(NOT) Brother Complex

By dhitenk

172K 4.1K 261

Novel ini bercerita tentang dua orang artis yang beradu peran di film yang sama, dimana keduanya dituntut unt... More

Satu
We Are Trying
Kiss
Ulah
Songket?
Everything I do, I do it for You
Insiden
Part 8
PART 9 - HEAVEN OR HELL
Sick
Fashion Show
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
PART 19
Part 21
Part 22

PART 20

4.5K 120 12
By dhitenk

"Sayang", sapa mama Teresa yang baru datang dengan membawakan segelas jus alpukat dan setoples kacang polong. Meletakkan bawaannya di meja dan duduk di samping anaknya yang sibuk berjemur dengan novel di tangannya.

"Makasih ma", ujar Teresa lembut begitu melihat bawaan mamanya.

"Mama liat gosip di TV udah mulai membaik Re. Mereka sudah meralat semua dugaannya", ujar mamanya memulai.

"Gosip di TV ilang, tapi di pikiran mereka tetep aja masih ada".

"Tapi setidaknya gosip buruk itu tertutup dengan pengakuan abangmu".

Kali ini Teresa memandang mamanya sepenuhnya. "Dan menurut mama hubungan bang Theo dengan perempuan itu bukan hal buruk?", ujarnya.

"Mama tau kamu gak suka sama dia, mama juga sayang. Tapi biarlah abangmu menentukan pilihannya sendiri". "Untuk saat ini", lanjut mamanya dalam hati.

"Tapi kenapa harus dia ma? Banyak gadis di luar sana yang lebih baik dari dia, bahkan banyak pula yang tertarik sama bang Theo, tapi kenapa malah dia lagi?".

"Itulah takdir sayang. Mungkin mereka memang sudah ditakdirkan untuk bersama lagi", jelas mamanya lembut. Tapi Teresa tidak sependapat dengan mamanya. "Sayang, mengertilah. Ini semua justru menjadi jalan keluar dari masalah kalian".

"Jadi mama setuju dengan hubungan mereka?".

"Bukan maksud mama menyetujui mereka, tapi mama yakin abangmu itu belum punya niatan untuk berhubungan serius dengan seorang gadis. Dia masih di lingkaran berpacaran hanya untuk bersenang-senang".

"Kalo kita mau bermain harusnya kita pilih mainan yang bagus yang terbaik dan harusnya yang lebih baik dari mainan yang kita punya sebelumnya kan?"

"Sayang, jangan mengistilahkan dengan sebuah mainan", tutur mamanya.

"Tapi itu yang mereka-para laki-laki lakukan bukan?".

"Sayang", desah mamanya. Teresa diam saja dan malah melanjutkan kembali membaca novelnya. Jadi mamanya memutuskan untuk meninggalkan Teresa dulu.

***

"Ma, aku harus tau.... iya ma, tapi kenapa mama ngelarang aku?.... tapi sampe kapan ma?.... oh ayolah mama, mama tau siapa aku, mama satu-satunya yang mengenaliku lebih dalam dari siapapun.... aku gak serius sama dia, mama tau itu kan.... nah, itu mama tau. Mama mengenali aku.... hmm, baiklah".

Theo menjatuhkan dirinya ke ranjang milik Teresa, frustasi. Sudah empat hari Teresa pergi meninggalkan Theo yang akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di rumah ini, kali-kali adiknya itu pulang jadi ia bisa langsung menemuinya. Tiga hari yang lalu ia dipusingkan dengan kemana perginya Teresa. Kalo aja ponselnya aktif, mudah saja buat Theo melacaknya melalui GPS di ponsel Tere, tapi sayangnya Teresa menonaktifkan ponselnya. Ia menghubungi semua orang yang ia pikir tau keberadaan adiknya, tapi semua orang bahkan kedua orang tuanya mengatakan bahwa mereka gak tau kemana Teresa pergi dan mereka juga khawatir. Tapi Theo merasa ada yang janggal. Biasanya mamanya akan super sibuk menghabiskan waktu untuk menghubunginya jika terjadi sesuatu dengan mereka-Theo dan Teresa, tapi kali ini mamanya diam saja. Theo berpikir bahwa orang tuanya tau dimana Teresa sebenarnya, tapi mereka merahasiakannya darinya.

"Ya. Dia pasti disana".

