NURSING CONTRACT

Violetafifah द्वारा

737K 37.1K 4.4K

Kaylita Arundya bangun pada suatu pagi dan kehilangan bayi yang baru semalam dilahirkannya. Ia harus mendapa... अधिक

1# My Little Nico
2# Ridan & Erina
3# Delapan Bulan Sebelumnya
4# A Baby You Want
5# Yang Dinantikan & Yang Tak Diharapkan
6# Eduard Simbara
8# Kontrak
9# Marionette
10# Pesan
11# Whole Suck World
12# A Glint in His Eyes
13# dr. Irfan & dr. Ridan (just a little break)
14# Home New Home
15# Meet EBO
16# The Girls Under The Sun
17# Cinta Terpendam
18# Mawar Kuning
19# Sirkam Kupu-Kupu
20# Luka & Debaran
21# 'Hangat' Yang Menakutkan
22# Daddy & Daughter
23# Kenapa Kau Menangis?
24# Boneka Porselen di Atas Pedestal
25# Aku Yang Paling Bersalah
26# Untuk Princess
27# I'm Sorry
28# Gelang Hangat
29# A Cure
30# Money, Love, and Power
31# Uang atau Cinta
32# Mengubur Luka
Ngintip bab 33,34,35
Ngintip bab 36,37,38
Ngintip Bab 39,40,41
Ngintip Bab 42,43,44
informasi untuk kakak kakak reader

7#Duka Setiap Hati

12.7K 1.1K 43
Violetafifah द्वारा

#hai Dears.... hari kencan kita bersama Ridan dan Kaylita!! Silakan vote terlebih dahulu sebagai tiket untuk membaca. Senang sekali bisa bersama kalian mengarungi kisah ini. Happy reading...!#

***
"Bisakah.... Tolong..." Ia menatap dua orang petugas kamar mayat yang menunggunya di ambang pintu. Ruangan tempatnya berada terasa sangat dingin dan berbau kematian karena mayat-mayat yang tersimpan di rak-rak tertutup dan pendingin yang dijalankan hingga suhu yang membekukan.

Terry telah membawanya untuk melihat jenazah Erina setelah mereka menghabiskan banyak waktu menagis bersama-sama. Ridan bisa sedikit bernafas, tetapi kesesakan yang sangat berat itu selalu mengintip untuk bisa kembali. Ia tidak ingin ada orang lain lagi yang melihatnya begitu lemah dan terpuruk. Cukup Terry saja.

"Tolong tinggalkan aku sebentar... Aku sendiri yang akan membersihkan jenazahnya... Ini hanya... sesuatu yang sangat pribadi."

"Kau yakin bisa melakukannya, Dan?" Terry memaksa bertanya. Wanita itu ingin menemaninya melewati semua ini, tetapi Ridan ingin bertarung dengan kesunyiannya sekarang. Kalau Terry khawatir ia akan melakukan sesuatu yang gila, dokter itu bisa tenang, karena Ridan tidak akan melakukannya. Tidak sekarang.

"Kau jangan khawatir... aku sudah membersihkan banyak jenazah saat di angkatan darat. Mungkin akan memakan waktu lebih lama, tapi aku pasti menyelesaikannya... Aku... hanya sudah berjanji padanya akan melakukan ini..." Ridan mengulas senyum terakhir sebagai penegasan bahwa ia tidak ingin dibujuk lagi. Maka Terry mengangguk, dan berbalik keluar.

"Semua yang Anda perlukan ada di meja itu, Dokter. Dan tekan saja tombol ini kalau Anda butuh bantuan. Kami ada di ruang sebelah."

"Oke... terimakasih..."

Mereka keluar dan menutup pintu di belakangnya. Ridan mulai membuka penutup Erina dan mengalirkan sedikit air, membasahi washlap dan mulai membersihkan sisa-sisa darah.

"Kalau aku mati lebih dulu... apa kau mau memandikan jenazahku?" Ia yang dulu lebih dulu menanyakan hal itu pada Erina. Istrinya selalu takut ia meninggal lebih dulu, dan Ridan ingin membuatnya terbiasa dengan percakapan-percakapan tentang kematian. Sesuatu yang selalu ditakuti tetapi pasti terjadi. Siapa yang bisa memperkirakan umur manusia?

