Frou

Bởi andihaname

124K 19.5K 5.2K

[SELESAI] Gendis Jingga dan Niagara, dua orang yang mendirikan sebuah radio amatir bernama Frou. Lalu Rasio... Xem Thêm

La Sol El Luna
Light Inside
About a Friend
Bedroom Avenue
I Am You
You and Your Shadows
Farther Than I Might Have Ever Figured
Anaheim
We Don't Have Much to Say
Glitches
False Alarm
Less Afraid
a Lot of Fireworks But I Still Had a Reason to Smile
Oh Well
Words and Stories
If I Could I Would
I Love You But I'm Letting Go
Part of Me, Apart from Me
Let Me Erase You
Ironic
Blue Sky Thinking
Love Is
Self-Reflecting Room
Home
From Satellite
[extra] About Frou Studio
Blurry
La Sol, El Luna (FINAL)
Quite Quiet [EPILOG}

Lost

2.6K 603 277
Bởi andihaname

Gara menekan kuat-kuat Vansnya ke lantai garasi untuk memadamkan bara terakhir di rokoknya. Kemudian dipungutnya lintingan tembakau tersebut untuk kemudian dilempar begitu saja ke arah pagar. Setelahnya ia mencari kunci pintu garasi diantara kunci-kunci lain yang disatukan pada gantungan dompet kunci kesayangannya.

Kedua mata Gara tertumbuk pada salah satu kunci yang diberi gantungan tali sepatu sebagai penanda, mengingat kunci tersebut sangat sering digunakannya dulu. Ide menalikan tali sepatu pada kunci tersebut datang dari Gendis karena Gara seringkali lupa dimana ia menaruhnya. Kalau kunci hilang, Gara tidak bisa masuk ke studio.

Tapi sekarang Gara ingin sengaja menghilangkan kunci tersebut. Kalau Gendis bisa sampai hati tak mau menerima kunci studio miliknya lagi, maka Gara juga bisa menghilangkan kunci yang sama. Supaya tidak ada yang bisa masuk ke studio, supaya Frou terbengkalai selama-lamanya.

Berusaha melupakan masalahnya dengan Gendis dan tidak mau bersedu-sedan di garasi, Gara segera masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi yang dari tadi hanya dipandanginya.

Kedatangan Gara di rumah disambut oleh saudaranya yang sedang berkutat di dapur. Gara melengos dan melangkah cepat-cepat, bermaksud menghindari basa-basi dengan Rasio. Untuk apa sih Rasio masih terjaga menjelang pukul dua malam?

"Kopi, Gar?" sayangnya Rasio lebih pandai berbasa-basi ketimbang Gara. Cowok itu tengah mengaduk kopinya dengan gerakan pelan dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memegang ponsel.

Gara menggeleng. "Nggak. Thanks."

"Gue bikinin."

Gara menggeleng sekali lagi lalu cepat-cepat menaiki anak tangga.

Anehnya, seiring kaki Gara melangkah pada anak tangga, semakin kuat keinginannya untuk berbalik. Suara dentingan sendok dan cangkir masih terdengar, seolah memanggil-manggil Gara untuk turun kembali.

Gara akhirnya menyerah. Ia berbalik cepat-cepat dan masih mendapati Rasio di dapur, kali ini sedang mencuci sendok.

"Jadi? Kalo jadi, gue bikinin. Sekalian," dengan wajah kalemnya, Rasio ngotot menawarkan.

Gara menggeleng. Tangannya terlipat di depan dada. "Kenapa lo nggak bilang?" tanyanya tanpa pendahuluan.

Setelah menaruh sendok di rak piring, Rasio balik badan. "Bilang apa?" ia turut bertanya.

Gara duduk di anak tangga paling bawah dan menatap Rasio penuh tuntutan. "Lo dan Gendis," tembaknya tanpa ragu.

"Oh," Rasio berjalan menuju mini bar dan meletakkan gelas kopinya disana. "Lupa. Kenapa?"

Kemarahan Gara hampir mencapai ubun-ubun. Lagi-lagi ia berhadapan dengan sisi licik Rasio yang tidak akan pernah disadari siapapun kecuali dirinya.

"Gue nggak ngerti kenapa kalian berdua sengaja sembunyi-sembunyi. Kenapa? Takut gue ganggu?" Gara bertanya tenang meski ingin sekali meluapkan kemarahannya.

"Bukan," Rasio menggeleng santai. "Tadinya gue masih mikir-mikir gimana cara bilang ke lo. Tapi karena kelamaan dan lo nggak ngebahas, ya gue lupa."

Gara mendengus. "Gue nggak ngerti cara pikir lo."

"Sama. Gue juga nggak ngerti cara pikir gue," Rasio tersenyum. "Tapi kadang-kadang gue nekat. Kalo gue pengen sesuatu, gue harus dapetin sesuatu itu."

Sebelum Gara sempat membuka mulut, Rasio cepat menyambar.

"Termasuk Gendis. Kita pernah ngomongin ini sebelumnya, kan?"

Gara masih duduk di anak tangga, sementara Rasio sudah menarik salah satu kursi mini bar dan melupakan sejenak kopinya yang masih menguarkan aroma.

