The Secrets of Prince Silas (...

By vkeybooks

1.4M 79.7K 12.1K

PROSES REVISI! (Sinopsis lengkap terdapat di dalam) WARN: Latar tempat, unsur sejarah serta budaya merupakan... More

Blurb
Prolog
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
INFO
BAB 26
BAB 27
Q n A (PENTING! JANGAN DIPASS!)
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 39
BAB 40
BAB 41
BAB 42
Bab 43
BAB 44
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 48
BAB 49
BAB 50
BAB 51 A
BAB 51 B
BAB 52 A
BAB 52 B
BAB 53 A
Flashback 1
BAB 53 B
BAB 54 A
BAB 54 B
BAB 55 A
BAB 55 B
BAB 56 A
BAB 56 B
BAB 57 A
BAB 57 B
BAB 58 A
BAB 58 B
BAB 59 A
BAB 59 B
Epilog
Sekuel
Flashback 2

BAB 38

17.4K 1.1K 229
By vkeybooks

Yas. . . Siap bacanya, kawans? Bacanya sampai habis, ya, habis itu jangan teror Key minta lanjut, eh, tapi bohong, boleh kok minta lanjut, double bab juga boleh, asal tanda bintang sama kolom komentarnya dipenuhi sebanyak-banyaknya :p

(Pangeran Silas)

Terbangun dari tidur akibat aroma yang berasal dari luar kamar, Putri Harmony tersenyum melihat sisi kanan ranjangnya yang kosong. Aroma ayam panggang seperti ini pasti berasal dari dapur dan tidak perlu disebutkan lagi siapa pelakunya.

Menyentuh salah satu kelopak mawar di atas bahunya, senyum tak lepas dari bibirnya. Kedua matanya terpejam, mengulang kembali ingatan tadi siang. Mereka bercinta dan Pangeran Silas nyaris membuatnya gila dengan cara hati-hati ketika menyentuhnya.

Bangkit dari ranjang, Putri Harmony memunggut pakaiannya, mengenakannya kembali dan pergi mengikuti aroma. Ia kemudiam bergeming di pintu dapur, menyandar pada sisi pintu, memeluk tubuhnya sendiri melihat Pangeran Silas.

Bertelanjang dada, celana menggantung di pinggul dan memasak!

Astaga. . . bolehkah seorang pangeran melakukan hal seperti itu di sini, di mansion putih, tempat para pelayan tinggal? Di bangunan utama istana pun, ia yakin Raja Maranello akan murka bila melihat kelakuan Pangeran Silas.

"Lapar?" Sapaan itu menyadarkannya. Pangeran Silas memberikan senyum manis padanya, memindahkan ayam panggang yang tampak lezat ke atas meja bar. Rambutnya acak-acakan dan keringat menetes di dahinya.

Glek.

"Silas." Putri Harmony berhasil menemukan suaranya setelah menelan ludah. Wajahnya polos saat bertanya, "Apa aku merobek kemejamu?"

Pangeran Silas mengangkat alisnya, sedikit membungkuk untuk meletakkan kedua tangannya di atas meja bar.

"Hanya dua kancing yang kau buat rusak," seringainya dengan binar mata penuh arti.

"Oh." Putri Harmony mengigit bibir bawahnya. "Apa kau punya kemeja lainnya di mansion ini?"

Kali ini dua alis yang terangkat. "Tidak," jawab Pangeran Silas heran. "Ada apa dengan kemeja memangnya?" tanyanya geli, memutari meja bar dan menyandarkan tubuhnya pada sisi meja dengan kedua tangan terlipat.

Putri Harmony melirik ke kanan dan kiri dengan ekspresi horor. "Mereka bisa melihatmu," bisiknya.

"Apa? Siapa?"

"Penghuni di sini." Putri Harmony lalu memutar telunjuknya di setiap sudut langit-langit. "Salah satunya pasti ada kamera dan Ayah Mara bisa marah."

Pangeran Silas tertawa lepas membuat Putri Harmony mematung.

"For your information, sweetheart, kamera sedang mati dan penghuni yang kau maksud itu, mereka sedang diungsikan ke bangunan utama untuk bekerja sampai pukul sepuluh nanti. Aku meminjam mansion putih ini dan melarang siapapun itu masuk ke dalam sini, mungkin sampai jam bekerja mereka selesai," jelas Pangeran Silas dengan cengiran lebar.

"Kau bercanda!" Putri Harmony melonggo. "Kenapa kau melakukannya?"

"Oh, alasannya banyak, salah satunya supaya kau tidak cemburu," goda Pangeran Silas.

