The Boy With A Fake Smile

By indahmuladiatin

27.5M 1.5M 223K

#1 in Teenfiction # 1 in Fiksiremaja #1 in Fiksi #1 in Love (SELESAI) FOLLOW DULU SEBELUM BACA Dia Kenneth Al... More

Prolog
BAB 1 - The Unlucky Day
BAB 2 - I'm Not Alone
BAB 3 - Changed
BAB 4 - The Star
BAB 5 - Who Is He?
BAB 6 - The Mysterious Guy
BAB 7 - Bad Rumors
BAB 8 - Beautiful Rain
BAB 9 - Where Is He?
BAB 10 - Worried
BAB 11 - Annoying Holiday
BAB 12 - Jealous (?)
BAB 13 - Beach With The Star
BAB 14 - Refrain
BAB 15 - She is Elyza
BAB 16 - Kenneth Aldebaran
BAB 17 - He's Mine
BAB 18 - Like a Star
BAB 19 - Sad Moment
BAB 20 - The Angel
BAB 21 - I Hate You
GIVEAWAY NADW!!!
BAB 22 - Sick
BAB 23 - The Secret
BAB 24 - Fake Smile
BUKAN UPDATE
BAB 25 - Give up? It's Not Me
BAB 26 - An Answer
BAB 27 - Become Better
BAB 28 - Commotion
BAB 29 - In Hospital
BAB 30 - Good Moment
BAB 31 - Gita's Secret
BAB 32 - The Winner
OA LINE TBWAFS
BAB 34 - Anger
BAB 35 - Do you Remember Me?
BAB 36 - Say Sorry
BAB 37 - No One Understands
BAB 38 - I Don't Wanna Go
BAB 39 - Stay With Me, Please
BAB 40 - Haunted by Guilt
BAB 41 - Still Waiting
BAB 42 - Missing You
BAB 43 - Little do you Know
BAB 44 - Happy Graduation
BAB 45 - See You
Pengumuman
BAB 46 - I'm Okay
BAB 47 - Emergency Time
BAB 48 - Indecision
BAB 49 - Pulse
Giveaway!!!
BAB 50 - The Wedding
Picture & Pengumuman
PENGUMUMAN
CERITA BARU
Q n A (1)
Attention
INFO GRUP INPLAYERS
JOINT GRUP INPLAYERS
He Always be the Legend
He Always be the Legend (2)
Spoiler Layout
Anatomi, Fisiologi, dan Si Mata Biru
PRE ORDER TBWAFS

BAB 33 - New Idol

400K 25.7K 2.4K
By indahmuladiatin

Malam semua 😍😘

Aku kembali untuk update. Hehe jadwal sesuai dengan biasanya yaa malem minggu.

Follow ig @indahmuladiatin dan untuk pemesanan novel NADW bisa langsung ke ig atau line ku.

Untuk yang mau masuk grup line TBWAFS juga bisa tinggal add oa linenya. Kita bisa saling share pengalaman di sana. Mau share tentang nulis juga boleh.

Happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘😘

🍬🍬🍬

Makan malam hari ini terasa ramai karena semua berkumpul. Caramel makan dengan lahap. Meski ada banyak pikiran di kepalanya, tapi dia masih berusaha kelihatan santai. Tentu agar ayah dan Raka tidak curiga. Mengingat tingkat kepekaan dua orang ini kadang menyeramkan.

"Sekarang dia ini seleb, bahkan pulangpun masih dikerumuni wartawan," kata Lyza.

Bunda tersenyum dan mengacak rambut Bara yang duduk di sampingnya. Harusnya itu tempat Caramel, tapi cewek itu mengalah dan memilih duduk di seberang bunda. Disampingnya ada daddy yang ikut tertawa mendengar ucapan Lyza.

"Harus sabar Ra," kekeh Chika.

Caramel mengangkat bahunya. "Sebelum ini juga penggemarnya dia banyak. Udah biasa Kak."

"Yah mau bagaimana lagi, ketampananku memang menurun padanya," kata daddy bangga.

Lyza menatap ngeri daddy. "Daddy please. Itu mengerikan."

Jangan tanya ekspresi ayah saat mendengar ucapan daddy tadi. Ayah seperti langsung ingin memuntahkan makanannya. Caramel sampai tertawa karena sebenarnya ayah dan daddy kalau sedang berkumpul itu seperti anak kecil. Ada sisi manusiawi saat ayah tidak seperfect biasanya.

Setelah makan malam, Caramel memilih untuk memisahkan diri. Dia duduk di balkon sambil menatap langit. Sepertinya malam ini agak mendung. Bintang ditutupi kabut hitam. Cahaya bulan juga kelihatan remang-remang.