"Ih!! Kenapa membicarakan hal menakutkan seperti itu?"

"Aku kan hanya bertanya. Setiap orang pasti akan mati dan itu terjadi setiap hari di sekitar kita. Sudah konsekuensi kalau kita hidup pasti juga akan mati. Aku melihat para istri dan para suami memandikan jenazah pasangan mereka di mana-mana. Bagaimana denganmu?"

"Aku tidak akan kuat memandikanmu sendirian."

Saat itu dia tersenyum jahil. Mereka sedang berendam bersama di bak air panas, dan Ridan perlahan-lahan menggosok badan Erina dengan washlap. Seperti sekarang.

"Kenapa? Bukankah kau memandikanku juga setiap hari?"

Istrinya mencipakinya dengan air, membuatnya tertawa. "Aku tidak mau melihatmu mati. Lebih baik aku yang mati lebih dulu."

Ridan tergugu. Gerak tangannya berhenti di lengan-lengan istrinya yang berkulit seperti mutiara. Sekarang harapan istrinya saat itu menjadi kenyataan. Ternyata benar-benar menyakitkan. Ridan kini tahu kenapa Erina selalu takut dengan rasa kehilangan.

Lengannya terangkat menghapus wajahnya yang basah dan melanjutkan pekerjaannya. Tubuh istrinya sudah bersih dari noda darah dan sekarang ia hanya harus memandikannya dengan layak. Ridan membesarkan aliran keran air dan mulai mencuci rambut Erina yang berpotongan cepak.

"Aku tidak tahu kau suka rambutku panjang." Ia pernah suatu kali bertanya, setelah melihat lukisan dirinya yang dibuatnya bertahun- tahun berselang.

"Hanya karena aku pernah melihatmu berambut panjang."

"Kau seperti kakakku, suka wanita berambut panjang."

"Siapa bilang. Aku suka wanita berambut pendek. Rambut pendek yang tetap feminim maksudku. Menurutku rambut pendek tampak lebih seksi dan cerdas," ia merayu istrinya, tetapi seperti biasa Erina jarang goyah dengan gombalan,

"Kalau aku lebih suka saat kau berambut gondrong awut-awutan dan bercambang berantakan seperti dulu."

Ridan mulai mengguyur tubuh istrinya mulai dari sisi kanan dan menyusul sisi kiri, sebelum menuangkan sabun dan menggosoknya untuk yang pertama kali.

"Apa yang kau inginkan sebagai kado ulang tahunmu yang ke tiga puluh dua?" Erina bertanya belum lama ini.

"Aku tidak mau merayakan ulang tahun."

"Memangnya siapa yang akan merayakannya? Aku hanya tanya apa yang kau inginkan sebagai kado ulang tahunmu,"

"Aku sudah memilikinya, buat apa ingin lagi."

"Sudah? Jam tangan langka, ya?"

"Bukan... Aku sudah memilikimu. Aku tidak ingin apa-apa lagi."

Ia benar-benar tidak menginginkan apa-apa lagi dari dunia ini setelah ia memiliki Erina. Uang, jabatan, pekerjaan, penghormatan, bahkan anak, semua itu hanyalah formalitas dan fasilitas yang datang dan pergi bersama waktu. Dunianya adalah wanita ini. Mimpinya, hasratnya, cita- citanya, kebutuhan dan cintanya hanyalah wanita ini. Masa lalu, masa kini dan masa depannya hanyalah wanita ini.

Lalu bagaimana sekarang ia akan hidup?

Bumi tempatnya berpijak seakan telah direnggut dan hilang. Dan kini ia jatuh melayang-layang ke lubang gelap tanpa dasar dan tidak punya apapun untuk dipegang. Kematian yang tidak berasa seperti kematian. Kehidupan yang tidak berasa seperti kehidupan. Seperti manusia yang tenggelam dalam kondisi koma.