"Siapa yang cemburu?" balas Putri Harmony, mengerucutkan bibirnya sembari berjalan ke arah kursi bar. Ketika ia ingin melompat naik ke atas kursi tinggi, Pangeran Silas dengan sigap menyentuh pinggangnya dan membantunya duduk.

"Hati-hati," peringat Pangeran Silas, mengusap-usap lembut pinggang Putri Harmony. "Aku bercanda, sayang. Aku melakukannya untuk memberi kejutan padamu, supaya kita tidak terganggu. Menyebalkan memang tinggal dalam istana terkutuk ini. Terlalu banyak aturan," gerutunya, melompat naik ke kursi lainnya.

"Dan kenapa kita tidak pindah ke Pulau Christopher?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Putri Harmony. Ia sendiri terkejut dan langsung menghentikan garpu di udara.

"Kau mau tinggal di sana bersamaku?" Pangeran Silas bertanya. Senyum penuh arti di bibirnya sampai ke dalam matanya. "Aku pikir terakhir kali kau menolak mati-matian tinggal hanya berdua denganku," cetusnya ringan.

"Sekarang, aku tidak keberatan, Pangeran," jawab Putri Harmony malu-malu, menjauhi tatapan mata Pangeran Silas.

Pangeran Silas terkekeh. "Menyenangkan mendengarnya," gumamnya. "Sayang sekali, kali ini tidak bisa, manis. Kau sedang hamil. Aku tidak mau menerima resiko sesuatu terjadi padamu sementara sulit mendapatkan dokter."

"Terserah saja," balas Putri Harmony.

Pangeran Silas mengangguk, melompat turun dari kursi dan mengeluarkan semangkuk stroberi dari kulkas kecil di dekat meja bar. Ia kemudian bersandar pada pintu kulkas, melahap satu per satu stroberi.

Di sisi lain, Putri Harmony menelan ayam panggangnya susah payah. Menusuk ayamnya lagi, ia mengintip sembunyi-sembunyi ke arah Pangeran Silas. Yaampun. . . Hormonnya, kah, ini?

Demi Tuhan, pangeran itu sialan seksi. Caranya memasukkan stroberi ke dalam mulutnya. . . .

Ayam panggang tidak menggiurkan lagi untuknya.

"Silas?"

"Ehem?" Pangeran Silas mengisap jempol dan telunjuknya bergantian.

Putri Harmony mengigit bibir bawahnya resah.

"Kenapa, sayang?"

"Basah," bisik Putri Harmony.

"Hah? Apa?" Wajah Pangeran Silas benar-benar tampak lucu dengan ekspresi bingungnya.

Putri Harmony menusuk ayam panggangnya kuat-kuat. Menggeleng-gelengkan kepalanya, ia lalu melompat turun dari kursi, menghasilkan bunyi dentingan antara garpu dan piring sebelum berlari keluar dari dapur.

Pangeran Silas mengernyitkan dahinya heran, tetapi tidak lupa meneriakkan, "Hati-hati, sayang." Lalu terdiam, berpikir sebentar dan. . . .

"Wow." Pangeran Silas geleng-geleng kepala, tersenyum sendiri setelah memahami maksud Putri Harmony. Ia melempar stroberi ke udara, lalu menangkapnya dengan mulut dan tak bisa memudarkan senyumnya.

Erosh Axton mengigit-gigit kuku jempolnya, memperhatikan dalam diam keseriusan Inspektur Phill membaca dokumen mengenai catatan hidup Miguel Trevor yang didapatkan dengan mudah dari kepala tentara Lorechester.

Senin pagi, Inspektur Phill baru bisa mendatangi tempatnya setelah kemarin si inspektur disibukkan menyelesaikan kasus lain soal pencucian uang oleh salah satu pejabat negara.

"Di sini tidak tercantum Silas adalah sepupu Trevor, silsilah keluarganya pun tidak. Hanya nama ayahnya yang tertulis," cetus Inspektur Phill, menutup map berwarna biru tua di tangannya. "Darimana kau tahu dia sepupu Pangeran Silas?" tanyanya.

Ia bukannya tidak percaya. Mudah mempercayai Miguel Trevor adalah sepupu Pangeran Silas, mengingat pria itu terbukti terlibat dalam hilangnya Pangeran Magnus. Ia hanya ingin memastikan.

Erosh mengangkat bahu. "Aku sendiri tidak percaya. Sepupu darimana? Ratu Gricella tidak punya hubungan dengan Trevor."

"Apa mungkin Pangeran Henrik bisa memberikan jawabannya, Axton?" usul Inspektur Phill.

