Loctus : The Guardians Of The...

By Aelluna_

38.7K 3.6K 3.3K

#Book 3 of Loctus History. Memasuki era tahun ajaran ketiga, dua dari enam Lachlers mengikuti turnamen Achler... More

Prolog
Bab II. Problem
Bab III. Unite
Bab IV. Chosen
Bab V. Awakening
Bab VI. Apologized
Bab VII. Secret
Bab VIII. The First Warning
Bab IX. Complicated
Bab X. Preparation (I)
Bab XI. Preparation (II)
Bab XII. Unknown Accident
Bab XIII. Loyalty Test
Bab XIV. The Most Important Things
Bab XV. The Urge
Bab XVI. Night at the Ball
Bab XVII. Kidnapped
Bab XVIII. Diversion (I)
Bab XIX. Diversion (II)
Bab XX. Silencieux
Bab XXI. Known
Bab XXII. Information
Bab XXIII. Action
Bab XXIV. Secret Sneak
Bab XXV. Trouble
Announcement
Bab XXVI. The Book
Bab XXVII. Connection
Bab XXVIII. Last Day of Her Goodness
Bab XXIX. The Regret
Bab XXX. Mystery
Bab XXXI. Last Night Before Fight
Bab XXXII. Choice Your Partner
Bab XXXIII. Bienvenue
Bab XXXIV. One Step Closer
Bab XXXV. Inferno
Bab XXXVI. The First Meeting
Bab XXXVII. Claimed
Bab XVIII. The Sorrow
Bab XXXIX. Farewell
Epilog
Extra Part
PO Loctus The Game Of Portal

Bab I. Welcome

1.2K 108 5
By Aelluna_

Leona menguap sambil mengetik sesuatu di laptopnya. Pagi ini, matanya tampak seperti mata panda dan tubuhnya seolah tidak tidur selama beberapa hari. Setelah selesai mengetik, ia memastikan lagi apa yang ia ketik sudah benar. Barulah ia menulis alamat e-mail dan dituju dan mengirimnya.

'Teman-teman, maaf aku tidak membalas e-mail kalian sejak dua minggu yang lalu. Banyak urusan keluarga yang harus kuselesaikan. Namun, semuanya sudah beres karena aku akan kembali ke Loctus. Untuk Kai, maaf aku tidak sempat memberitahu bahwa aku batal ke Korea. Aku janji akan memberitahu kalian semuanya saat kita sudah berada di sekolah. Dari Leona.'

"Akhirnya... hari terakhir." Leona meregangkan tubuhnya dan menutup matanya dengan lengan kanannya. Baru saja matanya terpejam, suara ketukan pintu membuatnya terbangun.

"Masuk!" ucap Leona lirih.

Masuklah sosok lelaki yang lebih muda dua tahun darinya. "Kak, mau tanya."

"Oh, Henri. Tanya apaan?" tanya Leona sambil mengucek matanya.

Henri melangkah masuk dengan perlahan. "Di Loctus lebih dingin dari di Korea?"

Leona berpikir sejenak. "Tergantung. Kadang sama, kadang dinginan di sana." Tatapannya beralih pada Henri. "Lagi siap-siap?"

Alih-alih menjawab, Henri menyengir. "Aku sudah enggak sabar, Kak. Jadi, mau siap-siap sekarang."

"Baguslah. Kalau ada apa-apa, bilang saja, ya!"

Henri mengangguk. "Tentu saja." Ia hendak berbalik, tapi terhenti karena melihat Leona yang sangat lemas. "Kakak enggak apa-apa?"

Leona menoleh. "Iya, enggak apa-apa. Cuma..." Ia menguap sejenak dan menatap Henri dengan sayu. "Ngantuk."

"Tidur dulu saja, Kak. Latihannya lanjut besok," kata Henri yang merasa agak bersalah. "Kakak sendiri enggak tidur sejak dua minggu yang lalu."

"Buat ngajarin kamu tentang Indonesia tentu saja! Kamu tinggal di Korea lama, lho!" Leona menghela napas. "Sudah kukasih tahu, 'kan, gimana kalau anak blasteran seperti kita sekolah di sana?"