"Apa yang harus kulakukan sekarang, Erina? Bukankah pernah kukatakan padamu dulu, kau adalah alasanku untuk terus berjuang dan menjadi tujuanku untuk pulang? Lalu bagaimana sekarang jika kau meninggalkanku seperti ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Ridan membiarkan air mata kembali melelehi wajahnya sampai ia menyelesaikan memandikan tubuh itu untuk ke tiga kalinya. Sekarang ia mulai mengeringkannya dengan lembaran-lembaran kain lena sebelum memindahkannya ke meja pengafanan.

Air matnya sudah kering sekarang, dan kepalanya terasa sangat pening. Tetapi ia menyelesaikan apa yang sudah dijanjikannya pada istrinya bertahun-tahun yang lalu.

"Kau akan memandikan jenazahku kalau aku meninggal lebih dulu, kan?"

"Yaa... baiklah... kau hanya membalas ucapanku tadi."

"Janji ya, kau sendiri yang akan memandikanku. Tidak ada orang lain?"

"Bagaimana kalau aku tidak kuat memandikanmu sendirian?"

"Ridan! Kau hanya mengulang perkataanku!"

"Sekarang aku kuat mengangkatmu ke mana-mana. Tetapi kalau aku bersedih, apa kau bisa menjamin aku akan kuat mengangkat badanmu sendirian?"

"Kau akan bersedih jika aku mati?"

Ia mengangguk, "Aku akan mati."

"Kau harus melanjutkan hidup, Dan. Menikahlah lagi dengan seorang wanita baik yang bisa mencintai dan membahagiakanmu."

"Aku tidak bisa... aku akan mati jika kau mati... mungkin tidak secara harfiah, tapi itu tak terhindarkan seperti kematian yang sesungguhnya. Jangan mengharapkanku melakukan yang sebaliknya. Aku tidak akan bisa."

"Hanya seandainya..."

"Tidak ada seandainya dalam kematian, Sayang. Yang ada hanya 'jika'. Jika itu terjadi maka seperti itulah yang terjadi. Titik. Sudah jangan membicarakan ini lagi, kau membuat dadaku sesak."

"Kau yang mulai duluan."

Ketika itu Erina sudah begitu terbiasa membicarakan kematian, tetapi hal itu justru membuat Ridan sering merasa takut. Dan sekarang semua ucapannya menjadi kenyataan.

Melebihi perkiraannya, tangannya ternyata bekerja dengan cekatan membebatkan lapisan-lapisan kain kafan dan menalikan ikatan tanpa perlu kepalanya ikut terlibat.

Ia meninggalkan ikatan terakhir di kepala, dan membiarkan wajah istrinya tetap terbuka.

Ridan memikirkan apa ucapan terakhir yang bisa dikatakannya pada istrinya. Tetapi tidak ada yang keluar dari tenggorokannya.

Aku rasa... aku tidak perlu mengucapkan kata perpisahan apapun kepadamu... aku sudah turut bersamamu ke alam baka... buat apa kata perpisahan?

Ridan berjalan ke arah pintu dan menggeser selot penguncinya. Tidak akan ada yang masuk ke ruangan itu sekarang. Ia mengambil tempat duduknya di lantai di sisi dinding yang paling tersembunyi dari pandangan orang, dan menenggelamkan diri dalam kecamuk perasaannya yang membadai tak terselamatkan.

***

"Dokter Ridan....? Dokter kenapa Anda kunci pintunya?"

"Ada apa?"

"Dokter Ridan mengunci pintunya dari dalam...."

"Ridan...! Ridan buka pintunya...! Ini Terry... tolong jangan seperti ini.... Di mana kau?... Pak, apa ada sesuatu yang berbahaya di dalam?"

"Berbahaya?"

"Sesuatu yang beracun atau benda tajam..."

"Yaaa... ada alat-alat operasi di dalam... cairan-cairan pembersih, kalau yang seperti itu dianggap berbahaya..."

