sama mobil Rasio di depan. Dan semua orang juga tau, dimana ada lo dan Rasio, disitu ada keributan. Makanya gue telepon Gendis, nggak berani gue ngadepin lo berdua sendirian," jawab Bam santai, tak merasa menggrebek studio tadi adalah sebuah tindakan heroik yang bukan main tak ternilai harganya.

"Jadi lo nelepon Gendis dulu?" tanya Gara.

"Yoi. Di dunia ini siapa, sih, yang bisa nenangin lo dan Rasio kalau bukan dia?" balas Bam sambil membuka pintu studio dan pamit sekali lagi. Kemudian pintu itu tertutup kembali, lagi-lagi meninggalkan Gara seorang diri.

Bam benar, tidak ada yang bisa meredakan ketegangan Gara dan Rasio selain Gendis. Tapi sosok yang selalu siap berdiri di tengah untuk melerai itu kini mundur, telah disadarkan bahwa perannya tak lagi berguna.

Gara menatap telapak tangannya lagi. Ketulusannya bertahun-tahun hancur karena sebuah tamparan. Ironisnya, tamparan itu terjadi karena Gara sudah lelah menjadi satu-satunya pihak yang tulus namun tak kunjung memperoleh timbal balik yang diharapkannya. Benar, ketulusan itu mengerikan.

------

"Mungkin Gendis nggak bakal ikut wisuda. Gendis udah memperkirakan jangka waktu setelah sidang akhir dan wisuda, itu termasuk lama," Gendis berbicara penuh antusias pada Mama, suatu hal yang jarang atau mungkin hampir tidak pernah ia lakukan pada wanita itu.

Mama menatap putrinya dan menganggukkan kepala. "Jadi?"

"Jadi.... kalau Mama mau mempercepat urusan pernikahan dan hal-hal lainnya, Gendis nggak ada masalah."

"Are you serious, sweetheart?" mata Mama melebar dan senyumnya mengembang. Argh, Mama semakin rajin menggunakan Bahasa Inggris sekarang, mentang-mentang calon suaminya adalah orang asing. 

"Aku Gendis, bukan sweetheart," balas Gendis tak terlalu senang dengan panggilan itu. "Nanti Gendis usahakan urusan kampus bisa selesai cepet, biar nggak usah lama-lama disini."

"Oh, Sayang, thank you so much. Mama kira kamu susah dibujuk. Kamu excited tinggal di Prancis, ya? Kamu udah riset gimana hidup disana? You're ready for our brand new life?"

Gendis melengos malas. Excited darimananya? Gendis tidak pernah merasa demikian. Yang dia inginkan adalah meninggalkan kehidupannya saat ini dan menyongsong kehidupan baru, walaupun ia pun tak terlalu suka dengan kehidupan barunya nanti.

Ia akan pindah ke negara yang sama sekali tak dibayangkannya. Ia akan tinggal serumah dengan pria bermata biru dan anak perempuannya yang berambut pirang. Sungguh aneh mendapati kehidupannya diarahkan ke hal-hal yang tak pernah terlintas di pikirannya.

Tapi melanjutkan hidup disini adalah beban tersendiri bagi Gendis. Menyadari bahwa ada dua orang di luar sana yang berbagi satu kehidupan dengannya, kepala Gendis rasanya mau pecah. Sekuat apapun Gendis berusaha melepaskan diri dari tali-temali yang dilitkan Gara dan Rasio padanya, itu semua tidak akan berhasil selama keberadaannya masih bisa dicapai oleh dua orang itu.

Solusinya cuma satu, yaitu pergi sejauh mungkin.

"Adam punya apartemen di beberapa negara. Bayangin, deh, tiap kita liburan kita bisa nginep di apartemennya," masih dengan intonasi berbunga-bunga, Mama buka suara. Senyumnya begitu sumringah, terlebih setelah mengetahui Gendis sudah kooperatif.

Gendis memicingkan mata. "Tapi Mama sayang beneran, kan, sama dia? Bukan cuma karena dia kaya?" tega, ia bertanya.