Henri mengangguk. "Iya, aku tahu. Apalagi kakak dikenal di sana sebagai orang Indonesia. Tentu saja adiknya harus dari Indonesia."

Leona tersenyum manis. "Tentu saja. Nah, ada yang mau ditanyain lagi, enggak? Mumpung aku masih di sini."

"Memangnya, kakak mau ke mana?" tanya Henri yang seketika membuat Leona bergeming. "Kakak bilang sekolahnya masih dua hari lagi untuk kelas dua, tiga, dan empat."

Helaan napas keluar dari mulut Leona. Gadis itu menatap Henri dengan perasaan campur aduk. "Maaf, aku pasti ngawur saat itu. Sekolah sudah mulai masuk sejak dua hari yang lalu."

Mata Henri membulat. "Jadi, kakak... telat?!"

"Enggak apa-apa, kok. Sekolah memberi waktu sampai sehari sebelum penerimaan murid-murid baru. Kamu sendiri sudah enggak sabar sejak kemarin Mr. Pevill datang kemari," kata Leona yang membuat Henri cemberut.

"Memang enggak boleh?" Henri mendengus.

Leona tertawa. "Boleh, kok, boleh! Aku cuma bercanda!" Tawanya mereda perlahan. "Hanya saja, aku enggak seheboh kamu."

Henri mendengus. "Memang, kenapa?"

Leona diam mengingat alasan dia ragu masuk ke Hadlewood pada awalnya. Namun, ia tepis keraguan itu dan masuk dengan harapan bahwa semua akan baik-baik saja. Tetap saja tidak berjalan seperti sekolah biasa tapi ia masih bisa bersekolah normal.

"Banyak hal. Intinya cuma satu. Hadlewood enggak seperti bayanganmu. Bahaya di sana bisa lebih berbahaya dari bahaya di sini. Jadi, aku harap kamu bisa jaga diri." Leona berpesan. Ia tampak sangat serius soal ini.

Henri menatap kakaknya dalam dan perlahan mengangguk. "Tentu saja, Kak."

Leona mengangguk pelan. "Oke, deh. Sekarang, kamu sarapan sana. Aku mau siap-siap."

"Oke!" Henri tersenyum dan berbalik.

***

Kediaman Yokohama, Tokyo, Jepang.

Beberapa mobil sedan hitam tampak mengawal sebuah limosin memasuki kediaman yang mirip halaman istana itu. Lalu, beberapa orang berjas mulai turun sebelum akhirnya, orang-orang yang berada di limosin itu turun dengan tampang angkuhnya. Salah satunya adalah seorang direktur utama Gohyun, lalu ada istri dan putranya.

"Terima kasih Anda sudah mau datang. Tuan Yokohama sudah menunggu di ruang tamu." Seorang pria dari kediaman Yokohama yang merupakan asisten dari Yokohama Takada dan perempuan yang merupakan sekretarisnya menyambut kedatangan mereka.

"Hmm... terima kasih. Aku senang menerima undangan dari Tuan Yokohama," balas si direktur utama, Go Yoon Seok.

"Lewat sini, Tuan dan Nyonya." Sekretaris Takada--Fuharu--mempersilakan.

Putra Yoon Seok--Nam Byul--tersenyum simpul saat memasuki kediaman Yokohama yang mirip istana. Ruang tamunya tak kalah mewah. Yang Nam Byul tangkap, lampu gantung di tengah ruangan itu bernilai jutaan dollar tentunya. Ia juga menangkap teman sekelas sekaligus tunangannya di sana.

"Hei, Vinnie!" Nam Byul menyapa Vinnie dengan ramah.

Vinnie yang memakai gaun biru tua dan sedikit merias dirinya hanya diam hingga ibunya menegur. "Hai, Nam Byul."

"Vinnie, kamu bertambah cantik saja," puji Yoon Sek.

Senyuman tipis menghiasi wajah Vinnie yang kaku. "Aku hanya tampil senormal mungkin."