***

Teresa baru saja naik dari kolam ketika tatapannya bertemu dengan sepasang mata cokelat milik Theo, abangnya. Hampir seminggu ia disini dan bebas dari semua panggilan bahkan nama Theo yang harus ia dengar. Semua orang disini tau apa yang terjadi di antara mereka, karena itulah mereka bahkan tidak pernah menyebut nama Theo di hadapannya. Tapi hari ini, bukan namanya yang ia dengar, tapi justru orangnyalah yang ia lihat.

Kembali melangkah ke tepian kolam, Theo menyodorkan jubah mandi ke arah Teresa dan menatapnya intens. Mencoba membaca ekspresi dari raut Teresa, tapi cuma rasa terkejut yang ia dapat, selebihnya lagi ekspresi Tere datar-datar saja.

"Hai", sapa Theo akhirnya.

"Hai", balas Teresa sambil memakai jubah mandi dari Theo dan melipat kedua tangannya ke depan dada berusaha menghalau hawa dingin yang terasa semakin dingin akibat pertemuan gak terduga ini.

"Hey, mau kemana?", Theo menarik pergelangan tangan Teresa saat Teresa hendak berlalu meninggalkannya di tepi kolam.

"I need a shower".

"Oke. Abis itu kita bicara. Abang tunggu kamu di kebun". Teresa gak jawab dan malah pergi ke dalam rumah.

***

Setelah hampir satu jam Theo menunggu akhirnya Teresa menghampirinya juga ke kebun, tapi dengan telinga yang disumpal dengan earphone.

Teresa duduk di kursi bambu di samping abangnya sambil menyenandungkan lagu yang didengarnya, mengabaikan keberadaan Theo. Dia memang sengaja, masih males aja.

"Re".

Hening.

"Tere", panggil Theo lagi, tapi masih tetap hening. Yang dipanggil cuek-cuek aja. Akhirnya Theo menarik paksa earphone dari kedua telinga Tere yang dihadiahi pelototan mata adiknya.

"Ishh.. udah berani melototin abang ya", geram Theo bermaksud bercanda. Tapi ternyata Teresa justru buang muka. "Re, ilangin dong betenya. Kan abang udah minta maaf".

"Hmm"

"Hmm itu gak ada di kamus bahasa Indonesia sayang".

"Gak usah panggil sayang sayang. Yang di sayang gak lagi disini", jawab Teresa galak.

"Siapa bilang gak disini? Orang dia lagi disini kok, tuh bibirnya lagi manyun, matanya melotot, pipinya merah lagi. Bentar lagi pasti keluar tanduknya".

"Setan itu mah. Tanduknya merah", balas Teresa.

"Coba liat dulu tanduknya warna apa", ujar Theo sambil menarik kepala Teresa ke depan dadanya membuat Teresa menggeram marah.

"Awas abang ih gak usah pegang-pegang!", teriak Teresa sambil menyingkirkan tangan Theo dari kepalanya.

"Orang dibilang pengin mastiin warna tanduknya juga".

"Gak usah becanda, gak lucu!", maki Teresa.

Melihat Teresa yang marah-marah Theo justru terkekeh pelan, membuat Teresa semakin geram.

Demi langit dan bumi, Teresa berusaha menjauhi abangnya ini sejauh mungkin, tapi sayang dia cuma bisa pergi kesini gak bisa lebih jauh lagi karna mamanya gak kasih izin. Dan benar dugaan Teresa kalo abangnya ini pasti nyusulin dia kesini.

"Udah dong Re, kasih abang senyum. Jelek ih ngambek mulu", rayu Theo sambil menarik kedua pipi adiknya membentuknya menjadi senyuman.

"Lepas ih! Jauh-jauh deh sana!", balas Teresa sambil mengibas-ibaskan tangannya menyuruh Theo menjauhinya.

"Yakin tahan lama-lama jauh dari abang?", goda Theo.

"Iyalah".

"Ah masa si? Ntar yang ada kangen berat lagi".

"Ih situ kali yang kangen", elak Teresa. "Lagian udah kebuktikan hampir dua minggu ini kita jauh, dan aku enjoy aja tuh", lanjut Teresa mantap, meskipun dalam hati sebenarnya ia juga kangen berat, tapi kangennya terkalahkan dengan keegoisannya yang niat banget marah ke abangnya itu.

Mendengar jawaban Teresa yang menohoknya membuat Theo bungkam. Ia sadar selama ia pergi ia begitu khawatir pada Teresa, ia takut terjadi sesuatu pada adiknya, takut adiknya sedih apalagi sampai menangis. Dan satu hal yang paling ia rasakan adalah kerinduannya pada adiknya yang sangat disayanginya itu.

Ekhemm.

