Semesta Kisah

By AiyuAgaaraLestari

868 55 18

Kepada semesta, aku menghantarkan cerita-cerita penuh makna. Kisah kasih anak manusia yang mengatasnamakan ci... More

Langit Merah Saga
Bintang di Langit Utara
Kilau Sirius (Kamu!)
Bulan Merah Jambu (?)
Pada Suatu Sore Ketika Dia Mengatakan; Pergi!
Melipat Jarak (Saat Aku Memilih Melupakanmu)
Yang Patah Bernama Hati
Matahari Terbit di Hati(mu) Hari itu
(M)Asa Bersama
Kesempatan Terbuka
Perempuan yang Ingin Menikahi Hujan
Potret(mu)
Pengakuan
Di Kafe ini Kita Bertemu (Kembali)

Sepasang Liontin Perak

43 5 0
By AiyuAgaaraLestari


Kelak kita akan dipertemukan kembali oleh liontin perak yang tanpa sadar telah mengikat kita dalam satu ikatan utuh bernamakan kasih. Sampai hari itu tiba, tetaplah menunggu.”

“Iliana.”

Gadis manis berlesung pipit itu mengulurkan tangan. Mata beningnya memandang takjub pada cowok berkulit putih dengan tampang keren. Persis aktor-aktor Korea Selatan yang ia gilai.

“Affa,” timpal cowok di depannya.

Ia balas mengulur tangan. Hanya sesaat, dan setelahnya segera melepaskan tangan gadis berambut panjang sebahu itu. Affa kembali duduk di kursi. Memandang jengah pada kedua orang tuanya yang tersenyum-senyum.

Matanya melirik ke arah Iliana. Gadis yang sering disapa Lia itu tampak mengulum senyum, terpaksa. Jarinya meremas ujung gaun yang ia kenakan. Affa tahu, gadis itu pun sama tidak sukanya dengan perjodohan gila ini.

Senyum menyeruak di bibir tipisnya yang berwarna merah muda. Sebuah ide terlintas begitu saja.

“Pa, Affa ajak Iliana ke luar, ya.”

Laki-laki paruh baya dengan wajah penuh wibawa dan rambut klimis itu memandang anaknya sebentar. Lalu mengangguk satu kali.

“Ooh, iya, iya. Kalian harus mengobrol berdua,” timpalnya kemudian.

Affa beranjak dari duduknya. Lagi, ia melirik Lia dan mengangkat satu alisnya. Seolah mengerti, gadis itu pun ikut beranjak. Mengikuti Affa yang lebih dulu berjalan keluar rumah.

Sesampainya di luar, Lia melihat Affa duduk bersandar pada pilar. Tangannya memegang sebuah rokok yang baru saja dihisap.

“Kamu merokok?” tanya Lia, setelah jarak mereka cukup dekat.

“Hmm, kenapa?”

Lia menggeleng pelan. Sedikit terkejut dengan suara Affa yang terkesan dingin. Pun wajahnya yang seolah menunjukkan bahwa ia tak ingin diganggu.

“Gue udah punya pacar,” ucap Affa tiba-tiba.

Lia mengerutkan keningnya. Beberapa kali matanya mengerjap, mencoba mencerna ucapan Affa.

“Cih, loe gak ngerti? Itu artinya gue gak mau dijodohin sama loe!” dengkusnya.

“Emang kamu pikir aku mau?!”

“Ooh, baguslah. Loe tinggal bilang ke nyokap loe buat ngebatalin perjodohan ini.”

Kali ini Lia mendengkus kesal. Ia tak menyangka bahwa cowok berwajah tampan itu ternyata memiliki sifat menyebalkan. Gadis itu sedikit menyesal karena tadi sempat kagum melihat Affa.

“Kenapa bukan kamu saja?”

Affa mengisap dalam-dalam rokoknya. Sebelum membuangnya dengan kasar. Tanpa  berkata apa pun, cowok itu melangkah ke halaman samping. Menuju sebuah rumah pohon yang tak sengaja ia lihat sewaktu mobil ayahnya melintas tadi.

“Hei, mau ke mana?”

Affa tak menjawab. Malah langkahnya dipercepat menuju rumah pohon yang terletak di salah satu cabang batang rambutan. Di sebelah teras, Lia tak berani berteriak lebih keras. Takut ketahuan orang tuanya. Ia pun akhirnya memilih untuk mengejar Affa, naik ke rumah pohon. Akan tetapi, sesampainya di sana, ia diam. Hanya degup jantungnya saja yang bergumuruh.