Yoon Seok tertawa lepas. "Hahaha... benar-benar seperti ayahmu." Ia melirik Takada yang tersenyum malu-malu. "Kalau begitu, lebih baik kalian mengobrol di ruangan lain. Kami mau mendiskusikan sesuatu yang penting."

"Tentu saja." Vinnie mengangguk.

Hira dan Hugo langsung keluar ke kamar masing-masing sementara Vinnie membawa Nam Byul ke halaman belakang rumahnya. Di sana, ia meminta salah satu pelayan menjamu Nam Byul.

"Kau masih tak suka bertunangan, eh?" tanya Nam Byul yang tampak meledek.

Vinnie mendengus. "Menurutmu?"

Nam Byul menghela napas. "Aku sudah bilang, ikuti saja dulu alurnya."

Vinnie tampak jengkel. Harusnya ia berada di sekolah sekarang. Ia sempat girang tadi pagi saat membaca e-mail dari Leona setelah dua minggu sahabatnya tidak ada kabar. Namun, ia harus menahan kegirangannya karena keluarga Nam Byul datang ke rumahnya.

"Lagipula, ada yang mau kubicarakan denganmu. Ini penting," kata Nam Byul serius.

Melihat teh di cangkir Nam Byul habis, Vinnie menuangkannya lagi tanpa menatap Nam Byul. "Apa itu? Soal Hadlewood?"

"Ya, soal Hadlewood." Nam Byul menjawab dingin. Ia menyeruput teh yang baru saja Vinnie tuangkan sementara gadis itu menatap Nam Byul dengan kerutan dalam.

"Ada masalah di sana?" tanya Vinnie.

Nam Byul berpikir. "Tidak, maksudku... kurasa belum." Matanya menatap Vinnie sungguh-sungguh. "Belum ada masalah. Namun, bisa saja terjadi."

Vinnie tampak penasaran. "Kenapa begitu?"

"Karena..." Nam Byul terdiam saat pelayan Vinnie datang membawakan kue dan mengambil teko teh yang habis untuk diisi lagi. Namun, karena sedang tidak awas, ia tersandung oleh kaki Nam Byul sendiri dan terjatuh, membuat teko teh yang harganya selangit itu pecah.

"Akane-san!" Vinnie beranjak dari duduknya dan menghampiri pelayannya itu. "Anda baik-baik saja?"

Pelayannya yang bernama Akane itu mengangguk. "Ya, ta-tapi..."

"Biar kubereskan pecahan tekonya. Anda ganti baju dulu." Nam Byul menyarakan.

Akane melirik Vinnie yang dibalas dengan anggukan. Akhirnya, Akane cabut dari taman belakang untuk ganti baju sementara Nam Byul dan Vinnie mengumpulkan pecahan teko yang tersebar.

"Terima kasih, mau membantunya," kata Vinnie pelan.

Nam Byul mengangguk. "Hanya berkata seharusnya." Sret! Karena tidak fokus, alhasil tangan Nam Byul terluka. Vinnie terbelalak.

"Na-Nam Byul, kau kenapa?" Vinnie tampak cemas.

Nam Byul mengangguk. "Aku baik-baik saja."

Vinnie mendengus. "Baik apanya?! Bukankah tanganmu tadi berdarah cuku..." Ia terdiam begitu melihat luka Nam Byul yang menutup sendiri. Dengan gemetar, ia menjauh dari lelaki itu dan menatapnya tidak percaya sementara Nam Byul sendiri hanya diam.

"Kamu... apa?!" Vinnie menutup mulutnya.

Nam Byul menunduk bersalah. "Sudah lihat, 'kan? Ini yang mau kuberitahu padamu. Aku bukan manusia."

Vinnie menggeleng. "Tidak, tidak... itu tidak mungkin!"

"Benar, Vinnie." Nam Byul berdiri. Perlahan, iris matanya menjadi biru menyala, diikuti taringnya yang tumbuh sendiri. "Aku... adalah vampir."