"Jangan hakimi gue lah, Gar," Rasio berucap ringan karena Gara terdiam lama. "Gue nggak mau ribut sama sodara sendiri."

"Sodara..." ujung bibir Gara terangkat sinis. "Gue nggak pernah punya sodara."

Mata Rasio melebar samar, cukup menunjukkan ia terkejut dengan kata-kata Gara. Namun detik berikutnya ia mengangguk-angguk. "Gue sekarang tau kenapa Kak Yura sebegitu bencinya ke lo, kenapa Papa nggak mau berurusan panjang sama lo, dan kenapa Bunda gue nggak pernah berani marah ke lo kayak dia marahin gue. Ya karena posisi lo nggak jelas di keluarga ini," ucapan panjang lebarnya menyerang telak.

Kedua tangan Gara yang ditumpu sikunya di atas lutut mengepal kuat-kuat hingga bergetar. Ditatapnya Rasio tajam seakan-akan berniat membunuh saudaranya tersebut hanya dengan tatapannya.

"Jaga omongan lo," Gara berucap serak karena tiba-tiba terasa ada yang menggelegak dari dadanya.

Rasio diam. Punggungnya saja yang menegak.

"Puas jadi anak Papa? Puas bisa naro foto lo di ruang keluarga? Puas lo ambil semua yang gue punya, hah?" kepala Gara terangkat tinggi, matanya berapi-api. "Jangan diem aja! Jawab anjing!"

Rasio berdiri dan balas menatap Gara. Ada sekelebat seruan pada matanya agar Gara tetap tenang, tapi raut gusarnya jauh lebih mendominasi. Ia tidak terima dibentak Gara seperti ini.

"Jaga sikap lo, Gar! Dunia bukan cuma punya lo, jangan egois."

"Lo yang jaga sikap! Tau diri!" Gara mengarahkan telunjuknya pada Rasio.

Rasio tertawa sinis. "Gue tau lo takut. Gue ngancem hidup lo, kan?"

Gara menelan ludah, berharap bisa menelan juga amarahnya kembali. Tapi percuma, satu-satunya yang ingin dilakukannya saat ini adalah membuat Rasio berteriak kesakitan di hadapannya, sama seperti dirinya yang menangis kesakitan saat ditampar keras-keras oleh Yura belasan tahun silam.

Sesuatu itu, yang sudah lama bersemayam di dalam tubuh Gara, rasa-rasanya sudah naik hingga ke pangkal tenggorokan dan siap menyerang Rasio. Namun setengah mati Gara menahan dirinya agar sesuatu itu tidak muncul ke permukaan dan menimbulkan kekacauan di rumah ini.

Kepala Gara seketika terkulai lemah. Sekujur tubuhnya terasa melemas setelah meredam amarah yang siap dimuntahkan dari dalam tubuhnya. Tentu ia tak mau semarah ini, tapi Rasio sudah keterlaluan. Rasio anak baik yang diagung-agungkan keluarga ini tak lebih dari sampah yang seharusnya ada di pembuangan akhir.

Sebelum tak mampu mengendalikan dirinya, Gara cepat-cepat berdiri dari anak tangga dan berbalik meninggalkan Rasio tanpa mengucap sepatah katapun.

Sehancur-hancurnya manusia adalah saat ia merasa tidak dibutuhkan lagi di dunia dan tidak punya siapa-siapa yang memperhatikannya. Lalu karena lelah merasa sendiri, manusia ingin membuang dirinya ke tempat yang tidak bisa dijamah siapapun.

Itu yang Gara rasakan saat ini.

----

Gendis sedang serius mengolah data skripsinya saat layar ponselnya berkedip-kedip. Dengan tangan kiri ia meraih benda itu dan segera menempelkannya di telinga.

"Halo?"

"Kak Gendis!"

Gendis memindahkan ponsel dari telinganya ke depan matanya untuk melihat siapa gerangan sang penelepon. Tidak ada nama, hanya nomor. Tapi dugaan Gendis sangat kuat bahwa yang meneleponnya ini adalah...

"Ini Alika."

Tuh kan benar. Dari suaranya saja sudah ketahuan.

"Iya, Lik? Ada apa?"

Di ujung sambungan yang lain Alika langsung membombardirnya dengan potongan-potongan kekalutan. Gendis mengernyit tatkala mendengar nama Gara keluar dari mulut Alika. Lalu potongan-potongan kekalutan itu akhirnya menjadi informasi yang bisa dimengerti.

"Jadi Gara nggak bisa dihubungi? Belum pulang ke rumah juga?" sambil bertanya demikian, Gendis menutup laptopnya untuk memusatkan fokusnya pada suara Alika.

Alika menjawab lagi. Kalimat-kalimatnya semakin tak jelas karena arah bicaranya makin tak teratur.

"Alika, bentar dong, pelan-pelan ngomongnya," Gendis jadi ikut kalut. "Tenang, ya. Mungkin Gara nginep di Bam atau temen bandnya yang lain? Kamu udah nyoba ngehubungin mereka?"

"Nggak ada, Kak!"

Tuhan.