♥♥

“Apa? Kamu dijodohin sama Affa Giforald?!” teriak Selli, membuat beberapa tamu di dalam kafe menoleh ke arah meja mereka.

“Sssst, jangan keras-keras.”

Selli mengangguk. Meringis sendiri mendengar pernyataan Lia.

“Kamu kenal dengannya?”

“Siapa yang gak kenal Affa? Murid satu sekolah mengenalnya.”

“Dia tipe orang populer, ya?”

Selli mengangguk lagi. “Bukan cuma populer, tapi juga cowok paling cakep dan ditakuti di sekolah! Eh, aku ‘kan pernah cerita ke kamu.”

“Tapi bukan Affa yang kamu ceritain.”

“Oh iya, dia lebih dikenal dengan nama Fore di kalangan cewek-cewek. Tapi, serius kamu dijodohin sama dia?”

Lia mengangguk pelan. Antara ingin membenarkan dan tidak. Lebih-lebih mengingat sikap Affa padanya sewaktu pertemuan pertama mereka. Sangat meninggalkan kesan buruk di hatinya.

“Aduh, kamu beruntung banget.”

Lia mengernyitkan alisnya yang melengkung indah bak bulan sabit. Matanya menatap tajam pada Selli, teman satu kompleks yang satu sekolah dengan Affa. Gadis itu tersenyum-senyum sendiri, entah membayangkan apa atau siapa.
Sedetik kemudian Selli mulai bercerita tentang Affa. Seolah kisah cowok itu memang tak pernah ada habisnya.

♥♥

Rabu sore, sebulan setelah pertemuan keluarga Lia dan Affa. Gadis itu baru saja keluar dari gerbang sekolah setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai ketua mading (baca: majalah dinding). Kedua tangannya penuh. Memegang buku di sebelah kiri, dan tas plastik berisi tempat nasi dan minum di sebelah kanan.

Ia berdiri di depan halte. Menunggu angkutan kota menuju jurusan rumahnya melintas. Langit tampak mendung, pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Lia, gadis berkuncir satu itu meringis saat melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. 17.35 Wib.

“Bagaimana kalau tidak ada angkutan?” keluhnya.

Matanya memandang ke sisi lain jalan. Berharap angkutan berwarna biru melintas. Namun setelah menunggu cukup lama, tak satu pun yang melintas. Lia mulai cemas. Ingin menelepon jelas tidak mungkin. Sekolahnya melarang setiap siswa membawa ponsel, dan di zaman serba canggih begini, untuk menemukan telepon umum sama halnya seperti mencari gipang—makanan kesukaannya sewaktu kecil—di warung. Sulit.

Ia menghela napas dalam. Kemudian memilih duduk di kursi panjang halte. Tepat pada saat itu, sebuah motor vespa warna biru metalik berhenti di depannya. Di atas motor, duduk seorang cowok yang masih mengenakan seragam SMU dilapis jaket jins belel. Cowok itu membuka helm, yang sontak membuat mata Lia membulat.

“Kamu?!”

“Hn, ayo, pulang!”

“Apa?”

“Loe gak budek, ‘kan?!”

Lia segera berdiri dari duduknya. Memandang tak berkedip pada cowok berwajah angkuh. Ia tak ingin lagi mengatakan bahwa cowok itu tampan seperti artis Korea. Bagaimana dia bisa di sini?

“Naik,” ucap Affa pendek.

Lia hanya bergeming. Menatap dalam pada Affa. Ia masih tak habis pikir, bagaimana cowok itu bisa berada di depan sekolahnya. Padahal jelas jarak sekolah mereka jauh dan berbeda jurusan dari tempat Affa datang tadi. Apa ia sengaja?

“Kalo gak mau, gue tinggal!”

“Eh, iya.”

Dengan cekatan, Lia naik ke jok belakang. Di depannya, Affa memberikan helm miliknya. Lia menerimanya ragu. Namun, saat melihat mata hitam Affa, gadis itu langsung  memakainya cepat.

Sesaat setelah memastikan Lia sudah mengenakan helm. Affa menghidupkan vespa antiknya.

“Pegangan,” ucapnya di antara deru motor.

Perlahan, Lia mengulurkan tangannya ke pinggang Affa. Ia tampak kikuk. Karena jujur saja, ini pertama kalinya ia dibonceng seorang cowok. Mengendarai vespa pula.

