NEVERLAND

By anotherblackspace

19.7K 1.3K 200

Side story of esperanza Tentang Aga dan dunianya, Selamat datang di dunia Aga... More

Aga : Opening
Aga : 1
Aga : 2
Aga : 3
Aga : 4
Aga : 5
Aga : 6
Aga : 7
Aga : 8
Aga : 9
Aga : 10
Aga : 11.1
Aga : 11.2
Aga : 12
Aga : 13
Aga : 13.2

Aga : 14

1.1K 86 15
By anotherblackspace

"Bang, kita mau ke mana?" tanya Aga entah sudah keberapa kalinya sambil menatap ke kanan dan ke kiri. Jalanan yang mereka lalui benar-benar asing. Seingatnya, Aga tidak pernah melewati jalanan ini. Di samping Aga, Shasa tersenyum simpul, tidak sabar menunggu reaksi Aga saat tahu tempat yang akan mereka datangi.

"Abang, kata Miss Anna tuh kalo ada orang tanya harus dijawab. Namanya menghargai yang tanya." Evan tergelak mendengar kata-kata Aga yang meluncur begitu saja selancar jalan tol. Shasa bahkan langsung terbahak mendengar kalimat Aga.

"Kita mau ke Ragunan."

"Apaan, tuh? Mall baru? Kebun buah kayak yang waktu itu?" tanya Aga penasaran. Evan dan Shasa kompak menggeleng. Evan bahkan menatap Aga yang tengah duduk di bangku belakang lewat kaca di depannya dengan tatapan sendu. Merasa bersalah karena hanya bisa mengenalkan Aga pada Mall. Tanpa bantuan Mario, Aga mungkin tidak akan pernah mengetahui kebun buah itu seperti apa.

"Udah, tunggu aja. Pokoknya seru banget di sana. Kita bisa bermain sambil belajar."

Mendengar itu, Aga langsung bersorak senang. Dia mulai bernyanyi mengikuti alunan lagu yang diputar di dalam mobil itu. Shasa dan Evan sesekali juga ikut menyanyikannya sambil mengenang lagu-lagu masa kecil mereka. Aga bahkan sampai bersorak saat lagu kesukaannya, ambilkan bulan, mulai mengalun lembut. Bersama-sama, mereka bertiga menyanyikan lagu itu dengan nada mereka sendiri-sendiri.

"Bang, tadi Aga mimpi indah loh, sebelum Micin teriak-teriak terus gangguin mimpi indah Aga." Aga melirik Shasa kesal, masih ingat bagaimana teriakan Shasa dan guncangan di tempat tidurnya yang akhirnya membuatnya harus merelakan mimpi indah miliknya. Mood-nya langsung hancur. Dia bahkan langsung menangis. Untung Evan datang dan menenangkannya, lalu mengajaknya bermain.

"Mimpi apa emangnya?"

"Mama sama Papa." Senyum di wajah Evan perlahan memudar. Matanya yang sejak tadi berbinar-binar perlahan meredup, sendu. Namun, sekuat mungkin dia menahan itu semua agar Aga tidak melihat perubahan emosinya.

"Oya? Kayak gimana?" tanya Shasa antusias. Sepertinya dia benar-benar tidak melihat bagaimana ekspresi Evan saat ini. Terang saja, Shasa tidak duduk di samping Evan untuk bisa melihat perubahan ekspresi lelaki itu.

"Mama dateng ke kamar aku, usap-usap kepala aku. Terus Papa juga dateng sama bawain mainan baru, banyak banget. Abis itu mereka ajak aku main bareng di halaman rumah, katanya sambil nunggu Abang pulang biar bisa langsung ketemu. Seru banget mainnya, sayang banget pas Abang baru dateng, Micin gangguin sampe aku bangun. Abang jadi gak bisa ketemu Mama sama Papa deh."

Evan menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang tiba-tiba merebak dan berusaha menuruni matanya. Tangannya mencengkeram erat-erat kemudi mobil hingga buku-buku jarinya memutih. Bahkan, dia berkali-kali menarik napas panjang, berusaha mengontrol segala emosi yang menyeruak.

"Bang, mau pup."

"Eh? Bukannya tadi udah?"

"Iya. Tapi kepingin lagi."

"Ya udah, tahan bentar, ya? Di depan ada pom bensin, kok."

"Cepet, Bang. Udah di ujung!"