Caramel menghembuskan nafas panjang. Udaranya lumayan sejuk. Pendingin alam lebih nikmat daripada pendingin ruangan.

"Kenapa di sini?" tanya Arkan.

Caramel menoleh, dia tersenyum melihat abangnya yang duduk di sampingnya sekarang. "Gimana Kak Gita?"

"Kaya biasa, nggak mau keluar," jawab Arkan santai.

"Bang," panggil Caramel.

Arkan menoleh dengan alis terangkat. "Apa?"

Caramel menggelengkan kepala sambil meringis. "Manggil doang, kangen."

"Geli," jawab Arkan dengan senyum tertahan.

Mereka sama-sama menatap langit malam. Di bawah, yang lain sedang sibuk di taman belakang. Bi Peni sudah menyiapkan pesta kecil-kecilan. Mumpum sedang berkumpul katanya. Nanti juga tante Rain dan om Fatar akan datang dengan anak-anaknya.

"Gue udah denger dari Rafan," kata Arkan.

Caramel diam, ini juga yang masih mengusiknya. "Kita deket sama orang yang udah bunuh Tante Kinan. Menurut Abang, Tante Kinan bakal marah nggak sama kita?"

"Tanya aja langsung ke Tante Kinan," kata Arkan asal.

Caramel melotot kesal dan langsung merangkul tangan Arkan. "Bang! ihh ngomong sembarangan!"

"Ini apaan nempel-nempel?" tanya Arkan sambil mendorong Caramel menjauh.

Caramel menggelengkan kepalanya. Dia makin mengeratkan rangkulannya di tangan Arkan. Salah sendiri abangnya tadi bilang begitu. "Gue takut."

Arkan jadi tertawa, padahal tadi dia benar-benar lelah dan dalam kondisi mood yang buruk.Dia merangkul bahu Caramel sambil mendongak ke atas. Senyumnya mengembang. "Raa Tante Kinan udah tenang di sana, gue rasa kalaupun masih hidup Tante nggak bakal marah sama kita cuma gara-gara deket sama Bang Rio."

"Iya sih, apalagi sekarang Om Rio udah berubah. Terus gimana sama Ayah?" tanya Caramel.

Arkan mengangkat bahu. "Pasti susah buat Ayah maafin Bang Rio, lo tau sendiri Ayah sampe sekarang masih keliatan sedih kalau kita bahas Tante Kinan."

Iya Caramel sangat tahu itu. Jelas sekali, apalagi saat peringatan kepergian tante setiap tahunnya. Ayah yang selalu kelihatan tegar, pasti tidak bisa menutupi rasa sedihnya. Mungkin sampai sekarang ayah juga masih sangat membenci om Rio.

"Gue paham perasaan Ayah," gumam Arkan.

Caramel menoleh dengan kening berkerut.

Arkan menoleh pada Caramel dan mengetuk kening adiknya itu. Tangan kirinya masih merangkul bahu Caramel. "Kalau gue jadi Ayah mungkin gue udah bunuh Bang Satrio."

Tanpa harus panjang lebar, Caramel mulai mengerti ucapan Arkan. Dia tersenyum senang. Bang Arkan ini luar biasa menyebalkan, tapi kalau ada yang berani mencari gara-gara dengannya pasti Arkan yang paling duluan memberi pelajaran pada orang itu. Contohnya saat Arkan menghajar Bayu.

Caramel langsung memeluk Arkan. "Sayang sama Abang.." rengeknya.

"Lepas woy! sayang si sayang ini leher gue kecekek!" omel Arkan.

Caramel melepas pelukannya sambil tertawa geli. Dia memeletkan lidahnya. "Gue doain lo bisa dapetin Kak Gita."

"Biar dia nggak deketin si Bara?" tanya Arkan.

"Bukan," jawab Caramel. "Biar lo bahagia. Eh tapi Bang, sebenernya Kak Gita itu kenapa? apa test kesehatannya ada yang salah?"

Arkan diam sebentar sambil menghela nafas panjang. "Raa, gue nggak berhak jawab. Itu privasi Gita." Dia mengacak rambutnya sendiri dan berbaring di dinginnya lantai balkon. Dua tangannya menjadi bantalan.

"Gue jadi penasaran," gumam Caramel.

"Nggak usah kepo," jawab Arkan.

Caramel cemberut dan ikut berbaring di lantai. Sekarang cahaya bulan mulai muncul. Awan gelap sudah bergeser. Tadinya dia tersenyum tapi saat menoleh ke samping, senyumnya hilang. Wajah Arkan kembali keruh seperti kemarin-kemarin. Tidak tahu apa yang dipikirkan abangnya ini.

"Kenapa kalian berbaring di situ?" tanya ayah.

Caramel bangun dan tersenyum lebar. "Lagi ngeliatin awan Yah. Pantes kayanya kusem banget awannya."