Di depannya, tanpa sepengetahuan Lia. Affa tersenyum tipis. Bibirnya membentuk garis lurus berwarna pink yang manis.

♥♥

Lia memandang kosong pada langit-langit kamar. Ia tak habis mengerti. Belakangan, setelah Affa mengantarnya dengan alasan disuruh sang ibu, besoknya Affa menjadi sering menjemput setiap kali ia pulang sore. Seolah Affa tahu jam-jam pulangnya.

Sebenarnya Lia tak masalah. Akan tetapi, beberapa hari ini, melihat anak-anak cewek di sekolahnya memandang aneh setiap kali ia lewat, Lia menjadi risih. Tentu saja ia berpikir bahwa ini ada kaitannya dengan Affa.

Seperti cerita Selli. Affa bukan saja terkenal di seantaro sekolah sebagai cowok populer. Di sekolah-sekolah lain pun orang mengenal namanya. Bukan sekadar punya tampang ganteng, tapi juga ketua basket. Otaknya pun tidak kalah. Ia selalu menjadi peringkat pertama di kelas. Meski poin hitamnya setiap bulan selalu bertambah mengingat ia sering bolos.

Katanya, Affa juga punya klub motor vespa yang setiap sebulan sekali selalu mengadakan perjalanan dalam kota. Tidak hanya senang-senang. Mereka juga membantu orang-orang. Seperti sebuah panti asuhan di salah satu di daerah Jakarta Timur yang sudah diambil alih penanggung jawabnya oleh Affa dan kawan-kawan.

“Aneh. Aku tak mengerti apa yang dipikirkannya. Lebih aneh lagi, kenapa aku harus memikirkannya?” gumam Lia.

Lia menutup mukanya dengan bantal. Merasa frustrasi sendiri. Sedetik kemudian, ia bangkit, menuju meja belajar. Mengambil sebuah komik One Piece, dan mulai membacanya. Setidaknya, untuk sementara pikirannya tentang Affa akan hilang.

♥♥

Affa tersenyum memandang liontin perak berbentuk bulan sabit di tangannya. Liontin ini sudah lama ia simpan di kotak merah beludru. Tidak pernah sekalipun ia keluarkan. Sampai hari itu, saat ia tak sengaja melihat liontin yang sama melingkar di leher jenjang Lia.

Sebenarnya Affa merasa penasaran dan ingin bertanya dari mana Lia mendapatkan liontin perak itu. Namun, sifat angkuhnya membuat ia bungkam dan memilih mencari tahu sendiri berdasarkan ingatannya.

“Sedang apa, Sayang?”

Suara mamanya membuat Affa buru-buru menyembunyikan liontin itu ke dalam saku. Namun, mata mamanya lebih awas. Wanita cantik itu mendekati Affa dan duduk di sampingnya.

“Apa yang kamu sembunyikan? Coba lihat.”

Affa terdiam. Ragu menyelimuti hatinya. Akan tetapi, ia memang tidak bisa membantah ucapan mamanya. Seperti perjodohan gila—menurutnya—dirinya dan Lia. Jika bukan karena bujukan mamanya, Affa tidak akan pernah datang ke rumah Lia.

Cowok yang selalu menunjukkan mata teduh di depan mamanya itu mengeluarkan liontin dari dalam saku celana. Lalu menyodorkannya pada sang mama.

“Kamu masih nyimpan ini rupanya.”

“Iya. Kemarin Affa liat Lia memakai liontin seperti ini. Affa ingat kalau punya juga.”

Sang mama tersenyum. Diusapnya rambut Affa penuh kasih sayang “Kamu sudah ingat?”

Affa mengangguk ragu. Namun, bibirnya membentuk sebuah lengkungan seperti pelangi terbalik. Manis.

♥♥

Seperti biasa, saat Lia pulang sore, Affa hampir selalu menjemputnya. Lia tak perlu heran lagi dari mana cowok itu bisa tahu jam pulangnya. Sebab jawabannya hanya terletak pada satu nama; Selli.

Tentu gadis itu mau-mau saja saat Affa memintanya memberitahu jam pulang Lia. Tidak perlu pakai segala macam sogokan. Senyum Affa yang manis sudah cukup untuk membayar informasi yang diberikannya.

Akan tetapi, hari ini Affa sedikit berbeda. Ia mengenakan kaos putih polos yang dilapis kemeja kotak-kotak berwarna biru dongker. Celana jins dan sepatu kets putih.  Di lehernya melingkar sebuah kalung perak dengan hiasan bulan sabit.