Begitu mobil yang Evan kendarai terparkir dengan sempurna di pelataran pom bensin, Aga langsung berlari ke kamar mandi diikuti Shasa yang membawa tissue, sabun cuci tangan dan hand sanitizer untuk Aga. Di belakangnya, Evan tampak berjalan lunglai. Emosi aneh masih menyelimuti perasaannya.

"Kenapa, Van?" Evan menggeleng, mencoba untuk tidak melibatkan Shasa dalam pergolakan emosinya. Namun, tatapan teduh Shasa akhirnya membuatnya menarik napas panjang sebelum air mata bergulir di wajahnya. Evan tiba-tiba menangis dalam diam.

"Kangen, ya?" Shasa bergerak mendekati Evan, menepuk-nepuk punggung Evan untuk membuatnya merasa lebih nyaman. Tanpa sadar, Evan menarik Shasa dalam pelukannya, meluapkan perasaannya dalam pelukan itu dan menangis keras.

"Gue cuma berharap, mereka datang sekali aja dalam mimpi gue. Gue mau liat senyum mereka lagi."

🐭🐰🐭🐰🐭🐰🐭🐰

"Yuk, turun! Kita udah sampai!" ajak Evan dengan tangan terulur. Dia bahkan sudah membukakan pintu mobil untuk Aga, tapi adiknya itu tidak juga bergerak dari tempatnya. Pandangan Aga mengedar ke sepenjuru tempat itu. Keringat dingin mendadak keluar, dia mulai tidak nyaman dengan semua itu. Shasa yang belum keluar dari mobil akhirnya menurunkan kaca mobilnya, menatap ke arah yang sama seperti yang tengah Aga lihat. Dia akhirnya mengerti kenapa Aga bersikap seperti itu.

"Tenang aja. Ada Abang sama kakak! Kalo Aga takut, anggap aja mereka Bunny raksasa, atau badut?"

"Tapi nanti janji digandeng terus tangannya, ya?"

"Iya."

"Berdua?"

"Iya. Yuk?" Aga menimbang-nimbang lagi. menatap Shasa dan Evan bergantian sambil memelintir telinga Bunny sampai akhirnya dia mengangguk dan meraih tangan Evan yang sejak tadi terulur padanya. Shasa tersenyum melihat Evan bisa menenangkan Aga tanpa obat-obatan lagi. Dia segera menyusul keduanya dengan tas ransel bergambar doraemon yang penuh dengan camilan Aga.

"Ragunan itu tempat apa, Bang? Kok banyak gambar binatangnya?"

"Rumahnya binatang. Nanti Aga bisa lihat gajah, harimau, ular, penguin, banyak deh."

"Oya? Wah, asik!" Aga melompat-lompat kesenangan, persis anak kecil dengan tubuhnya yang sudah remaja. Orang-orang banyak yang menatap Aga, merasa aneh dengan sikap Aga. Namun, tidak ada satupun yang mengeluarkan sindiran pedas untuknya dan Evan sangat bersyukur untuk itu, jadi dia tidak perlu menjelaskan kondisi Aga pada mereka.

"Pertama kita ke mana dulu?" tanya Shasa kebingungan. Di tangannya terdapat peta khusus tempat ini yang dia minta langsung dari petugasnya. Dia menunjukkannya pada Evan, meminta pertimbangan Evan.

"Ini aja dulu kali, ya? Lebih deket." Evan menunjuk jalan yang dia maksud dengan telunjuknya, tapi sebelum Shasa mengiyakan saran Evan, lelaki itu sudah menggandeng tangan Aga dan berjalan menuju tempat yang dia maksud.

"Van, jangan ke sana. Yang lain aja, ya?"

"Kenapa? Bagus, kok."

Perdebatan kecil terjadi di antara mereka meskipun kedua kaki mereka terus melangkah menyusuri jalan hingga tanpa sadar mereka sudah berada di depan kandang ular. Shasa langsung bergidik ngeri melihat ular bertubuh besar dan panjang itu melata sambil menjulur-julurkan lidahnya.

"Wah, kulitnya bagus, ya? Kayak ikat pinggang yang Abang punya. Tas Tante Genit juga ada yang kayak gini, kan?" tanya Aga, tiba-tiba teringat dengan dua barang bermotif sama seperti kulit ular yang tengah dia lihat.

"Iya, bener. Ingatan Aga kuat, ya? Padahal kita berdua Cuma pernah pakai itu sekali."

"Tapi Bang, kalo kulitnya Abang ambil buat bikin ikat pinggang sama tas, mereka harus dibunuh dulu, dong? Nanti kalo punah kayak dinosaurus gimana?"

