Frou

By andihaname

124K 19.5K 5.2K

[SELESAI] Gendis Jingga dan Niagara, dua orang yang mendirikan sebuah radio amatir bernama Frou. Lalu Rasio... More

La Sol El Luna
Light Inside
About a Friend
Bedroom Avenue
I Am You
You and Your Shadows
Farther Than I Might Have Ever Figured
Anaheim
We Don't Have Much to Say
Glitches
False Alarm
Less Afraid
a Lot of Fireworks But I Still Had a Reason to Smile
Oh Well
Words and Stories
If I Could I Would
I Love You But I'm Letting Go
Part of Me, Apart from Me
Let Me Erase You
Lost
Ironic
Blue Sky Thinking
Love Is
Home
From Satellite
[extra] About Frou Studio
Blurry
La Sol, El Luna (FINAL)
Quite Quiet [EPILOG}

Self-Reflecting Room

2.7K 556 128
By andihaname

Eleventwelfth - Self-Reflecting Room

Gara membuka kedua matanya bersamaan dengan rasa perih yang seketika menjalar di seluruh wajahnya. Kemudian perlahan-lahan kesadarannya terkumpul kembali bersamaan dengan seluruh inderanya yang mulai bekerja.

Butuh waktu beberapa detik bagi Gara untuk menyadari ia sedang berada di ranjang rumah sakit dengan beberapa bagian tubuh diperban dan sulit digerakkan.

"Gara."

Suara yang pertama kali didengarnya itu datang dari Gendis yang duduk di samping ranjangnya. Gara menoleh sembari susah payah meraih tangan Gendis untuk menunjukkan rasa senangnya karena ialah yang dilihatnya pertama kali.

"Jangan banyak gerak, nanti badan kamu kerasa sakit lagi," sergah Gendis seraya menahan tangan Gara.

"Gue kenapa, Dis?" pelan, Gara bertanya.

Gendis tidak menjawab, yang dianggap Gara sebagai sinyal baginya untuk mencerna semuanya oleh otaknya sendiri.

Sakit di tubuh dan bengkak di wajah perlahan-lahan membangunkan ingatan Gara. Ah, ia ingat. Yang pertama kali diingatnya adalah wajah Rasio, lalu tubuhnya yang membentur permukaan keras hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.

"Bunda gimana?" Gara bergumam tanpa sadar.

Gara tak mendapat jawaban dari Gendis bahkan setelah ia menatapnya lurus untuk meminta apa yang ingin diketahuinya. Gendis bungkam, untuk kedua kalinya memaksa Gara mengingat-ingat sendiri. Kabar terakhir yang diingatnya adalah Bunda kritis lalu dokter dan suster tergopoh-gopoh masukke kamar. Setelah itu Gara hanya menunggu dengan cemas hingga akhirnya dokter keluar kamar dan...

Bunda sudah tiada.

Gara spontan mencengkeram sprei sambil menatap Gendis, yang disambut gadis itu dengan usapan lembut pada lengan.

"Kamu mau makan?" Gendis buru-buruk beranjak.

"Gue mau ketemu Bunda," potong Gara, bola matanya bergerak kesana-kemari terlihat kalut.

"Gara--"

"Gue mau ketemu Bunda, Dis!" Gara menepis kasar tangan Gendis.

Gendis diam, terkejut karena Gara membentaknya. Tak sampai disana, cowok itu sekarang berusaha turun dari ranjang dan tak mau mendengar larangan Gendis.

"Besok ya, Gar. Malem ini kamu istirahat dulu disini."

"Gue mau ketemu Bunda!" Gara membentak. Tatapannya tertumpu pada jam dinding di salah satu sisi kamar. Sisa sepuluh menit sebelum pukul dua belas malam, yang artinya sudah empat jam ia tidak sadarkan diri. "Maksud lo 'besok' adalah gue ketemu Bunda di pemakamannya? Iya?"

"Enggak, Gara, bukan gitu. Kamu nggak boleh banyak gerak dulu." 

"Lo nggak berhak ngelarang gue buat ketemu Bunda!" ada kilatan marah bercampur sedih pada tatapan Gara, tatapan yang sama seperti beberapa bulan lalu saat ia sedang tertekan luar biasa.

"Bunda udah nggak ada. Kamu harusnya sadar, dong!" Gendis berseru dengan isak tertahan. Perasaan campur aduk membuatnya berani berkata demikian. "Kalo kamu ketemu Bunda dengan kondisi kayak gini, situasi apa yang bakal berubah, Gar? Nggak ada! Kamu liat dong kondisi kamu sekarang. Apa Bunda nggak makin sedih? Kamu mau nunjukkin diri kamu yang kayak gini ke dia, hah?"

Cengkeraman Gara pada sprei melonggar, tatapan marahnya melunak dan kepalanya tertunduk dalam.

