Frou

By andihaname

125K 19.6K 5.2K

[SELESAI] Gendis Jingga dan Niagara, dua orang yang mendirikan sebuah radio amatir bernama Frou. Lalu Rasio... More

La Sol El Luna
About a Friend
Bedroom Avenue
I Am You
You and Your Shadows
Farther Than I Might Have Ever Figured
Anaheim
We Don't Have Much to Say
Glitches
False Alarm
Less Afraid
a Lot of Fireworks But I Still Had a Reason to Smile
Oh Well
Words and Stories
If I Could I Would
I Love You But I'm Letting Go
Part of Me, Apart from Me
Let Me Erase You
Lost
Ironic
Blue Sky Thinking
Love Is
Self-Reflecting Room
Home
From Satellite
[extra] About Frou Studio
Blurry
La Sol, El Luna (FINAL)
Quite Quiet [EPILOG}

Light Inside

7.9K 969 77
By andihaname

Light Inside - My Violaine Morning

Gara paling suka menghabiskan waktu bersama Papa di malam hari, karena Papa benar-benar menjalankan tugasnya sebagai ayah di jam-jam tersebut. Tiga perempat dari 24 jam Papa digunakannya untuk bekerja. Sisanya, yang biasanya dimulai tengah malam, digunakannya untuk menemani anak laki-lakinya tersebut. 

Seperti sekarang ketika Gara dan Papa duduk bersisian di ruang tengah dan menonton film yang baru saja didownload Gara.

Gara melirik Papa ketika film akhirnya selesai. Pria itu tampak terkantuk-kantuk, tapi berusaha keras untuk terjaga hingga film tersebut mencapai akhir. Gara tersenyum lalu menepuk paha Papa.

"Tidur, Pa?" tanyanya.

Papa menoleh dan menggeleng. "Papa mau sortir data dulu sebentar."

Gara segera melirik jam dinding. "Pa, ini udah jam 1. Papa istirahat aja."

"Masih jam satu kali maksud kamu? Papa nanti tidurnya jam 3an," Papa tertawa kecil.

"Pa," Gara tak balas tertawa. "Liat kantong mata Papa, bisa buat naro receh tuh. Papa kenapa susah banget buat istirahat, sih?"

"Yah Papa diserang Gara lagi," Papa menepuk-nepuk lutut anaknya. "Udah kayak Yura aja kamu," pria itu menyebutkan anak sulungnya.

"Kalo Gara nggak kayak Kak Yura, siapa lagi yang ngingetin Papa?"

"Hus, kamu kok malah jadi serius?"

Gara menghela napas. "Papa yang mulai."

Belum sempat Papa membalas, ponsel Gara yang tergeletak di atas meja berkedip-kedip. Gara segera meraih benda tersebut dan membaca nama yang tertera disana.

"Gendis, Pa," lapor Gara singkat sebelum beranjak dari sofa menuju ruang tamu. Papa mengangguk paham.

Gendis menelepon tengah malam lagi. Perasaan Gara mendadak tak enak. Apa Gendis mimpi buruk lagi?

"Iya, Dis? Lo nggak apa-apa?" 

Pertanyaan itu akhir-akhir ini menjadi pertanyaan pembuka yang selalu Gara ajukan setiap Gendis meneleponnya tengah malam. Dia terdiam selagi mendengarkan suara Gendis. Beberapa detik kemudian raut wajahnya mengeras.

"Gue kesana sekarang, ya? Lo tutup teleponnya, gue yang nelepon balik. Kita teleponan terus sampe gue ke kosan lo. Oke?" Gara berderap kembali ke ruang tengah tempat dimana Papa memandangnya penuh tanda tanya.

Gara menutup ponsel dengan telapak tangannya lalu berbicara pada pria itu. "Gendis, Pa. Gara mau ke kosan Gendis sekarang."

"Dia kenapa, Gar?"

"Mimpi buruk lagi." Gara tak perlu melanjutkan penjelasannya. Papa sudah mendengar cerita dari anaknya tentang perempuan bernama Gendis Jingga ini, termasuk cerita keluarganya yang bermuara pada cerita tentang mimpi buruknya.

"Iya, iya, kamu cepet kesana. Takut Gendis kenapa-napa."

Gara mengangguk dan menyambar kunci motor di atas meja. "Gara berangkat, Pa."