"Ridan..., plis brother... jangan seperti ini... semua orang sedang menunggumu di rumah duka... Kita harus membawa Erina ke sana.... Ridan, kalau kau tidak membuka pintunya dalam hitunga ke tiga, aku tidak peduli jika aku bersikap alay dan mempermalukanmu di depan semua orang. Bapak-bapak ini akan menyebarkan gossip ke mana-mana... satu!"

DLANG!!

Pintu logam itu dibuka dengan cepat dan pria itu berdiri dengan kerutan jengkel menatapnya, "Could you just shut up?!"

"Thank goodness!!" Terry menghambur memeluknya, dan Ridan tidak melihat ada orang lain di lorong itu selain sahabatnya.

"Apa-apaan kau ini?!" Ia menarik tangan Terry dari lehernya untuk melepaskan diri, tapi obgyn itu bersikeras mengeratkan pelukannya.

"Terimakasih kau baik-baik saja... aku sangat takut tadi... kau tidak akan nekat kan?"

"Apa kau pikir aku remaja labil empat belas tahun?"

Dengan perkataan itu, Terry melepaskannya dan mengikuti Ridan ke ruang pembersihan jenazah.

"Di mana perawat yang kau ajak bicara tadi?"

"Aku menyuruh mereka mengambil keranda" Terry mengamati jenazah yang sudah rapi dalam balutan kain kafan. Ia melihat wajah sahabatnya begitu kosong, hampir-hampir tidak ada emosi lagi disana. Sebelah tangannya mengamit lengan bawah Ridan dan mengguncangnya sedikit, meminta perhatian dokter itu.

"Kau siap? Ini tidak akan mudah.... Ayo..., pelayanmu sudah membawakan pakaian ganti dari rumah."

What's the meaning of living without you?
What's the meaning of dying every day?
I lost my belief and purpose all way through
And there's nothing left in life to stay

****

Kata orang rizki itu ditebar pada pagi hari. Itu sebabnya Kaylita bangun jauh sebelum matahari terbit tadi. Ia menghabiskan sisa malam untuk berdoa, dan memompa air susunya dengan pompa manual yang baru dibelinya. Rasanya sangat menguras waktu jika ia harus mengosongkan ASI di tubuhnya tanpa alat bantu. Dan setiap menit waktu sangat berharga saat ini. Lita harus bisa memanfaatkan setiap momen yang ada untuk bisa mendapatkan pekerjaaan.

Jadilah dia menguras sebagian besar simpanannya yang tidak seberapa untuk pompa itu. Masih ada sisa sedikit uang untuknya makan selama dua hari ke depan. Dan jika ia tidak berhasil mendapatkan pekerjaan secepatnya, entah apa yang akan dimakannya setelah ini. Belum lagi biaya sewa rumah ini... dan dana yang diperlukannya untuk menemukan Nico...

Nico kecilnya....

Pukul enam pagi ia sudah siap dengan pakaian terbaik yang dimilikinya. Amplop besar berisi ijasah SMA dan Curriculum Vitae sudah terjepit ditangan. Lita memasukkan botol kaca berisi ASI-nya ke tas dengan hati-hati, berdesakan dengan kotak makan siang sederhana dan sebotol air, untuk kemudian melangkah keluar pintu dengan doa.

Saat ini ongkos angkot bisa membeli satu bungkus sayur asem dan sepapan tempe di tukang sayur. Memotong ongkos angkot berarti memperpanjang kesempatannya untuk bisa makan sehari lagi. Maka Lita memilih berjalan kaki, meskipun jarak Rumah Sakit Avicenna hampir tiga kilometer dari tempat tinggalnya. Anggap saja oleh raga pagi.

Melewati tikungan sebelum jembatan penyeberangan di deretan pertokoan, Lita baru teringat kalau ia belum menelpon ibunya sepanjang pekan ini. Bagaimana kabar rumah? Mereka tidak bisa menelpon untuk menanyakan kabarnya karena Lita tidak punya HP. Ia yang seharusnya menelpon ayah dan ibunya, tapi menelpon ponsel dari wartel sangat mahal sekarang...