"Kali ini aku nggak bisa turutin kemauan kamu, Gar. Kamu bakal tetep disini sampe besok," tegas Gendis.

Tak ada yang bersuara setelah itu. Gara masih berusaha mengendalikan gejolak emosinya, sementara Gendis tetap bersiaga jikalau sewaktu-waktu Gara meradang lagi. Gendis benar-benar harus menahan Gara bertemu ibunya walaupun kedengarannya memang jahat sekali. Bertemu seorang ibu yang telah tiada dalam keadaan emosi yang tidak stabil tentu akan melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan, untuk itu Gendis setengah mati melarang cowok itu.

"Gue salah apa, Dis?" tanya Gara tiba-tiba, nada pilunya menggema ke seluruh penjuru kamar. "Selama ini gue nemenin Bunda, tapi Rasio nggak tau karena gue cuma pengen berdua sama Bunda. Salah, Dis?"

"Nggak salah sama sekali," jawab Gendis. "Semua orang tau kamu sayang Bunda, Gar."

"Rasio nggak tau gue sayang Bunda."

"Tau, kok."

"Kalo tau, harusnya gue nggak dipukulin," Gara menatap Gendis dengan mata berkaca-kaca. "Gue pantes dapet perlakuan kayak gini? Jawab, Dis!"

Gara terus-menerus menyuarakan apapun yang lewat di pikirannya hingga suaranya semakin lenyap dan menyisakan tarikan napas tak beraturan. Airmata Gara akhirnya tumpah juga, membasahi memar pada wajahnya.

Gendis mendekatkan tubuhnya pada Gara dan memeluknya. "Semua orang tau kamu sayang Bunda, Gara," bisiknya sembari mengusap punggung Gara lembut. Tubuh Gara kaku, seolah-olah tak ada jiwa di dalamnya, dan semakin remuk perasaan Gendis melihatnya seperti ini.

 "Besok kita ketemu Bunda kamu, ya, Gar."

Lalu tubuh yang tadinya tak bergerak itu mendadak berguncang tak terkontrol. Runtuh juga pertahanan Gara yang selama ini ditutupi dengan amarah dan keangkuhan.

Sisa malam itu dihabiskan Gendis untuk menemani Gara hingga tangisnya reda. Gara tidak banyak bicara, tidak pula kehilangan kendali diri seperti tadi. Ia hanya menumpahkan airmatanya dan memanggil Bunda puluhan kali.

Sisa malam itu juga dihabiskan Gendis untuk menyadari sesuatu yang akan mengubah hubungannya dengan Gara dan Rasio. 

----

Gendis duduk berdempetan dengan Gara di mobil yang disupiri orang suruhan Papa Gara. Efek kurang tidur dan tekanan emosional membuat Gendis tak merekam dengan baik apa saja yang terjadi padanya. Ia hanya ingat satu tugasnya, yaitu memastikan Gara tak jauh dengannya. Beberapa sanak keluarga Gara maupun Rasio sempat berbincang dengan Gendis, tapi ia tak terlalu memperhatikan karena pikirannya bercabang tak karuan. Hingga ketika Gara dan Gendis digiring masuk ke dalam mobil menuju pemakaman, Gendis sadar bahwa ia sudah terlibat sangat jauh dalam keluarga ini.

Pagi ini juga Gendis akan berhadapan dengan Rasio, seseorang yang seharusnya mendapat perhatiannya namun malah ditinggalkannya demi menemani Gara yang babak belur. Rasio boleh marah dan kecewa, Gendis akan menerima itu semua. Ia punya alasan kuat mengapa pasca Tante Mia meninggal dirinya malah ada di kamar rawat untuk menemani Gara, bukannya menemani Rasio. 

"Tangan lo gemeter," Gara bergumam dengan suaranya yang lirih.

Gendis mengangguk dan mengaitkan kesepuluh jarinya membentuk kepalan untuk meredakan getar pada kedua tangannya.

"Kenapa?" Gara bersuara lagi.

Kali ini Gendis menggeleng. Ia juga tidak tau mengapa pikirannya bisa mempengaruhi gerak badan yang tidak diinginkan otaknya.

"Dis," Gara menyentuh punggung tangan Gendis. Kedua matanya menghujam langsung ke bola mata gadis itu. "Tenang."

Gendis mengangguk lagi, masih tanpa kata-kata. Gara yang malah menyuruhnya tenang setelah semalam ia sendiri yang hancur habis-habisan.

"Gue juga bakal tenang, kok, nggak kayak semalem," akhirnya Gara memberanikan diri mengusap punggung tangan Gendis dengan ibu jarinya, dan seketika mereka saling paham bahwa yang dibutuhkan hanya saling menguatkan.