Vinnie menggeleng kuat, tidak percaya. "Tidak... ini tidak mungkin! Kau vampir tapi kenapa--"

"Seo Byul, Nishimura, Delacour, dan terutama Hartwell tidak mendeteksiku?" Nam Byul menyela dengan perlahan. Ia tersenyum. "Ada caranya dan aku tidak mau mereka tahu. Intinya, Vinnie, aku tidak berniat menyakitimu ataupun teman-teman blasteranmu itu. Aku cuma ingin mengingatkanmu."

"Apa?" tanya Vinnie yang masih tidak percaya.

Nam Byul menghela napas. "Bangsa Kegelapan dipastikan menyerang tahun ini, entah kapan. Aku harap, kau siap menyambut mereka."

Vinnie masih tidak mau memercayai Nam Byul. Namun melihat tatapan tajam lelaki itu membuatnya kehabisan pilihan.

***

Leona melirik arlojinya. Sudah pukul tujuh malam. Ia sudah siap untuk pergi ke Hadlewood sejak pagi tapi kedua orang tuanya sibuk dengan kasus yang sama dan terjadi beberapa hari yang lalu.

"Kakak belum berangkat?" tanya Henri dengan alis bertaut.

"Ayah dan ibu belum pulang. Astaga, aku harus pergi sekarang!" Leona tampak gelisah.

Tepat saat itu, suara mobil datang membuat perhatiannya tertuju ke luar rumah, di mana kedua orang tuanya tampak girang sambil membawakan makanan kesukaannya.

"Leona! Henri! Kami pulang!" seru ibunya dengan wajah bahagia, tapi berubah drastis melihat Leona siap dengan kopernya. "Kamu mau berangkat sekarang?"

"Dari tadi pagi, Bu." Henri mewakili Leona menjawab. "Kakak mau pamit."

Ibu mereka tampak lesu seketika. "Oh, begitu. Hadi!" Ia memanggil ayah mereka yang baru saja menutup pintu. "Putrimu mau berangkat sekarang."

Ayah mereka muncul dengan raut bingung. "Kenapa malam-malam?"

"Harusnya tadi pagi. Tapi, ayah dan ibu sibuk dengan kasus itu jadi, aku belum pamit," jelas Leona.

Keduanya tampak kurang senang. Namun, mereka hanya diam. "Baiklah, Leona. Hati-hati." Ibunya langsung memeluk Leona.

"Iya, Ibu." Leona membalas pelukan ibunya dan langsung memeluk ayahnya juga.

"Jangan nakal," nasihat ayahnya. "Jaga adikmu juga jika dia datang."

"Iya, Ayah."

Setelah itu, Leona langsung membuka portal ke Loctus dan muncul di tempat seperti tahun kemarin. Bedanya, tahun kemarin ia datang di pagi hari. Sekarang, ia datang di malam hari dan jalanan Desa Whitelock sudah sangat sepi. Angin musim gugur yang bertiup saat itu membuatnya menggigil.

"Astaga, dinginnya..." Leona menahan hawa dingin dan berjalan menuju sekolahnya.

Arlojinya seketika berubah dari jam tujuh menjadi jam sepuluh malam. Pantas saja sudah sepi. Ia bisa mendengar suara kereta kuda yang berlalu lalang di desa, suara hewan-hewan ternak, lolongan serigala, dan gonggongan anjing gembala.

Tidak buruk, Leona membatin.

Ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari Kai. "Halo?"

"Kamu di mana?"

Leona mengerutkan keningnya. "Aku? Baru saja sampai di Loctus."

"Kenapa malam-malam?"

"Aku menunggu orang tuaku pulang agar bisa berpamitan. Di sana sudah tidur semua?"

"Beberapa belum. Mau kujemput pakai kuda?"

Leona terkejut mendengarnya. Setahu dirinya, tidak boleh ada murid yang berkuda di malam hari sendirian. "Memangnya boleh?"

"Boleh saja. Di mana kamu?"

Leona berhenti di depan salah satu toko buku terkenal di Desa Whitelock yang sudah tutup. "Toko buku Miracle."

"Oke, tunggu di sana."

