NEVERLAND

By anotherblackspace

19.7K 1.3K 200

Side story of esperanza Tentang Aga dan dunianya, Selamat datang di dunia Aga... More

Aga : Opening
Aga : 1
Aga : 2
Aga : 3
Aga : 4
Aga : 5
Aga : 6
Aga : 7
Aga : 8
Aga : 9
Aga : 10
Aga : 11.1
Aga : 11.2
Aga : 13
Aga : 13.2
Aga : 14

Aga : 12

877 68 11
By anotherblackspace


Evan mengerutkan keningnya sambil menatap Aga. Ada yang aneh dengan adiknya itu. Dia sebenarnya sudah menyadarinya sejak pagi, tapi keanehannya baru terlihat jelas siang ini, tepat saat di duduk berhadapan dengan Aga seperti sekarang ini.

"Ngapain sih Bang ngeliatin mulu? Aga salah ya?" tanya Aga takut-takut. Evan menggeleng pelan sambil tersenyum, meminta Aga untuk melanjutkan pekerjaannya. Aga menurut, tapi tidak beberapa lama Aga kembali menatap Evan yang tengah menatapnya lekat-lekat.

"Abang tumben gak kerja? Ini kan hari kerja, bolos ya? Kata Bu Guru bolos itu gak baik loh Bang," celetuk Aga, mencoba mengalihkan pandangan Evan darinya. Tapi bukannya menjawab pertanyaannya, Evan hanya tersenyum tipis sambil menatap Aga, terus menatapnya.

"Kenapa sih Bang? Abang sakit ya makanya gak masuk kerja? kalo Abang sakit pergi ke dokter, atau telpon Om Ganteng biar diperiksa," lanjutnya lagi, tapi Evan masih tetap tidak menjawab pertanyaannya dan terus menatapnya.

"Ih Abang! Jangan ngeliatin terus! Aga kan jadi takut!" teriak Aga kesal, sudah tidak betah dipandang terus menerus oleh Evan, "kerja sana, jangan ngeliatin Aga terus!" tambahnya.

"Emang kenapa sih kalo Abang gak kerja? harusnya Aga seneng dong kalo Abang gak kerja, kan bisa temenin Aga main seharian, lagi kantornya kan punya Abang, jadi terserah Abang dong mau kerja apa enggak, di kantor juga gak ada yang penting, bisa dikerjakan Bella sm Marcel."

Evan berbohong, sebenarnya ada beberapa urusan yang harus dia selesaikan hari ini, tapi melihat keanehan Aga sejak pagi tadi, Evan sengaja meliburkan diri dan meminta Bella membatalkan jadwalnya dan menyerahkan jadwal-jadwal penting yang tidak bisa dibatalkan pada Marcel.

"Ih Abang gak boleh gitu ah, gak baik tau bolos-bolos gitu, Aga bener kan Bu Guru?" tanya Aga pada guru privatnya yang tengah menikmati teh dan sepotong biskuit. Guru itu tersenyum kikuk sambil mengangguk tak kalah kaku, tidak menyangka akan dimasukkan dalam pertengkaran kakak-adik ini. Evan akhirnya ikut tersenyum, sama kikuknya dengan Guru privat Aga yang jauh lebih tua darinya itu.

"Bu Guru, ini berapa lama lagi waktunya?" Aga memang tengah menjalankan ujian semester seperti anak-anak di sekolah umum, jadwal dan soalnya bahkan sama seperti sekolah umum. Lembaga homeschooling Aga bahkan mendatangkan pengawas yang sekarang mengawasi Aga mengerjakan soal sambil sesekali menahan senyum mendengar pertengkaran Aga dan Evan.

"Ini masih 30 menit lagi, kenapa?"

"Bosan, kalo udah selesai boleh dikumpulkan duluan gak Bu?" Guru privat Aga terlihat berbincang dengan pengawas yang duduk di sebelahnya, mendiskusikan pertanyaan Aga. Setelah sepakat, guru privat itu akhirnya mengangguk pada Aga. Aga tersenyum lebar, dia segera mengerjakan soal-soal yang ada di layar laptop itu teliti. Tidak sampai 10 menit kemudian Aga sudah menyelesaikan semua soal-soalnya.

"Selesai, Aga mau main!" teriak Aga sambil meraih Bunny yang duduk di sampingnya dan berlari ke luar ruang belajarnya.