"Kenapa?" tanya ayah.

"Pesonanya diambil Ayah semua," kekeh Caramel.

Ayah tersenyum geli dan duduk bergabung dengan dua anaknya. "Apa ada masalah?"

"Masalah bagian dari hidup Yah," kata Arkan.

"Tentu," jawab ayah. "Tapi apapun masalahnya, kalian harus ingat, ada Ayah dan Bunda yang selalu di samping kalian."

"Huaaaaa gimana nih? Kara jadi mau nangis??" teriak Caramel histeris mendengar ucapan manis dari ayah. Dia langsung memeluk ayah, pria terhebat yang keluarga miliki.

Arkan tertawa geli. "Makasih Yah."

"Untuk apa?" tanya ayah.

"Untuk Ayah yang udah jadi Ayah terbaik buat kita semua," jawab Caramel.

Ayah tersenyum dan mengacak rambut Caramel dan Arkan. Rasanya baru saja kedua anaknya ini ada digendongannya. Sekarang keduanya sudah besar. "Kalian juga sudah menjadi anak yang baik."

"Nggak, Bang Arkan nakal Yah. Kara yang baik," kata Caramel dengan wajah menyebalkan.

"Gue gibeng lo," kata Arkan.

Ayah menjawil hidung Caramel. "Ayo turun. Bunda bisa teriak kalau kalian tidak datang juga."

Caramel menggandeng tangan ayah dan Arkan. Dia berjalan menuruni tangga diapit dengan dua orang yang dia sayangi. Ternyata di taman belakang sudah ramai. Keluarga Om Fatar juga sudah datang. Sepertinya kali ini yang absen adalah Tante Putri.

"Nah ini dia," kata bunda. "Darimana kalian?"

"Abis adu ayam Nda," jawab Caramel asal.

Bunda melotot kesal dan menjewer kuping putrinya ini. "Ayam kamu ya yang bunda adu!"

"Jangan dong!" rengek Caramel.

Meski langit tidak terlalu cerah, tapi semangat di sini tidak luntur. Para perempuan semangat untuk membuat makanan. Sedangkan para laki-laki lebih memilih tidak ikut campur daripada merecoki. Caramel jelas membantu merecoki bunda sampai diusir dari kerumunan pecinta masak itu. Dia cemberut kesal dan menghampiri yang sedang bermain basket. Untung halaman belakang luas, dan karena ayah dan abang masih sering main basket jadi ada lapangan khusus yang dibuat.

Di lapangan basket ada Raka, Bara, Rafan, Arkan, dan Rasya. Caramel menonton pertandingan sambil bertopang dagu. Dia masih kagum setiap kali bang Raka bermain basket. Dua lawan tiga tapi yang kewalahan justru yang anggotanya tiga orang.

Raka kelihatan keren dengan kemeja kerja yang digulung hingga siku. Ditambah postur tubuhnya yang  sudah jadi. Tinggi tegap dengan wajah yang kata orang-orang mirip ayah. Bahkan kata oma, Raka itu copyan dari ayah. Baik sikap dan wajahnya.

Bara berjalan menghampiri Caramel. Cowok itu sepertinya memilih berhenti bermain. Peluh sudah mengucur dari kening cowok itu. "Lo nggak bantu Bunda?"

"Nggak boleh," jawab Caramel.

Bara tertawa geli dan duduk di samping Caramel. "Gue udah denger dari anak-anak." Suaranya sengaja pelan. "Kata Daddy jangan sampe bokap lo tau."

Caramel menganggukan kepalanya. "Iya, Bunda juga bilang gitu. Bunda nggak ngizinin gue ke bengkel lagi."

"Ikutin kata Bunda," jawab Bara sambil menonton pertandingan basket di depannya. "Gue paham kalau lo sama keluarga lo nggak bisa maafin Bang Rio."

Caramel mendengus kecil, memaafkan. Entah, dia juga tidak tahu bisa atau tidak untuk memaafkan om Satrio. Ingin membenci tapi om Satrio adalah orang yang baik. Dibilang tidak marah pun bohong, karena meski tidak sempat bertemu dengan tante Kinan, dia sangat marah pada orang yang sudah membunuh tantenya itu.

"Oh iya terus kalau gue mau main sama yang lain?" tanya Caramel.

Bara menoleh. "Nanti kita main di tempat lain."

Acara berlangsung sampai tengah malam. Caramel bahkan sudah tertidur di sebelah Raka dengan selimut jas abangnya itu. Sesekali Raka mengusap kepala Caramel jika adiknya itu bergumam dalam tidurnya. "Biar aku bawa dia ke kamar."

"Kita juga harus pamit," kata daddy.

"Yaah kami juga," jawab om Fatar.