Setelah itu, Leona hanya menunggu. Udara malam makin dingin dan ia melihat pub yang berada di dekat dengan toko buku ramai akan orang-orang yang baru datang. Lalu, ada pula orang-orang yang baru keluar dengan sempoyongan. Ia pun meringkuk sambil bersembunyi di balik drum yang ada di dekatnya.

Kenapa aku harus menunggu di tempat seperti ini?

Tepat saat hatinya ingin menjawab, derap langkah kuda mendekat, membuatnya berdiri. Kai datang dengan balutan jaket dan syal di tubuhnya sambil menunggangi kuda kesayangannya, Fire.

"Lama?" tanya Kai singkat.

Leona menggeleng. "Lebih cepat dari perkiraanku."

Kai mengangguk. "Tentu saja. Kau bisa mati kedinginan."

"Bagaimana tasnya?" tanya Leona yang menunjuk satu tas besar miliknya. "Apa muat?"

Kai menghela napas dan turun. "Kalau kau kasihan pada Fire, tasmu dibawa olehnya dan kita jalan."

Leona tertegun. "Baiklah, kita jalan saja. Aku takut Fire tidak kuat."

"Oke."

Mereka berjalan ke sekolah dengan perlahan. Kai sempat bertanya kenapa Leona sulit dihubungi sejak dua minggu yang lalu dan gadis itu hanya tersenyum.

"Aku sudah kirim di e-mail, 'kan? Akan kujelaskan saat di sekolah," kata Leona.

Kai mendengus. "Kau membuatku--maksudku, kami--cemas."

"Yeah, maaf. Oh, iya, cafetaria masih buka?" tanya Leona.

"Masih. Mau ke sana?" tawar Kai.

Leona mengangguk. "Iya. Mau temani?"

"Boleh." Kai mengangguk. "Setelah kau menaruh tasmu dulu."

"Aku sangat setuju." Leona mengangguk pelan.

Mereka berpisah. Kai menunggu di ruang pribadi sementara Leona menata tasnya di asrama. Amanda dan Vinnie langsung menghambur ke arahnya begitu ia memasuki asrama putri. Beberapa anak sudah tertidur dan sebagiannya masih bergosip ditemani cemilan malam.

"Leona! Kenapa kamu tidak ada kabar?!" tanya Amanda cemas.

Leona tersenyum. "Akan kujelaskan nanti. Bukankah sudah kubilang?"

"Yeah, tapi ini di luar dugaan," ucap Vinnie serius sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kau bilang mau berangkat tadi pagi. Kenapa baru sampai sekarang?"

"Aku belum pamit pada orang tuaku yang pergi menangani kasus. Kau tiba tadi pagi?" balas Leona sekaligus bertanya.

Vinnie mengangguk. "Ya, akhirnya. Kau mau tidur?"

Leona menyengir. "Aku ada urusan sebentar. Kalian tidur saja dulu, tidak apa-apa." Ia langsung buru-buru keluar tanpa memberi Amanda maupun Vinnie kesempatan bertanya.

"Leona, urusan apa?! Leona!" Amanda berseru. "Ah, itu anak!"

Vinnie menghela napas panjang. "Biarkan saja. Pasti urusan dengan Kai."

Raut wajah Amanda berubah menjadi datar. "Benar juga. Sejak dua minggu kemarin, dia uring-uringan karena tidak bisa menghubungi Leona." Merasa ingat sesuatu, ia bertanya, "Oh, benar juga. Kau mau bilang apa tadi?"

"Ah!" Vinnie tersentak. Mendadak, ia gemetar dan pikirannya kosong. "I-itu... hmm, ya... ki-kita bicarakan dengan Leona juga, ya!"

"Serius?" tanya Amanda memastikan.

Vinnie mengangguk yakin. "Iya, Amanda."

***

"Kai, maaf agak lama. Kau su..." Omongan Leona terpotong melihat Kai yang tertidur dengan pulas di sofa ruang pribadi yang tepat di depan perapian. Leona menghela napas. "Ternyata tidur."