"Eh Aga, periksa dulu, siapa tau ada yang belum dikerjakan!" teriak Guru privat Aga. Dari ambang pintu Aga tersenyum sambil menggeleng, "udah semua, kalo gak percaya tanya Bunny nih!" jawab Aga menunjukan Bunny di depan dada. Kali ini guru privat itu memandang Evan sebelum mengangguk, mengizinkan guru itu untuk mengakhiri ujiannya. Evan tidak perlu khawatir dengan hasil ujian Aga, atau kemungkinan Aga tidak menyelesaikan soal-soal ujiannya. Aga tergolong cerdas untuk anak seumurannya meskipun sifatnya seperti anak-anak.

"Baiklah kalau begitu kami permisi dulu pak Evan, hasilnya akan saya kirim lewat E-mail paling lambat 2 minggu lagi."

"Iya Bu, terima kasih banyak."

Setelah mengantarkan guru dan pengawas tadi ke depan dan melihat mobil mereka menghilang di tikungan jalan, Evan kembali ke dalam rumah, menyusul Aga yang mungkin tengah bergelantungan di bawah pohon Mangga, kebiasaan barunya.

"Ga, mall yuk?"

"Mall? Timezone ya?" Ujung bibir Evan berkedut samar, menahan tawa, setiap mendengar kata Mall pasti timezone yang ada di pikirannya. Tapi sebenarnya bagus juga, Aga butuh refreshing setelah seminggu ujian semester.

"Iya, mau gak?"

"Mau!"

"Ya udah ayo, ganti baju dulu. Abang tunggu di bawah ya? Sambil manasin mobil." Aga langsung berlari masuk kembali ke dalam rumah menjawab Evan. Evan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat antusiasme Aga, tadi saja dia bermalas-malasan belajar, sekarang semangatnya sudah seperti pejuang yang akan berangkat perang.

🐭🐰🐭🐰🐭🐰🐭🐰

"Timezone, timezone, timezone, hore!" teriak Aga saat memasuki pintu utama Mall dengan Evan yang menggandeng erat tangan Aga, takut tiba-tiba adiknya itu berlari dan menabrak orang atau terjatuh. Evan sesekali memberi senyum tipis saat melewati satpam dan beberapa SPG kenalannya yang berjajar di sepanjang lorong. Saking seringnya mereka datang ke mall ini, Evan hampir mengenal seluruh pekerjanya, bahkan terkadang meminta tolong mereka jika Aga tidak bisa dikendalikan.

"Yay! Timezone!" Aga berteriak heboh saat melihat timezone dari kejauhan. Dia melepas gandengan tangan Evan dengan keras, membuat pegangan Evan terlepas, tapi sebelum Aga berlari menjauh, Evan berhasil menarik pakaian Aga dan membawanya kembali ke jangkauannya.

"Mau kemana sih Ga?" Aga menatap Evan kebingungan sambil mengerucutkan bibirnya. Dia menunjuk timezone dengan telunjuknya, kemudian menatap Evan tajam.

"Itu timezone nya!"

"Lah, siapa bilang Abang ngajak Aga ke timezone?"

"Mall itu timezone Abang! Ayo cepet, nanti mainan Aga dimainin anak lain, Aga gak mau nunggu lama. Ayo buruan Abang!"

"Timezone nya rame, tuh liat. Kita pergi ke tempat lain dulu yuk? Nanti kalo udah agak sepi kita ke sana lagi, Aga bisa main sepuasnya di sana."

"Tau dari mana kalo udah agak sepi? Tempat lainnya di mana? Emangnya timezone nya keliatan dari tempat lain itu?"

"Kan Abang bawa hp, nanti sama kakak-kakak yang di dalem itu Abang ditelpon kalo udah sepi."

"Emang Abang udah bilang sama mereka? Kan Abang belum masuk ke sana. Abang mau boongin Aga ya? Gak baik tau Bang boong itu, nanti Tuhan marah loh sama Abang. Kalo Tuhan marah terus gak dibangunin rumah di samping Tuhan gimana? Mau tinggal di mana Abang nanti di surga?"

Evan menghela napas panjang sambil melihat ke sekelilingnya, siapa tahu dia menjadi tontonan karena sudah dimarahi anak kecil. Tunggu, secara fisik Aga bukan anak kecil lagi, jadi tidak masalah sebenarnya. Evan mengeluarkan ponselnya, membukakan pesan dan menunjukkan chat-nya bersama penjaga timezone.

"Tuh, Abang udah bilang sama mereka, puas?"

"Ya udah deh, mau ke mana dulu Bang? Jangan jauh-jauh, Aga gak mau pas kita ke sini lagi ternyata timezone nya penuh lagi."

"Gak jauh kok, yuk ikut Abang."