Sesaat Lia terpaku melihat sosok Affa. Cowok itu, entah kenapa terlihat begitu tampan di matanya. Otaknya berputar, mencari-cari wajah artis Korea mana yang saat itu mirip Affa. Dan ia tersenyum sendiri saat membayangkan sosok Jung Yong Hwa, yang berperan dalam drama Heartstring. Menurutnya, saat ini penampilan Affa mirip sekali dengan pemeran utama di drama itu.

“Kenapa kamu tersenyum?”

Lia melengak kaget. Ini pertama kalinya Affa menggunakan kata ‘kamu’ terhadap dirinya. Biasanya cowok dingin itu selalu memakai loe-gue. Ada apa ini? pikir Lia.

“Eng-enggak.”

“Cepet naik!” titahnya.

Lia menurut saja. Ia menerima helm yang disodorkan Affa. Tak lama, motor membelah jalanan ibukota yang ramai. Seramai pikiran Lia yang menggumamkan kata-kata tentang Affa sore ini.

Sesampainya di  depan rumah, Lia turun dari motor dan mengembalikan helm pada Affa. Setelah mengucapkan terima kasih, ia buru-buru masuk ke dalam rumah. Tapi, belum satu langkah berjalan, Lia merasa tangannya ditarik seseorang. Affa.

“Siapa suruh kamu langsung masuk.”

“La-lalu?”

“Ganti baju. Dalam lima menit kamu sudah harus kembali kemari.”

“Apa?”

“Udah, sana cepat.”

Affa melepaskan pegangan tangannya. Membuat Lia mau tak mau terjajar ke belakang. Tanpa mengucap apa pun, Lia masuk ke rumah dengan wajah ditekuk. Ia tak menjawab panggilan ibunya saat melintasi ruang tengah, dan terus berjalan ke kamar.

“Huhh, memangnya aku budakmu!” dengkus Lia
.
Ia merebahkan diri di atas kasur. Tak acuh pada ucapan Affa sebelumnya. Pekerjaan sebagai ketua mading membuatnya benar-benar lelah. Ia butuh istirahat, dan tidur menjadi satu-satunya hal yang ingin dilakukannya.

Belum lima menit Lia memejamkan mata. Satu suara yang familier membuatnya tersentak kaget.

“Affa?!”

“Hn.”

“Ngapain kamu di sini?”

“Ngapain? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk ganti baju dalam lima menit? Kenapa kamu malah tidur, he?”

Lia beranjak, berdiri berhadapan dengan Affa yang menatapnya tak berkedip. “Maaf. Aku lelah sekali,” ucapnya jujur.

Lia menatap Affa sesaat, dan matanya membentur pada liontin bulan sabit perak di leher Affa. Tanpa sadar, ia memegang liontinnya sendiri. Menatap berganti-gantian pada milik Affa.

“Kamu … kenapa memiliki  liontin itu?”

Affa mengangkat bahu. “Entahlah. Menurutmu?”

Lia menggeleng pelan. “Tidak mungkin,” lirihnya.

“Apanya yang tidak mungkin?”

Lia menggeleng sekali lagi. Tanpa sadar, ia langsung memeluk Affa. Membuat cowok itu melengak kaget. Namun hanya sesaat, detik berikutnya Affa tersenyum. Ia membalas pelukan Lia.

“Aku pikir kita tidak akan bertemu lagi.

“Hn.”

Lia tersadar saat mendengar suara Affa. Buru-buru ia melepaskan pelukannya, dan berkali-kali mengucapkan maaf. Di depannya Affa hanya tersenyum tipis.

“Kita pergi?”

Lia mengangguk pelan, lalu berkata, “Keluarlah. Aku akan ganti baju sebentar.”

“Hn, kalau aku di sini memangnya kenapa?”

Blush.
Semburat merah langsung tercipta di kedua belah pipi Lia. Gadis itu menatap Affa kesal.

“Baiklah. Lima menit!” kata Affa, mengulum senyum.

♥♥

“Aku tidak menyangka kamu orangnya,” ucap Lia, setelah meneguk jus strawberrynya.

“Hn. Apa yang kamu ingat?”

“Tidak begitu jelas. Tapi aku …."

“Aku apa?”

“Aku … aku selalu menunggu ingin bertemu dengan orang yang memiliki liontin sama sepertiku,” jawab Lia, seraya menundukkan kepala.