Erosh berdeham. "Aku akan menghubunginya nanti."

"Dugaanku benar, bukan, Pangeran Silas terlibat dalam hilangnya Pangeran Magnus?" Inspektur Phill melempar map ke atas meja. "Dia selalu menyiksa Magnus," rutuknya geram.

Erosh memiringkan kepalanya ke satu sisi. "Hati-hati, Inspektur. Jaga ucapanmu. Silas belum tentu terlibat. Aku mengatakan Trevor sepupu Silas, bukan berarti Silas terlibat. Tidak ada bukti dia terlibat," peringatnya tajam.

"Oke, Pangeran Silas tidak terlibat." Inspektur Phill mengangkat kedua tangannya ke udara. "Jadi, Axton, kau punya clue mengapa si Trevor ini mengenakan tuxedo Magnus? Apa yang mendasarinya melakukan ini?" balasnya tak mau kalah.

Erosh tidak mampu menjawab.

"Dengar, Axton, hilangnya Magnus sangat bersih, tidak ada jejak. CCTV super ketat bahkan tidak bisa membantu apapun. Aku bertahun-tahun bekerja untuk Istana Wealthbridge, mencari keberadaan Pangeran Silas jika dia hilang. Dia satu-satunya orang yang pandai membuat teka-teki bersih tanpa jawaban." Inspektur Phill berucap rendah. Ia lalu berdiri dari duduknya, menegakkan tubuhnya dan merapikan seragamnya yang sedikit kusut.

"Aku akan membuat surat pemanggilan untuk Miguel Trevor atas tuduhan penculikan Pangeran Magnus. Terima kasih bantuanmu, Axton. Selamat siang," katanya panjang lebar sebelum meninggalkan ruangan kerja dalam rumah Erosh Axton.

Pemilik rumahnya sendiri memijat pangkal hidungnya, menyandarkan punggungnya pada kursi dan memejamkan mata lelah. Sulit dipercaya, jika memang benar Pangeran Silas terlibat. . . .

Ruangan itu gelap. Tak ada satu pun lampu yang menyala, kecuali pantulan cahaya matahari yang berasal dari ventilasi. Isi ruangannya serba hitam, mulai dari sofa, karpet, ranjang bahkan hingga lantai dan dinding. Seseorang yang duduk di ujung sofa nyaris segelap ruangan, berbalut setelan hitam rapi, berwajah kelam dan bersilang kaki. Satu-satunya yang mencolok adalah seseorang lainnya di atas kursi berwarna cokelat kayu, yang terbalut dalam pakaian santai berwarna putih.

"Halo, Kakak."

Sapaan yang manis, sayang sekali nada yang digunakannya sebeku es di kutub.

"Lepaskan aku, Silas." Suaranya tak kalah dingin, bahkan tatapan matanya tak kalah membunuh dari tatapan mata si orang berbalut setelan hitam-hitam. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Silas? Hanya dia satu-satunya yang menyukai kegelapan.

Pangeran Silas memiringkan kepalanya ke satu sisi. Senyum dingin terukir di bibirnya dan kalimat kejam meluncur dari bibirnya yang menipis.

"Bagaimana rasanya, Kakak, tak berdaya dan tidak bisa melakukan apapun? Kalau kau sudah merasakannya, itu adalah rasa yang sama saat. . . ."

"Aku tidak tahu apapun." Orang itu memotong cepat, tahu kelanjutan kalimat tersebut. Sudah berkali-kali dia mendengarnya. "Aku tidak tahu soal ibumu dibunuh oleh ayah dan grandma. Aku tidak tahu kau merasa ayah dan grandma dan yang lainnya lebih menyayangiku, kau diperlakukan tidak adil, merasa aku terlalu otoriter padamu. Pada kenyataannya, aku men. . . ."

"Omong kosong." Pangeran Silas mengumpat kasar. "Jangan berdusta, Kakak. Kau yang paling tahu betapa aku tersiksa dalam istana itu, dalam skenario yang ayah buat dan kebencian yang mereka semua berikan padaku."

"Mom tidak membencimu."

"Oh." Pangeran Silas tersenyum mengejek. "Benar, Kakak. Dia menyayangiku sampai-sampai dia selalu menjaga jarak dariku, menolak mendatangi turnamenku dan melupakanku yang nyaris kehabisan darah di atas salju."

"Kau salah paham, Silas. Kau tidak mengerti perasaannya. Mom. . . ."

