Sampai di paviliun, Wynn melepaskan t-shirt yang dekil oleh kotoran dari gudang dan noda darah. Banyak sekali ia mimisan tadi. Meskipun begitu, ia tetap tenang. Menerima tisu dari Hya untuk menyumbat hidung. Tapi tisu tidak menghentikan darah, yang kemudian menetes melalui jemarinya. Aku yang panik. Menelepon Bang Tagor, memintanya tancap gas. Sementara itu, Hya tiba-tiba lari meninggalkan kami. Aku begitu kaget dan sekarung shiitake pun tak cukup mewakili kegeramanku. Cewek itu menyeberang jalan, naik ke pagar besi sanggar yang sudah terkunci. Melompat ke halaman dan menghilang ke balik gedung. Marahku berganti heran. Kupikir, Hya sudah gila karena melihat darah.
"Kamu berprasangka buruk pada Hya tadi!" kata Wynn, berbalik dan memandangku sambil tertawa.
Ya, aku akui. Tapi bagaimana aku tahu niat Hya mengambil daun sirih yang tumbuh di halaman belakang sanggar? Hya kabur begitu saja tanpa pamit. Lalu muncul lagi dengan dramatis. Roknya robek tersangkut pagar saat melompat keluar. Di tangannya tergenggam setumpuk daun sirih. Setelah dicuci dengan sisa air mineral, dua lembar daun dilintingnya untuk menyumbat hidung Wynn. Mimisan pun reda.
"Aku lega Hya bisa cepat pulih dari paniknya. Nyasar itu big deal buat Hya, Wynter."
Kali ini, aku mencebik sinis. Memang big deal. Cewek mana sih yang enggak pernah nyasar? Tapi Wynn enggak memperpanjang topik. Ia masuk kamar mandi. Terdengar siulannya menyenandungkan This is My Fight Song di tengah bunyi guyuran shower. Aku pergi ke kamar mandi satu lagi untuk membersihkan diri. Bukan cuma kotor, rasanya seperti habis guling-guling di kandang kerbau ... ugh!
Di jalan pulang tadi, Wynn juga saling ledek dengan Hya tentang badan siapa yang paling bau. Bang Tagor sepertinya sudah sangat maklum dengan kondisi dan tabiat tuan mudanya, jadi tanpa banyak bertanya, ia mengantarkan Hya pulang lebih dulu, lalu membawa kami kembali ke paviliun. Tak ada yang ingat untuk mampir ke rumah Nana. Belakangan aku sadar, tak ada baju ganti dan seragam buat besok. Kalau buku-buku aman, karena aku menyimpannya di loker.
Begitu kami sampai, Bunda Sarah datang untuk memeriksa putranya. Sikapnya tenang. Ia menyapaku ramah. Aku hanya mengucapkan selamat malam dan beringsut menjauh. Kudengar wanita cantik yang berpenampilan sederhana itu menasihati Wynn agar lebih berhati-hati. Tidak menyalahkan siapa pun. Kemudian, ia meminta kami ikut makan malam di rumah utama, tentunya setelah bersih-bersih.
Jadi, begitulah. Setelah mandi, aku memakai baju pinjaman milik salah satu kakak Wynn, karena baju Wynn kesempitan untukku. Kami berjalan melalui koridor beratap menuju rumah utama. Selain Mama Wynn, ada tiga orang lelaki duduk mengelilingi meja makan panjang dengan enam kursi. Wynn memperkenalkanku kepada mereka. Dugaanku benar, yang paruh baya itu Papa Wynn, Pak Darmawangsa Jr. Di seberangnya, Enver si kakak pertama, dan Aryan yang biasa dipanggil Ryan, si kakak kedua. Enver dan Wynn tampak mirip, mewarisi kehalusan mama mereka. Sementara Ryan lebih mirip Pak Darma.
Mama Wynn memintaku memanggilnya Bunda Sarah. Ia bilang, ini kesempatan langka mereka sekeluarga bisa berkumpul lengkap. Biasanya, Bang Enver, sebagai dokter muda, bertugas di pedalaman Kalimantan. Dan Bang Ryan, masih kuliah semester ke-5 di Singapura. (Ngomong-ngomong, baju yang kupakai jelas milik Bang Ryan, karena ia menatap t-shirtku dan tertawa) Tidak seperti Bang Enver dan Wynn, Bang Ryan sangat santai, menjurus urakan. Sebentar saja ia sudah membanjiri telingaku dengan humor-humor konyol ala mahasiswa perantauan. Tapi karena itu, makan malam terasa akrab.