Mereka tengah duduk di sebuah kafe setelah menonton bioskop. Pengabdi Setan. Film horror yang entah kenapa dipilih Affa. Padahal ada film romantis semisal Hujan Bulan Juni yang novelnya begitu terkenal.

“Ternyata kamu sudah jatuh cinta padaku sejak dulu.”

Lia mendongak. Matanya menangkap senyum jail di wajah cowok tampan itu. Entah sejak kapan, hatinya merasa senang ketika manatap wajah Affa. Terlebih, sikap Affa sedikit banyak sudah berubah. Setidaknya Affa sudah memakai aku-kamu setiap kali bicara padanya. Tidak seperti pertama kali mereka bertemu.

Jika tadi Affa mengatakan bahwa ia sudah jatuh cinta sejak dulu. Mungkin ia harus membenarkannya. Akan tetapi, tentu saja ia tak ingin mengakuinya secara terang-terangan.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Affa.
Mulutnya penuh dengan burger, dan di mata Lia, Affa terlihat sangat menggemaskan! Di sudut-sudut bibirnya menempel mayones, membuat Lia ingin membersihkannya dengan … bibir?

Lia menggeleng pelan. Ia mengambil sepotong kentang goreng. Memakannya seraya memandang sekitar. Ia tak ingin melihat wajah Affa yang sedang makan seperti itu. Imajinasi liarnya tentang aktor-aktor Korea bisa berputar-putar dalam kepala.

“Affa?”

Suara seorang gadis membuat Lia menoleh. Di depannya kini, tepat di samping Affa, berdiri seorang gadis cantik. Wajahnya tertutup make-up yang rapi. Rambut panjangnya sengaja digerai. Ada hiasan kecil berbentuk topi di dekat atas telinga. Baju yang ia kenakan saat itu tampak begitu modis. Sangat pas di tubuhnya yang tinggi ramping.

“Oh, Stef.” Affa menyahut pendek. Mulutnya masih penuh dengan burger.

“Stef? Apa ini yang namanya Stefani?” ucap Lia dalam hati. Seketika ia ingat akan cerita Selli beberapa waktu lalu.

“Dia siapa?” tanya gadis itu seraya melirik Lia tajam.

“Calon istriku.”

“Calon istri?!”

Affa mengangguk. Kemudian menggerling kecil pada Lia yang menatapnya tak percaya. Di samping mereka, Stefani tampak shock. Tanpa berkata apa-apa, gadis itu langsung pergi dengan wajah semerah tomat.

Affa terkekeh. Tawa pertama yang dilihat Lia.

“Temanmu Selli pasti sudah cerita tentang dia,” kata Affa kemudian.

Lia mengangguk. Tidak berkomentar apa pun. Ia tak ingin membahas tentang Stefani. Lagipula untuk apa? Toh, kelihatannya Affa tidak begitu menanggapi gadis itu. Sama seperti yang Selli ceritakan.

“Kenapa?” tanya Affa saat melihat Lia diam.

“Tidak apa.”

“Hn, kamu cemburu?”

“Eh? Aku? Tidak. Kenapa aku harus cemburu?”

“Entahlah. Tapi kupikir, kamu cemburu.”
Lia mengerucutkan bibirnya. Membuat Affa tertawa kecil.

“Apa yang lucu?”

“Bibirmu! Kenapa? Kamu sengaja melakukan itu agar aku cium?”

“Apa?!”

“Beberapa gadis melakukan itu di depanku, dan aku tahu arti ekspresi manja sepertimu tadi. Jadi?”

“Ja-jadi apa?”

“Mau aku cium?”

“Tidak!” sambut Lia cepat. Ia mendengkus pelan, membuang wajah ke samping.

“Malu-malu. Padahal banyak gadis yang minta kucium.”

“A-aku bukan mereka.”

Affa terkekeh. “Ya sudah kalau tidak mau. Ayo, pulang.”

Lia beranjak dari duduknya. Berjalan sebelah depan mendahului Affa. Namun, langkah gadis itu berhenti saat sebuah tangan menyentuh lengannya.

“Apa?”

“Apa? Kamu tidak mau menggandeng tangan calon suamimu, he?”

“Ki-kita belum resmi. Dasar!”

Lia menepis lengannya. Berjalan kembali sambil mengomel dalam hati. Gadis itu tak menyangka kalau Affa memiliki sifat lain. Jail.

“Hei, benar tidak mau?”

“Tidak!”