Mobil yang hanya membawa Gara dan Gendis itu akhirnya sampai ke area pemakaman. Gendis kemudian membuka pintu dan membantu Gara turun.

Kerumunan manusia tampak dari kejauhan. Gendis langsung tau bahwa disanalah Tante Mia akan dimakamkan. Dan tentu saja, kedatangannya bersama Gara akan mengejutkan orang-orang disana. 

"Sampe sini aja, Dis," Gara menghentikan langkahnya yang juga menghentikan langkah Gendis. "Gue mau kesana sendirian. Lo disini aja."

Gendis menurut. Ia melangkah mundur dan memberikan dukungan pada Gara lewat sorot matanya. Memang lebih baik ia tidak menunjukkan dirinya di hadapan orang-orang disana. Lagipula ia juga belum siap bertemu Rasio.

Gara berjalan sendirian dengan tertatih-tatih. Nantinya, tentu ia akan mendapat hujan pertanyaan dari sanak keluarga tentang wajahnya yang memar dan langkahnya yang tak seimbang. Tapi bukan Niagara namanya kalau hal sepele seperti itu bisa memundurkan langkahnya.

Prediksi Gara terbukti saat ia sudah berada di dekat kerumunan. Seluruh pasang mata langsung tertuju padanya, seperti siap menghujam keluarga yang sedang berduka ini dengan omongan-omongan buruk.

Gara menganggukan kepalanya dengan sopan lalu berdiri di barisan paling belakang. Ada Rasio disana, menunduk dalam dengan tangan mencengkeram keras batu nisan Bunda. Lalu di sebelah Rasio, berjongkok pula Papa yang terlihat berusaha tegar tanpa airmata. Sisanya, Gara tidak kenal semua. Ia tidak terlalu dekat dengan keluarga besarnya.

Sulit dijelaskan bagaimana perasaan Gara melihat Rasio saat ini. Hati kecilnya menyuruh untuk berjongkok di sebelah Rasio dan memberinya kekuatan, tapi akal sehat mencegahnya. Terlalu sulit memposisikan diri sebagai saudara yang baik setelah semua hal yang Rasio lakukan padanya.

Maka Gara tetap berdiri di baris paling belakang seolah-olah ia hanya bagian dari keluarga besar. Tapi ada doa yang dipanjatkan Gara saat tanah merah menutup tubuh Bunda, ada duka mendalam yang susah payah tidak diperlihatkannya, dan ada rasa rindu pada Bunda yang meraung-raung menuntut agar didengarkan.

Tapi hingga sudah tertancap nisan disana, Gara tak berani mendekat. Ia baru bergerak saat kerumunan sudah bubar dan hanya menyisakan Rasio dan Papa.

"Yo," Gara memanggil.

Rasio memutar badan, dan inilah pertama kalinya Gara tak merasakan kebencian yang meluap-luap pada saudaranya itu. Mata Rasio sembab, wajahnya terlihat lelah dan tak bertenaga.

Gara mendekati Rasio kemudian dengan sangat hati-hati berjongkok disampingnya. "Gue dari tadi di belakang, Yo. Maaf," ucapnya lirih yang sayangnya tidak menghasilkan respon apapun dari Rasio.

Tatapan Gara kemudian beralih pada Papa yang masih berdiri sambil bersedekap. Pria itu tak menunjukkan air matanya, sehingga Gara tidak tau bagaimana ia harus memulai mengajaknya bicara. Semenjak tau Bunda sakit, sikap Papa pun sedikit berubah. Pria itu tak banyak menunjukkan emosinya dan tidak lagi bersusah payah menyatukan Gara, Rasio, dan Yura. Selama ini Papa seperti berada dalam penantian, selalu siap jikalau ada hal buruk yang menimpa keluarganya lagi.

"Kuat, Pa... kuat," Gara berbisik meski dadanya pun nyeri sekali.

"Papa ini dosa apa, ya, Gar?" itu kalimat pertama yang diucapkan Papa saat bertemu mata dengan anaknya.

Gara segera merangkul Papa untuk kemudian merasakan bahu pria itu bergetar. Saat itulah Gara tertipu oleh asumsinya sendiri. Papa ternyata tidak sekuat yang ia bayangkan. Papa menangis.

"Dosa Papa apa, Gar?" pertanyaan itu diulang dengan nada yang amat memilukan.

"Tuhan lebih sayang sama Bunda, Pa. Itu aja," Gara mendapati suaranya juga bergetar. "Tapi sebelumnya, Bunda dititipin ke Papa karena Tuhan tau Papa bisa jagain Bunda."

Ironis bahwa perkataan ini datang dari mulut anak laki-laki yang pernah membenci Bunda, yang pernah menertawakan usaha wanita itu untuk menciptakan keluarga harmonis di rumah.