"Jelas, dong, Mama sayang sama dia," wanita itu menjawab cepat. "Gendis, dia yang nyelametin Mama waktu Mama merasa nggak punya siapa-siapa."

"Mama punya aku."

"You used to forget that you have me. Am I right?"

Gendis tidak bisa mengelak. Tapi ia juga tidak mau disalahkan. Mama yang lebih dulu mengabaikannya, memprioritaskan pekerjaan dan kehidupan sosialnya sehingga sama sekali tak mau tau bagaimana kehidupan anaknya di Bandung.

Gendis menghela napas. "Mama nggak takut kalo suatu saat Adam bikin kita kenapa-napa? Mau nggak mau Mama harus tetap jadi wanita mandiri. Biar kalo ada sesuatu yang nggak diinginkan terjadi, kita bisa bangkit lagi."

"Who hurts you, Sayang?" Mama tertawa ringan. "We'll be okay, percaya sama Mama. Oh ya, gimana Rasio? Kamu udah bilang kalau kita bakal pindah?"

Tanpa sadar bola mata Gendis terputar. Mama belum tau kalau hubungannya dengan Rasio merenggang. Ia belum tau kata-kata pamit apa yang akan dikatakannya pada Rasio nanti. Karena sejujurnya, ia sedang ingin mendiamkan cowok itu dan memilih fokus pada skripsinya agar cepat sidang dan pindah ke negara lain.

"Kalian baik-baik aja, kan?" karena anaknya tak kunjung bersuara, Mama bertanya dengan nada curiga.

"Baik-baik aja, Ma," Gendis berusaha menjawab sedatar mungkin.

Ada beberapa detik yang digunakan Mama untuk menatap Gendis sebelum tangannya terangkat untuk mengelus pipi putrinya.

"Mama pikir lebih baik kalian tunangan dulu sebelum kita pindah. Setelah S2 kamu disana selesai, baru kita pikirkan kepulangan kamu kesini. Gimana, Sayang?"

Gendis terperangah, tak menyangka begitu ringannya Mama berencana. Gendis ingin cepat menolak, tapi ia keburu disadarkan oleh kenyataan bahwa Mama tidak tau ada konflik yang terjadi antara dirinya dan Rasio.

Tampaknya bertunangan bukan keputusan yang tepat. Sangat salah, malah. Terlalu dini bagi pasangan yang belum saling paham satu sama lain.

"Gendis nggak mau, Ma," tolaknya setelah diam beberapa saat.

"Loh, kenapa? Bukannya bagus, ya? Jadi kalian sudah punya rencana gimana ke depannya."

Gendis akhirnya paham. Jadi Mama menginvestasikan tunangan ini untuk sesuatu yang belum Gendis yakini sepenuhnya?

"Nggak segampang itu, Ma," Gendis menghela napas keras.

"Nggak gampang gimana? Kamu udah ngenalin Rasio ke Mama. Walaupun pada awalnya Mama nggak setuju, akhirnya Mama luluh juga, kan? Mama udah bahagia sekarang, kamu juga harus bahagia."

Gendis tersenyum tipis. Andai saja Mama mengatakan ini sedari dulu, sebelum Gendis tau Rasio punya celah buruk yang tak bisa diterimanya, mungkin ia akan senang. Tapi ketika Gendis mulai goyah untuk meneruskan hubungan mereka ke jenjang yang lebih lanjut, omongan Mama tak ada artinya.

Mama salah menilai kebahagiaan Gendis. Kebahagiaan putri semata wayangnya itu bukan berupa dicintai oleh laki-laki, tapi lebih dari itu.

Untuk saat ini, yang Gendis inginkan untuk membuat dirinya bahagia adalah merasa bebas tanpa tersangkut rasa bersalah apapun. Oleh karena itu di awal tadi sudah Gendis katakan ia akan mengurus kelulusannya secepat mungkin, bahkan kalau perlu tidak usah ikut wisuda kalau itu hanya memperlama waktu tinggalnya disini.