"Kalian yakin tidak ingin menginap?" tanya bunda.

Tante Rain tersenyum dan memeluk bunda. "Kapan-kapan, sekalian kita buat acara khusus. Bertiga, aku, kamu dan Putri."

Bunda tersenyum dan mengangkat jempolnya. Akhir-akhir ini mereka memang jarang sekali berkumpul mengingat kesibukan yang sangat padat. Tante Rain juga lebih sering di luar Jakarta mengikuti Om Fatar. "Aturlah."

"Yah pasti ingin bergosip, tenang aku tidak berminat untuk gabung," kata daddy yang disambut tawa oleh yang lainnya.

🍬🍬🍬

Pekan ulangan sudah datang. Satu minggu Caramel fokus belajar selama ujian berlangsung. Dia sadar kalau nilainya harus meningkat karena nilai-nilai saat kelas satu kemarin tidak cukup baik. Hanya pas dengan standar nilai yang ada. Tidak ada bermain setiap pulang sekolah. Di rumah, Raka membantunya untuk belajar.

Besok adalah ulangan terakhir, hanya satu pelajaran jadi Caramel bisa sedikit bersantai. Dihadapannya ada satu buku yang sudah dicoret-coret olehnya sendiri. Di samping Bunda memakan potongan buah-buahan dengan santai.

Bunda mengulurkan sesendok potongan buah di dekat mulut Caramel. Putri bungsunya ini membuka mulut dengan wajah senang. Katanya kalau saat belajar didukung dengan asupan makanan, maka hapalanpun akan lancar.

Ayah dan Raka datang dengan kemeja yang rapi. "Aku dan Raka pergi sebentar.

"Kemana?" tanya bunda.

"Ada pertemuan dengan rekan kantor Nda," jawab Raka.

Bunda cemberut kesal dan bangkit dari kursi malas. "Jangan pulang malam-malam," kata bunda sambil merangkul tangan ayah.

Raka mendengus geli dan bersedekap. Pemandangan yang selalu membuatnya ngeri, karena sifat manja bunda. Sejak dia kecil bahkan sampai umurnya dewasa begini, sifat manja bunda tidak berubah.

Caramel terkekeh sambil menonton romanca bunda dan ayah. Dia bertopang dagu. "Wahh Bang Raka iri tuh, nggak ada temen buat romantis-romantisan."

"Sembarangan!" kata Raka.

Bunda mengangguk setuju. "Makanya menikah agar kamu tahu bagaimana rasanya."

Wajah Raka kembali mengeruh. Lagi, tuntutan bunda untuk Raka agar cepat menikah. Caramel makin tertawa melihat wajah pusing abangnya.

"Sudah, kamu ini hobi sekali menggoda Abangmu," kata ayah sambil menjawil hidung Caramel. Ayah mengecup kening putrinya itu. "Belajar yang benar. Kara ingin titip apa?"

"Nggak mau apa-apa Yah," jawab Caramel.

"Oke nanti bilang Ayah kalau ingin titip sesuatu," kata ayah. "Aku berangkat dulu," pamit ayah sebelum mencium kening bunda.

Ayah pergi disusul Raka. Caramel bertopang dagu sampai ayah dan Raka hilang dari pandangannya. Dia tersenyum dan berbaring di kursi malas itu sambil bertopang dagu. "Nda, percaya nggak kalau sekarang Bang Arkan serius sama satu cewek?"

Bunda menoleh dengan alis terangkat. "Dia kebentur?"

"Haha Bunda jahat," kekeh Caramel.

Bunda ikut tertawa dan mengusap kepala Caramel. "Tentu Bunda percaya. Setiap orang bisa berubah. Bisa jadi lebih baik atau justru makin buruk."

"Siapa dia?" tanya bunda.

Caramel mengerjapkan matanya. Dia menggeleng pelan. Dia belum siap mengatakan pada bunda kalau yang disukai Arkan adalah cewek pecandu narkoba.

"Jadi itu alasan Abangmu sedikit murung?"

"Mungkin," jawab Caramel.

"Bunda penasaran bagaimana orangnya. Pasti bukan seperti pacar Abangmu yang dulu-dulu," kata bunda.

Caramel tertawa dan menganggukan kepalanya. Gita memang tidak seperti pacar-pacar Arkan yang dulu. Tidak tahu kenapa abangnya itu bisa tertarik pada Gita. Dia saja kaget.

Bicara dengan bunda selalu menyenangkan. Tidak, bicara dengan kedua orang tuanya memang selalu menyenangkan. Ayah dan bunda selalu bisa menempatkam diri saat bicara dengan anak-anaknya. Bunda akan bertindak sebagai teman jika Caramel menceritakan masalah-masalahnya. Ayah juga begitu, saat dia dan abang-abangnya sedang dalam masalah maka ayah akan siap mendengarkan semuanya.