Akhirnya setelah bertimbang, Lita memilih merelakan sebungkus sayur asem dan sepapan tempe yang akan memperpanjang hidupnya sehari lagi tadi untuk menelpon ibunya. Sekedar meminta restu dan menanyakan kabar mereka. Tidak akan makan waktu lama.

"Halo...."

"Assalamu'alaikum, Ibu..., ini Lita..."

"Wa'alaikum salam, Lita? Kamu di mana? Sudah beberapa hari kamu ndak telepon. Kamu ndak pa-pa, to?"

"Nggak... Lita baik-baik saja kok. Bapak ibu sehat? Tedy dan Agus?"

"Sehat, semua sehat... Cuma simbah yang harus istrirahat... lututnya lagi kambuh. Kamu sudah gajian, Nduk?"

Kaylita tecekat dengan pertanyaan itu. Bagaimana ia akan menjelaskan pada ibunya sekarang? Sumber dananya sudah menghilang entah ke mana setelah menculik anaknya.

"Anu... jadi gini, Bu..., Kaylita sudah nggak kerja di tempat yang biasanya."

"Oh.... Lha kenapa, Nduk? Bukannya gajinya bagus? Kau sendiri yang bilang kalau bosmu itu orang baik." Kekecewaan ibunya sama sekali tidak tertutupi. Ada kecemasan yang tersirat di sana.

"Apa kamu buat masalah sama bosmu itu? Atau dia kurang ajar sama kamu sampai kamu berhenti?"

"Bukan... Bukan seperti itu, Bu. Usahanya sedang seret... jadi dia harus mengurangi karyawan."

"Oo... padahal kamu sudah setengah tahun lebih kerja di sana."

"Tidak apa-apa... Ini Lita sedang cari kerja lagi. Doakan mudah-mudahan Lita segera dapat pekerjaan, Bu."

"Ya... Ibu selalu mendoakanmu."

"Apa Mas Ardi belum dapat kerja juga? Katanya ada pabrik baru yang buka di Tulung? Mas Ardi kan bisa ngelamar kerja di sana?"

"Masmu sudah coba ngelamar ke sana, tapi tidak diterima. Kau tahu sendiri mas kamu gimana? Jadi dia sekarang masih kerja serabutan, bantuin tetangga bikin krupuk kulit ikan. Sudah mending anak-anaknya bisa makan dan sekolah. Disyukuri saja, Nduk."

"Ya.... Nanti Lita kirimkan uang sedikit, Bu... buat suntik lututnya simbah."

"Ya... berdoa dan berusaha yang sungguh-sungguh, Nduk..., mudah-mudahan kamu segera dapat kerja.... Bapak ibu mendoakanmu selalu dari sini."

Kaylita tidak bisa menahan air matanya yang merebak ketika ia menutup gagang telepon itu dan menanyakan pada pemilik warung berapa biaya yang harus dibayarnya.

Melanglang jauh dari orang tua untuk menuntut ilmu, tetapi ia justru berakhir dengan keadaan seperti ini. Bagaimana mungkin ia bisa memberitahukan pada ibunya apa yang dialaminya sekarang? Meskipun ia tahu ibunya mungkin bisa menghibur dan mendukungnya, tetapi ia tidak sanggup menambah beban wanita tua itu dan menguras air matanya lagi. Tidak setelah semua yang mereka lalui.

Kaylita menapaki trotoar, dan berusaha mengusir pikiran malang yang menyelubungi kepalanya. Ia harus ke rumah sakit sekarang untuk menanyakan kabar tentang anaknya. Dan setelah itu ia harus benar-benar bersemangat untuk mencari kerja. Kerjaan apapun tidak masalah sekarang. Dia harus mendapatkan hasil untuk menyambung hidupnya di kota yang kejam ini, kalau tidak ingin pulang kembali ke kampung halaman dan membuat semua orang tahu apa yang terjadi padanya.

Edo... Jika dia bisa berbicara dengan Edo, atau mungkin meninggalkan pesan untuknya, mungkin ayah anaknya itu mau mengirimkan uang bulanan yang biasa ia berikan untuknya... Dua juta itu berarti banyak untuk Kaylita. Bisa menyambung hidupnya dan seluruh keluarganya. Lagi pula apa arti dua juta rupiah untuk sebuah keluarga yang bisa menerbangkan bayi berumur semalam ke Singapura untuk berobat?