Gendis ingin cepat-cepat pergi. Atau lebih tepatnya, Gendis ingin cepat-cepat dirinya, Gara, dan Rasio saling melupakan.

----

Ini kesekian kalinya Gara memberanikan diri untuk menghadap Papa dan meminta persetujuan atas hal yang tak seharusnya dilakukan oleh seorang anak. Seperti yang sudah-sudah, Gara pasti akan menerima amukan besar, tapi ia memilih untuk abai demi sesuatu yang ditujunya mati-matian.

Gara menatap Papa tanpa ketakutan sedikitpun, menunggu jawaban atas  permintaannya.

"Kenapa kamu nggak langsung kabur aja kayak dulu? Nggak usah izin ke Papa segala," tenang, Papa memberikan tanggapannya. Tapi kalimatnya begitu menusuk dan mengorek luka.

"Karena sekarang Gara lebih bertanggungjawab," jawaban Gara tak kalah tenang. "Dulu Gara memang sering kabur tanpa tanggungjawab, tapi akhirnya Gara juga pulang, kan? Kalau sekarang, Gara kepingin pergi dari rumah tanpa rasa bersalah. Cuma sementara, Pa, tapi Gara nggak bisa mastiin sampai kapan."

"Kamu itu...." Papa mengatur deru napasnya. "Kenapa nggak betah di rumah? Fasilitas ada, kalau lapar tinggal makan, kalau ngantuk tinggal tidur di kamar. Semua sudah Papa sediakan, Gara! Kamu mau hidup pakai apa kalau nggak mau pakai fasilitas ini, hah?"

Gara melirik Rasio yang duduk di sampingnya. Meski manusia itu tak berekspresi apa-apa, sudah pasti manusia itu merasa menang melihat Gara dimarahi.

"Kalau Papa tanya apakah Gara betah di rumah, jawabannya adalah enggak. Dulu masih mending ada Bunda, tapi sekarang rumah ini sepi lagi," Gara melirik Rasio sekali lagi, bertepatan dengan bola mata cowok itu yang terarah padanya.

Sejujurnya, Gara salut pada Rasio yang bisa menangani kehilangan Bunda dengan emosi setenang danau. Bahkan setelah pertengkaran hebat di studio, Rasio bisa hidup seperti biasa, tak seperti Gara yang justru semakin kehilangan arah.

"Kamu itu.... sakit itu otak sama badan kamu," Papa mengarahkan telunjuknya pada Gara. "Anak kok nggak betah di rumah."

"Emang sakit, Pa," Gara tersenyum sinis. "Papa aja yang baru sadar."

Papa menghela napas kasar. Pandangannya kemudian terarah pada Rasio. "Lihat itu saudara kamu, Yo, maunya pergi dari rumah. Nggak mau diatur, hidup nggak jelas gimana, nggak berterimakasih sama orang tua."

Rasio cuma menoleh sekilas pada Gara sebelum menunduk lagi.

"Masih mending Gara izin, daripada kabur tanpa kabar? Harusnya Papa sadar kalau ada yang salah dengan rumah ini sampai-sampai bikin anak Papa sendiri nggak betah," Gara bertutur tajam.

"Selalu menyalahkan rumah! Kamu memang dari dulu nggak bisa diatur!" bentak Papa, mulai hilang kesabarannya.

"Itu Papa tau kalau Gara nggak bisa diatur. Jadi kenapa masih mau ngatur Gara?" dibalikkannya kata-kata Papa dengan telak. "Gara pergi dari rumah bukan tanpa alasan, Pa. Sakitnya Gara harus disembuhkan. Caranya ya dengan keluar dari rumah."

"Pergi dari rumah daripada tapi masih dibiayai orang tua? Begitu?" senyum sinis Papa terangkat.

"Nggak usah, Pa, Gara bisa membiayai hidup sendiri. Gara punya tabungan."