Caramel dan bunda tertawa bersama saat bunda tiba-tiba menceritakan masa-masa kecil Caramel dan Rafan Arkan. Bagaimana cengengnya si bungsu dan jailnya si kembar. Ramainya rumah kalau suara tangis Caramel menggema di rumah ini.

"Jadi kangen," kekeh Caramel.

🍬🍬🍬

Hari ini setelah ulangan, Caramel dan teman-temannya tidak langsung pulang karena ada pengarahan dari wali kelas. Hal yang biasa setiap akan libur semester. Biasanya setelah ujian semester akan ada classmeeting. Jadi hari ini akan dipilih siapa-siapa saja yang akan ikut lomba.

"Siapa yang mau berpartisipasi untuk lomba nyanyi?" tanya Pak Johan.

Deni mengangkat tangan dengan pedenya. Teman-temannya cuma tertawa miris. Ngomong aja fals.

"Oh jangan, yang lain saja," kata Pak Johan.

Seisi kelas tertawa mendengar penolakan langsung dari Pak Johan. Yah wajar, kalau mengajukan Deni berati kelas sudah siap ditimpukin botol. "Kenapa Pak? saya kurang apa?"

"Kurang tau diri, suara begitu mau lomba nyanyi," kekeh Bimo.

Deni ikut tertawa. "Ohh oke saya mundur Pak."

"Alhamdulillah," kata Pak Johan.

Caramel tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. Dia bersandar sambil menikmati kegaduhan kelas. Anak-anak yang saling tunjuk menunjuk.  Dia sih tenang-tenang saja.

"Caramel, kalau kamu saja gimana?"

Caramel langsung duduk tegak. "Jangan Pak!! saya buta nada!"

Di sampingnya Bella mengangguk setuju. "Jangan Kara Pak, bisa ancur panggungnya."

"Roboh," kata Deni.

"Salonnya pecah," tambah Kevin.

Caramel melirik teman-temannya sambil cemberut. Dasar jahat. Jujurnya keterlaluan. "Tuh Pak, mereka saksi yang pernah denger suara saya."

"Terus siapa yang mau wakili kelas kita?" tanya Pak Johan.

"Saya aja Pak," kata Riska.

Akhirnya si pintar bersuara. Baguslah, mereka jadi tidak perlu sibuk mencari kandidat. Lagian, meski tidak lembut. Suara Riska cukup enak didengar.

Caramel langsung mengemasi tasnya setelah Pak Johan keluar dari kelas. Semua yang ikut lomba sudah didata. Dia dan Bella ikut di lomba futsal perempuan. Padahal tidak bisa, tapi ya sudah lah, tinggal tendang bola saja.

"Mau langsung balik?" tanya Caramel.

"Nggak, mau nemenin Gio cari buku," jawab Bella.

Caramel manggut-manggut. "Oke, gue langsung ke parkiran deh. Bye!" katanya sambil berlari menjauh. Dia mau ketemu dengan Bara, jadi daripada harus naik ke kelas cowok itu. Mending dia langsung ke parkiran motor saja.

Motor besar berwarna putih itu terparkir di tempat khusus. Itu motor baru milik Bara, tidak enak kalau terus pinjam ke Defan. Membawa motor hitam biasa juga bukan piliham yang tepat.

Caramel menunggu di tempat parkir itu. Dia bersandar di tembok dekat motor Bara. Gara-gara kemenangan Bara waktu itu, sekolah pun memberikan pelayanan khusus untuk Bara. Bahkan tempat parkir motor. Katanya cowok itu sudah mengharumkan nama sekolah.

"Keburu kering deh gue," dumel Caramel yang mulai kepanasan.

"Ssstt.." bisik orang dari semak-semak.

Caramel menoleh dengan wajah takut. Masa ada setan rumput di siang bolong. Dia jadi merinding sekarang. "Siapa yaa? orang bukan?"

Kepala Tio muncul dari semak-semak. Wajahnya kelihatan kesal. "Yaa orang lah!"

"Kakak ngapain di situ?" tanya Caramel.

"Disuruh Bara, lo nungguin dia kan? katanya lewat samping aja baliknya. Dia nggak bisa keluar gara-gara tuh fansnya," jelas Tio.

Caramel mengerutkan kening. Dia menatap motor itu. "Terus ini?"

"Nggak tau, udah sono! si Bara udah nunggu. Keburu anak-anak cewek pada kesini," kata Tio.

Caramel mengangguk dan berlari ke wilayah samping sekolah. Tapi biasanya pagarnya selalu di kunci, karena jarang ada yang lewat samping. "Bara!" panggilnya saat melihat cowok itu berdiri di pinggir pagar.