Menit selanjutnya Gara mendapati dirinya sudah memacu motornya dengan kecepatan tinggi menuju kosan Gendis. Dibalik helm, ponselnya terhimpit di telinga. "Dis? Bentar, ya, gue bentar lagi nyampe," serunya berusaha mengalahkan deru angin.

Gendis masih menyahut, lalu tanpa ampun Gara memacu motornya lebih kencang.

Gara sampai di kosan Gendis beberapa menit kemudian. Seperti biasa, Gara memarkir motornya di depan pagar lalu mengetuk gembok dengan kasar untuk menarik perhatian satpam bangunan kos tersebut.

"Iya, Dek?" suara muncul dari balik pagar.

"Gara, Pak!" Gara berseru. Satu tangannya merogoh saku belakang celana dan meraih selembar kertas hijau.

"Gara lagi, Gara lagi!" sekarang sang pemilik suara terlihat sosoknya. Seorang pria kurus berkumis yang selalu tampak kesal setiap berhadapan dengan Gara.

"Mau ke Gendis. Urusan penting!" Gara menyodorkan selembar kertas hijau itu pada sang satpam.

Kertas hijau itu segera berpindah tangan, yang artinya Gara mendapat izin untuk masuk. "Haduh... iya sebentar saya buka pagarnya."

Gara tersenyum puas meski uang dua puluh ribunya melayang.

"Gendis kenapa lagi, hah?" tanya sang satpam.

"Kelaperan tengah malem," jawab Gara asal sebelum meninggalkan pria kurus itu.

Gara janji, deh, nanti kalau lebaran tiba, dia bakal minta maaf sepenuh hati pada satpam kosan Gendis saking seringnya dia mengganggu pria itu tengah malam. 

Gara sampai di depan kamar bernomor 12. Diketuknya pintu cokelat beberapa kali. "Gendis?" panggilnya pelan.

Tak sampai lima detik, pintu itu terbuka. Gendis menatap Gara dengan kedua mata sembab. Gara memaki dalam hati mengetahui Gendis habis menangis.

"Dis," Gara langsung menarik Gendis dalam pelukannya. Kedua tangannya yang dingin melingkar di kepala dan punggung cewek itu.

Gendis menangis. Tubuhnya berguncang hebat di dalam dekapan Gara. Napasnya terputus-putus, menjadi penanda kalau tangisannya tak main-main.

"Mama nggak bisa dihubungi, Gar. Mama nggak ngangkat telepon aku," dalam tangisannya, Gendis meracau.

"Lo tenang, ya..." Gara mengusap punggung Gendis. "Mungkin nyokap lo udah tidur atau...?"

"Tapi aku butuh Mama."

Jelas mamanya adalah orang pertama yang akan Gendis hubungi setelah dia terbangun dari mimpi buruknya. Namun alih-alih bisa bercerita pada wanita itu, telepon Gendis bahkan tak diangkat. Gara enggan berpikir yang tidak-tidak, tapi mendengar cerita-cerita Gendis yang lalu, Gara curiga wanita itu sengaja tidak mengangkat telepon anaknya.

"Coba gue yang telepon," Gara membimbing Gendis masuk ke kamarnya dan mendudukkan cewek itu di atas kasur sebelum menarik ponsel dari saku jeansnya.

Gara menelepon Mama Gendis melalui nomornya yang satu lagi, yang tidak disimpan oleh wanita itu. Gara nyaris berkesimpulan teleponnya tak akan diangkat ketika akhirnya nada sambung itu terinterupsi.

"Halo? Ini siapa nelepon saya malem-malem? Nggak tau waktu ya kamu?"

Gara melirik Gendis. Itu suara wanita yang ingin didengar cewek itu. Tapi maaf, Gara lebih memilih Gendis tak mendengar suara itu.

Gara menekan tombol merah lalu menggeleng pada Gendis. "Nggak diangkat," bualnya.

Gendis mengangguk pelan. Tatapannya terarah ke lantai. Air matanya sudah mengering di pelupuk mata. Sampai kapanpun Gara benci pemandangan ini. Gara benci harus berhadapan dengan Gendis yang lemah seperti ini.

Satu lagi yang Gara benci. Dia benci wanita yang Gendis panggil Mama. Gendis tak pantas punya ibu seperti wanita yang barusan membentaknya. Bagaimana mungkin seorang ibu tidak mengangkat telepon anaknya dalam keadaan seperti ini? Dimana hati Mama Gendis?