Papa tampak menahan amarahnya agar tak semakin meledak. Pria itu menoleh pada Rasio lagi, seolah-olah ada kekuatan yang didapatkannya dari sana. Kemudian ia mengusap wajahnya sambil menarik napas lelah. "Papa nggak pernah ngajarin kamu gini, Niagara," tuturnya singkat dan tanpa emosi. 

Gara menganggukkan kepalanya. "Memang nggak pernah, Pa. Gara tau Papa selalu ngajarin hal-hal baik ke Gara. Tapi itu semua nggak cukup, ada hal lain yang Gara butuhkan tapi nggak pernah ada di rumah ini," jawabnya lugas. 

"Hal lain seperti apa?"

Gara ingin sekali menjawabnya, tapi sudah terlalu banyak yang disimpan dalam benaknya sehingga ia kebingungan mana dulu yang harus ia utarakan. Pada akhirnya, Gara cuma bisa bungkam. 

"Gar," tanpa disangka-sangka Rasio mengeluarkan suaranya. Manusia yang dari tadi diam ternyata punya sesuatu untuk dikatakan. 

Papa dan Gara memfokuskan seluruh perhatian mereka pada Rasio. 

"Rumah lo bukan disini, iya, kan?" tanya Rasio. Tak terbaca apa tujuannya berkata demikian. Tapi yang jelas, kalimat itu keluar bukan dalam bentuk penyudutan. 

"Rasio..." Papa memanggil tegas. 

"Rumah Rasio juga bukan disini," Rasio menoleh pada Papa. "Sejak Bunda nggak ada, rumah Rasio bukan disini. Rumah itu bukan tentang bangunan. Rumah itu tentang orang-orang di dalamnya. Rumah Rasio adalah pekerjaan dan orang-orang yang Rasio temui di pekerjaan. Rumah Gara lain lagi, mungkin temen-temen bandnya atau pendengar radionya. Kita nggak bisa menyamakan rumah masing-masing orang."

Batin Gara tergugah dengan bagaimana Rasio mendefiniskan rumah. Entah dalam rangka membelanya atau sekedar mendapat perhatian Papa, yang jelas Gara sedikit terkesan dengan narasi Rasio. 

"Lalu? Kamu mau bilang apa, Rasio?" kali ini Papa menggeser tatapan tajamnya dari Gara. 

"Gara berhak nyari rumahnya sendiri. Itu aja," Rasio menjawab ringan, dan Gara semakin terkesan. Pandai sekali si licik ini menempatkan diri senetral mungkin. 

"Rumah, rumah, rumah terus yang dibahas!" Papa meninggikan suaranya lagi. Ia kemudian berdiri dan menatap kedua anaknya bergantian. "Terserah kamu, Gara, mau pergi dari rumah silakan! Mau luntang-lantung di jalan juga silakan! Dan kamu Rasio, rumah kamu tetap disini! Dengan atau tanpa Bunda kamu!"

Setelah itu Papa berderap pergi. Langkahnya yang lebar sarat akan amarah. Gara bisa mengerti. Orang tua mana yang tak marah mendengar keinginan anaknya untuk pergi dari rumah? Sebagai timbal balik pengertian, seharusnya Papa juga mengerti ada kebutuhan emosional yang terpaksa Gara cari di luar karena ia tak bisa mendapatkannya di rumah. 

Keputusan Gara untuk sementara tidak tinggal di rumah sudah final. Ia bisa tinggal dimana saja tapi tidak di rumah dengan tabungan yang dimilikinya. 

"Kalo mau pergi, pergi aja, Gar," Rasio tiba-tiba bersuara. Pelan, tapi Gara bisa mendengarnya. 

"Biar lo bisa nguasain rumah sendirian, kan?" tanya Gara sangsi. 

"Itu yang pertama," rupanya Rasio belum berubah menjadi saudara yang baik hati. Gara harus menyadarkan diri bahwa ini bukan sinetron dimana pertengkaran antar saudara bisa selesai dengan cepat. "Yang kedua, gue tau lo bisa gila memaksakan hidup lo di tempat yang bikin lo tersiksa. Lo butuh pergi kemanapun yang lo mau, sembuhin diri lo," lanjutnya. 