Affa menyusul Lia. Tangannya segera menyambar lengan gadis itu. Dalam satu gerakan, Affa sudah menyusupkan jemarinya di jemari Lia. Senyum menyeruak di bibir tipisnya. Di sampingnya, Lia hanya tersipu. Malu.

♥♥

Tiga belas tahun lalu.

Kedua anak kecil berlainan jenis itu menyudut di sisi kamar. Mereka saling berpelukan. Dari wajah mereka terbersit rasa takut. Gadis kecil sebelah kanan menahan tangisnya saat melihat laki-laki muda yang ia panggil dengan sebutan ‘ayah’ itu menarik ikat pinggang dari celananya.

Wajah itu tampak mengerikan. Mata melotot besar dengan pelipis yang bergerak-gerak. Senyum maut tersungging di bibirnya yang tebal dan lebar. Perlahan tapi pasti, laki-laki itu bergerak mendekat. Siap mencambuk ikat pinggangnya ke arah gadis kecil yang berada sedikit ke belakang anak laki-laki.

“Apa yang Paman lakukan?” tanya anak laki-laki itu. Wajah putihnya merah. Sebelah tangannya mencengkram kuat-kuat tangan gadis kecil di sebelahnya.

“Diam kau anak setan!” sentak laki-laki itu.

“Affa, aku takut,” bisik gadis itu.

Anak laki-laki yang dipanggil Affa tak menjawab. Hanya matanya yang sedari tadi menatap nyalang.

Di depannya, laki-laki tadi mulai menyapu ikat pinggangnya. Namun, gerakannya terhenti di tengah saat seseorang membuka pintu dengan paksa.

Seorang laki-laki muda dengan wajah tegas.
“Alfian!”

“Sialan! Apa yang hendak kau lakukan?!”

Laki-laki bernama Alfian yang merupakan ayah Affa langsung menghantam laki-laki tadi. Perkelahian tak dapat dihindari. Mereka saling baku hantam. Memukul, menendang, menepis. Semua berlangsung cepat. Sampai akhirnya ayah gadis kecil itu terkapar di lantai dengan muka babak belur.

“Kalian tidak apa-apa?” tanya Alfian seraya mendatangi keduanya.

Kedua anak itu menggeleng. Alfian segera menggendong mereka untuk keluar dari gudang tua tak terpakai. Sesampainya di luar, kelihatan beberapa mobil polisi baru datang. Ada dua perempuan muda yang keluar dari mobil. Sontak membuat keduanya turun dari gendongan dan berlari berhamburan menuju dua perempuan muda itu.

“Mama!” teriak gadis kecil itu.

“Lia, kamu tidak apa-apa, Nak?”

Gadis itu menggeleng sambil mengusut air matanya. “Papa ….”

“Sudah, tidak apa. Ayo, kita pulang.”

“Sebaiknya kalian cepat berkemas dan meninggalkan rumah itu. Mencari rumah baru untuk tempat tinggal,” ucap Alfian.

“Iya, sudah saya pikirkan, Mas. Kami akan kembali ke kampung ibu saya.”

“Kalau nanti Affa sudah besar, kami ingin menjodohkannya dengan Iliana. Boleh, Jeng?”

“Sebaiknya lihat nanti saja, Mbak. Tidak baik jika kita memutuskan seenaknya.”

Istri Alfian yang menggendong Affa hanya mengangguk. Lalu dari dalam tasnya, ia mengeluarkan sesuatu. Sepasang liontin bulan sabit. Ia menyerahkannya pada Ajeng, ibunya Iliana.

“Untuk mempertemukan mereka kembali.”

Ajeng mengangguk. Ia memakaikannya pada Iliana. Gadis kecil itu tampak senang. Di depannya, Affa tersenyum kecil.

♥♥
Bengkulu, 9 November 2017

Terima kasih banyak sudah mampir.

Continue Reading

You'll Also Like

877K 2.8K 13
I hate how all the lesbian one shots aren't intense enough for me or smutty enough, and I'm sure atleast some other people feel the same. So this is...
Mobster By Candy

Short Story

13.5K 876 22
What will happen when a out going party girl path meets with the Don, who is her complete opposite. Kalila Green - A 23 year old who is outgoing an...
16.2K 315 31
Short scenarios for your favorite characters! (Well the male characters at least) The characters included are Alastor, Angel Dust, Sir Pentious, Husk...
25.4K 49 7
I don't give a fuck if I get canceled, haters be haters and I don't care!!