Gara menekan gejolak amarahnya agar tak meletup-letup. Bagaimanapun Gara tidak punya hak untuk membenci Mama Gendis.

"Mimpi lagi?" tanya Gara akhirnya.

Gendis mendongak menatap Gara. " Iya. Nyata banget, Gar. Badan aku sampe sakit."

Gara melayangkan tatapan penuh tanda tanya.

"Aku mimpi Papa mukulin aku dan Mama. Mukulinnya pake tongkat golf Papa. Sakit banget," tangan Gendis bergerak mengusap lengannya sendiri.

Gara memalingkan wajah. Ini tidak sehat untuk Gendis. Mimpi-mimpi buruk itu tidak hanya menyiksa batin Gendis, melainkan fisiknya juga walaupun tentu saja rasa sakit yang dirasakan Gendis sepenuhnya fana.

"Maaf aku nelepon kamu lagi."

"Dis!" Gara menyentak suaranya tanpa sadar. "Udah bukan waktunya lagi lo minta maaf buat hal ginian. Gue temen lo. Gue tau semua yang lo alami. Lo bisa ngandelin gue."

"Makasih ya, Gar. Makasih banget."

Gara tersenyum. "Gue panik banget tadi."

"Kamu ngapain kesini, sih? Pasti nyogok Pak Satpam lagi. Iya, kan?"

"Daripada nggak dibolehin masuk?" Gara membela diri. "Tenang, gue ada anggaran sendiri buat nyogok itu orang."

Gendis akhirnya mampu tersenyum.

"Eh matanya ilang," Gara menunjuk wajah Gendis.

"Gara!"

Gara terkekeh. Pandangannya mengedar ke seluruh sudut kamar Gendis yang temaram. Dia bisa membayangkan Gendis terbangun malam-malam di dalam kamar yang sunyi ini lalu berusaha mengatasi ketakutan akibat mimpi buruk itu seorang diri. Bisa dibayangkan juga Gendis terjaga sampai pagi karena takut tidur kembali. Gendis dan kesendirian. Adakah hal yang lebih menyedihkan dari ini?

"Lo nggak nyoba tidur lagi?" tanya Gara.

Gendis menggeleng. "Takut," jawabnya.

"Lampu kamar lo nyalain, deh, Dis. Surem banget, ngeri gue."

"Aku nggak bisa tidur kalau lampunya nyala."

"Yah, susah."

Gendis berjengit malu. "Pulang gih, Gar," ujarnya kemudian.

"Lo ngusir?"

"Enggak. Maksud aku--"

"Iya, ngerti," Gara nyengir. "Ntar deh."

"Papa di rumah?"

Gara mengangguk. "Gue abis nonton film sama Papa. Tapi bukannya tidur, sekarang Papa malah ngerjain tugas kantor. Padahal gue pengen dia istirahat cukup."

Gendis paham kekhawatiran Gara pada papanya. Pria itu bekerja terlalu keras demi menghidupi keluarganya. Padahal kalau dipikir-pikir, keluarga Gara sudah sangat berkecukupan. Bahkan andaikata Papanya tidak bekerja beberapa tahun pun, keluarga Gara masih bisa berfoya-foya.

Tapi di sisi lain, Gendis juga paham sifat gila bekerja Papa Gara. Begitu istrinya meninggal saat melahirkan Gara, pria itu jadi mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk pekerjaan. Bahkan hubungannya dengan Yura dan Gara, kedua anaknya, sempat tak baik beberapa tahun silam karena kesibukan bekerja dan buruknya komunikasi.

Beruntung setelah Yura dan Gara sama-sama sudah dewasa, mereka memahami bahwa sifat gila kerja papa mereka lahir untuk mengusir kesendirian dan kesedihan pasca ditinggal istrinya, ibu dari Giayura dan Niagara. 

"Kamu pulang aja gih, Gar, temenin papa kamu," suara Gendis.

"Terus lo gimana?" Gara justru bertanya.

"Aku udah nggak apa-apa, kok."

Gara menggeleng. "Lo harus ditemenin."

"Enggak, Gara."

"Harus."

"Enggak," tegas Gendis. "Sekarang kamu pulang, temenin papa kamu, kalo perlu suruh dia tidur biar nggak begadang mulu. Ya?"

