Kami keluar dari gedung SMP sambil tertawa-tawa. Si ulat cantik kembali meringkuk di dalam lipatan daun yang sekarang dikantongi Wynn.
"Aduh, berapa decibel tuh jeritan Ivanka?" Wynn menggosok-gosok telinga.
"Bikin telinga berdenging, kali 100 dB. Kayak bunyi jet lepas landas." Aku tergelak lagi.
Di halaman, Wynn berhenti. "Eh, kita mau ke mana? Aku panggil Bang Tagor, ya?"
Kudorong punggungnya main-main. "Bolos dijemput sopir? Lalu seluruh sekolah dan keluargamu tahu, dan rencana kita batal bahkan sebelum dimulai!"
"Tenang, Bang Tagor enggak gitu kok. Lagian, kita mau keluar dari lingkungan sekolah, kan? Bukan cuma bolos satu atau dua jam pelajaran dengan sembunyi di atas pohon kersen atau di kolong jembatan?"
Aku menoleh cepat. "Heh? Gimana kamu ...." Dan kulihat kerlip bandel itu lagi di mata Wynn. "Ya, ya, kamu tahu karena sudah mengamatiku selama lima tahun. Belum lagi, kamu adalah Golden Boy Darmawangsa yang pasti dekat dengan guru-guru. Aku enggak heran kalau Miss Jansen sering diundang makan malam bareng keluargamu."
Wynn hanya tertawa. Mengeluarkan ponselnya dan menelepon. Wynn benar. Kami perlu kendaraan untuk keluar dari kompleks sekolah. Wynn yang perlu, sih. Setelah kejadian di pasar itu, aku tidak mau mengajaknya lompat pagar, lari lintas kebun ke jalan raya dan naik angkot. Demi rayap yang enggak pernah makan bangku sekolah, definisi bolos sudah berubah!
Sebetulnya, tanpa surat izin, siswa tidak bisa keluar kompleks. Tapi aku menduga, Wynn akan menyelesaikan masalah itu dengan mudah. Tinggal melambaikan kartu sakti.
Ternyata tidak. Sesaat sebelum mobil berhenti di depan portal dan satpam keluar dari gardu untuk menyapa Bang Tagor, Wynn buru-buru turun berjongkok di lantai mobil dan menarikku. Badanku terlalu besar untuk menyelip di antara kursi mobil. Akhirnya aku hanya menelungkup di kursi dengan tangan Wynn menekan kepalaku. Dalam posisi kurang nyaman begitu, Wynn masih sempat menempelkan jari di bibir. Di mata cokelatnya ... I swear, I will never forget them ... seperti ada pendaran kembang api di malam tahun baru. Bersemangat mengantisipasi petualangan. Dadaku seakan tertikam.
Mobil berjalan lagi dan Bang Tagor bilang aman.
Wynn tersenyum lemah. Menepuk-nepuk kepalaku dan mendorongku untuk duduk lagi. Kami sama-sama terdiam.
"Ke mana?" Bang Tagor bertanya. Aku bersyukur, suaranya mencairkan kebekuan.
"Ke rumah Nana."
Wynn bersiul. "Bolos cuma untuk pulang?"
"Lihat saja nanti." Aku meringis.
Di rumah Nana, aku suruh Wynn ganti baju dengan setelan santai. Lalu kukeluarkan sepedaku dari garasi. Ada mobil dan sepeda motor yang dulu biasa dipakai Nana. Aku bisa mengemudikan keduanya, tapi karena belum punya SIM, aku malas pakai, kecuali darurat. Sejak stroke ringan hingga pendengarannya terganggu, Nana tidak lagi mengemudi. Motor dan mobil pun menganggur. Nana mengupah orang bengkel untuk datang merawat mesin secara berkala.
Wynn menyuruh Bang Tagor pulang. Sopirnya berkeberatan. Baru setelah Wynn meyakinkan akan menelepon mamanya, Bang Tagor menurut. Wynn naik ke boncengan sepeda tanpa kusuruh dua kali.
"Berapa berat badanmu? Enteng banget. Kamu harus cukup makan," kataku, mulai mengayuh sepeda. Tujuan: Kolam pemancingan ikan Haji Husein. Letaknya di kampung sebelah. Nana sering menyuruhku beli ikan segar di situ. Aku belum pernah memancing sendiri. Tapi sambil menunggu dilayani, biasanya aku mengamati pengunjung memancing.