Aga menurut saja meskipun bibirnya sekarang sudah mengerujut panjang, kesal bukan main. Tapi apa daya, sekali kakaknya bilang tidak, itu artinya tidak, sama juga dengan tunggu, sekali tunggu, artinya tunggu, tidak ada bantahan. Evan menahan senyumannya melihat ekspresi kesal Aga. Tunggu sampai mereka tiba di tempat yang Evan tuju, Evan sendiri tidak sabar melihat reaksi Aga.

"Ayo masuk, udah sampai nih!" Aga yang tengah menundukkan wajahnya dan menatap ujung sepatu perlahan menegakkan kepalanya. Tubuhnya menegang, wajahnya berubah masam, alisnya mengerut dalam sedangkan pandangannya jelas tidak suka.

"Gak mau Bang! Gak mau! Pokoknya Aga gak mau!" teriak Aga tidak suka, membuat orang-orang di sana menatap Aga dan Evan yang tengah berdebat di depan pintu masuk. Salah seorang petugas di dalam sana melambaikan tangannya pada Evan, membuat Evan balas melambai sambil menunjuk Aga. Petugas itu mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.

"Ayolah, sebentar aja, abis itu Aga bisa bebas main ke timezone, ya?"

"Gak mau!" Aga menepis tangan Evan yang kebetulan merenggang, membuatnya dengan mudah melepaskan diri dan berlari meninggalkan Evan.

"Aga, tunggu!"

Evan dan Aga akhirnya kejar-kejaran di lorong sambil berusaha menghindari orang-orang yang berjalan berlawanan arah dengan mereka. Evan terus meneriakkan nama Aga, sementaara di depannya, Aga terus berteriak tidak mau sambil mempercepat langkah kakinya.

"Pak Satpam, tolong tangkep pak!" teriak Evan begitu melihat Satpam mall berdiri tidak jauh dari Aga. Satpam yang sepertinya sudah bisa membaca situasi lantas mengangguk, dia mengambil ancang-ancang untuk menangkap Aga, tapi ternyata Aga berbelok, memasuki toko dan keluar lewat pintu satunya.

"Astaga! Gesit banget sih nih anak!" rutuk Evan yang mulai kelelahan. Tidak kurang akal, satpam tadi menginformasikan pada semua satpam yang ada di mall lewat HT nya untuk menangkap Aga. Selain itu dia juga ikut berlari mengejar Aga bersama Evan.

"Kenapa Bang? Kayak biasanya ya?"

"Iya Pak, biasa lah, gak mau potong rambut. Tadi saya ajak ke sini dia pikir mau main ke timezone, pas udah di depan barbershop kabur dia." Pak satpam tertawa di sela napasnya yang satu-dua, kelelahan mengejar Aga.

Di tempat lain Aga rupanya berhasil tertangkap oleh satpam yang berada di lantai lain, entah bagaimana Aga sudah berada di lantai lima, padahal lokasi tempatnya memotong rambut berada di lantai tiga dan tidak mungkin Aga berani naik lift sendirian, dia pasti berlarian di escalator.

"Ah! Lepasin Aga! Lepasin!" teriak Aga meronta-ronta. Tapi satpam itu tersenyum jahat sambil menggeleng pada Aga, "Nanti, tunggu Abang dateng baru bapak lepasin."

Satpam yang menangkap Aga itu mengeluarkan HT nya dan menghubungi satpam yang lain, menginformasikan bahwa dia berhasil menangkap Aga dan memberitahu posisinya sekarang. lengah, Aga memegang tangan satpam itu dengan kedua tangannya, mendekatkannya ke mulutnya dan,

"Argh!" Satpam itu menjerit kesakitan ketika Aga menggigit lengannya sekuat tenaga. Lagi, Aga berhasil melarikan diri dan berlari lagi, tapi belum jauh dia berlari, langkahnya tiba-tiba terhenti saat seseorang memeluk tubuhnya dengan erat.

"Kena!" teriak Evan girang. Di belakangnya, para satpam yang mengejar Aga akhirnya bisa bernapas lega. Mereka tertawa puas saat Aga tidak bisa bergerak ke mana-mana setelah berada di dalam dekapan Evan. Ya, sekali-kali berolahraga tidak apa lah. Sepertinya sudah menjadi rutinitas bulanan saat Aga akan potong rambut.

"Akhirnya ketangkap juga ya Bang."

"Iya Pak, makasi banyak ya atas pertolongannya."

"Iya Bang, semangat potong rambutnya! Dadah Aga, nanti main lari-larian lagi ya?" Aga mengerucutkan bibirnya kesal, dia tidak bisa lari lagi sepertinya, terlebih saat Evan tersenyum manis padanya seperti ini.