Gara tertawa. Sekali-kali Gendis perlu diajak ke rumahnya, agar rumah yang besar tapi cuma menampung dua orang itu mengenal sosok yang manis dan hangat seperti Gendis Jingga.

----

Niagara masuk dalam kehidupan Gendis tiga tahun silam. Perkenalannya singkat saja, terjadi saat rapat pertama divisi publikasi dan dokumentasi acara besar universitas.

"Gendis."

"Gara."

Gendis dan Gara saling menatap canggung selama beberapa detik sebelum Gara memecah kecanggungan itu.

"Ngg...kita bakal jadi partner."

Gendis mengangguk. "Kamu udah pernah di divisi pubdok sebelumnya?"

"Gue baru nyobain acara dan humas," jawab Gara.

"Oh," bibir Gendis membulat. "Aku pernah di divisi pubdok, tapi tugas aku cuma bikin poster acara, belum pernah nyari media partner."

"Kita sama-sama bego ginian, dong?" Gara berceletuk ringan. "Yakin ini acara bakal berhasil kalo yang nyari medpart radio kita?"

Gendis tertegun. Gara terlihat santai sekali. Padahal mereka berkenalan beberapa menit lalu.

"Nanti aku tanya Kak Sarah gimana caranya ngajuin medpart ke radio," Gendis menyebutkan nama koordinator divisi mereka.

"Boleh. Ntar lo kasih tau gue, ya. Gue awam banget soal ginian."

"Terus kenapa kamu masuk divisi pubdok?"

"Cari pengalaman," jawab Gara. "Lagian gue denger anak pubdok bening-bening."

Tawa Gendis nyaris menyembur. Si Gara Gara ini tampaknya suka cari gara-gara, ya? Tipikal cowok yang ikut kepanitiaan cuma untuk bersenang-senang. Kesan pertama Gara di mata Gendis tak begitu baik. Gendis bahkan sudah siap lahir batin seandainya di tengah jalan Gara malas-malasan dan melimpahkan semua pekerjaan padanya.

"Kita bakal berburu radio," Gendis membuka topik baru. "Kamu punya kendaraan? Kalau naik angkutan umum, pasti butuh biaya lebih. Reimbursenya juga lama."

"Punya. Motor? Mobil?"

"Terserah," Gendis mencatat dalam kepalanya bahwa Gara adalah anak orang kaya. Pasti semua fasilitas perkuliahannya sudah disediakan oleh kedua orang tuanya. Betapa beruntungnya Gara.

Gara tak bersuara. Dia asyik membaca-baca daftar radio di kota Bandung yang akan mereka gaet jadi media partner.

"Gendis Jingga?"

"Apa?"

Gara mendongak. "Oh enggak. Ini gue baca nama lo di daftar anggota. Nama lo gitu doang?"

"Iya..." Gendis menjawab ragu.

Gara mengangguk-angguk. "Kirain nama gue doang yang singkat."

"Hm?"

Gara mengangkat sebelah ujung bibirnya. "Kalo di daftar anggota nanti lo baca nama Niagara, jangan ketawa. Itu nama gue."

"Hmphhh!" Gendis membungkam mulutnya.

"Lo ketawa?"

Gendis menggeleng. "Maaf, maaf."

"Iya, nama air terjun yang sering lo baca di RPUL."

"Hmphhh!"

"Sekali lagi lo ketawa gue minta ganti partner."

Gendis melotot. "Jangan, dong. Nanti Kak Sarah marah!"

Giliran Gara yang tergelak. "Bercanda, elah. Takut amat?"

"Ah Gara!"

Sejak saat itu Gendis merasa lidah dan suaranya familiar setiap menyebutkan nama Gara. Niagara menolak menyebutkan nama lengkapnya. Padahal menurut Gendis, nama Niagara itu bagus. Besar dan megah seperti air terjun yang menghadang Kanada dan Amerika Serikat.

Beberapa lama setelah menghabiskan waktu bersama Gara untuk berburu media partner, Gendis akhirnya menyadari sesuatu.

Gara punya reputasi dan popularitas yang tidak main-main. Gendis akhirnya tau kalau selain aktif di kampus, cowok itu juga aktif di luar kampus. Dia punya band beraliran post rock yang lumayan sering diundang ke radio. 