Melihat posisi Kai tertidur saat itu membuat Leona tersenyum. Ia melepas jaketnya dan menyelimuti Kai dengan itu.

"Ya sudah. Mau bagaimana lagi, ya?" gumam Leona. Ia berbisik, "Selamat malam. Mimpi yang indah."

Setelah itu, Leona diam-diam keluar dan berpapasan dengan Tony dan Arie. Keduanya memegang kopi di tangan masing-masing.

"Leona, kapan datang? Astaga!" Arie tampak senang bertemu dengan Leona saat itu.

Leona tersenyum. "Baru saja. Apa kabar kalian berdua?"

"Sangat baik. Kau sendiri?" balas Tony sekaligus bertanya.

"Baik. Mau masuk?" tanya Leona.

Keduanya mengangguk. "Yeah, mau sedikit mendengar cerita horor Randy. Kami duluan, ya!" Arie berpamit diikuti Tony.

Leona mengangguk. "Tentu saja." Setelah itu, ia menghela napas. "Horor? Yang benar saja..."

Lingkungan sekolah tampak beda saat pelajaran belum dimulai. Sekolah memberi kebebasan murid-muridnya sampai penerimaan murid-murid baru. Saat itu terjadi, seluruh murid harus tidur maksimal pukul sepuluh. Jika kegiatan sekolah belum dimulai, tidak tidur pun tidak dilarang. Itu kenapa suasana terasa hangat dan bersahabat. Bahkan cafetaria pun tampak cukup ramai.

"Leona, apa kabar?" sapa Ken yang ternyata berada di belakangnya.

"Baik! Senpai sendiri?" Leona membalas dan bertanya.

Ken mengangguk. "Tidak pernah sebaik ini. Sendiri?"

Leona mengendikkan bahunya. "Begitulah. Harusnya aku datang dengan Kai tapi dia terlelap di ruang pribadi. Aku kasihan jadi kuputuskan ke sini sendiri."

"Begitu, ya. Hmm, mau kutemani? Kebetulan aku juga sendirian," tawar Ken.

"Boleh." Leona menyetujui.

Setelah memesan makanan dan minuman, mereka memilih tempat duduk yang agak sepi. Leona tampak berselera saat daging panggang dengan pure kentangnya datang. Ditambah lagi matcha hangat yang meningkatkan rasa tenangnya.

"Selamat makan," gumam Leona. Sejujurnya, ia belum sempat makan malam. Wajarkan saja ia menunggu orang tuanya sampai malam sehingga tak sempat membuat makan malam untuk Henri.

"Kau belum makan, ya?" tanya Ken yang heran melihat Leona makan dengan lahap sampai meminta hidangan pencuci mulut dua porsi.

Leona mengangguk sambil mengunyah dagingnya. Saat dagingnya tertelan, barulah ia menjawab, "Aku baru saja tiba. Tadinya aku mau berangkat pagi, tapi orang tuaku ada urusan dan baru pulang malam. Aku hanya menunggu untuk pamit."

Ken ber-oh paham sambil menyuap panna cotta miliknya. "Pantas saja. Pelan-pelan makannya."

Lagi-lagi, Leona hanya mengangguk. Mulutnya agak penuh dengan daging dan pure kentang namun itu membuat Ken tidak bisa menahan diri untuk tertawa.

"Kenapa tertawa?" tanya Leona yang baru selesai dengan makan malamnya.

Ken menggeleng. "Kau lucu saat mengunyah makanan banyak tadi. Lucu..." Lelaki itu masih tertawa, membuat Leona malu.

"Se-senpai! Aku malu," ujar Leona pelan dengan pipi bersemu.

Ken masih tertawa. Namun ia mengangguk. "Iya, iya."

***

"Kai, bangun. Hei!"

Kai merasakan tepukan pelan di pipinya. Saat matanya terbuka, ia melihat wajah Arie dan Tony yang menghela napas lega.

"Kenapa?" tanya Kai pelan.

Tiba-tiba, tampak Amanda yang berdiri di belakang Arie maju. "Kau tahu di mana Leona? Ini hampir pagi dan dia belum kembali dari cafetaria."