"Jangan lari-lari lagi ya? Please, nanti Abang kasih cokelat, permen sama es krim kalo Aga mau nurut. Ya?"

"Tujuh ya? Masing-masing!" Evan menghela napas panjang, adiknya mulai pintar bernegosiasi sekarang. Dengan masih mempertahankan senyuman di wajahnya, Evan mengangguk, mengiyakan permintaan Aga. Apapun asal Aga mau dipotong rambutnya.

🐭🐰🐭🐭🐰🐭🐰🐭

"Gak mau ah Bang, ayo pulang aja, ya Bang ya? Pulang, ayo pulang!" rengek Aga begitu mereka berdua sampai di depan barbershop. Evan kembali menarik napas panjang, mereka sudah selesai mendiskusikan ini tadi, haruskah dia melakukannya lagi?

"Ayo dong Ga, tadi kan Aga udah janji,"

"Gak mau!" Evan meniup rambut bagian depannya yang turun karena berlarian mengejar Aga tadi. Tidak ada pilihan lain, dia sedikit berjongkok, meraih paha Aga dan membopongnya ke tempat yang sudah disediakan oleh petugas yang tadi memberikan isyarat pada Evan.

"Rapiin kayak biasanya ya?"

"Siap!" Laki-laki yang diajak bicara Evan langsung membuka kain penutup yang biasa digunakan untuk menutupi pakaian agar tidak terkena potongan rambut, tapi Aga kembali berulah. Dia menepis kain itu dengan pelan, "Ga mau pake itu, kasian Bunny ketutupan, nanti mati keabisan napas!"

Laki-laki itu memandang ke arah Evan, meminta pendapat dan bantuan Evan. Evan yang baru akan menjatuhkan diri ke kursi mau tidak mau harus berdiri lagi dan membujuk Aga supaya mau menggunakan kain itu dan menitipkan Buny padanya.

"Ih, jangan disemprot-semprot, Aga bukan bunga!" protesnya lagi saat rambutnya disemprot air agar sedikit basah dan mudah untuk dirapikan. Laki-laki itu menurut, toh dia sudah menyemprotkan cukup banyak hingga membuat rambut anak itu basah, lagi pula rambut Aga tergolong rambut yang benar-benar lurus, tidak sulit untuk merapikannya.

"Jangan pake itu, nanti kepala Aga ilang!" teriak Aga melihat pemotong rambutnya mengeluarkan alat cukur. Pemotong Aga kembali menatap Evan, meminta pertimbangan, kemudian memilih menggunakan gunting untuk menipiskan ramput Aga meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama.

Baru seperempat yang dipotong, Aga sudah bergerak-gerak tidak nyaman. Dia bosan sebenarnya. Tubuhnya bahkan bergerak semakin kencang, membuat orang yang tengah memotong rambut Aga kesulitan. Melihat hal itu, Evan segera mengambil mainan yang memang disediakan di tempat ini, maklum, tempat ini memang khusus untuk anak-anak, jadi ada banyak sekali mainan yang ada di dalamnya.

"Sambil main kartu yuk?" tawar Evan. Dia meminta izin untuk memutar kursi Aga yang langsung disetujui oleh pemotong rambut Aga. Apapun asal anak itu mau diam. Lagi punya ada kaca di setiap penjuru ruangan, membuat pemotong rambut mudah memotong dari arah manapun.

"Main kartu cangkul kayak waktu itu?" tanya Aga terlihat antusias. Evan memberi kode agar pemotong rambut Aga memulai pekerjaannya lagi meskipun posisi Aga sedikit menunduk.

"Bukan, kita mau buat menara dari kartu."

"Wah, menara! Caranya gimana?"

"Kayak gini nih!"

Evan mencontohkan cara membuat pyramid dari kartu-kartu yang dia bawa. Evan baru sadar kartu itu bergambar kartun. Ada doraemon, spongebob, dora, power rangers dan masih banyak lagi. Sepertinya cara itu cukup ampuh karena sekarang Aga terlihat sibuk menata pyramid buatannya yang memang membutuhkan kehati-hatian, sehingga Aga tidak bergerak banyak.

Tapi sepertinya hal itu tidak bertahan lama karena Aga bisa menyelesaikan seluruh kartu dan membuat pyramid dalam waktu yang cukup cepat, padahal bagian depan belum dipotong sama sekali dan tengkuknya belum rapi.

"Abang bosan, ayo pulang!"

"Eh tunggu Ga, belom selesai, makan cokelat aja gimana?"