"Gara sayang Bunda, Pa... sayang banget. Maaf kalau selama ini Gara kabur terus dan nggak bisa jagain Bunda," Gara membiarkan dirinya dikendalikan hati kecilnya, satu-satunya yang menjadi alasannya untuk tetap menjadi manusia. "Gara minta maaf karena nggak pernah dengerin omongan Bunda. Gara minta maaf karena pernah nggak suka dengan kehadiran Bunda di rumah. Gara minta maaf, Pa. Gara pengen ketemu Bunda... Gara pengen liat Bunda, Pa."

Belasan tahun yang lalu, Gara pernah menangis sejadi-jadinya karena untuk pertama kalinya terjatuh dari sepeda. Kemudian Papa datang dan meraup tubuh kecil Gara dalam pelukannya. Saat ini Gara merasakan pelukan yang sama seperti waktu itu, pelukan Papa yang sudah ia lupakan bagaimana rasanya. 

"Lo bener, Gar. Tuhan lebih sayang Bunda daripada kita."

Gara melepaskan pelukannya dari Papa dan menyadari Rasio sudah berdiri di sampingnya dengan tatapan kosong. Untuk sekejap Gara dibuat lupa bahwa orang inilah yang semalam memukulinya bak kesetanan dan meneriakinya agar cepat-cepat mati. Rasio di hadapannya saat ini adalah manusia yang nyaris tak hidup.

"Sini, Nak," Papa menyuruh Rasio mendekat, kontras dengan bagaimana semalam Papa menarik tubuh anaknya tersebut dengan kasar usai memukuli satu anaknya lagi.

Gara mundur, membiarkan momen dua orang itu berlangsung selama beberapa saat.

Rasio memeluk Papa erat, menumpahkan kesedihannya disana. Gara tak berani mendekat karena detik-detik ini hanya untuk Papa dan Rasio, dua pria yang menghabiskan waktu lebih banyak dengan Bunda daripada dirinya.

Gara akhirnya memilih mendekati pusara Bunda. Tangannya terulur untuk mengusap nama Bunda sembari bibirnya menggumamkan penyesalan yang hanya dapat didengar oleh telinganya sendiri. Gara menangis sejadi-jadinya hingga fisiknya terasa diperas habis-habisan, menangisi penyesalan yang selalu datang terlambat.

Papa, Rasio, Gara, tiga orang pria yang baru saja ditinggalkan wanita yang sama-sama mereka sayangi. Entah akan menjadi apa nantinya keluarga ini tanpa Bunda. Selama ini, sejauh yang Gara ketahui, cuma malaikat bernama ibu itulah yang bisa mendekatkan Papa, Rasio, dan dirinya.

----

Prediksi Gara bahwa keluarga ini tidak akan baik-baik saja pasca meninggalnya Bunda memang terbukti. Seminggu kemudian Papa pergi ke luar kota, tak memberikan jeda bagi dirinya untuk berduka cita. Rasio entah kemana, mungkin lebih suka menguras sisa-sisa kesedihannya seorang diri. Sementara itu Gara memutuskan kembali ke studio Frou untuk mengurung diri, lagi.

Ruangan pengap yang pernah nyaris merenggut kewarasannya ini akhirnya kembali menjadi rumah. Tidak ada foto Bunda, tidak ada foto keluarga, pokoknya tidak ada yang mengingatkannya pada keluarganya yang sedang terpilah-pilah. Gara menghabiskan beberapa hari di studio pasca Bunda meninggal, mencoba merangkul kembali kesepian dan kesendirian yang semakin familiar untuknya.

Tapi ternyata bukan hanya Gara yang menganggap studio Frou jauh lebih baik daripada rumah. Pukul sebelas malam, ketika Gara sedang menikmati rokok kesekian di hari ini, pintu studio diketuk.

Gara beranjak dari sofa untuk membuka pintu. Lantas saat pintu terkuak, betapa terkejutnya ia ketika melihat Rasio berdiri disana.

Dalam situasi normal, Gara pasti akan langsung mengusir Rasio dari teritorialnya. Tapi kali ini tidak, Gara hanya memandang Rasio penuh tanda tanya.

"Gue boleh numpang disini?"

Alis Gara terangkat. Rasio sepertinya mulai tak waras, sama sepertinya.

"Gue nggak bisa tidur di rumah," Rasio melanjutkan. Sepasang mata yang kosong itu masih sama seperti saat pemakaman Bunda. "Dan nggak ada siapa-siapa disana. Gue nggak bisa pulang ke rumah Jakarta karena nggak pegang kunci."

Gara memindai Rasio dari ujung rambut hingga ujung sepatu kemudian kepalanya terangguk satu kali. "Masuk," perintahnya.

Mata yang kosong itu melebar, dan Gara makin kebingungan apa benar ini Rasio atau hanya ilusi akibat terlalu lama terpenjara di dalam studio.