Sepertinya memancing itu mudah. Walau aku tahu, apa pun yang kesannya mudah biasanya jauh dari mudah. Kata Pak Haji, ulat daun pisang adalah umpan yang paling disukai ikan. Aku disuruhnya mencoba, ia menyediakan joran sewaan, tapi untukku gratis. Kalau dapat ikan, katanya, aku pun boleh bayar separuh harga saja perkilonya. Waktu itu aku menolak halus. Lain kali saja, karena Nana menunggu. Padahal aku hanya jengah dengan kebaikan Pak Haji. Lagi pula kedua putrinya bikin aku sakit kepala karena mondar-mandir terus. Pak Haji bilang, undangannya selalu terbuka. Sekarang baru kumanfaatkan. Dengan lima puluh ribu rupiah, aku bisa memberi Wynn keasyikan tersendiri, sekaligus makan siang dan malam istimewa. Kalaupun kami tidak dapat ikan, beli saja tangkapan yang sudah tersedia.
Terbukti Wynn menyukai tempat itu. Kolam pemancingan tidak terlalu ramai pada Jumat pagi seperti ini. Beberapa saung yang terisi, tak lama kemudian ditinggalkan. Mungkin mereka sudah di sini sejak subuh. Aku memilih saung terjauh, di bawah pepohonan rindang, dekat dengan aliran air dari parit. Menggerojok memberi ketenangan dan keteduhan tersendiri.
Wynn bercerita, pernah diajak memancing oleh kedua abangnya waktu ia masih kecil, dan terjerembap masuk kolam karena tidak sabar. Seru, katanya. Sayangnya momen seperti itu jarang sekali. Setelah kedua abangnya sibuk sendiri, Wynn lebih banyak main dengan Hya. Tidak seperti anak perempuan kebanyakan, Hya bisa mengimbangi aktivitas cowok.
Pembicaraan tentang Hya membuatku tidak nyaman. Karena jelas Wynn berharap Hya ada di sini sekarang walau tidak mengatakannya. Untungnya, Wynn peka dan beralih topik tentang nasib ulat-ulat kami. Dari sepuluh ulat yang dijadikan umpan, kami hanya dapat seekor bawal air tawar besar dan dua ikan nila berukuran sedang. Sepertinya ikan-ikan itu terlalu cerdas, mampu memangsa ulat sambil menghindari kail.
"Not bad for a beginner. Cukup untuk makan kita berdua," kataku.
Wynn bangkit dari posisi tiduran. "Waktunya Jumatan. Kulihat masjid enggak jauh dari sini. Habis salat, balik ke rumahmu. Pengin lihat kamu memasak. Awas kalau enggak enak."
Mendadak aku merasa khawatir. Ya, aku sering membantu Nana memasak. Aku tahu caranya, aku kenal dan ingat bumbunya. Tapi jelas berbeda dengan makanan di rumah Wynn.
Wynn menonjok bahuku. "Jangan cemas begitu. Aku memang enggak bisa bantu kamu, enggak pernah ke dapur. Tapi aku bisa kok pura-pura menikmati masakanmu."
Tentu saja ia bercanda. Tapi aku jadi semakin ragu. "Hya jago masak ya?" Pertanyaan itu keluar tanpa kupikir dua kali.
Wynn memandangku serius. "Wynter, aku bergurau. Enggak perlu saingan sama Hya."
"Begini saja," tukasku. Main-main atau sungguhan, aku sudah terganggu. "Kalau masakanku siang ini enggak enak, mintalah Hya masak makan malam. Kita lihat nanti."
Mungkin karena nadaku, Wynn jadi terdiam beberapa saat. Sepertinya ia berpikir keras, kemudian mengangguk. "Deal. Aku bisa jadi juri yang adil. Yang menang akan kusuruh masak lagi nanti. Hehe, aku yang untung. Eh, itu Pak Haji mau ke masjid. Aku ikut dia, kamu tunggu saja di sini." Wynn buru-buru memakai sepatunya dan mengejar Pak Husein.
Oh, tidak. Aku harus mengawalnya. Kusandang ranselku dan ransel Wynn, kutinggalkan ikan dalam keranjang yang terendam di air. Lalu menyusul Wynn. Sampai di pelataran masjid, Pak Haji menunjukkan tempat buatku menunggu. Teras kelas TPA di samping masjid.
Ketika Wynn sudah masuk ke ruangan salat, dan Pak Haji baru keluar dari tempat wudhu, sebuah pikiran terlintas begitu saja di benakku.