Rumah sakit Avicenna tidak tampak seperti biasanya pagi ini. Sepanjang jalan yang dilalui Lita menuju NICU, ia melihat para perawat dan staf rumah sakit berbisik-bisik dan bertukar cerita dengan murung. Beberapa orang yang biasa dilihatnya mengenakan seragam putih-putih, kini memakai pakaian berkabung dan seperti terburu-buru untuk ke suatu tempat. Apa ada yang meninggal?

Jam dinding yang dilewatinya di koridor menuju NICU menunjukkan pukul tujuh. Ia sedikit terengah dan berkeringat. Jika para staff itu bermaksud pergi ke suatu tempat, Lita berharap ia bisa menemui Dokter Mia sebelum wanita itu pergi juga. Dokter Mia adalah dokter yang menangani Nico ketika pertama kali anaknya sampai di rumah sakit ini. Wanita bertubuh besar itu sangat ramah dan berhati lembut. Ia berulang kali menyatakan peyesalannya kepada Kaylita karena meloloskan permintaan keluarga Edo untuk membawa Nico ke Singapura. Saat itu Dokter Mia belum pernah bertemu dengan Kaylita, dan mengira bahwa ibu sang bayi juga telah menyetujui rujukan itu karena toh ayah sang bayi pergi bersamanya.

Baru kemudian ketia Mia tahu bahwa Nico telah dibawa tanpa sepengetahuan Kaylita, ia menyesal dan bersimpati dengan wanita itu.

Dokter Mia yang terus menyemangatinya untuk selalu datang dan bertanya kalau ada kabar mengenai Nico. Dia juga yang dulu menyarankan agar Lita memompa ASI-nya dan menyimpannya di penyimpanan ASI rumah sakit, agar bisa digunakan saat Nico pulang nantinya, juga untuk menjaga agar suplay ASI Kaylita tetap banyak, sampai nanti anaknya kembali. Itu sebabnya Lita selalu mondar-mandir di tempat ini paling tidak dua kali dalam sehari. Perawat-perawat NICU mungkin jenggah dengan kehadirannya yang tidak untuk menjenguk siapapun dan hanya mengganggu mereka. Tapi Lita tidak perduli. Lagi pula Dokter Mia sudah mewanti-wanti seluruh staff NICU untuk melayani Lita dengan baik sebagai orang tua pasien.

"Apa Dokter Mia sudah datang, Mbak?" Lita menyapa perawat di bilik jaga tanpa basa basi. Mereka sudah melihatnya setiap hari, sehingga tidak perlu lagi ada sapaan-sapaan formal yang mendahului.

"Dokter Mia mungkin datang agak siang... sebagian staff rumah sakit yang tidak berjaga menghadiri pemakaman." Perawat itu menyerahkan formulir dan stiker yang harus diisi Kaylita untuk bisa menyimpan ASI-nya

"Oh..." jadi benar firasatnya tadi? '"Memangnya siapa yang meninggal, Mbak?"

"Istri salah seorang dokter di rumah sakit ini... Ibu Erina... dia meninggal setelah melahirkan semalam..."

Lita membekap mulutnya. Ada getar kesedihan yang mendadak menelusup ke sanubarinya, mengingat baru beberapa hari yang lalu ia pun menjalani setapak yang sama dengan wanita itu; mempertaruhkan nyawa di ruang bersalin demi seorang jabang bayi yang sama-sama mereka cintai. Hanya pada akhirnya ia selamat, dan wanita itu meninggal.

"Innalillahi wa inna ilaihi rooji'un..." tarjihnya lirih, mengiringi hangat mata yang merembang bersama simpati yang semakin meluas di dalam benaknya, "Lalu bagaimana dengan anaknya?"