"Hentikan omong kosong ini." Pangeran Silas beranjak dari kursinya, memotong kalimat orang itu dan berjalan lambat-lambat menghampiri satu-satunya kursi dan orang yang paling mencolok dalam ruangan itu. "Aku kemari bukan untuk membicarakan drama keluarga kita. Aku kemari untuk menyampaikan kabar gembira. Kau pasti akan suka mendengarnya." Senyum licik muncul di bibirnya.

Pangeran Silas melipat kedua tangannya. Matanya menampakkan binar kemenangan dan bibirnya membentuk senyum puas saat merapalkan dua kata. . . .

"Harmony hamil."

Bagai mendengar bom meledak, orang yang tangannya terikat di kursi itu melebarkan matanya. Mulutnya terbuka seolah kehilangan suara, rahangnya kaku dan wajahnya membeku.

Kekehan lolos dari tenggorokan Pangeran Silas.

"Kau tidak mau memberi selamat padaku, Kakak? Bukankah menyenangkan mendengar kau akan menjadi paman?" Nada mengejek terdengar jelas dari suara Pangeran Silas.

Mengetahui orang di hadapannya tak mampu berbicara, ia melanjutkan, "Well. . . tak masalah kau tidak mau memberi selamat padaku. Aku mengerti." Pangeran Silas mengangguk, lalu membungkuk tepat di telinga orang itu. Tangannya menepuk-nepuk bahu orang itu. "Hatimu pasti sangat sakit. Sangat sangat sakit. Beritahu aku rasanya, Kakak. Sinar matamu terlihat menyedihkan," ejeknya, menyemburkan tawa pelan.

"Brengsek kau!" Orang itu menyentak bahunya, membuat tangan Pangeran Silas terhempas. Rahangnya mengetat dan mata birunya. . . terluka. "Kau pasti memaksanya! Kau mengambil kehormatannya! Kau menodainya! Kau membuatnya tersiksa dan sekarang kau memaksanya mengandung anakmu!"

Pangeran Silas terkekeh lagi. Berkebalikan dengan kepala beruap orang di hadapannya, ia justru terlihat santai dan tenang.

"Yah, kuakui awalnya aku memaksanya. Dia butuh sedikit paksaan pertama kali, tapi setelahnya. . . ." Pangeran Silas tersenyum jahat. "Dia sangat liar. Harmony-mu sangat panas di ranjang. Dia bahkan tidak membiarkanku melepaskan sentuhannya. Kau perlu menyesal, Kakak, calon istri yang kau gagal nikahi itu. . . ." Pangeran Silas mengeluarkan suara menyesap ludah. "Ah, memiliki rasa yang nikmat."

BUG.

Satu tendangan mendarat di tulang kering Pangeran Silas. Pangeran itu tak mengerang, hanya setengah membungkuk merasakan ngilu di tulang keringnya. Ia membiarkan tubuhnya mencerna rasa sakit sebelum kepalanya terangkat untuk memberikan tatapan membunuh dari mata tajamnya.

BUG.

Pangeran Silas memberikan satu tinju keras di perut orang itu dan erangan langsung lolos dari bibir orang itu.

"Jangan berani-beraninya kau melukaiku. Mengaca, Yang Mulia Pangeran, kau sedang di bawah kendaliku dan aku bisa melakukan apapun padamu sesukaku, termasuk membunuhmu dalam sekejap mata," ucap Pangeran Silas dingin.

"Bunuh aku kalau kau berani," balas orang itu.

Pangeran Silas menyelipkan tangan ke balik jas hitamnya. Tatapannya tetap menghunus tajam ke arah orang itu ketika mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya.

"Punyamu." Pangeran Silas melemparkan benda mungil itu tepat ke arah orang itu, mengenai dada orang itu dan jatuh tepat di atas pahanya. "Tadinya aku berniat membakarnya, tapi aku pikir lebih baik mengembalikannya padamu supaya kau bisa memberikannya pada istrimu kelak, well. . . jika memang kau tidak terkurung di sini seumur hidup."

Orang itu menatap benda mungil di atas pahanya. Sekelebatan kenangan muncul di kepalanya dan ia menatap Pangeran Silas dengan kemarahan yang tak sanggup ia luapkan.

"Jangan menatapku seperti itu," peringat Pangeran Silas. "Harmony yang melepaskannya sendiri. Dia mengatakan dua kata padaku; membencimu dan ingin aku membantunya melupakanmu," sambungnya datar.