Seharusnya Gendis tidak sepanik ini. Ia sudah hafal kebiasaan Gara menghilang tanpa jejak. Tapi yang berbeda adalah tidak ada satupun kerabat terdekat Gara yang tau keberadaannya. Biasanya kalau Gara kabur dari rumah, ia mengabari Bam atau Gendis. Kalau Gara kabur dari teman-teman bandnya karena suntuk latihan, ia tetap mengabari Gendis. Selalu berputar seperti itu, tidak pernah benar-benar hilang jejak.

"Bentar, ya, aku coba tanya Rasio."

Tidak ada sahutan dari Alika lagi, padahal sambungan masih berlangsung. Gendis memanggil-manggil nama Alika, mengantisipasi adanya gangguan sinyal. Baru saat Gendis berniat memutus sambungan dan mengulanginya kembali, Alika memanggilnya.

"Aku kira teleponnya putus," Gendis berucap lega. "Bentar ya, Lik, aku--"

"Jangan bawa-bawa nama Rasio, Gara nggak suka," Alika memotong dengan nada ketus.

"Hah?"

Terdengar helaan napas Alika, lalu sambungan kembali terjeda lama.

"Alika?"

"Harusnya Kak Gendis lebih tau kalo Gara benci banget sama Rasio," kata Alika. "Jadi jangan bawa-bawa dia."

Kenapa lagi sih ini? Gendis membatin gemas. Kenapa juga Alika jadi ikut-ikut masalah Gara dan Rasio?

"Sekarang situasinya lagi darurat, Lik. Nggak ada yang tau dimana Gara. Siapapun harus kita tanyain buat dapet informasi," Gendis mencoba berujar sabar.

"Siapapun kecuali Rasio," tegas Alika. "Aku malah curiga Gara kabur karena lagi ada masalah sama Rasio. Masa Kak Gendis nggak tau?"

Gendis menggigit bibir. Bagaimana bisa ia tau kalau tiga minggu terakhir ia sama sekali tak berkomunikasi dengan Gara? Kabar hilangnya Gara adalah kabar pertama yang Gendis dapatkan setelah tiga minggu.

"Tiga minggu ini kita nggak saling ngontak," jawab Gendis akhirnya. "Terakhir aku ketemu dia.... kita bertengkar."

Alika berdecak keras. Tampaknya ia mulai tak sabar. "Tuh kan bener, pasti ada apa-apanya sama Kak Gendis atau Rasio. Masalah kalian bertiga tuh selalu muter-muter disitu."

"Maaf, Lik..." Gendis juga tidak tau kenapa ia meminta maaf. Yang jelas ia tak mau memperpanjang masalahnya dengan Alika.

Alika mengatakan sesuatu lagi, tapi Gendis tak benar-benar mendengarkan. Otaknya sudah berputar keras memikirkan kira-kira kemana perginya Gara. Tidak ada di rumah, tidak ada di kosan Bam atau teman-teman bandnya yang lain, dan tidak ada di studio. Lalu kemana perginya Gara? Keluar kota? Sama siapa? Untuk apa?

Sambungan Gendis dan Alika akhirnya usai diikuti janji-janji Gendis untuk membantu mencari Gara. Gendis pikir setelah tiga minggu memaksakan kesalnya pada Gara, ia bisa marah betulan pada cowok itu. Tapi nyatanya dikabari begini saja sudah membuatnya panik.

Baiklah, hal pertama yang harus Gendis lakukan detik ini adalah menanyakan keberadaan Gara pada Rasio, tidak peduli tadi Alika sudah melarangnya untuk melibatkan Rasio. Gendis justru heran kenapa masalah Gara dan Rasio jadi urusan Alika juga.

Jawaban Rasio tidak memuaskan. Cowok itu tidak tau dimana Gara, bahkan ikut bertanya kemana perginya Gara. Aneh, seharusnya Rasio yang peka lebih dulu karena saudaranya tak kunjung pulang ke rumah.

Gendis menaruh ponselnya di atas meja sembari menghela napas panjang. Pikirannya jadi bercabang kemana-mana pasca mendapat jawaban dari Rasio. Yang tadinya ia hanya memikirkan kemana perginya Gara, sekarang malah ikut memikirkan hal apa yang terjadi di rumah Gara dan Rasio.

Belum lagi kalau dihubungkan dengan larangan Alika tadi. Pasti ada masalah. Pasti ada sesuatu yang tidak Gendis ketahui.

Gendis baru akan memikirkan kemungkinan Gara ada di studio saat baru ingat ia sudah tidak lagi memegang kuncinya. Ah, bodoh!

Karena ia tak memegang kunci, maka ia juga absen dari siaran Frou. Masa iya Gara ke studio untuk siaran lagi? Rasa penasaran Gendis semakin meluber, membuatnya tak tenang mengerjakan olah data skripsi.

Gendis melirik jam dinding. Sudah pukul delapan malam. Haruskah, demi meredam rasa penasarannya, ia datang ke studio meski tak punya kunci?

----

Gendis menjawab rasa penasarannya dengan berdiri di depan pintu studio Frou, malam ini pukul sepuluh malam, dua jam setelah ia mendapat telepon dari Alika dan menimbang-nimbang haruskah ia kesini.