Aku bangkit mendekati pemilik kolam yang baik hati itu. "Pak Husein, maukah Bapak mendoakan sahabatku? Dia sakit." Aku buru-buru mengambil buku catatan dan menulis nama Wynn, lalu merobek dan menyerahkannya kepada Pak Husein. Aku sering mendengar, kaum Muslim mendoakan orang dengan menyebutkan nama lengkap yang bersangkutan.
Pak Husein menerima carikan kertas itu dan tersenyum. Menepuk bahuku. "Insya Allah, Allah akan memberikan yang terbaik untuknya. Kamu juga bisa berdoa, Nak. Menurut kepercayaan dan agamamu."
Aku menelan ludah. Mengangguk saja. Saat ini, aku hanya berpikir, doa orang yang seiman dengan Wynn pasti lebih didengar Tuhan ketimbang doaku. Jadi, ketika kulihat banyak lelaki, tua dan muda, memasuki halaman masjid, aku menulis nama Wynn banyak-banyak. Lalu aku lari ke sana kemari untuk membagikan carikan kertas berisi namanya sambil memohon. Tolong, doakan Wynn, sahabatku, dia ada di dalam. Tolong, doakan sahabatku, dia sedang sakit. Tolong, doakan agar ia sembuh seperti sedia kala. Tolong, mintakan kepada Tuhan agar Wynn kuat, agar Tuhan tidak buru-buru mengambilnya .... Tolong ....
Kertas nama Wynn habis. Tidak sempat aku membuat lagi karena azan sudah berkumandang. Tapi banyak orang berhenti untuk membaca carikan yang dipegang temannya. Mereka memandangku, menepuk bahu, sambil menyatakan simpati dan berjanji untuk mendoakan. Aku bersusah payah menahan air mata agar tidak jatuh.
Baru setelah sendirian di teras TPA, aku terduduk. Mengusap hidung dan mata. Aku harus melakukan sesuatu agar tidak menangis di sini. Masih ada dua WMHS nomor genap yang belum kubaca di ranselku. Jadi, aku membacanya, sementara telingaku menangkap ceramah dari pengeras suara masjid yang berkerotokan. Entah berapa lama aku mencoba berkonsentrasi. Ujung-ujungnya, aku tidak bisa memahami dua-duanya. Pikiranku tidak mendukung. Kakiku kesemutan.
Saat memperbaiki posisi duduk dan memindahkan ransel Wynn, baru kusadari di kompartemen depan yang transparan, ada WMHS terbaru kami, nomor 328. Berarti sudah kembali dari Hya. Kukira, Wynn enggak bakal berkeberatan kalau aku duluan yang menulis sekarang, untuk mengurangi kesesakan di dada.
Tentu saja, ada tulisan Hya di bawah tulisanku.
.
Hai Wynter. Hai dulu juga. (Hya)
.
Peniru. Enggak kreatif! Aku mencebik.
.
Hai Wynn,
Jangan marah. Aku dengar dari Suster Gina semalam, Auden mendaftar jadi relawan untuk main flute tiap Selasa dan Jumat. Ya, itu jadwal kamu. Tapi Suster Gina bilang, kalian berdua bisa duet. Piano dan flute itu bagus banget. Aku setuju. Tadinya, aku enggak mau bilang-bilang sama kamu. Tapi nanti kamu kaget lihat Auden di sana terus marah lagi sama aku. Padahal aku enggak tahu-menahu rencana Auden. So, aku bilang deh, biar kamu lebih siap. Enggak perlu menghindar, Wynn. Aku temani kamu sore ini . Ketemu di sana saja. Oh ya, pakai kemeja kotak-kotak biru hadiah ultah dariku. Trust me. It looks perfect on you. (Hya)
.
.
Babon pikun! Aku lupa jadwal Wynn sore ini. Kalau Wynn berniat datang ke panti, berarti tak banyak waktu untuk memasak dan makan bersamaku. Mungkin Wynn malah harus segera pulang habis Jumatan. Why girls have to ruin everything?
Mungkin aku perlu menuliskan sesuatu dulu untuk Hya. Aku membalik halaman dengan kesal. Mataku menangkap tulisan Wynn untukku. Dia sudah menulis untukku. Belum selesai. Tapi sudah menulis. Untukku.
.
Dear Wynter,
I am happy now. I have you as a friend, and everything will be all right ....
.
.
Kata-katanya ... kekanakan ... naif.
Kututup buku harian itu. Aku tidak ingin menangis di sini.