Jadi bohong kalau Gara bilang dia tidak berpengalaman di divisi pubdok. Ternyata dia kenal orang-orang radio. Gendis ibaratnya cuma menemani Gara bertemu muka dengan teman-temannya di radio. Menyebalkan, tapi pekerjaan mereka jadi selesai lebih cepat.

"Kenapa kamu nggak bilang kalo kamu kenal sama orang-orang radio?" tanya Gendis di mobil usai perjalanan mereka dari salah satu radio.

Gara tertawa singkat. "Harus ya gue bilang?"

"Ya enggak, sih. Aku kira kerjaan kita bakal ribet. Tapi ternyata jauh lebih ringan karena kamu kenal orang dalem."

"Bilang apa dulu, dong, sama gue?" Gara menoleh.

"Makasih?"

"Bukan."

"Terus apa?"

"'Untung aku punya temen ganteng kayak Gara'. Gitu harusnya."

"Gara! Ngeselin."

Gara cuma tertawa-tawa. Gendis jadi penasaran, apa, sih, yang tidak dimiliki seorang Gara? Dia punya pribadi yang menyenangkan, banyak teman, punya band, dan tampaknya segala kegiatannya didukung oleh kedua orang tuanya.

Lagi-lagi Gendis iri. Pertemanannya dengan Gara terkadang membuatnya mengasihani diri sendiri. Dia cuma punya mama, tak terlalu punya banyak teman, dan tak pandai bersosialisasi. Gendis sering bertanya-tanya, kalau Gara tau latar belakang keluarganya, apakah cowok itu akan tetap menganggapnya teman?

Nyatanya, hidup Gara tak seberuntung yang Gendis pikirkan selama ini. Suatu hari ketika mereka sibuk mengurusi materi publikasi, celetukan-celetukan ringan membuahkan cerita keluarga Gendis dan Gara yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

"Gue belom makan seharian. Kayaknya kalo nyokap masih ada, gue bakal dicerewetin karena nggak makan."

Dahi Gendis berkerut mendengar kalimat yang barusan dilontarkan Gara. 'Kalo nyokap masih ada'? Tunggu, apakah ini berarti...

"Yah mimpi lagi lo, Gar," Gara tertawa pendek.

Gendis makin tak mengerti. Dia memandang Gara meminta penjelasan. "Emangnya mama kamu kemana?" tanyanya.

Gara mendongak. "Nggak pernah ada. Di hidup gue, nyokap nggak pernah ada."

Melihat betapa santainya Gara menjawab pertanyaan sensitif ini, Gendis makin tak mengerti.

"Dia meninggal waktu ngelahirin gue."

"Oh?" mata Gendis melebar sebelum menatap lantai. "Maaf ya, Gara."

Gara mengernyitkan dahi. "Maaf buat apa? Takut gue sedih? Enggak lah, gue nggak pernah ngerasain punya seorang ibu, jadi nggak pernah sedih juga."

Gara benar. Ingatan apa yang bisa digali oleh seorang anak yang cuma merasakan 9 bulan 10 hari bersama ibunya?

"Tapi kadang-kadang gue berkhayal, gimana rasanya punya ibu. Apakah rasanya sama kayak cuma punya ayah? Soalnya di rumah, bokap gue merangkap jadi nyokap juga. Jago masak, rajin bersih-bersih rumah, tapi kerjaan tetep jalan."

"Kamu punya saudara?" tanya Gendis.

"Ada. Kakak cewek. Tapi udah berkeluarga. Udah nggak tinggal di rumah."

"Jadi kamu cuma berdua sama Papa kamu, dong?"

"Iya."

"Kamu sedih?"

Gara menggeleng. "Gue lebih sedih tiap liat Papa kecapekan. Itu doang kayaknya."

Gendis ingin sekali menahan mulutnya untuk tidak bertanya-tanya. Tapi sulit, dia terlanjur ingin mendengar lebih banyak cerita dari Gara.

"Kamu nggak pengen punya ibu?"

Gara tersenyum. "Dulu sih pengen. Tapi kalo sekarang buat apa? Gue udah gede, ajaran-ajaran Papa waktu gue kecil tinggal gue terapin sekarang. Kalo gue sekarang punya ibu, apa peran dia di hidup gue?"

"Ya kayak tadi yang kamu bilang. Ingetin makan."

"Tadi gue bercanda. Gue makan kalo laper, bukan karena diingetin," Gara tertawa samar. "Udah lah, keluarga gue biasa-biasa aja. Bedanya dengan lo, gue cuma nggak pernah punya ibu dari lahir. Nah, kalo keluarga lo gimana, Dis?"