Tidak ada sepatu Gara, harusnya sudah jelas bahwa tak ada pula pemiliknya di dalam. Tapi Gendis tetap berdiri di depan pintu tersebut, menatapnya dalam-dalam seolah berniat melubanginya dengan tatapan.

Gendis akhirnya mengetuk pintu itu. Bukan atas perintah otaknya, melainkan kata hatinya. Entah mengapa ia menolak beranjak dari depan pintu dengan tetap berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang bisa didapatkannya dari balik pintu tersebut.

"Gara..." panggil Gendis pelan, takut ada yang menertawainya karena mengetuk pintu ruangan yang kosong.

Tentu tidak ada jawaban. Kali ini Gendis menertawai dirinya sendiri dalam hati. Lihat betapa dirinya sedang berharap pada ketidakmungkinan.

"Ini Gendis..." panggilnya lagi. "Ini Gendis, Gar..."

Suaranya tau-tau bergetar, begitu juga dengan kepalan tangannya yang digunakan untuk mengetuk pintu. Gendis tiba-tiba merasa tidak sanggup mengabaikan hilangnya Gara, padahal dua jam terakhir ia mencoba mengenyahkan pikiran ini.

Gendis mengetuk lagi. "Gara.... kamu kemana?"

Gendis tidak sanggup lagi. Ia berjongkok dan membungkam mulutnya sendiri untuk meredam suara tangisnya. Sebentar saja ia ingin menenangkan isi kepalanya yang bergemuruh sebelum pergi dari studio yang kosong.

Gara pernah pergi tanpa sepengetahuan Gendis dan baru mengabari seminggu kemudian. Ternyata ia hanya mengabari Bam dan meminta temannya itu tidak memberitahu siapapun. Gendis yang amat khawatir akhirnya tau bahwa Gara menyetir seorang diri ke Jawa Tengah hanya untuk mencari inspirasi lagu untuk album baru bandnya. Gendis kesal sekali. Bisa-bisanya Gara kabur seminggu tanpa mengabari siapapun kecuali Bam.

Tapi kesalnya waktu itu tidak sebanding dengan saat ini. Malah bukan kesal, melainkan bingung dan tidak tenang. Karena Gendis tau Gara sedang tidak baik-baik saja. Gara tidak pernah baik-baik saja semenjak kedatangan Rasio.

Di tengah-tengah kekalutan dan airmata yang tidak kunjung berhenti mengucur, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka. Kepala Gendis tidak langsung terangkat karena yakin suara itu hanya halusinasinya akibat banyak menangis. Ironis, kerinduannya pada Gara membuatnya bisa mendengar dengan jelas pintu itu terbuka.

"Bangun, Dis," bersamaan dengan suara berat dan serak itu, sepasang tangan tau-tau merengkuh tubuh Gendis.

Gendis mengangkat kepalanya.

Demi Tuhan, ini bukan halusinasi. Gendis benar-benar melihat sosok Gara berjongkok di hadapannya.

Gara terlihat pucat dan berantakan. Matanya sayu dan terlihat mati, bibirnya kehilangan warna, dan bau rokok yang pekat menguar dari tubuhnya.

Gendis menangis sejadi-jadinya. Kali ini tidak sendirian, melainkan dalam pelukan Gara.

"Udah, Dis, udah..." Gara mengusap punggung Gendis dengan lembut, menenggelamkan seluruh tubuh mungilalam jaket hitamnya.

Gendis masih menangis sampai tak sadar ia sudah dibimbing masuk ke dalam studio dan didudukkan di sofa oleh Gara.

Sembari membersihkan sisa-sisa airmatanya, Gendis menyentuh sofa, menggesek-gesekkan kakinya di lantai, dan menghirup dalam-dalam aroma studio. Betapa ia merindukan studio Frou, sungguh. Tapi ada hal-hal yang mencegahnya untuk datang. Selain karena sudah tidak memegang kunci, ia merasa harus rehat dari Frou dan romansa di dalamnya yang menyulut perpecahan antara dirinya dan Gara.

Gendis melihat Gara melangkah mundur kemudian duduk bersila di atas karpet dan memunggunginya. Di hadapan Gara, laptopnya menyala. Tampaknya cowok itu sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya.

Gendis memandang punggung lebar itu tanpa berani memanggil namanya. Takut bercampur bingung yang dirasakan Gendis saat ini. Setelah memeluknya, Gara mengabaikannya. Perlakuan macam apa yang coba ditunjukkan Gara padanya?

"Lo mau minum?" masih memunggungi Gendis, Gara tiba-tiba bersuara.

"Enggak," Gendis menjawab singkat.

"Oke."

Hening lagi. Gendis tak akan berani membuka mulut sebelum Gara duluan yang memulai.

Gendis duduk bersila di atas sofa, masih terpaku pada punggung dan rambut Gara. Tanpa perlu bukti-bukti lain, sudah jelas bahwa saat ini Gara sengaja mengabaikannya. Gendis bisa saja pulang sekarang juga, toh tujuan awalnya hanya untuk memastikan Gara ada di studio atau tidak. Setelah mendapat kepastian, bukankah seharusnya semudah itu Gendis angkat kaki dari sini?