"Gue tau lo selama ini di studio, Gar."

Rasio masih berdiri di dekat meja siaran ketika Gara sudah sibuk membereskan sofa dan karpet dari barang-barangnya. Kemudian saat Gara balik badan, senyumnya terangkat sinis.

"Duduk. Biasanya juga lo langsung duduk di sofa, kan?" tembaknya.

Rasio terlihat sangat canggung. Sekilas ia tampak kembali menjadi Rasio saat pertama kali berkenalan dengan Gara, bukan Rasio yang seenaknya keluar masuk studio bahkan sampai ikut siaran bersama Gendis.

"Mau tidur di karpet apa di sofa?" tawar Gara, mengabaikan atmosfir kecanggungan yang semakin menyiksa.

"Disitu aja," Rasio menggerakkan dagunya menunjuk meja siaran.

"Jangan, itu wilayah gue sama Gendis," sahut Gara ringan. "Pilihannya di karpet atau sofa."

"Karpet."

Gara mengangguk mantap lalu kembali sibuk membersihkan sofa dan karpet, sama sekali tak mau mencoba peruntungan berbasa-basi dengan Rasio. Kalau ditanya mengapa ia mau menerima Rasio di studio, jawabannya adalah karena ia tidak menemukan lagi hal yang bisa dijadikan bahan perseteruan.

Mau memperebutkan apalagi? Keluarga? Gendis? Frou? Bunda? Bukankah semuanya sudah diambil Rasio? Paling-paling Gara masih kesal karena badannya sakit semua digebuki Rasio. Tapi ia bisa memberikan perlawanan apa? Toh mau melakukan apapun, dunia tampaknya akan selalu berpihak pada saudaranya itu.

Gara sudah duduk di atas sofa ditemani sebatang rokok. Asap yang menyesakkan kembali mengepul di ruangan pengap ini, tapi Gara tidak peduli.

"Rokok, Yo?" tawar Gara.

Rasio yang sedang menepuk-nepuk jaketnya untuk dijadikan alas tidur hanya memberikan gelengan.

"Kenapa? Berhenti?"

"Enggak," kali ini Rasio menjawab. "Masih."

"Bagus, deh. Gitu emang hidup, Yo. Nggak usah nahan sesuatu yang bikin lo seneng walaupun sesuatu itu bikin lo cepet mati."

Rasio menoleh, terlihat terkejut dengan bagaimana entengnya Gara bersuara.

"Om Arifin kapan balik dari Riau?" tanya Rasio kemudian dengan suara pelan.

"'Om Arifin'?" Gara setengah tertawa, mungkin hampir menggelegak sedih lagi kalau ia tidak bisa mengontrolnya. "Mana gue tau. Dia lagi nangis-nangis kali disana. Heran gue, ditinggal istri malah tetep kerja."

Sesaat Rasio diam, kemudian wajahnya terangkat lagi. "Jadi gini cara lo ngadepin kesedihan, Gar?" tanyanya.

"Maksudnya?" Gara mencondongkan badan.

"Semua dianggap serba enteng," sahut Rasio lagi.

Barulah Gara mengerti bahwa Rasio tengah membahas intonasi bicara serta kata-katanya yang berbeda daripada biasanya. Senyum Gara terangkat samar dan ia mengangguk mengiyakan.

"Masa-masa sedih udah gue alami dari lama, Yo. Gue udah terlatih buat bersikap bodo amat," ujarnya seraya turun dari sofa dan duduk bersila di samping Rasio.

"Sikap bodo amat lo itu kelewatan."

Gara berdecak dan menepuk-nepuk bahu Rasio dengan akrab. "Inget, lo disini numpang. Nggak bisa dikit-dikit marahin gue," ia berkata ketus. Tapi kemudian ia menghela napas panjang dan tatapannya terarah pada lantai. Lama, ia menimbang-nimbang haruskah ada forum yang dibuka disini.

Sejujurnya sudah lama Gara ingin meluruskan segala sesuatunya dengan Rasio. Mau sebenci apapun pada Rasio, toh Gara tetap tidak mendapatkan apa-apa, kan? Gara cuma ingin hidupnya tenang kembali, entah dalam keadaan akur dengan Rasio atau tidak.

"Mungkin ini waktunya kita jujur, Yo. Cerita apa yang mau kita ceritain tanpa saling benci," Gara akhirnya memuntahkan juga sesuatu yang telah dipendamnya sejak tadi. Mumpung Rasio disini. Mumpung Rasio sedang tidak punya kekuatan untuk menyudutkannya.

Sayangnya beberapa saat setelah Gara berkata demikian, justru keheningan yang terjadi. Selama menit-menit yang berlalu tak berguna itu, Gara sibuk mempertanyakan benarkah langkah yang ia ambil.