Bara menggunakan jaket hoodie hitam. "Cepet!" katanya.

"Mau lewat mana? kan dikunci?"

"Manjat," kata Bara sambil memanjat pagar lebih dulu. Dia mengulurkan tangannya dan membantu Caramel naik.

"Mau pulang aja ribet," keluh Caramel.

Bara tersenyum tipis dan meloncat dari pagar. Dia merentangkan tangannya. "Cepet loncat!"

"Lo jangan ngintip ya?" kata Caramel sampil mengangkat sedikit roknya.

"Idih," kata Bara.

Caramel meloncat ke Bara dan ditangkap dengan baik. Dia menghela nafas panjang. Untung hal yang begini  sudah biasa dilakukan. Jadi dia tidak terlalu kaget. "Kita naik apa?"

"Taksi," jawab Bara sambil menggenggam tangan Caramel.

Mereka berjalan ke jalanan besar untuk mencari taksi. Kepala Bara ditutupi hoodie untuk jaga-jaga kalau ada yang melihatnya nanti. Ternyata, wawancara saat itu membuatnya jadi lumayan terkenal. Bahkan tadi mau pulang saja susah karena ada banyak teman-temannya yang ingin bertanya tentang jadwal balapannya.

Bara mengajak Caramel makan di tempat biasa. Kali ini dia memilih tempat paling ujung dekat jendela. Setelah duduk barulah dia melepas hoodienya. Bara menghela nafas lega.

"Susah yaa punya Abang seleb," kata Caramel.

Bara mendengus kesal dan menyilangkan tangannya di atas meja. "Gimana ujian lo?"

"Lancar," jawab Caramel.

Mereka memang tidak komunikasi selama satu minggu untuk sama-sama fokus ke ujian semester. Khususnya untuk Caramel yang memang sangat susah untuk disuruh fokus belajar. Hari ini rencannya Caramel ingin jalan-jalan dengan Bara, tapi itu juga tidak mulus karena fans-fans baru yang mengejar cowok itu.

"Itu Kenneth Aldebaran?" bisik orang yang barusan melewati mereka.

Bara memijat keningnya sendiri dan kembali memakai hoodienya. "Gue mau jadi pembalap, bukan artis."

Caramel tertawa melihat Bara yang uring-uringan karena sepertinya hidupnya makin tidak tenang sekarang. Dulu terus dikejar musuh. Sekarang dikejar musuh dan dikejar penggemar.

"Ceweknya cantik," bisik itu lagi.

Caramel tersenyum dan mengangkat alisnya. "Gue nggak enak aja sering dibilang cantik."

"Takut sama lo, makanya muji," kata Bara asal.

"Enak aja! gue tuh cantik tau, kaya bidadari," kata Caramel.

Bara membuka mulutnya dan mendengus samar. "Bidadari?" tanyanya takjub.

Caramel mengangguk antusias sambil mengepakan tangannya seperti sayap. "Bidadari, iya kan?"

Bara menggerakan jarinya agar Caramel mendekat. Dia berbisik pelan dengan senyum tertahan. "Gue takut kalau lo jadi bidadari."

"Kenapa?" tanya Caramel.

Mata biru Bara menatap mata kecokelatan milik Caramel. Sedekat itu sampai rasanya hangat nafas Caramel terasa. "Takut sayapnya rontok."

"Hah? kenapa?" tanya Caramel.

"Gara-gara pas terbang lo nyangkut di pohon-pohon," lanjut Bara lagi.

Caramel cemberut kesal dan kembali duduk sepertu biasa. Nyelekit. Lihatkan, Bara mana pernah sok romantis padanya. Jangan harap Bara akan bersikap manis.

Bara tertawa dan menyubit pipi Caramel. Dia bertopang dagu sambil memperhatikan wajah kesal cewek itu. "Lo cantik, nggak perlu jadi bidadari."

"Yaa ya," kata Caramel.

"Gue suka sama lo, bukan sama bidadari," kata Bara lagi.

Caramel mengerjapkan mata. Wajahnya memanas karena ucapan Bara tadi. "Hemm gue dijatohin lagi nggak nih?"

Bara tertawa geli dan menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak peduli dengan orang-orang yang sedang menatapnya. "Nanti balik ke sekolah, gue harus ambil motor."

"Oke," kata Caramel.

Makanan mereka datang. Seperti biasa, Caramel memesan kentang goreng dan hamburger yang memang menjadi menu andalan tempat ini. Sambil makan, Caramel menceritakan kegiatannya seminggu ini. Dia juga mulai tidak terganggu dengan orang-orang.

Caramel dan Bara kembali ke sekolah sore hari. Sekolah sudah sepi, hanya sisa beberapa orang yang mungkin memang belum pulang karena ada keperluan. Bara langsung menyalakan motornya.