Pertanyaan Lita dijawab dengan tunjukan dagu perawat itu ke sebuah ruang kaca yang terhampar di belakangnya. Ia berpaling, menemukan ruang bayi yang biasanya bertutup gordyn tebal itu pagi ini dibuka. Hampir selusin incubator dan peralatan besar lain yang tak ia ketahui namanya bersusun dalam deret yang rapi di ruang luas itu. Seorang perawat sedang merapikan sesuatu di sudut terjauh dari tempat mereka berada, dan seorang lagi sedang mengangkat sesosok bayi mungil dari timbangan.

Bayi itu sangat... sangat kecil!

"Dia?" Lita bertanya, tak menyadari kakinya yang bergeser mendekat ke dinding kaca, dan tiba-tiba saja perawat yang bernama Andini itu telah berdiri bersamanya.

Perawat senior yang sedang mengendongnya di dalam berusaha menyutikkan seampul cairan putih melalui selang panjang yang terhubung dengan hidung kecil bayi itu. Kulitnya benar-benar merah dan keriput. Ia tampak sangat rapuh dan lemah.

"Apa dia prematur?" Lita bertanya. Debaran jantungnya yang menggelombang sampai terdengar begitu jelas di dalam suaranya. Nico...

"Usia kehamilannya baru 30 minggu, dan ibunya mempunyai riwayat pre-eclamsia, sehingga janinnya mengalami IUGR; tidak berkembang dengan maksimal di dalam kandungan. Beratnya hanya satu setengah kilo."

"Ya Allah...."

Nico... Nico... Nico...

"Dokter Mia sudah mengawasinya sejak semalam... tapi tidak banyak lagi yang bisa dilakukan. Bayi ini permasalahannya sangat banyak..." Suster Andini mengakhiri penjelasannya dengan desah panjang sebelum kembali ke bilik jaganya untuk menempel stiker Kaylita pada botol ASI-nya.

Ia masih mengawasi bayi itu diberi minum melalui hidungnya selama beberapa saat, sampai kemudian perawat itu membawanya pergi, mengingatkannya bahwa ia tidak bisa melakukan apapun lagi di tempat itu.

Melihat bayi malang yang kehilangan ibunya itu hanya akan membuanya semakin teringat pada anaknya sendiri.

Niconya...

Anak itu juga tidak memiliki ibu sekarang... ibunya ada di sini, tanpa bisa melakukan sesuatu untuk bisa menemukannya.

"Oh ya, Suster..." Lita berbalik sekali lagi sebelum ia membuka pintu kaca ruang NICU menuju keluar, "Apakah ada kabar tentang anak saya dari Singapura?"

"Tidak ada.... Mungkin besok.... Sabar ya, Bu Kaylita..." Suster Andini mengulas senyum untuk menenangkannya, dan Kaylita keluar dengan hati yang semakin membelesak remuk di dalam dadanya.

Ia sudah menduganya. Ini sudah hari kelima ia tidak menerima kabar apapun tentang Edo maupun anaknya. Laki-laki itu tidak menepati janjinya. Atau mamanya yang membuat ia tidak bisa menepati janji itu. Keluarga itu membuat anaknya menjadi piatu dengan memisahkannya dari Kaylita.

Niconya.... Putra kecilnya yang juga lahir prematur, yang membutuhkan air susunya lebih dari apapun di dunia ini... yang membutuhkan dekapannya agar ia bisa tumbuh dengan baik dan menjadi sehat...

Bagaimana wanita penyihir itu bisa berpikir bahwa segala yang ada di Singapura lebih baik dari pada pelukan ibu kandung yang telah menghidupi bayi itu selama delapan bulan di dalam rahimnya?

Lita tidak berminat lagi membendung air matanya yang menganak sungai dengan sendirinya di wajah. Ia sudah lelah menangis terisak-isak setiap pagi dan malam, dan jika semua air mata itu sekarang mau menganak sungai sendiri, terserah saja. Ia akan memberi dirinya waktu untuk menjadi berantakan sedikit di dalam lift.

Lita menekan tombol menuju lantai bawah begitu ia memasuki bilik sempit itu, tetapi kotak besi yang ditumpanginya itu menutup dan justru bergerak dua lantai ke atas alih-alih ke lantai bawah yang ditujunya.