Alis Gara terangkat. "Wow, Rasio. Kesambet apa lo?"

"Gue juga butuh waktu nyembuhin diri gue tanpa ngadepin lo terus."

Benar, itu dia jawabannya. Sama seperti Gara, Rasio juga butuh tempat dan waktu yang steril dari kehadiran Gara. Mungkin karena keduanya sama-sama terluka karena tak henti-hentinya berseteru, mungkin juga karena ketiadaan satu sama lain akan melahirkan sesuatu yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Berdamai, misalnya. 

Dan dengan ini, karena Gara yang lebih dulu menyampaikan ketidaknyamanannya di rumah, ia yang harus pergi. Rasio akan tetap tinggal di rumah bersama Papa, menjadi anak tunggal Papa karena Yura semakin jarang datang berkunjung. 

Agak aneh mendapati mereka masih bisa duduk bersama di ruang keluarga ketika satu bulan yang lalu mereka nyaris kehilangan kewarasan akibat menyeruaknya kebencian. Tapi baik Gara dan Rasio tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha mengubur kebencian itu dalam-dalam demi utuhnya keluarga ini. 

"Anak Om Arifin yang bakal nguasain rumah?" Gara tersenyum sinis. 

"Sekadar jagain bokap lo sebagai bentuk terima kasih karena gue dan Bunda udah ditampung disini," jawab Rasio tak kalah pedas. 

"Bagus, deh, lo bisa berbakti dikit."

Rasio tak bersuara. Suasana ruang keluarga semakin hening dan tak bernyawa. Papa masuk ke kamar dan tidak keluar setelah itu, sementara Gara dan Rasio lebih banyak duduk dalam diam karena sibuk dengan pikiran masing-masing. 

Gara bisa saja pergi tanpa pamit dan tak mengabari sama sekali. Itu kebiasaannya sejak dulu setiap malas pulang ke rumah. Beberapa hari kemudian ketika ia pulang, amukan Papa adalah hal biasa. Setelah Papa dan Bunda menikah, nasehat Bunda juga menjadi hal yang lumrah. Tapi Gara tidak pernah kapok, jiwanya sudah terlanjur menyatu dengan ketidakterikatan. 

Sekarang ketika akhirnya Gara meminta izin sebelum pergi dari rumah, sesungguhnya ada hal yang dipintanya dari Papa. 

Yaitu Gara ingin Papa menahannya pergi dengan rangkulan yang hangat, bukan dengan perkataan macam-macam yang membuat hatinya semakin tercabik-cabik. Gara ingin Papa mengerti kondisi psikologisnya, mengerti sebesar apa pergolakan dalam kepalanya, dan mengerti bahwa jiwanya tidak pernah baik-baik saja selama ini. 

Tapi Papa tidak pernah melakukannya. Entah karena sulit menempatkan posisi sebagai seorang ayah yang telah mengalami banyak musibah atau karena gengsinya terlalu besar hanya untuk sekadar bertanya 'ada apa' pada anak-anaknya.

----

Definisi Rasio tentang rumah begitu terpatri di pikiran Gara sampai-sampai ia tak kuat menyimpannya sendiri. Oleh karena itu dinyalakannya perangkat siaran Frou untuk berbagi isi pikirannya pada para pendengar di luar sana meski tak seberapa. 

Setelah Frou secara resmi mengumumkan berhenti siaran, tak banyak pendengar yang tersisa untuk radio ini. Kadang-kadang ketika Gara mengudara, pendengarnya tak sampai menyentuh angka dua puluh, padahal sebelumnya selalu sukses mencapai ratusan bahkan ribuan.

Tapi tidak apa-apa. Seperti Gendis dulu yang menggunakan Frou untuk berceloteh sesuka hatinya tak peduli ada yang mendengarkan atau tidak, Gara pun melakukan hal yang sama. 

Ini salah satu bentuk penyembuhannya. 