Namun, tiba-tiba saja aku berpikir, kursi yang kududuki ini seharusnya diisi kakak Wynn yang sudah meninggal. Sekilas, aku melihat fotonya di ruang duduk. Perempuan. Lalu aku menoleh kepada Wynn di sampingku, mendadak merasa tertekan. Kursi itu akan kosong pula. Lalu foto Wynn akan dipajang di samping foto kakak perempuan dan kakeknya. Tak ada yang bisa menggantikannya. Jadi, gimana mungkin keluarga ini masih bisa tertawa-tawa sekarang?
"Wynter," panggil Bunda Sarah. "Terima kasih, ya ...." Suaranya tersekat. Tidak jelas berterima kasih untuk apa. Aku hanya mengangguk.
Untunglah Bang Ryan tidak membiarkan suasana menjadi kaku. "Hei, Wynn, kamu akhirnya jadian enggak dengan cewek itu?" Ia melempar adiknya dengan potongan ketimun.
Jadian? Aku melirik Wynn, heran.
Wynn menangkap pandanganku dan menyeringai. "Bang Ryan itu pikirannya cewek melulu. Suka siwer, geer-an pula," jelasnya padaku.
"Eh, mau ngelak!" Bang Ryan tertawa. "Aku enggak mungkin salah lihat. Dia kasih kamu bunga habis konser tahun lalu. Rambutnya panjang. Sekolahnya enggak di Darmawangsa. Uuh, siapa namanya, ya?"
"Auden." Bang Enver menjawab. "Auden Danika. Anaknya dokter Resi, teman Papa."
"Putrinya Maharesi?" Papa Wynn tampak terkejut tapi kemudian tersenyum lebar.
Bang Ryan terkekeh. "Sepertinya sih iya, Pa. Lucu juga kalau mereka jadian, ya. Nama papanya sama dengan nama panjang Wynn. Papa sih, kasih nama anak kok pakai nama teman."
Mereka tertawa-tawa. Wynn mengomel, menanggapi canda dengan santai. Aku? Ya Tuhan, ingin rasanya menggebrak meja dan mengingatkan mereka bahwa Wynn ....
"Wynter, kamu sudah selesai?" tanya Wynn tiba-tiba. Tapi tanpa menunggu jawabanku, Wynn beralih pada keluarganya. "Ma, Pa, ada yang harus kukerjakan dengan Wynter. Boleh duluan? Bang Enver dan Bang Ryan, malam ini tidur di sini saja, jangan di Pav, ya." Wynn lalu beranjak. Makanan di piringnya masih banyak.
Aku mengikutinya setelah mengucapkan terima kasih kepada semua orang. Saat itulah ekspresi mereka kutangkap. Singkat, dan semua terjadi di belakang punggung Wynn. Bunda Sarah mengerjap, menahan air mata. Papa Wynn mendesah, menggenggam tangan istrinya di atas meja. Bang Enver mengepalkan kedua tangan. Bang Ryan mengacak-acak rambutnya sendiri dengan rasa frustrasi yang jelas. Tak berdaya untuk mencegah Wynn pergi.
Aku pun mengerti. Tak perlu mereka diingatkan. Mereka hanya berusaha normal sementara kehadiran Wynn sendiri menjadi peringatan terus-menerus tentang keadaannya .... Keadaan apa? Good grief! Aku mengejar Wynn, dan di pintu paviliun aku menahan bahunya.
Wynn berbalik. Wajahnya mengeras, walau tubuhnya tampak lelah. "Aku enggak akan ingkar janji, Wynter. Tutup pintunya."
Kami duduk berhadapan di sofa. Hanya beberapa detik, Wynn sudah berdiri lagi. Beranjak ke dapur. Ia kembali membawa camilan dan minuman kaleng. Melemparkan sebungkus kacang kepadaku. Refleks aku menangkapnya. Pembicaaraan serius sambil ngemil kayak mau nonton film? He must be joking!
Tidak. Wynn serius. Membuka sebungkus wafer dan mulai mengudap. "Wynter, aku enggak ingin malam ini kamu ingat sebagai momen paling gelap dalam hidup kamu." Wynn terkekeh, menertawakan candanya sendiri. Sungguh tidak lucu. Aku menatapnya kesal. "Relax. Aku cuma enggak mau bicara sama kamu soal ini dengan suasana seolah aku bakal mati besok. Aku pasti bicara, jadi kamu enggak rugi apa-apa kalau santai sedikit."
Good point. Aku mengendurkan pipi, mulai tersenyum kecil. "Jadi, siapa Auden?"