Pertanyaan yang ringan. Tapi berat rasanya untuk menjawab pertanyaan tersebut ketika kondisi keluarga Gendis juga tak sempurna.

"Papa-Mama sehat, kan?" Gara bertanya lagi.

"Sehat. Mama sehat, Papa nggak tau, deh."

Dahi Gara berkerut lagi. Gendis menahan napas. Sepertinya dia juga harus berbagi cerita pada cowok di hadapannya ini.

"Orang tua aku udah cerai sejak aku SMP."

Pada akhirnya Gendis akan mengulang cerita ini lagi. Tapi berbeda dengan sebelumnya, sekarang Gendis merasa tidak terlalu terbebani. Apa karena nasib Gara sama dengannya?

"Cerai... 'cerai'?" Gara membuat tanda kutip dengan jarinya seakan tak percaya dengan kalimat Gendis.

Sekarang seimbang, kan? Dua orang yang memiliki keluarga yang tidak sempurna.

"Iya, cerai. Papa udah punya keluarga lagi. Sekarang aku tinggal sama Mama."

Giliran bibir Gara yang membulat. Dia terlihat tak menyangka kalau Gendis juga ternyata hanya hidup dengan salah satu orang tuanya.

"Sori, sori, Dis. Tuh kan gue balik nanya malah berabe."

Gendis tersenyum. "Nggak apa-apa. Udah biasa ditanyain kayak gini."

Suasana berubah canggung. Gara yang tadinya cengengesan sekarang malah bungkam. Gendis yang memang tak banyak bicara, semakin kehilangan kata-kata.

"Sekarang gue ngerti!" seruan Gara mencairkan kecanggungan. "Sekarang gue semakin punya alasan kenapa kita harus temenan, Dis."

"Hm? Kamu ngomong apa?" Gendis mencibir sambil tertawa.

"Gue ngerti kenapa dari dulu gue ngerasa kita sama," Gara bergumam. "Karena kita emang sama, Dis. Lo dan nyokap lo, gue dan bokap gue. Kita nggak sempurna. Ada yang pernah hilang dari hidup kita. Tapi baik lo dan gue masih bisa hidup normal sampe sekarang. Ya, kan?"

Gendis akhirnya mengerti. "Kita harus tetep hidup, Gar. Kita sebenarnya berjuang sendirian, orang-orang di sekeliling kita cuma bantuin, termasuk mama aku dan papa kamu."

Gara setuju. "Gendis, kalo ada apa-apa, lo wajib cerita sama gue, terutama apapun yang menyangkut keluarga lo."

"Kamu juga, ya, Gar?" Gendis mengembalikan kata-kata Gara.

"Iya, gue janji."

----

 "Lo nungguin apaan, sih, Gar, dari tadi ngeliatin hp mulu?" Bam menyenggol lengan Gara, membuat sang tertuduh gelagapan.

"Hah? Enggak, nggak nungguin apa-apa," bualnya. Padahal Gara sedang menunggu telepon Gendis. Beberapa hari terakhir dia dan Gendis tak saling menghubungi. Beberapa minggu terakhir juga tidak ada telepon tengah malam dari Gendis, yang Gara perkirakan dia tak mengalami mimpi buruk lagi.

Mungkin Gendis sudah menemukan cara untuk menghentikan mimpi buruk itu. Atau kalaupun dia mimpi buruk, mungkin dia sudah menemukan cara untuk mengatasi ketakutannya.

Yang merasa aneh justru Gara. Hati kecilnya mendesak untuk dikabari Gendis. Gara terlanjur familiar dengan kebiasaan menerima telepon tengah malam dari Gendis dan menemani cewek itu melewatkan malam tanpa tidur.

"Gila, ini orang yang cerita di radio sama banget kayak gue dan mantan dulu."

Celetukan itu datang dari mulut Recky. Gara menggeleng-geleng. Recky sama dengannya, masih suka mendengarkan radio di saat orang-orang mayoritas beralih pada situs streaming lagu.

"Itu apaan?" tanya Gara.

"Curhat Cinta. Sadis banget ceritanya. Tentang LDR gara-gara kuliahnya misah," Recky bercerita.