"Gue nerima lo disini bukan buat diem-dieman, Yo," Gara mendesak tak sabar.

"Gue kesini emang mau ngobrol sama lo," Rasio akhirnya buka suara. "Bukan sekedar nggak betah di rumah."

Jawaban yang mengejutkan. Seharusnya dari awal Gara tau kalau Rasio tidak mungkin mengenyahkan gengsinya hanya karena alasan tidak betah di rumah. Rasio bukan tipe orang yang mau dianggap lemah. Pasti tujuannya kesini karena ada yang ingin ia lantangkan.

Gara menunggu apa saja yang akan mereka bicarakan malam ini. Mengherankan betapa Gara bisa menunjukkan sisi tenangnya di depan Rasio, tapi terperosok dalam kesedihannya saat sendirian atau di depan Gendis. Gara juga baru menyadari betapa lihainya ia menghadapi berbagai persoalan pelik yang menghantam hidupnya.

Dan Niagara masih hidup, malah sekarang berusaha berbaikan dengan Rasio yang telah merenggut semua hal yang dimilikinya.

Pada mulanya Rasio tidak bersuara, hingga Gara terpaksa harus bermonolog ria demi mencegah pikiran negatifnya datang lagi. Tapi akhirnya Rasio berbicara, menandakan malam ini akan sangat panjang bagi dua bersaudara itu.

"Gue tau suatu saat Bunda bakal nggak ada. Tapi nggak secepat ini," Rasio memulai. Tatapan mengawang-awang itu muncul lagi. "Bunda emang sakit, jauh sebelum Bunda ketemu Om Arifin. Makanya waktu mereka nikah, gue nggak bisa menentang walaupun sebenernya gue nggak setuju. Mungkin sama seperti bokap lo, Bunda juga butuh seseorang yang bisa redain capeknya dia."

"Papa," Gara memotong datar. "Biasanya juga lo manggil bokap gue Papa, kan?"

Rasio menggeleng dan hanya tersenyum simpul.

"Gue bukan anak baik, Gar. Gue cuma bisa jadi anak baik di depan Bunda, tapi di depan orang lain gue nggak bisa. Ada bagian dari diri gue yang diambil waktu orang tua kita nikah, dan gue nggak bisa nerima itu," Rasio menjeda, sorot matanya kian berbicara.

"Lo pikir gue baik-baik aja waktu ada orang asing masuk di rumah gue?" Gara justru bertanya.

Rasio mengedikkan bahu. "Tapi lo punya segalanya, Gar, dan pernikahan orang tua kita nggak penting-penting banget kecuali buat kebahagiaan mereka. Bagi gue, paling gue jadi bisa ngerasain fasilitas mewah di rumah lo, udah itu doang. Hal-hal lain nggak ngaruh di hidup gue. Dan ya... masuk ke rumah orang lain juga bikin gue nggak baik-baik aja."

Gara menyalakan rokok lagi. Sial, obrolan ini jauh lebih serius daripada yang ia kira.

"Tapi yang bikin gue iri adalah lo punya Gendis, perempuan terbaik di dunia selain Bunda. Waktu pertama ketemu lo berdua, gue langsung tau Gendis adalah orang terdekat lo, dan dari situ juga gue jadi pengen punya seseorang yang paham situasi gue. Selama ini gue sendirian, nggak punya temen, hidup cuma buat Bunda dan pekerjaan. Jadi begitu ketemu Gendis, gue tau kalo ada banyak hal yang bisa gue dapetin begitu gue dekat dengan dia."

Gara terperangah, tak menyangka bahwa perbincangan ini menyeret Gendis. Kalau prediksi Gara benar, maka bisa saja perseteruan ini akan menempatkan Gendis sebagai pusatnya.

"Gue yang dari awal nggak pernah suka sama lo dan Om Arifin, akhirnya berusaha untuk ngambil salah satu sumber kebahagiaan lo," ujung bibir Rasio terangkat. "Gendis. Atau bahkan cuma dia satu-satunya sumber kebahagiaan lo?"

Gara tidak perlu memberikan jawaban kalau Rasio sudah tau jawabannya.

"Sama seperti Bunda yang butuh Om Arifin selama sakit, gue juga butuh Gendis selama ngerawat Bunda. Makanya gue setengah mati menjauhkan lo dari Gendis karena gue pengen dia cuma buat gue," Rasio menatap Gara tanpa rasa takut sedikit pun.

Gara tak mampu lagi berkata-kata. Meski dari awal ia sudah tau Rasio punya alasan kuat untuk mendapatkan Gendis, tetap saja alasan yang keluar dari mulut saudaranya itu puluhan kali lipat mengejutkan.