"Mau kemana?" tanya Bara.

"Pulang aja deh, lo tapi nanti main dulu di rumah. Bang Rafan pasti di rumah juga," jawab Caramel.

Bara menganggukan kepala. "Oke."

Jalanan ramai oleh orang-orang yang pulang dari tempat kerjanya. Ini jam sibuk. Jam-jam biasa saja masih seing macet. Apalagi jam sibuk seperti sekarang ini. Untungnya mereka naik motor yang bisa menyalip di sela-sela kendaraan beroda empat.

"Gue jadi mau belajar motor," gumam Caramel.

"Nggak," kata Bara.

"Kenapa?"

"Lo duduk aja di boncengan, biar gue yang bawa motor," jawab Bara.

Mereka sampai di rumah. Caramel langsung masuk tanpa mengajak Bara. Toh cowok itu sudah sering kemari. "Bundaaa ada tamu dari jauh ni.." katanya sambil menghampiri bunda yang ada di dapur.

Bunda memiringkan kepala. "Tamu jauh?"

"Malem Nda," sapa Bara sambil menyalami bunda.

"Ohh Kenneth," kekeh bunda.

"Iyaa Nda tamu jauh," kata Caramel sambil bergelayut manja di tangan bunda.

"Jauh gimana?" tanya bunda.

"Jauh di mata dekat di hati," kekeh Caramel.

Bunda menatap ngeri putrinya. Kepalanya menggeleng pelan melihat tingkah anak bungsunya ini. "Bunda aja ngeri dengernya, apalagi Kenneth."

Bara tertawa dan duduk di pantri. "Apa kabar Nda?"

"Baik sayang, ulanganmu gimana?"

"Baik," jawab Bara.

Bunda menepuk pelan tangan Bara. "Pastilah, beda dengan anak ini. Kita lihat saja nilai-nilainya nanti. Heran, sudah tahu kalau daya ingatnya itu payah, belajar pakai sistem kebut semalam."

Caramel cemberut dan menghampiri Meri yang sibuk mencuci piring. "Mbak, mau susu cokelat dong. Pake gelas yang merah yaa."

"Iyaa," kata Meri.

"Ngapal emang bukan bakat Kara Nda," kata Caramel.

"Terus bakatmu itu apa?" tanya bunda.

Caramel mengetuk-ngetuk telunjuknya ke meja. Dia diam sebentar untuk berpikir. "Gangguin Bunda."

"Ohh iya hebat sekali memang bakatmu itu," kata bunda sambil memukul-mukul spatula ke tangannya sendiri.

Bara cuma tertawa menonton Caramel yang kabur dari bunda. Memang benar kata Rafan. Biang onar di rumah ini itu Caramel, bunda dan Arkan. Bicara soal Arkan, dia jadi ingat Gita. Dia belum sempat memberitahukan tentang kemenangannya ke cewek itu.

Bara menepuk keningnya sendiri. Karena ulangan kemarin, dia sampai lupa untuk berkunjung. Besok pulang sekolah dia akan pergi ke tempat Gita. Mungkin dengan Arkan.

"Fi ayo ke rumah sakit," kata ayah yang baru saja menuruni tangga.

"Ada apa?" tanya bunda setelah lelah mengejar Caramel.

"Papa masuk rumah sakit," kata ayah.

"Opa kenapa Yah?" tanya Caramel cemas.

Ayah tersenyum dan menghampiri putrinya. "Hanya drop."

"Yaa sudah aku siap-siap dulu," kata bunda sambil berlalu melewati semuanya.

"Kara ikut ya?"

"Tidak perlu, besok saja datang dengan Abang-abangmu," jawab ayah.

Caramel menganggukan kepalanya. "Salam buat Opa," katanya.

Ayah mengusap kepala Caramel. "Pasti."

Caramel dan Bara mengantar sampai deoan rumah. Wajah Caramel masih kelihatan sedih. Bara merangkul bahu cewek itu.

"Opa lo pasti baik-baik aja," kata Bara.

"Thanks," jawab Caramel. "Ayo masuk, lo langsung ke kamar Bang Rafan aja. Gue mau mandi dulu."

Caramel langsung pergi ke kamarnya. Dia mandi dengan cepat dan langsung berbaring di ranjang. Pikirannya jadi tidak tenang karena opa masuk ke rumah sakit. Opa memang sudah tua, tapi bisa dibilang opa itu sehat-sehat saja.

Sedang asik memandangi atap kamar, ponsel Caramel bergetar pelan. "Halo Bang," jawabnya setelah melihat nama Raka di layar.

"Kalian makan saja duluan. Abang, Ayah dan Bunda tidak pulang," kata Bang Raka.