Tapi boro-boro pulang, memindahkan arah bola matanya dari punggung dan rambut Gara ke objek lain saja Gendis tidak sanggup. Sudah lama sekali rasanya ia tidak melihat sosok Niagara seakan-akan manusia itu baru pulang dari bepergian ke luar angkasa.

Gendis menggerakkan tangannya untuk menyentuh rambut Gara, sangat pelan dan penuh hati-hati. Lalu setelah jemarinya berada diantara jutaan helai rambut Gara, Gendis baru bisa tersenyum.

"Udah bisa diiket," Gendis bergumam.

Sepertinya Gara mendengar gumaman Gendis, karena setelah itu gerakan tangannya pada laptop berhenti. Tubuh Gara mendadak beku.

Gendis menarik tangannya kembali dan terbatuk salah tingkah. Tidak seharusnya ia melarikan jemarinya pada rambut Gara, tidak seharusnya ia mendramatisir situasi ini. Gara hanya sedang sibuk sehingga mengacuhkannya. Itu saja, tidak ada hal lain.

Baru saja Gendis hendak mengubah posisi duduknya, kepala Gara sedikit tertoleh ke kanan, mengikuti tangannya yang juga terjulur ke sisi kanannya.

"Sini, Dis, duduk di samping gue."

----

Gara sudah pernah bilang pada ARTnya saat acara makan malam keluarga tentang keanehan-keanehan yang terjadi pada rumahnya dan membuatnya tidak nyaman. Sama seperti ART tersebut, Gara juga menganggap kata-katanya sendiri sebagai angin lalu. Masa iya sih ia tidak nyaman dengan rumah yang telah ditinggalinya sejak bayi?

Tapi semakin lama Gara tinggal di rumahnya sendiri, semakin tidak nyaman hidupnya. Belum lagi Rasio yang semakin getol menunjukkan dominasinya di rumah tersebut, membuat Gara merasa terancam dan tersisihkan. Padahal kalau dipikir-pikir, Gara harusnya bisa lebih berkuasa. Sayangnya Rasio telah lebih dulu membuatnya merasa kalah dalam hal apapun, sehingga sulit memunculkan Gara yang dominan tiap kali berhadapan dengan saudaranya tersebut.

Akhirnya Gara memutuskan keluar dari rumah dan memilih studio sebagai tempat pelariannya. Studio memang pernah terjamah Rasio dan kehilangan kepemilikan mutlaknya atas nama Gara dan Gendis, tapi sekarang sudah tidak karena Frou saja sedang mati. Maka selagi Frou tidak mengudara dan Gendis tidak ada, Gara bisa menganggap studio sebagai rumah untuk sementara.

Gara benar-benar mengurung diri di studio. Bahkan untuk kebutuhan perut Gara mengandalkan layanan pesan antar. Gara merasa hampir gila mengurung diri di studio, tapi jauh merasa lebih baik daripada tinggal di rumah dengan keinginan hilang dari dunia yang terus-menerus menghantui.

Tidak ada yang tau keberadaan Gara di studio. Ia memasukkan sepatunya agar tidak terdeteksi siapapun dan hanya menggunakan lampu dekorasi sebagai sumber pencahayaan saat langit gelap. Bahkan satpam pun sepertinya tak sadar ada seseorang di dalam studio.

Gara sudah hampir percaya diri dan yakin tidak ada yang bisa menemukan jejaknya sampai hari ini, lebih tepatnya beberapa menit yang lalu, ketika pintu studio diketuk samar.

Bersamaan dengan ketukan pintu, suara seseorang turut terdengar. Suaranya makin lama makin lemah tapi tidak kunjung hilang, seperti sudah putus asa tapi tidak mau berhenti memanggil-manggil nama Gara.

Gara terkesiap. Ia tidak perlu berpikir keras untuk menebak siapa pemilik suara tersebut.

Gendis ada di luar sana, mengetuk pintu dan memanggil Gara berulang kali. Tadinya Gara menganggap ia hanya berhalusinasi karena terlalu banyak pikiran. Tapi suara itu semakin jelas dan ketukan pada pintu semakin tidak terkendali.

Gara berjalan menuju pintu untuk memastikan pendengarannya. Benar, itu suara Gendis. Tapi bukannya langsung membuka pintu, Gara justru termenung dan memproses hal apa yang harus dilakukannya kalau Gendis tau selama ini ia ada di studio.

Mungkinkah Gendis marah padanya?

Mungkinkah Gendis menganggapnya gila?

Atau mungkinkah setelah tau Gara ada di studio, Gendis segera pulang begitu saja?

Suara tangisan Gendis semakin menggedor-gedor pertahanan Gara. Sejauh mungkin berusaha melarikan diri, tetap saja Gara tidak pernah bisa membiarkan Gendis menangis. Maka dengan keberanian yang dikumpulkannya beberapa menit terakhir, Gara membuka pintu.

Saat pintu itu menyeruak terbuka, Gara ternganga. Inilah Gendis Jingga, satu-satunya manusia di muka bumi ini yang tidak pernah tega Gara sakiti, sedang menangis tersedu-sedu di depan pintu studio Frou.