Rasio juga mengatakan bahwa tadinya ambisi dia hanyalah merebut Gendis. Tapi setelah tau bahwa kehilangan Gendis juga mempengaruhi tatanan hidup Gara, Rasio semakin yakin bahwa ia bisa menjatuhkan eksistensi dan mengubur rasa percaya diri Gara dalam-dalam.

Nyatanya Rasio berhasil, Gara pernah tidak mengenali dirinya sendiri karena terlalu banyak gempuran yang ia dapatkan dari saudara tirinya itu. Saat inipun ketika Gara hampir mengira ia bisa menghadapi Rasio dengan dominansinya, ternyata tetap saja sisi lemahnya terguncang juga. 

"Lo kalo kesini cuma buat ngomongin hal nggak penting, mending keluar," ucap Gara sembari setengah mati menahan sesak di dadanya.

Rasio menggeleng, senyum sinisnya terangkat. "Bukannya tadi lo yang mulai duluan, ya? Gue cuma ikut ke arah mana pembicaraan kita," tuturnya ringan. "Atau lo sebenernya nungguin pengakuan lain dari gue? Hm? Lo pengen gue minta maaf? Gue nangis-nangis di depan lo? Atau apa?"

"Sakit ya lo!"

Rasio mengiyakan makian Gara lewat anggukan kepalanya. "Dan realistis, bisa manfaatin situasi, dan licik," imbuhnya. 

"Bunda bakal ngomong apa kalo tau anaknya kayak gini, hah?"

"Jangan bawa-bawa Bunda!"

"Bunda pasti kecewa sama lo, Rasio! Lo bukan anak penurut yang selama ini Bunda tau. Lo licik, lo sadis."

"Gue bilang sekali lagi jangan pernah bawa-bawa Bunda!"

Sudah tidak ada yang duduk di atas karpet saat ini. Gara dan Rasio bangkit berdiri, saling melempar kebencian satu sama lain untuk kesekian kalinya.

"Ini anak kesayangan Bunda?" tantang Gara. "Bahkan lo nggak pantes ada di pemakaman Bunda, Yo. Nangis-nangis.... minta maaf ke Papa.... buat apa, hah? Lo pikir Bunda sudi dianterin ke pemakaman sama anak nggak tau diri kayak lo?"

Rasio melangkah mundur, sama sekali tak memberikan perlawanan apa-apa.

"Ini anak kesayangan Bunda yang mau bunuh gue, hah? Ini anak kesayangan Bunda yang mukulin gue dua kali??? Ini anak kesayangan Bunda?! Iya?!!" suara Gara memantul pada setiap dinding studio. "Maju, Yo! Jangan malah mundur! Lo udah menang! Lo udah dapet semuanya! Gue tau lo bisa ngerusak hidup gue jauh lebih parah daripada ini! Maju, Yo!"

Kalau Rasio bisa menghancurkan hidup Gara separah ini, maka Gara juga bisa meremukkan tubuh Rasio di depan matanya. Lalu... lalu mungkin Gara akan menghancurkan tubuhnya sendiri.... lalu baik Gara dan Rasio akan menyusul Bunda.

Sesederhana dan seadil itu. 

Nantinya studio Frou akan ramai dan diliput media massa sebagai tempat dimana dua bersaudara saling membunuh. Gara bisa membayangkan ia menjadi tersangka, tapi aparat tidak bisa menindaknya karena ia sudah tidak bernyawa.

Gara mulai kehilangan kendali dan hanya mampu membayangkan wajah Bunda saat pintu tiba-tiba terbuka dengan dorongan yang amat kasar.

Bam berdiri di sana dengan raut marah luar biasa. Tapi bukan itu yang membuat Gara dan Rasio menoleh terkejut, melainkan sosok Gendis yang berdiri di samping Bam.

Gendis yang menghilang setelah mengantarkan Gara ke pemakaman.

"Jangan masuk, Dis..." Gara memperingatkan. "Jangan ikut campur."

Gendis tak gentar. Ia masuk ke studio dan berdiri di antara Gara dan Rasio.

"Gue bilang jangan ikut campur, Dis. Ini urusan gue dan Rasio," setengah mati Gara menurunkan intonasinya agar Gendis mau mengerti.

Gendis menggeleng kuat-kuat. Ia tau bahwa sekeras apapun Gara atau Rasio menahannya untuk ikut campur, mereka tidak bisa mengusirnya. Ada semacam kendali tak kasatmata yang Gendis miliki terhadap Gara dan Rasio, dan ia bisa menggunakannya kapanpun ia mau.

"Mau sampai kapan kayak gimi terus?" Gendis menatap Gara dan Rasio bergantian. "Kalian tuh maunya apa, sih? Pernah mikir nggak berantem kayak gini tuh nggak ada gunanya? Pernah mikir nggak kalo nggak ada yang bisa diubah walaupun salah satu dari kalian merasa menang?"