"Dia... apa?" Kai mencoba mencerna kata-kata Amanda barusan. Kepalanya terasa pening akibat salah posisi tidur. "Cafetaria?"

"Tadi, dia izin ke cafetaria. Tapi sampai sekarang belum kembali," terang Vinnie perlahan. Matanya menatap mata Kai intens. "Kau tahu di mana dia?"

Kai memegangi kepalanya. "Sebentar, beri aku waktu."

"Ya, tentu saja." Tony menyahut sambil menguap. "Kalian tahu Kai belakangan ini tidak tidur memikirkan Leona?"

"Dan sekarang Leona yang ia pikirkan tidak ada di manapun, bahkan cafetaria. Kalian tidak cemas?" Amanda berusaha menahan emosinya yang saat itu hampir meledak. Untungnya, Vinnie bisa membantu menahannya.

Kai butuh waktu sampai akhirnya ia sadar. "Leona ke cafetaria sendiri?"

"Nah, akhirnya paham!" Arie mengangguk.

Kai terdecak dan menghela napas jengkel. "Sudah kubilang... ah! Salahku juga!" Ia mengacak rambutnya gemas yang membuat keempat sahabatnya melongo.


"Ke-kenapa?" tanya Tony.

"Oh, pastinya kalian janji ke sana berdua, ya?" terka Vinnie sambil meledek Kai.

"Ya, memang begitu." Kai berdiri, masih dengan raut jengkel. "Baiklah, kucari dia."

"Hei, Kai! Kami mencarinya tapi... dia tidak ada di cafetaria," kata Amanda.

Kai menghentikan langkahnya dan berbalik. "Maka kita cari selain di cafetaria. Apapun itu, ruang rahasia, perpustakaan, toilet, gudang, semuanya."

Keempatnya mengangguk. "Baiklah."

Mereka memulai pencarian mereka. Kai mencoba menghubungi ponselnya tapi mati dan ini sudah hampir pagi.

Leona, Leona... di mana kau? Kai mulai cemas dan juga merutuki dirinya sendiri. Kenapa aku sampai tidur, sih? Bodoh kau, Kai!

"Ah, Schrupter! Lama tak jumpa," sapa seseorang yang tak lain adalah Seo Byul. "Apa kabar? Kenapa kau tampak cemas begitu?"

"Kau baru sampai?" tanya Kai langsung.

Seo Byul mengangguk. "Aku baru kembali dari Hutan Venn untuk mengambil bahan ramuan. Kenapa?"

Kai bingung dari mana harus menjelaskan. Akhirnya setelah berpikir beberapa saat, ia bertanya, "Bisa lacak Leona? Jangan tanya kenapa."

"Bisa. Hmm, kalau itu maumu." Seo Byul diam-diam mengeluarkan tongkat dan memejamkan mata bersamaan ia merapalkan mantra. Tak lama kemudian, ia membuka matanya dan menatap Kai tajam. "Rumah sakit, cepat!"

Kai langsung berlari sambil berteriak, "Terima kasih."

"Sama-sama." Seo Byul mendesah. "Hah, ada-ada saja. Eh, tunggu!" Merasa ingat sesuatu, ia bergidik.

"Astaga! Aku lupa!" Ia langsung berlari menyusul Kai.

***

Halo,

Maaf baru update babnya malam-malam karena aku juga baru selesai revisi bab ini. Hari ini aku benar-benar sibuk mengurus cukup banyak hal yang menyita waktuku. Aku harap kalian suka.

I hope you really enjoy my new story^_^

Continue Reading

You'll Also Like

60.5K 11.4K 37
--Sequel kedua dari AGENT: Agent of mutants-- [The Parallel Dimension; adalah perjalanan kelima mutan itu dalam dimensi paralel, dan secara tidak sen...
379K 21.7K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
1.2M 104K 51
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
1.2K 274 31
[Kumpulan Cerpen Fantasy] Kalian pernah berpikir kehidupan di luar sana selain di bumi? Bagian semesta yang tersembunyi, terdapat banyak tempat yang...