Sebuah deheman membuat Theo kembali ke dunia nyata. Ia melirik Teresa yang ternyata sudah melenggang pergi meninggalkannya. Ia hanya bisa tersenyum kecut sambil memandangi punggung Teresa yang semakin menjauh sampai akhirnya hilang begitu Teresa berbelok ke halaman depan.

***

Theo saat ini sedang menemani omanya di kamar sambil menyuapi omanya jeruk. Ia menimpali setiap pertanyaan omanya dengan penuh senyum padahal dalam hati ia dongkol setengah mati. Pasalnya Teresa sengaja banget pergi berdua sama Irwan menghindarinya.

Tere kalo udah ngambek gini susah banget deh diakurinnya. Mau dicekoki barang-barang branded juga gak bakal mempan, apalagi sama rayuan gombal. Batin Theo frustasi.

"Tey", panggil oma.

"Eh iya Oma. Kenapa?"

"Mikirin apa sih kamu, dari tadi ngelamun mulu. Oma panggil-panggil juga kamunya diem aja", selidik omanya.

"Oma kepo deh", jawab Theo sambil nyengir.

"Hsss, anak jaman now jadi gini nih kalo diajak ngomong orang tua".

"Hahaha.. oma ternyata up to date juga ya", balas Theo ngakak. "Tapi oma, Theo itu udah 25 tahun bentar lagi mau 26 kok masih dibilang bocah si".

"Orang belum jadi orang tua ya makanya masih kaya bocah", sindir omanya.

"Ya ampun oma, mulai nih mau ceramahnya. Pasang kuping ajalah", balas Theo sambil menjewer telinganya lebar membuat omanya geleng-geleng kepala.

Omanya ini sudah pengin banget ngeliat cucu-cucunya nikah. Tapi ia tidak ingin mereka menikah dengan orang yang tidak seharusnya, yang bukan orang yang omanya inginkan.

"Kamu serius sama wanita itu Tey?", tanya oma.

"Siapa oma?"

"Yang kamu bilang kekasih kamu itu di berita"

Theo diam tidak menyahut perkataan omanya sampai akhirnya omanya kembali bersuara. "Oma gak suka dia".

Semua orang juga gak ada yang suka dia.

"Tey. Maaf ya kalo kamu tersinggung", ujar omanya dengan nada menyesal.

"Gak papa oma. Emang dia orangnya begitu, jadi banyak yang gak seneng"

"Lha kamu kok bisa seneng?"

Sebenernya sih enggak!

"Tey. Kalo kamu emang gak suka sama dia ya kamu udahin aja semuanya. Jangan memanfaatkannya terlalu jauh, takutnya nanti dia terlanjur berharap banyak sama kamu", titah omanya.

"Gak sekarang oma. Theo gak mau merusak apa yang lagi coba Theo perbaiki", jawab Theo lesu.

"Teresa?", tebak omanya tepat sasaran. Theo hanya mengangguk.

"Teresa gak akan bisa marah lama sama kamu. Tapi kalo kamu terus ngelanjutin ini yang ada dia malah makin sebel sama kamu, ujung-ujungnya makin ngejauhin kamu lagi"

Omongan oma ada benernya juga. Tapi Theo belum bisa menyudahi semua ini begitu saja, dia butuh waktu yang tepat. Dia tidak ingin sesuatu hal buruk terjadi lagi pada mereka, karna bukan hanya mereka yang akan dirugikan tapi juga keluarga dan orang-orang terdekat mereka.

"Oma tau apa yang kamu lakuin sekarang ini demi kebaikan kalian, tapi asal kamu tau aja, ada hati yang tersakiti disini".

Hati yang tersakiti? Siapa? Jawabannya adalah dirinya sendiri. Dia sakit hati dengan apa yang ia lakukan pada adiknya, dan dia sakit hati karna dijauhi adiknya, orang tersayangnya yang selama ini berusaha ia jaga sebaik mungkin.

"Ada dua hati yang harusnya bersama, tapi waktu belum berpihak pada mereka bedua", gumam oma pelan.

Tapi Theo mendengarnya, dan ia bertanya-tanya siapa dua hati itu?. Namun omanya memilih bungkam dan menyudahi percakapan mereka.

***


Alhamdulillah bisa update lagi, mumpung lagi ada libur jadi aku kebut.

Semoga kalian suka ya...

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 37.6K 27
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...
79.1K 8.4K 54
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.
88.4K 8.2K 14
Hidup Yelo bagai akara yang tidak pernah dianggap hadirnya. Lahir membawa sandangan sebagai anak haram membuat Yelo ditolak keras oleh dunia. Hidup l...