"Nah, makanya itu ada penangkarannya sekarang. Terus pengrajin tas sama ikat pinggang sekarang pakai kulit ular yang mati secara alami, bukan dibunuh cuma buat diambil kulitnya aja. Selain itu juga ada yang imitasi."

"Tapi masih banyak juga 'kan yang sengaja dibunuh buat ambil kulitnya? Aga pernah liat di tv."

"Iya. Itu orang-orang yang gak bertanggung jawab, tuh. Kalo ketahuan bisa dipenjara."

"Kasian ularnya."

Aga masih terus menikmati melihat ular yang bergerak dengan pelan di atas ranting. Melilitkan tubuhnya dengan bebas sambil menjulur-julurkan lidahnya. Sebenarnya Aga ingin melihat mereka makan, tapi bukan waktunya si pawang ular memberi mereka makan.

"Van, udahan yuk? Udah panas-dingin nih gue di sini." Evan menatap Shasa sambil menahan senyum. Dia jadi ingat kalau gadis yang tengah bersembunyi di balik punggungnya ini sangat takut dengan ular. Bahkan, dulu saat mereka masih SMA, Evan pernah menakut-nakutinya dengan ular mainan sampai menangis dan hampir pingsan.

"Ga? Udahan ya lihat ularnya? Kita ke tempat lain lagi. Masih banyak nih yang belum kita lihat."

"Yuk!"

Aga semakin riang menuju tempat ke dua. Dia sepertinya sudah melupakan ketakutannya pada tempat ramai, padahal tempat ini jauh lebih ramai dari pintu masuk yang sempat membuat Aga berkeringat dingin tadi. Aga membelalakkan matanya saat mendengar teriakan binatang yang sering dia lihat di tv. Dia langsung berlari mendekati jeruji besi sebagai pelindung mereka.

"Bang, ada George!" teriak Aga sambil menunjuk bayi simpanse yang tengah disusui induknya di dalam jeruji besi. Evan terkikik geli, teringat kartun monyet bernama George yang sering mereka tonton bersama.

"Oiya, bener gak sih Bang kalau manusia itu asalnya dari kera? Miss Anna pernah bilang dulu."

"Kalo kemungkinannya pasti ada, Ga. Tapi kebenarannya, siapa yang tau."

"Mereka pinter, ya Bang?"

"Banget. Hampir sama kayak manusia. Nanti di rumah kita nonton penelitian tentang mereka, ya? Seru-seru loh."

"Iya, Bang! Janji, ya?"

"Iya!"

Aga memuaskan keingintahuannya tentang binatang itu sedikit lebih lama, sesekali bertanya pada Evan sebelum akhirnya menarik tangan Evan untuk berjalan ke tempat lain. Refleks, Evan merak tangan Shasa agar gadis yang tengah asik memandangi bayi simpanse itu tidak tertinggal. Shasa langsung tersadar saat tangan hangat dan kekar milik Evan menggenggam tangannya. Dia menatap dua telapak tangan yang beradu itu lekat-lekat. Tangannya terlihat begitu kecil dibandingkan dengan tangan Evan, tapi entah rasanya begitu pas.

"Oh, maaf. Gue gak mau lo ketinggalan. Susah ntar nyarinya." Evan tiba-tiba melepaskan genggaman tangannya, membuat Shasa menarik napas panjang, kecewa. Dia ingin tangan Evan menggenggamnya lebih lama lagi.

Antusiasme Aga benar-benar luarbiasa. Dia menanyakan apa pun yang terlintas di kepalanya saat melihat binatang-binatang itu berada dalam habitat yang dibuat semirip mungkin dengan habitatnya. Sesekali Shasa membantu menjawab saat Evan harus membalas pesan dari Bella, Marcel atau klien bisnisnya.

"Micin, haus!" teriak Aga sambil memegangi tenggorokannya. Shasa memintanya menunggu, dia menurukan tas ransel yang sedari tadi dipunggungnya, mengacak-acak isinya untuk mendapatkan air minum yang Aga mau. Evan tersenyum tipis melihat Aga yang asik menggoda burung. Tangannya kembali merogoh saku celananya, mengambil ponsel yang sebenarnya baru saja dia masukkan. Dia harus membaca jadwal baru yang Bella kirimkan, penting, perubahan rencana.