"Kau membuat dia membenciku?" Suara lirih terdengar dari orang itu. Kepalanya tertunduk menatap benda mungil di bawahnya. Bunyi gemelatuk gigi terdengar sebelum ia mengangkat kepalanya dan sederet umpatan meluncur begitu saja. "Kau brengsek, Silas! Kau bajingan! Kau sialan!" teriaknya marah, menggerak-gerakan tangannya, putus asa, justru yang didapatkannya luka lain akibat gesekan rantai pada pergelangan tangannya.

"Paman Henrik benar. Semua yang dikatakannya benar. Kau berbahaya, ancaman dalam hidupku. Kau dan ibumu sama-sama hama kehidupan. Karena ibumu, ibuku harus tersiksa seumur hidupnya. Karena kamu dan ibumu, ibuku tidak pernah mendapatkan hati ayah. Dia mati karena ibumu. Kau mengambil semua kehidupanku. Dulu, kau merebut Brianna dariku, sekarang kau mengambil Harmony, kau memang brengsek, Silas. Kau dan ibumu sama-sama brengsek. Kalian perusak hidup orang dan tak seharusnya aku membelamu sejak dulu!"

BUG.

Pukulan mendarat di wajah orang itu, bukan hanya sekali, kali ini berkali-kali. Pada awalnya di pipi, hidung, lalu merambat ke bibir sampai ke perut.

Pangeran Silas baru menghentikannya setelah dia merasa puas dan terengah-engah.

"Tutup mulutmu. Ibuku bukan perusak kehidupan orang. Ibumu yang perusak. Ibumu yang sialan," bentaknya kasar.

Orang itu terlalu babak belur untuk berteriak lagi. Ia hanya mampu tersenyum miris, senyum yang tidak sampai matanya. Ia terbatuk-batuk sebelum berucap, "Kau sangat tahu diri, Silas. Aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya Mom di atas sana melihat anak yang telah dibesarkannya mengumpatnya."

Pangeran Silas membeku.

"Kau menyesal?" sindir orang itu.

Kesadaran memenuhi Pangeran Silas dan ia tersenyum miring. "Tidak, Kakak. Aku tidak menyesal menghina ibumu. Dia bukan ibuku," katanya tanpa hati.

"Well. . . ." Pangeran Silas menepuk tangannya bolak-balik, pura-pura membersihkan debu di bahunya kemudian. "Urusanku di sini sudah selesai. Aku sudah memberikan kabar gembira padamu. Kau tinggal menunggu kabar gembira selanjutnya; Raja Maranello menyerahkan tahkta padaku," seringainya kejam.

"Saat aku naik tahkta, aku akan membongkar semuanya pada rakyat, betapa kejamnya raja yang selama ini mereka puja-puja, kebrengsekan anggota keluarga kerajaan yang mereka anggap mulia. Aku yang akan menjadi raja selanjutnya dan Harmony adalah ratuku. Aku akan memulai silsilah keturunanku dengannya dan kau dan saudara-saudara sialanmu itu. . . kalian hanya akan menjadi seonggok sampah di mata rakyat."

Setelah mengatakan sederet kalimat tersebut, Pangeran Silas membalikkan tubuhnya, bersiap meninggalkan ruangan hitam itu. Baru menyentuh daun pintu. . . .

"Apa yang kau inginkan sebenarnya, Silas?" Orang itu bertanya, nadanya terdengar lelah dan pasrah. "Jika kau menginginkan tahkta, aku akan memberikannya padamu. Kau bisa mengambil semuanya, tapi kumohon, jangan ambil Harmony dariku." Nada memohon jelas terdengar.

Pangeran Silas melirik melalui bahunya, lagi-lagi menyuguhkan senyum miring. "Kau bertanya apa yang kuinginkan?" serunya balik dengan nada mencela.

"Satu yang kuinginkan. . . ." Pangeran Silas mengungkap lambat-lambat. "Melihatmu menderita, tersiksa, sengsara. . . ."

"Semua itu akan terwujud, Kakak, dengan mengambil semua milikmu yang berharga, termasuk Harmony-mu, Magnus," ucapnya sinis sebelum meninggalkan ruangan dengan membanting pintu.

COPYRIGHT 2018 by V.K.
All Right Reserved.

Continue Reading

You'll Also Like

331 104 13
On going~ "Kita saling mengenal di tempat yang sama, tapi apakah kisah kita, akan sama-sama bahagia?" Kepindahan Adelia, ke tempat tinggal kakek dan...
2.4M 36.7K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
11.3K 1.5K 19
Ketika Amanda Phoenix sedang melakukan perjalanan ke Santa Clara untuk bertemu keluarga ibunya, Mustang Merah ditumpangi si wanita kota mandek di seb...
997K 147K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...