Gara berjongkok, memegang kedua lengan Gendis dengan telapak tangannya yang dingin dan berkeringat.

"Bangun, Dis," ucapnya. Sama halnya dengan malam ketika Gendis memberitahu ia menyukai Rasio, saat ini Gara juga mencegah dirinya untuk tidak menumpahkan seluruh perasaannya pada setiap sentuhannya pada Gendis. Bahaya, nanti luka hatinya basah lagi.

Gendis mengangkat wajahnya dan menatap Gara seolah tidak mempercayai penglihatannya sendiri.

Kejadian selanjutnya berlangsung cepat. Gendis seketika memeluknya dan menumpahkan tangisnya. Sekuat apapun Gara membuat jarak dengan Gendis, tubuhnya tidak bisa menolak untuk memberikan reaksi fisik. Karenanya, Gara mendorong tubuh Gendis lebih dekat dengannya.

"Udah, Dis, udah..."Gara mengusap punggung Gendis untuk menenangkannya. Dengan demikian, terdobrak sudah pertahanan Gara selama ini. Sejauh apapun ia menghindar, pada akhirnya ia kembali menjadi Gara yang tidak bisa membiarkan Gendis menangis.

Gendis berhenti terisak beberapa saat setelah ia duduk di sofa. Sementara itu Gara duduk di karpet dan memunggungi Gendis, sengaja membuat jarak karena merasa pelukannya sudah melebihi batas yang ditetapkannya.

Gara sempat menawari Gendis minum, tapi cewek itu menolak. Setelahnya, Gara bungkam lagi dan berupaya memusatkan perhatian pada pekerjaan di laptopnya. Tapi tidak lama, karena beberapa saat kemudian jemari Gendis menyentuh rambutnya.

"Udah bisa diiket," Gendis bersuara.

Gara merasa perputaran bumi terhenti baginya, atau lantai yang dipijaknya terkoyak, atau hal-hal sains tidak masuk akal lainnya yang cukup dramatis untuk mendeskripsikan perasaannya hanya karena sentuhan Gendis pada rambutnya.

Gara menoleh sedikit dan menepuk sisi kanan karpet yang kosong. "Sini, Dis, duduk di samping gue," pintanya pelan.

Tepat ketika hitungan dalam kepala Gara mencapai angka lima, Gendis berpindah tempat di sampingnya. Masih berjarak kira-kira tiga puluh senti, tapi Gara senang bisa duduk sejajar dengan Gendis, temannya yang sempat hilang.

"Kamu nggak apa-apa ada aku disini? Atau aku pulang aja?" selamat datang kembali Gendis dan suara penyiarnya yang entah mengapa mampu meredakan ribut-ribut dalam kepala Gara.

"Nggak apa-apa, Dis."

Gendis diam setelah itu. Ia memeluk lututnya dan menatap lurus ke depan, ke meja siaran yang berdebu.

Gara melirik Gendis dan dengan segera bibirnya melengkung ke atas. Ini senyum pertamanya setelah berminggu-minggu.

"Tapi kalo lo mau pulang, bilang, ya," pesannya.

Gendis menggeleng-geleng kuat.

"Kenapa? Nggak mau pulang?" Gara mencoba menerjemahkan gerakan kepala Gendis.

"Kamu disini mau sampai kapan?" Gendis justru menanyakan hal lain.

Gara belum siap akan ditanya seperti itu oleh Gendis. Tapi tetap tenang Gara menjawab, "nggak tau. Gue masih pengen disini."

"Pulang, Gar. Orang-orang nyariin kamu."

"Orang-orang siapa?"

Gendis sempat terlihat sedih sebelum memberikan jawaban. "Aku ditelepon Alika. Kata Alika, orang-orang nyariin kamu. Papa, Bunda, Bam, Recky sama Tisan, banyak." Ia sengaja mengeliminasi nama Rasio untuk menjaga perasaan Gara.

"Lo nggak nyariin gue?" Gara menoleh setelah lama terdiam.

"Apa?"

Gara mengusap wajahnya lalu mengarahkan seluruh tubuhnya menghadap Gendis. "Lo nggak nyariin gue, Dis? Kenapa lo nggak nyariin gue?"

Gendis mengerjap. "Aku nyariin kamu," jawabnya.

"Setelah dapet telepon dari Alika, iya kan? Kalo enggak? Mana kepikiran lo dateng kesini? Lo udah nggak ada urusan disini, kan?" tempo bicara Gara menjadi cepat. "Sekarang pasti ada Rasio di luar lagi nungguin lo. Pasti lo nggak boleh lama-lama disini."

"Gar, jangan kayak gini..."

"Rasio jangan sampe masuk, ya, Dis. Di luar aja," Gara menatap Gendis penuh harap.

"Aku sendirian, Gar. Nggak ada Rasio," jawab Gendis.

Kilasan kelegaan muncul pada wajah Gara selagi Gendis mengusap pergelangan tangannya untuk menenangkannya.

Gara menunduk, menelusuri pola karpet dengan telunjuknya sambil bergumam tak jelas.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Gendis, melirik laptop Gara yang sudah tertutup.