"Siapa lo?!" Aga langsung terlonjak kaget, apalagi saat merasakan tangannya terhempas dengan kasar. Dia menoleh ke belakang. Pandangannya langsung berubah kaget, takut juga. Di belakangnya, bukan Evan yang selama ini dia gandeng, tapi pria bertubuh tambun dengan kumis tebal. Aga ketakutan, bibirnya meracau, memanggil Evan dengan tubuh gemetar. Tangannya memeluk Bunny di depan dada, bahkan sekarang dia sudah berjongkok di pinggir lorong sambil terus meracau.

"Dasar idiot!" ucap orang asing itu sebelum berlalu pergi, meninggalkan Aga sendirian di tengah keramaian.

Aga semakin ketakutan. Orang-orang di sekitarnya berubah menjadi sangat menyeramkan. Masih mempertahankan posisi jongkoknya, Aga menjepit Bunny di antara paha dan dadanya sambil menutup kedua telinga. Ia mulai histeris, panggilannya pada Evan berubah lirih saat tangis ketakutan semakin menguasainya. Setiap ada orang yang berusaha menyentuhnya, Aga pasti berteriak-teriak ketakutan, membuat orang-orang di sana akhirnya berkumpul mengelilingi Aga yang membuatnya semakin takut.

"Maaf pak, sebaiknya jangan disentuh, anak ini sangat ketakutan. Lagi pula, sepertinya dia berbeda," tegur seorang wanita berusia pertengahan 40-an, mencegah seorang laki-laki yang berusaha menyentuh Aga. Laki-laki itu menurut dan menatap Aga nanar. Dia mengamati Aga lekat-lekat dan baru menyadari keanean sikap Aga.

"Autis, ya?" tanya orang lain yang juga ada di sana. Wanita itu mengangguk membenarkan. Beberapa orang terkesiap kaget, kasian dengan Aga yang terpisah dengan keluarganya, padahal kondisinya seperti ini.

"Boleh minta tolong ada yang pergi ke ruang informasi? Biar diumumin kalo dia ada di sini. Keluarganya pasti lagi kelimpungan nyariin. Terus yang lain, tolong jangan bergerumbul, ya? Sepertinya dia takut keramaian." Orang-orang yang ada di sana menurut. Hanya tersisa wanita itu di depan Aga. Perlahan wanita itu berjongkok, menyamakan posisinya dengan Aga.

"Hei, anak manis! Siapa namamu, nak? Boleh ibu berkenalan?" tanya wanita itu lembut, mencoba mengambil perhatiaan Aga. Aga terus menangis histeris, bahkan semakin histeris saat wanita itu menyentuh tubuhnya.

"Ibu bukan orang jahat, kok. Eh, ibu punya cokelat buat kamu, mau?"

Aga perlahan menghentikan tangisnya, membuat wanita itu tersenyum senang karena sudah bisa mengambil hati Aga. Apalagi saat melihat Aga mengangkat kepalanya yang sejak tadi menempel di lutut. Wanita itu menyodorkan cokelat pada Aga sambil tersenyum.

"Mau?" tawar wanita itu. Aga mengangguk, tapi secepat kilat menggeleng lagi.

"Loh, kenapa?"

"Kata Abang gak boleh nerima makanan dari orang yang Aga gak kenal," jawab Aga polos, wajahnya penuh air mata. Wanita itu tersenyum mengerti maksud Aga.

"Oke, kalo gitu kita berkenalan bagaimana? Nama ibu, Winda, kamu?"

"Fagan, tapi Abang, Mama, Papa, sama yang lain manggilnya Aga," jelas Aga secara lengkap, hingga membuat wanita itu tersenyum menahan tawa melihat tingkah lucu dan menggemaskan Aga.

"Aga, ya? Namanya bagus. Ngomong-ngomong, sekarang kita udah kenal. Jadi, mau?" tanya wanita itu menawarkan cokelat yang dia bawa sekali lagi sambil tersenyum, sepertinya caranya ini akan berhasil.

"Boleh?" tanya Aga ragu-ragu.

"Boleh, dong! Ini buat Aga, tapi kita duduk dulu, ya? Capek jongkok terus!"

Aga mengangguk singkat, menerima uluran tangan dari wanita bernama Winda itu untuk membantunya berdiri. Meskipun begitu, dia masih memeluk Bunny dengan erat. Wanita itu mengulurkan tangan, meminta Aga menggenggam tangannya dan berjalan menuju bangku di bawah pohon rindang tak jauh dari mereka.

Aga menikmati cokelat itu setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih. Winda tersenyum sambil mengangguk, senang karena Aga menyukai cokelat pemberiannya. Keduanya duduk cukup lama, mendengarkan pengumuman anak hilang dengan ciri-ciri persis seperti Aga, sepertinya laki-laki yang tadi bersedia memberitahu pihak keamanan tentang posisi Aga belum sampai ke sana.