"My first crush." Wynn menjawab lugas. "Kelas 7, aku mengaku suka, tapi dia tolak. Haha. Cinta monyet. Akhir tahun lalu, Auden berbalik mendekati aku. Auden dapat dorongan dari Hya, sampai aku marah sama Hya. Kayak enggak tahu situasiku saja."
Aku nyaris tersedak. Kuminum rootbeer sampai habis separuh. Tapi tidak bisa menghilangkan rasa nyeri yang naik dari dada ke tenggorokan.
"Oh ya, asal kamu tahu saja, Bang Ryan menyebut-nyebut Auden untuk balas dendam padaku, karena kausnya kamu pakai. Bang Ryan pernah bilang bakal membunuhku kalau berani pakai kaus istimewa dari ceweknya itu." Wynn tergelak. "Lihat muka Bang Ryan tadi waktu kamu baru muncul. Priceless. Tapi dia enggak berani protes."
Ya, Tuhan. Detik berikutnya, aku sudah melemparinya dengan kacang. Wynn menjadikan bantal sofa sebagai tameng. Saat tawa kami mereda, air mata yang menggenang menjadi sesuatu yang wajar. Tidak masalah pula menghapusnya terang-terangan.
Wynn mengangguk, tersenyum miring. "Di kelas 7 juga, aku ketahuan mengidap astrositoma. Tumor di otak. Katanya sih jinak. Cuma karena aku sering sakit kepala, tumor harus diangkat. Operasi pada bulan November waktu itu. Makanya ada harian yang aku enggak ikutan menulis. Setelah operasi yang dianggap sukses, untuk sekian lama, semuanya baik-baik saja. Aku sehat." Wynn meneguk rootbeer-nya. Mengangkat kalengnya ke arahku dan tertawa renyah. "Aku suka rootbeer gara-gara sering lihat kamu minum. Sering curi-curi karena Mama memberlakukan diet ketat buatku."
Aku tercengang. "Cuma sekali kok kamu ketemu aku sedang pegang rootbeer. Itu pun belum lama."
"Kamu percaya itu? Lupa ya, aku dan Hya mengamati sepak terjangmu sejak SD?" Wynn tergelak lagi. Sampai kaleng di tangannya terguncang dan isinya tumpah ke pangkuan. "Kadal hidung belang!"
Mulutku ternganga mendengarnya. Lalu kutepuk jidatku sendiri keras-keras. Miss Jansen benar. Wynn yang terpengaruh aku. Anak itu angkat bahu. Serempak kami terbahak.
Lalu sunyi menyergap. Wynn memainkan kaleng rootbeer. "Astrositoma ternyata enggak lenyap sepenuhnya, atau pernah lenyap tapi tumbuh lagi. Masuk stadium II. Di awal kelas 8, aku operasi lagi, ditambah radiasi. Sejak itu, red alert. Prognosis is not good. Ada sejarah kanker dalam keluargaku, dan perwujudannya berbeda-beda. Kanker hati pada Kakek Darmawangsa, leukemia pada Kak Freya. Yang paling mirip dengan aku adalah sepupu Papa, Tante Renata. Ia punya astrositoma juga, dari stadium II ke IV hanya setahun. Tiga orang itu sudah lepas dari rasa sakit. Bersyukur tidak lama-lama menderita."
Wynn, stop, please! Aku mendengar kata-kata itu di kepalaku. Tapi mulutku terkunci. Kaleng rootbeer di tanganku sudah penyok kuremas. Wynn tidak melihat. Ia lanjut berbicara sambil menunduk. Tentang semua pengobatan alternatif yang pernah dijalani. Tentang diet dan terapi penunjang. Tentang pengingkaran dan kemarahan. Tentang ketidakberdayaan dan keputusasaan. Lalu, pada akhirnya, kepasrahan dan penerimaan.
"Seperti memasuki tornado. Kamu terlempar dan terempas, babak belur, waktu baru bersentuhan dengan puting beliung. Tapi setelah terserap hingga ke titik pusatnya, di daerah mata badai, semuanya tenang. Kukira, aku ada di dalam kondisi itu. Masih jatuh bangun sesekali. Terutama kalau ingat Mama, Papa, kedua abangku, dan Hya. Aku minta mereka kuat dan bersikap biasa. Berat bagi mereka. Itu sebabnya aku banyak memisahkan diri di sini. Lebih mudah buat semua orang kalau enggak terlalu sering lihat aku. Tentu saja awalnya mereka menolak. Tapi mungkin demi aku, mereka mau berkorban. Entahlah. Sekarang ini, apa pun yang kuminta, mereka kabulkan begitu saja." Tawa Wynn sumbang.