Gara dan Bam tergelak. Kalau sudah masalah cinta-cintaan, Recky jagonya. Asam manis kehidupan percintaan sudah dialami keyboardist tersebut.

"Argh anjir, 'gue takut dia nemu yang baru' kata dia. Pedih," Recky rupanya sudah terhanyut dalam curhatan seorang cowok yang diperdengarkan lewat radio tersebut.

"Lo kenapa, sih!" kepala Recky sukses ditoyor Bam.

"Gedein, gedein," perintah Gara. Recky meninggikan volume radio hingga suara sang cowok yang curhat itu bisa terdengar jelas.

Gara terpekur mendengar curahan hati cowok dalam radio tersebut. Kenapa perih banget, sih? Kenapa cowok itu mendayu-dayu banget, sih? Dia nggak bisa move on apa gimana?

"Gue janji bakal nungguin kuliah kita kelar dan gue bakal nyusul dia."

"Bullshit!" seruan itu bersamaan keluar dari mulut Gara, Bam, dan Recky.

"Dapet yang nyaman dikit pasti oleng!" tandas Bam.

"Jangankan nyaman, yang cantik aja udah dilirik duluan sama dia," Gara tertawa tak habis pikir.

"Hadeh, gue curiga ini program radio scripted. Masih ada nih cowok yang begini hidup di bumi? Gue kira udah kena seleksi alam," kata Bam.

"Ini beneran, Nyet!" Recky langsung membela. "Makanya nggak disebutin identitasnya biar nggak ketauan."

Gara paham pembelaan Recky. Dia kan cinta mati pada radio dan bakal mati-matian membela program radio kesukaannya.

Ngomong-ngomong soal radio, ada satu orang lagi yang masih suka menggunakan media elektronik tersebut.

Gendis Jingga.

Sama seperti Gara, Gendis jatuh cinta pada bagaimana penyiar menghipnotis para pendengarnya meski hanya lewat suara. Kita tidak akan pernah tau sosok seperti apa dibalik suara-suara radio tersebut. Tapi meski hanya lewat suara, penyiar bisa mengubah suasana hati siapapun yang mendengarkannya.

Radio itu teknologi yang paling ajaib, bukan?

Suatu hari Gendis bercerita kalau waktu SD dia sering berpura-pura menjadi penyiar radio. Dia berbicara di gagang sapu yang dianggapnya sebagai mikrofon, lalu di sampingnya ada walkman milik Papa yang digunakannya untuk memutar lagu. Gendis cerewet sekali setiap berpura-pura menjadi penyiar, bahkan dia merasa lebih sering berbicara pada gagang sapu daripada pada teman-teman sebayanya. 

Gara tak pernah gagal tersenyum setiap mengingat pengakuan Gendis kalau dia lebih sering berbicara pada gagang sapu daripada pada manusia.

Bayangkan, Gendis yang tidak terlalu banyak bicara di depan orang ternyata bisa berbicara dengan luwes pada benda mati.

Gara jadi penasaran, seperti apa jadinya Gendis kalau dia betulan jadi penyiar?

"Gar, hehehe, ini gue streaming pake wifi lo lagi," lapor Recky, membuyarkan lamunan Gara.

"Streaming...? Oh ini radio streaming?" Gara baru sadar.

"Yoi. Radio kampus. Makanya suaranya kurang jelas."

Gara tertegun. Radio kampus, ya? Radio kampus biasanya tidak punya menara pemancar. Mereka hanya mengandalkan seperangkat software untuk mengudara lewat dunia maya.

Itu dia!

Mengudara lewat dunia maya.

Gendis masih bisa mewujudkan cita-citanya menjadi penyiar. Gendis akan berbicara lebih banyak, bukan lagi pada gagang sapu melainkan pada mikrofon betulan. Dan Gara akan punya waktu lebih banyak dengan Gendis seandainya radio rancangannya sukses mengudara.

----













































Continue Reading

You'll Also Like

278K 19.6K 49
~Warning!~ •DILARANG PLAGIAT!! •up dua hari sekali •Mengandung beberapa kata-kata kasar dan adegan kekerasan⚠️ •Harap bijak dalam memilih bacaan! Rac...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 68.8K 34
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
699K 5.3K 26
di jadikan pembantu di rumah pengusaha kaya raya dan anak dari pengusaha kaya itu jatuh cinta kepada pembantu itu bahkan saat baru awal bertemu ia su...
761K 21.5K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...