"Aga, boleh ibu lihat gelang Aga? Kok bagus banget gelangnya?" tanya wanita itu yang sejak pertama melihat Aga dia sudah tertarik dengan gelang itu. Aga mengangguk, menyerahkan gelang yang melingar di tangannya dengan santai sambil menggigit cokelat di tangannya.

🐭🐰🐭🐰🐭🐰🐭🐰

Di lain tempat, Evan yang menyadari Aga menghilang langsung menghubungi pihak keamanan, memberikan data lengkap beserta ciri-ciri fisik Aga agar semua orang bisa membantunya menemukan Aga. Dia sudah berkeliling tempat yang tadi dia datangi dengan Aga, tapi adiknya itu tidak juga ketemu. Di sampingnya, Shasa tidak hentinya menangis. Dia benar-benar merasa bersalah karena lalai menjaga Aga, terlebih karena Evan tidak memarahinya. Dia hanya menatapnya penuh rasa kecewa tanpa mengatakan apa pun.

Pengumuman tentang hilangnya Aga sudah diumumkan sejak tadi, dan petugas Ragunan berjanji tidak akan menghentikan pengumuman sampai Aga ketemu. Sekarang, setelah hampir satu jam dan pengumuman itu belum juga berhenti. Evan sudah sangat frustasi. Pakaiannya sudah acak-acakan, begitu juga dengan Shasa.

"Mas!" teriak seseorang dari arah belakang. Shasa mendengarnya, dia langsung berbalik, tapi tidak dengan Evan. Dia terus berjalan dengan tergesa sambil meneriakkan nama Aga.

"Mas, tunggu mas!" Laki-laki itu mengejar Evan, bahkan hingga menabrak punggungnya agar Evan berhenti berjalan. Sukses. Evan menghentikan langkahnya dan langsung menoleh dengan ekspresi marah.

"Saya tau di mana adik anda sekarang. Tadi saya ketemu dia, ketakutan gitu sambil nangis histeris. Ayo ikut saya." Laki-laki itu menyelesaikan kalimatnya tepat sebelum Evan mengeluarkan amarahnya. Evan langsung menatapnya dengan tatapan berbeda. Dia mengangguk, berlari mengikuti laki-laki yang sekarang sudah berlari mendahuluinya. Di belakangnya, Shasa mengekor sambil mengucap syukur berkali-kali

"Aga!" teriak Evan begitu melihat Aga duduk di bangku sambil memakan cokelat.

"Abang!" Aga langsung melompat turun dari bangku dan menangis di pelukan Evan.

"Abang ilang ke mana? Aga takut, Bang!" lanjut Aga.

"Maafin Abang, Ga. Maafin Abang," sesal Evan.

"Ibu siapa?" tanya Shasa saat menyadari ada orang lain di samping Aga. Wanita itu tersenyum sambil mengulurkan gelang yang tadi dia minta dari Aga.

"Saya Winda. Tadi saya udah coba telpon Mas pake nomer yang ada di balik gelang itu, tapi gak dijawab, mungkin panik nyariin, ya?

"Makasi banyak, ya? Iya, saya gak kerasa tadi hp getar sama bunyi. Panik banget adik saya ilang. Ibu tau sendiri dia berkebutuhan khusus."

"Iya, saya tau. Anak saya juga punya gelang kayak dia. Jadi langsung tanggap kalo ada hal beginian."

"Pantes ibu bisa menangin hati Aga. Biasanya dia susah banget kalo sama orang asing, makasi banyak ya bu?"

"Iya sama-sama. Kalo gitu saya permisi dulu, ya?"

"Iya, Bu. Ga, bilang makasi dulu sama Ibu."

"Makasi Ibu Cantik."

"Sama-sama, Aga ganteng."

"Bang, pulang."

"Iya, ayo pulang."

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

298K 15.4K 46
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
320K 25.6K 21
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
2.3M 147K 45
‼️ NEW VERSI ‼️ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!! "𝓚𝓪𝓶𝓾 𝓪𝓭𝓪𝓵𝓪𝓱 𝓽𝓲𝓽𝓲𝓴 𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓱𝓮𝓷𝓽𝓲, 𝓭𝓲𝓶𝓪𝓷𝓪 𝓼𝓮𝓶𝓮𝓼𝓽𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓹𝓸𝓻...
3.5M 287K 48
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...