Sesaat kemudian benda besar itu berhenti. Lita menghapus air matanya dan berdiri, menanti siapa yang mungkin masuk. Pintu terbuka dan seorang pria dalam setelan serba hitam masuk dengan menunduk tanpa sedikitpun melihatnya.

Ia berdiri membelakangi Kaylita yang bersandar di dinding belakang lift, dan menekan tombol menuju lobby.

Kesunyian di antara mereka sementara menunggu tempat tujuan memberi kesempatan pada Lita untuk mengamati orang yang berada di depannya. Ia sangat tinggi dengan rambut kemerahan yang tebal bergelombang. Sosoknya tampak dingin dan suram dalam pakaian serba hitam itu. Apakah dia termasuk salah seorang yang akan melayat?

Lita berniat membuat suara untuk menyatakan keberadaannya dan mungkin bertanya sesuatu pada pria itu. Tinggal satu lantai lagi sebelum lobby, tetapi tiba-tiba pria itu memencet tombol kembali ke lantai teratas.

Wanita itu hendak protes bahwa ia harus turun di lantai itu, tetapi elevator sudah kembali bergerak naik, dan ia melihat bahu pria itu bergerak dalam desahan yang berat.

Sebelah tangannya bersandar pada sisi pintu lift dan ia menutupi matanya dengan sebelah tangannya yang lain, lalu suara nafasnya semakin jelas dalam jeda-jeda yang panjang dan tertarik begitu berat. Pria itu menangis dalam diam, dan Lita tiba-tiba teringat pada wanita yang melahirkan dan meninggal semalam. Dia istri seorang dokter di rumah sakit ini. Diakah pria itu? Diakah laki-laki yang baru saja kehilangan istrinya? Yang kini anaknya terbaring begitu lemah di ruang NICU?

Seperti Nico kecilnya di suatu tempat yang tidak diketahui Kaylita...

Air matanya kembali berlelehan di wajah merasakan duka pria itu dan juga kesedihannya sendiri karena kehilangan putranya. Lita menutup hidung dan mulutnya menghindari suara tangisnya yang mungkin membuat pria itu tersadar akan kehadirannya dan membuatnya malu.

Lalu seperti sebelumnya, pria itu kembali menekan tombol lift menuju lantai bawah sebelum benda besar itu benar-benar berhenti di tempat tujuan. Mereka berhenti dan kembali turun, dan kali ini laki-laki muda itu menegakkan berdirinya, dan membersihkan wajahnya dengan sehelai sapu tangan dari saku, seperti Lita yang juga mengusap air matanya dari wajah dengan jari-jarinya. Andaikan ia juga memiliki sapu tangan... atau tissue...

Pintu lift terbuka, dan pria itu melangkah keluar. Lita sengaja menunggu beberapa detik untuk membuat jarak dengannya. Pandangannya terpaku pada sosok kukuh dokter muda itu, dan ia semakin membeku, saat tiba-tiba pria itu berhenti hanya dalam jarak beberapa langkah dari pintu untuk kemudian setengah berbalik melihatnya, seolah baru saja menyadari bahwa ada seseorang di dalam elevator bersamanya selama ini.

****
# well dears... sudahkan kalian vote? Terimakasih untuk yang sudah dan silakan vote untuk yang belum... kisah Ridan bersama Kaylita dimulai di sini... sampai jumpa besok, dears...!!!#

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

96.6K 10.8K 19
Mirip chat anonymous. klo tertarik mampir aja ⚠️bxb [FIN]
Mr. Surgeon and The Cooking Girl poorple द्वारा

सामान्य साहित्य

221K 13.5K 19
A clever oncologist, who never had any interest in marriage finally choose his Director's only daughter to be his wife. Without love, while the girl...
84.6K 16.2K 57
Jika ada pemilihan wanita paling setia, pasti Gia pemenangnya. Jika ada pemenang wanita paling banyak berkorban Gia juga akan memenangkannya. Hubunga...
2.2M 104K 53
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