"Seseorang akhirnya menyadarkan gue apa arti rumah sebenarnya. Dia bilang rumah itu bukan tentang bangunan, tapi tentang orang-orang di dalamnya. Gue sangat setuju dengan pernyatan ini," Gara tersenyum simpul. "Bukan cuma orang-orangnya, tapi suasananya, hal-hal yang biasa lo tertawakan, hal-hal yang bikin lo tenang, yang bikin lo ngerasa aman dan nyaman, pokoknya semua hal yang bikin lo nggak ngerasa sendirian. Dan itu nggak cuma didapatkan dari sebuah bangunan beratap. Lo bisa terlantar di pinggir jalan bareng orang-orang yang lo sayangi, dan lo tetap akan merasa punya rumah."

Rumah Gara bermacam-macam. Dulu sebelum keluar dari band, ia punya Bam, Recky, dan Tisan. Sekarang juga masih, tapi intensitas pertemuan yang jarang membuat Gara merasa sendirian lagi. Lalu ia juga punya Frou, satu paket studio dan pendengarnya. Tapi itu dulu sebelum Frou berhenti siaran. Ia juga punya Gendis, tapi itu dulu sebelum Rasio datang. Ia punya Bunda, tapi itu dulu sebelum wanita itu meninggal. Ia punya.... tunggu, kini ia tidak punya apa-apa. 

Niagara kehilangan semua rumahnya. 

Bagaimana bisa ia membahas arti sebuah rumah pada pendengar di luar sana kalau ia sendiri tak punya rumah? Lucu, Gara, sangat lucu. 

"Gue nggak punya rumah ternyata," Gara tertawa di mikrofon. Kesedihannya menggaung di satelit. "Ngapain ya gue sok ngomong ginian kalo gue sendiri nggak punya? Hahaha," tawanya terdengar amat pilu. 

Betapa kesedihannya semakin menjadi-jadi karena siaran Frou kali ini tak menghasilkan pesan atau telepon masuk dari pendengar, seolah-olah semakin mempertegas bahwa hanya ada Niagara seorang diri. 

Gara memutuskan untuk mematikan siaran yang berlangsung tak lebih dari setengah jam itu. Batinnya terguncang lagi, keinginannya untuk hidup kembali dipertanyakan. 

Gara bangkit dari meja siaran untuk kemudian pindah ke sofa. Diambilnya ponsel dan dibukanya laman situs pencari tiket tempat dimana ia telah menyelesaikan pembayaran untuk tiket kereta api ke suatu kota yang belum pernah dikunjunginya. 

Memang benar, sendiri adalah hal yang paling Gara butuhkan saat ini. Tidak ada rumah, tidak ada yang mencari, dan tidak ada beban apapun. Ia cuma ingin sembuh, mendapatkan kembali ketenangan yang telah lama direnggut dari dalam dirinya. 

Niagara meninggalkan semuanya di sini, sama sekali tidak membawa serta panel-panel rumahnya karena itu hanya semakin membuat batinnya tak tenang. Ia akan berkelana seorang diri, menampung kebahagiaan orang-orang yang dilihatnya selama perjalanannya nanti sebagai sumber kebahagiannya agar ia cepat sembuh. 

Gara merapikan peralatan siaran sebelum menutupnya dengan kain. Kemudian ia melepas semua poster band pop punk kesayangannya dari tembok, juga lukisan-lukisan Gendis, juga foto polaroidnya dengan Gendis. 

Studio ini harus kembali seperti kamar biasa sebelum Gara pergi, bukan tempat yang pernah menyaksikannya bahagia setinggi-tingginya dan terpuruk sedalam-dalamnya. 

----

Author's Note: mungkin satu atau dua chapter lagi untuk mengakhiri Frou? Ada yang bisa nebak kira-kira endingnya seperti apa?

Hehehe. Selamat membaca, teman-teman!

XOXO~

Continue Reading

You'll Also Like

Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.2M 221K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...
2.7M 133K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
515K 56K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 323K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...