"Dis," Rasio bergerak, berniat menarik mundur Gendis.

"Apa, sih, Yo? Kamu mau aku di pihak kamu? Sayangnya nggak bisa!" Gendis menepis tangan Rasio lalu menatapnya tajam.

"Dis, udahlah!" giliran Gara berseru. "Nggak ada gunanya lo dateng kesini. Lo cuma memperburuk keadaan. Lo nggak ngerti situasinya!"

Gendis kali ini menoleh pada Gara. Tatapan lembut yang selalu ia berikan pada Gara, terutama sejak Bunda masuk rumah sakit, hilang tak berbekas saat ini. Yang ada hanya sorot menantang, menandakan bahwa gadis itu tidak takut pada apapun yang Gara katakan.

"Kamu yang nggak ngerti!" Gendis balas berseru. "Kamu nggak pernah tau mau kamu tuh apa! Yang ada di kepala kamu cuma benci ke Rasio. Kamu udah nggak bisa mikir jernih. Kamu cuma dikendaliin sama amarah kamu, Gara. Kamu nggak pernah mau belajar dewasa!"

"Lo nggak bisa salahin gue, Dis. Lo tau semua cerita gue kan? Lo tau apa aja yang Rasio udah lakuin ke gue, kan?"

"Kalo aku tau, terus kenapa? Kamu mau aku ngelakuin apa lagi, hah? Aku nggak bisa ngapa-ngapain lagi kalo kamu sendiri nggak mau berubah!"

"Rasio bikin gue hampir gila, Dis!"

"Kamu yang bikin diri sendiri jadi gila!"

Detik berikutnya ayunan telapak tangan Gara mendarat keras di pipi Gendis. Telak dan penuh amarah.

"Dis... gue minta maaf..." dengan cepat Gara bersuara. Tangan yang menampar Gendis bergetar, pun dengan tubuh sang pemilik yang terasa disengat.

"Bajingan lo, Gara!" Rasio berteriak tapi tak mampu berbuat apa-apa karena Bam sudah lebih dulu menahan tubuhnya.

"M-maaf, Dis..."

Gendis memegang pipinya. Matanya berkaca-kaca menahan perih sekaligus sakit hati yang seketika menguasai akal sehat dan nuraninya. Namun kepalanya perlahan terangkat kembali, seolah-olah tamparan barusan tidak berarti apa-apa baginya.

Gendis Jingga masih memegang kendali.

Gendis mundur menjauhi Gara sehingga saat ini posisinya tepat berada diantara kedua laki-laki itu. Ia menarik napas panjang lalu menyingkirkan telapak tangannya dari pipi sehingga terlihatlah bercak merah samar bekas satu-satunya kekerasan fisik yang pernah ia dapatkan dari Gara. 

Tapi Gendis tidak pernah ketakutan. Maka dengan tenang ia berucap.

"Gara, Rasio, sampai disini aja aku ikut campur. Setelah ini aku nggak bakal muncul di depan kalian lagi dan kalian bebas ngelakuin apapun. Aku janji nggak bakal pernah kembali ke kehidupan kalian. Janji."

Gara dan Rasio sama-sama kehilangan kemampuan bicara. Kalimat-kalimat Gendis barusan masih sulit mereka cerna. Seperti hanya bentuk amarah sementara dan tidak ada arahnya.

"Tapi kalau boleh bilang satu hal, aku cuma pengen kalian baikan. Itu aja."

Ada tembok yang dibangun tinggi diantara Gara dan Rasio. Tembok itu berduri, kadang dialiri listrik, dan akan membuat siapapun yang berani menyentuhnya tewas di tempat. Tembok itu yang menghalangi Gara dan Rasio dari bertindak rasional, sehingga apapun yang mereka lakukan hanya berasal dari kobaran kebencian yang berputar di tempat yang sama.

Satu-satunya orang yang berani melewati tembok itu hanyalah Gendis, tidak peduli ia tertusuk duri dan tersengat berkali-kali. Gendis berani melakukan apa saja demi membuat Gara dan Rasio menemukan jalan untuk berpikir jernih kembali, meski luka pada tubuhnya semakin tak terkendali.

Sayangnya Gendis sudah menderita banyak luka. Dan sebelum ia tak terselamatkan, ia memilih untuk mengobati dirinya dengan cara mundur sejauh mungkin dari tembok itu. Gara dan Rasio harus menyelamatkan diri mereka sendiri sebelum tembok tinggi itu memenjara mereka selama-lamanya.

----

Author's Note: ya Tuhan.... lama banget ini semua.

P.S: Lagu yang paling tepat untuk mendeskripsikan chapter ini adalah Eleventwelfth - Self Reflecting Room.






























Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 55.6K 25
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
512K 55.8K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
1.1M 43.2K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
1.6M 115K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...