Dan mata kami bertemu. Wynn tampak terkejut. Oh ya, aku marah sekali saat ini. Wynn mengenal dan mengawasi aku sejak SD, tapi baru mendekati aku beberapa minggu ini?! Membiarkan aku friendless selama lima tahun? What a waste!
"Karena Hya?" Suaraku menyentak. "Karena dia melarangmu dekat-dekat denganku sejak aku pindah ke Darmawangsa?"
Wynn tertegun.
"Kamu tahu, kita bisa bersahabat sejak dulu kalau mau. Kenapa? Kenapa baru sekarang? Berapa lama lagi sisa waktu kita?"
Helaan napas berat. Wynn mengubah posisi duduk. Menaikkan kaki ke sofa dan menyandarkan punggung di dinding. "Bukan karena Hya, Wynter. Jangan salah paham. Ada semua kok di WMHS. Aku lupa detailnya. Gara-gara astrositoma, aku banyak lupa. Tapi sungguh, tak ada unsur kesengajaan. Semuanya bergulir dan tahu-tahu, here we are .... Maafkan aku. Maafkan Hya juga."
Aku menggertakkan gigi. Memaafkan Wynn, tanpa diminta pun aku rela-rela saja. Tapi Hya ... jelas-jelas menolakku. Bukan hanya waktu SD, malah sampai beberapa jam lalu.
"Wynter Mahardika," gumam Wynn. Matanya terpejam. "Buku harian nomor genap ada di lemariku paling atas. Tidak dikunci. Tolong, baca ya. Kamu akan mengerti."
Aku bergeming. Tidak mudah pulih dari percakapan seperti ini, meski sudah mempersiapkan diri. Dari stadium II ke IV hanya berselang setahun bagi Tante Renata. Apakah berarti Wynn juga akan demikian?
Setahun itu tidak lama. Dan anak ini malah enak-enakan tidur?!
Ah, kenapa marah pada Wynn yang kelelahan setelah kejadian hari ini? Wynter, kamu yang seharusnya instrospeksi, ke mana saja selama ini? Ada masa-masa kamu satu sekolah dengan Wynn. Di SD dan SMP.
Ya, tapi Hya ....
Tidak. Tidak ada alasan.
Perdebatan di kepala membuatku tidak tahan lagi. Aku lari keluar dari pintu samping. Hujan mulai turun. Lampu sorot menerangi lapangan berumput. Aku lari ke sana. Tapi mana tirai hujan? Mana batas itu? Aku ingin melihatnya lagi. Memburu penampakan masa depan tentang Wynn. Tapi bahkan hujan tidak memberiku kesempatan, langsung turun merata. Ini tidak adil.
Tuhan! Why?
Hujan menderas. Aku masih cukup waras untuk kembali ke teras sebelum baju dan rambutku basah kuyup. Menggigil. Tapi aku tidak ingin masuk dulu. Aku tidak siap untuk melihatnya lagi.
Aah ... mendadak aku ingat Nana. Beginikah yang dirasakannya, tahu aku akan pergi lalu menjauh sekalian sebelum telanjur dekat? Wynn juga melakukan itu. Menjauh dari keluarga untuk meringankan perpisahahan, katanya?
Tidak masuk akal. Seharusnya sisa waktu dilalui bersama sampai detik terakhir. Ya. Aku tidak akan meninggalkan Wynn seperti Nana menjauhiku karena takut kehilangan nantinya. Aku kuat. Bertahan hingga akhir. Kapan pun itu. Wynn tahu. Itu sebabnya ia memilihku, bukan?
Kupandangi Wynn dari pintu kaca. Anak itu bergerak dalam tidur. Posisinya tidak nyaman. Oh, ya ampun, kaleng rootbeer masih di tangannya.
Aku bergegas masuk. "Wynn Maharesi Darmawangsa!" tegurku pelan, memindahkan kaleng dari tangannya ke meja. Ingat di pertemuan pertama, ia membuangkan kaleng bekasku ke tempat sampah dan bilang aku berutang budi. "Sekarang kita impas."
Bukan itu saja. Aku ke kamar untuk mengambil bantal dan selimut. Memperbaiki posisi kepala dan kaki Wynn, agar lebih nyaman. Lalu menyelimutinya.
Aku duduk di sofa di seberang meja. Mendadak aku geli sendiri mengingat ia minum rootbeer dan mengumpat. Tapi secepat senyumku pecah, secepat itu pula rasa pedih itu menikam hanya dengan memandangi wajahnya yang tenang.
Wynter, kamu kuat. Sudah biasa kehilangan.
Still, it hurts so bad.