"Iya deh mau, tapi cokelat yang ada wafernya ya Bang?" Evan mengangguk mengerti, untung dia membawa banyak jenis coklat. Dia mengeluarkan kitkat dalam tas ransel kecil yang harus selalu dibawa saat bepergian dengan Aga dan memberikannya pada Aga.

"Doa dulu, bilang makasi sama Tuhan karena Aga bisa makan cokelat hari ini." Aga yang sudah hampir menyuapkan cokelat di tangannya ke dalam mulut kontan langsung menarik lagi cokelatnya dan mulai berdoa.

"Aamiin." Tanpa banyak bicara lagi Aga menyuapkan cokelatnya ke dalam mulut, memberikan kesempatan bagi pemotong rambutnya untuk memotong rambut bagian depan Aga. Tapi saat laki-laki itu menyisir rambut Aga ke depan, Aga refleks langsung berteriak dan menepis tangan itu pelan.

"jangan!" teriak aga sambil melindungi poninya dengan satu tangan sementara tangan satunya memegangi cokelatnya dengan erat.

"Kenapa? Kan udah kepanjangan, bisa turun-turun ke mata Aga, ganggu penglihatan Aga juga. Dipotong ya? Dikit kok," bujuk Evan lagi seolah tidak lelah terus membujuk adik cerewetnya itu. Aga menggeleng keras sambil terus melindungi rambutnya.

"Gak mau, nanti kecolok, terus Aga buta, gak bisa liat Abang lagi!" tolaknya. Ada-ada saja, pikir Evan. Laki-laki yang memotong rambut Aga mengerti. Dia akhirnya menyisir rambut depan Aga ke atas dan menariknya ke samping, memotongnya dari samping dan membawanya ke depan lagi untuk melihat hasilnya.

"Gimana?" tanya laki-laki itu pada Evan. Evan yang sedari tadi duduk di samping Aga akhirnya berdiri, memeriksa tampilan Aga dari depan, samping bahkan belakang, sempurna!

"Akhirnya kelar juga!" ujar Evan senang melihat rambut Aga yang lebih pendek dan rapi. Bahkan sekarang pipi chubby Aga terlihat jelas, membuatnya semakin terlihat imut dan menggemaskan. Sementara laki-laki itu membersihkan potongan rambut di tubuh Aga, Evan membayar tagihan potongnya dan memberikan tip khusus untuk orang yang memotong rambut Aga.

"Yes, akhirnya selesai juga!" teriak Aga girang saat tubuhnya terbebas dari kain penutup yang menutupi tubuhnya. Dia langsung merebut Bunny dari tangan Evan dan memeluknya dengan posesif.

"Aga, bilang makasi dulu coba ke Omnya."

"Makasi Om yang potong rambut Aga, jangan potong rambut Aga lagi ya? Dadah, Aga nanti gak balik-balik ke sini lagi kok, jangan kangen ya?" Ucapan Aga kontan membuat orang-orang yang ada di dalam sana tertawa terbahak-bahak.

"Bang, timezone nya jadi kan? Udah gak rame kan? Kakak penjaganya udah hubungi Abang kan?"

"Iya-iya, jadi."

"Yes!" Aga melepaskan tangannya dari genggaman Evan dan berlari lebih dulu ke timezone, meninggalkan Evan yang sudah lelah mengejar adiknya itu. Biarlah, toh Aga sudah tahu tempatnya dan orang-orang di sana sudah mengenal Aga dengan baik.

"Ah, lain kali gue harus pikir-pikir ulang kalo mau ajak Aga potong rambut sendirian tanpa Shasa," sesal Evan yang memutuskan pergi tanpa mengajak Shasa. Dia jadi kerepotan sendiri.

----------------------


menara yang Aga bangun


Potongan rambut Aga yang lama


Potongan rambut baru Aga


Bonus Abang Evan yang kesel nungguin Aga, tapi harus tetep senyum

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 147K 45
‼️ NEW VERSI ‼️ FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!! "𝓚𝓪𝓶𝓾 𝓪𝓭𝓪𝓵𝓪𝓱 𝓽𝓲𝓽𝓲𝓴 𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓱𝓮𝓷𝓽𝓲, 𝓭𝓲𝓶𝓪𝓷𝓪 𝓼𝓮𝓶𝓮𝓼𝓽𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓹𝓸𝓻...
Ervan By inizizi

Teen Fiction

1.5M 107K 72
[Brothership] [Not bl] Setiap orang berhak bahagia, meskipun harus melewati hal yang tidak menyenangkan untuk menuju kebahagiaan. Tak terkecuali Erva...
2.7M 152K 39
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.9M 101K 56
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...