Gara meraih ranselnya yang tergeletak di atas sofa kemudian mengeluarkan kertas-kertas berkas yang lusuh.

"Ngerjain skripsi, Dis. Proposal gue diterima. Gue pengen cepet-cepet lulus biar punya foto wisuda kayak Rasio," sambil berkata demikian, Gara menunjukkan berkas-berkasnya dengan gugup saking senangnya.

"Iya. Nanti aku bantuin skripsi kamu, ya," ucap Gendis sambil merapikan kertas-kertas tersebut, meluruskan ujung-ujungnya yang terlipat dan menyusunnya dengan teratur.

Gara menatap Gendis lama lalu menunduk lagi, kembali menggoreskan ujung telunjuknya pada pola karpet.

Entah berapa menit telah berlalu tanpa adanya dialog antara mereka berdua. Gara melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar pada sofa, sementara Gendis asyik membaca berkas skripsi Gara.

"Gendis Jingga," tiba-tiba Gara memanggil.

"Ya?" Gendis menoleh, cukup kaget karena Gara memanggil nama lengkapnya yang hanya dua kata itu.

"Gue ngantuk," Gara menarik jaketnya sampai leher kemudian memejamkan mata.

"Ya udah, sana tidur."

"Tapi lo jangan pulang, ya."

Gendis tidak langsung menjawab.

"Jangan pulang, ya, Dis," ulang Gara. "Kita cerita-cerita sebelum gue tidur."

"Iya," jawab Gendis akhirnya. Kemudian ia segera menaruh ransel Gara di atas sofa. "Buat bantal."

Tapi Gara justru menaruh kembali ranselnya di karpet. "Gue mau tidur disini," tegasnya.

"Kamu tidur di sofa aja. Badan kamu sakit kalo tidur di karpet," saran Gendis.

"Di sofa nggak cukup buat berdua," Gara menatap Gendis bagaikan anak kecil yang menatap orang dewasa.

Gendis menghela napas. "Kamu di sofa, aku di karpet."

"Itu namanya bukan berdua, tapi sendiri-sendiri," jawab Gara seraya berbaring dan menatap langit-langit studio.

Gendis duduk bersila di samping Gara dan tidak mengucapkan apa-apa setelah itu.

"Lo capek, ya, Dis, gue paksa mulu?" tanya Gara tiba-tiba, kepalanya menengadah untuk menatap Gendis.

"Enggak, Gar," jawab Gendis.

"Lo capek nggak temenan sama gue?" tanya Gara lagi, intonasinya lebih mendesak.

"Enggak."

"Lo capek--"

"Enggak, Gar," potong Gendis "Berhenti nanya yang kamu udah tau jawabannya."

Gara seketika bangun dan duduk bersila menghadap Gendis. "Kalo gitu kenapa lo sama Rasio?" tanyanya.

Gendis memalingkan wajah. Bukan begini seharusnya kalau mau berdamai. Pertanyaan itu tidak seharusnya muncul ketika Gendis benar-benar ingin meluangkan waktunya hanya untuk Gara.

"Jawab pertanyaan gue, Dis. Kenapa harus Rasio? Apa yang lo takutin dari gue sampe-sampe lo milih Rasio?" Gara menatap Gendis.

"Gar, udahlah, nggak usah dibahas," pinta Gendis.

"Lo baru kenal Rasio beberapa bulan, Dis. Sementara kita udah temenan empat tahun," volume suara Gara meninggi lalu ia menarik napas panjang. "Lupain aja. Sampe sepuluh atau dua puluh tahun juga lo bakal tetep nganggep kita cuma temen."

Gara meresleting jaketnya hingga leher lalu berbaring lagi dan memejamkan mata, terlihat sama sekali tidak berminat menunggu jawaban Gendis setelah pernyataannya yang meluap-luap barusan.

"Gara," dua menit telah berlalu saat Gendis baru berani buka suara.

Yang dipanggilnya tidak bergerak.

Gendis beringsut mendekat, membaringkan dirinya di samping Gara dan menempatkan kepalanya di atas ransel yang sengaja disisakan setengah untuknya.

"Kenapa kamu baru kayak gini sekarang? Kenapa kamu baru nuntut setelah aku sama Rasio? Kenapa nggak dari dulu?" Gendis mengajukan pertanyaan bertubi-tubi. Penuh sudah kepalanya untuk menampung semua pertanyaan ini. "Kenapa kamu nggak pernah jelasin aku ini sebenernya apa buat kamu? Kenapa, sih, Gar? Aku bisa bertindak semau aku karena kamu nggak pernah menegaskan apa-apa!"

"Lo tuh punya gue, Dis!" sambar Gara. Matanya terbuka, memperlihatkan tatapan paling menderita yang tidak pernah Gendis saksikan sebelumnya.

"Aku bukan barang!" suara Gendis bergetar ketakutan.

"Oke, gue minta maaf," Gara meremas rambutnya. Pikirannya kacau. "Tapi harusnya lo tau dengan apa yang gue lakuin selama ini, lo nggak boleh kemana-mana. Lo nggak boleh sama Rasio. Lo harus sama gue."

"Terus kenapa kamu nggak pernah bilang apapun ke aku? Kenapa jadi Rasio yang duluan?"

"Gue takut, Dis. Gue takut nyakitin lo kalo kita lebih dari ini."

Gendis membungkam mulutnya dan menggeleng tidak percaya. "Kalo gitu wajar, kan, aku sama Rasio sekarang? Kamu nggak bisa nuntut apa-apa lagi."

"Iya, gue kalah."

"Kamu kalah. Kamu kalah sama ketakutan kamu sendiri," ucap Gendis telak. Lalu ia terdiam dengan sorot mata kosong. "Jangan bilang ketakutan sama," imbuhnya.

"Apa yang lo takutkan?"

Gendis membasahi bibirnya lalu mengulurkan tangannya untuk menggenggam pergelangan tangan Gara.

Lalu mengalirlah ketakutan-ketakutan Gendis yang selama ini ia sembunyikan. Tentang ia yang merasa diperlakukan sebagai properti Gara, tentang ia yang tak bisa hidup leluasa di bawah bayang-bayang Gara, tentang ia yang belum bisa paham atas perubahan drastis emosi Gara, termasuk tentang ia yang menemukan jalan keluar dari labirin yang diciptakan Gara berkat pertolongan Rasio.

"Gar, tolong jangan bilang ketakutan kita sama," Gendis menutup cerita panjangnya dengan sebuah wanti-wanti yang tidak mau ia dengar jawabannya.

"Sama," mulut Gara terasa pahit. "Itu juga yang gue takutkan ke lo, Dis. Gue takut lo kenapa-napa kalo sama gue."

Gendis menggigit bibirnya kuat-kuat. Kalau sudah jelas sama-sama menghindar untuk tidak saling menyakiti, kenapa masih berharap mereka akan lebih daripada teman?

Kenapa pertemanan ini begitu menyiksa?

"Tapi lo butuh gue, kan, Dis? Iya, kan?" Gara masih memaksakan kata hatinya.

"Aku butuh kamu, Gar. Tapi bukan berarti aku nggak bisa hidup sendiri," jawab Gendis. "Aku nerima bantuan-bantuan kamu, tapi aku juga berhak cari bantuan untuk diri aku sendiri."

"Yang selama ini gue lakuin nggak cukup?"

"Lebih dari cukup. Tapi rasanya nggak enak terus-terusan hidup di bawah bayang-bayang orang lain tanpa kelanjutan yang jelas. Nggak ada yang bisa menjamin kita bakal kayak gimana nantinya."

Kedua mata Gara meredup. Tidak ada lagi desakan dan tuntutan, yang ada hanyalah tatapan sarat penyesalan.

"Setelah denger pengakuan lo, gue ngerasa lebih lega. Emang harusnya kita cuma temenan, Dis, nggak lebih. Biar lo bisa cari orang yang bikin lo bahagia tanpa harus ditopang. Lo perempuan kuat, nggak seharusnya gue memperlakukan lo seolah-olah lo nggak bisa apa-apa. Gue minta maaf," Gara bertutur putus asa. Sekujur tubuhnya seperti memberikan reaksi frustasi yang membuat orang lain ikut terluka, termasuk Gendis.

Gendis mendorong tubuhnya mendekat pada Gara, menyongsong dada dan pundak laki-laki dengan puncak kepalanya dan membiarkan lengan Gara yang bebas balas merangkulnya. Ini adalah tindakan paling hipokrit yang pernah Gendis lakukan, yaitu merapat setelah mengelak habis-habisan. Tapi Gendis tidak peduli, ia cuma menginginkan Gara kembali tenang dan berhenti meracau.

"Jangan gini, Dis. Nanti Rasio--"

"Malem ini aja, Gar," potong Gendis. "Ini studio Frou punya Gara dan Gendis, nggak boleh ada yang masuk kesini, termasuk Rasio," ia mengulangi kalimat Gara dengan sama persis lalu menyandarkan dahinya pada ceruk leher Gara.

Napas Gara yang teratur mengenai permukaan rambut Gendis. Keduanya berbagi oksigen dalam luas permukaan yang tidak seberapa, saling menghirup keberadaan satu sama lain sebisa mungkin.

Gendis sadar betul bahwa yang dilakukannya salah. Mendekat pada Gara artinya semakin menggelamkannya pada kubangan lumpur isap. Tapi ini yang bisa dilakukannya untuk sedikit meredam pengkhiatan yang dilakukannya.

Intinya sudah jelas. Gendis butuh Gara, tapi bukan berarti Gendis hidup di bawah kontrol Gara.

Inilah Gendis Jingga yang terlihat tidak punya hati padahal ia cuma tidak mau terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Dan bagi Gara, seharusnya ia sadar bahwa menggenggam tali kuat-kuat bisa mencederai tangannya sendiri.
---
Author's Note: aku yang bikin plot aku yang capek, kenapa sih masalah orang tuh ada2 aja ya. Udahan kek masalahnya, Gar, Dis, Yo. Capek.









































Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

806K 96.1K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
1.7M 77.8K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
3.2M 220K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.6M 116K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...