"Keadaan opa parah?" tanya Caramel makin cemas.

"Tidak, Opa kondisinya sudah stabil. Abang dan Ayah menemani Opa di rumah sakit. Bunda menemani Oma di rumah."

"Ohh syukur deh, Kara lega. Yaudah Abang sama Ayah hati-hati yaa, nggak usah mikirin rumah. Kita pasti makan," jawab Caramel.

Sekarang dia sudah bisa bernafas dengan lega, yang terpenting keadaan opa sudah stabil. Besok dia akan datang dan menciumi opa sampai opa sembuh. Caramel langsung meloncat bangun. Dia melihat pantulan dirinya di kaca.

Caramel menguncir rambutnya sebelum keluar dari kamar. Dia langsung pergi ke kamar Rafan. "Bang Arkan belum pulang?"

"Sebentar lagi mungkin," kata Rafan.

"Tadi Bang Raka nelepon Kara. Katanya kita disuruh makan duluan soalnya Ayah sama Bunda nggak pulang," jelas Caramel.

Bara yang tadi sibuk membaca buku langsunh meletakan bukunya. "Gimana Opa lo?"

"Udah stabil katanya," jawab Caramel.

"Syukur deh," kata Rafan.

"Kita makannya nunggu Bang Arkan yaa? kasian ntar kalau dia makan sendiri."

Rafan dan Bara menganggukan kepala. Lagian di sini belum ada yang lapar. Tadi mereka juga sedang sibuk membaca buku masing-masing.

Caramel melirik jam di kamar Rafan. Sudah jam sebelas lewat tapi Arkan belum pulang. Dia mengusap perutnya. "Bang Arkan kemana sih?"

"Biasanya balik jam berapa dari tempat Gita?" tanya Bara.

"Paling lama jam sepuluh," jawab Caramel.

"Dia kan udah seminggu nggak ngunjungin Gita, maklumin aja," jawab Rafan.

"Den Rafan!!! Non Karaa!!" teriak seseorang dari bawah.

Caramel menoleh kaget, dia langsung berlari keluar kamar disusul Rafan dan Bara. Mereka makin kaget waktu melihat Arkan tergeletak di lantai. Caramel yang panik sampai berlari menuruni tangga.

"Bang Arkan!" panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi Arkan.

"Demamnya tinggi," kata Rafan.

Caramel menangis sambil terus menepuk pipi Arkan yang tidak sadarkan diri. "Bang Arkan!"

"Starla tenang!" kata Bara. "Fan dimana kunci mobil?"

"Ambil di nakas deket tv," kata Rafan sambil mencoba membangunkan saudara kembarnya itu. Pantas sejak tadi moodnya buruk. Ternyata saudara kembarnya sakit. Ikatan batin mereka memang kuat. Biasanya jika salah satu ada yang sakit maka salah satunya lagi moodnya akan buruk.

"Angkat Arkan, biar gue siapin mobil!" kata Bara.

Rafan mengangkat Arkan. Caramel ikut di belakang. Dia masih menangis karena dia belum pernah lihat Arkan pingsan. "Bang Arkan kenapa sih!"

Di depan Bara sudah siap dengan mobilnya. Rafan meletakan Arkan di kursi belakang. Caramel duduk dan meletakan kepala Arkan di pangkuannya. Rafan di depan dengan Bara.

Caramel menggenggam tangan Arkan yang lemas. "Abang," panggilnya.

"Tenang Ra," kata Rafan. Dia juga cemas sekarang, tapi kalau semua cemas tidak akan ada gunanya.

Caramel mengusap air matanya. Untung sedang ada Bara juga di rumah. Belum hilang sepenuhnya kecemasan karena opa sekarang karena Arkan.

"Jangan kabari Ayah sama Bunda dulu," kata Rafan.

"Tapi Bang-"

"Arkan bakal baik-baik aja Ra," potong Rafan.

Caramel menunduk dan menatap wajah pucat Arkan. Pelan dia usap wajah abangnya itu. Dia lebih suka ekspresi jahil abangnya yang seperti biasa daripada sekarang ini.

"Awas nanti pas bangun," desisnya kesal.

🍬🍬🍬

See you in the next chapter 😘😘

Jangan lupa follow ig mereka yaa

@kennethaldebaran

@caramelstarla

@rafansafaraz

@umbrellakirei

@arkanlazuard

Continue Reading

You'll Also Like

True Stalker By fly

Teen Fiction

33M 1.2M 27
TERBIT 📖 - Aku adalah stalker. Itu sebuah hobi? Bisa dibilang begitu. Tetapi, aku hanyalah seorang gadis SMA yang duduk di bangku kelas X. "L...
2.8M 159K 40
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
Aldara By forkywoody

Teen Fiction

7.9M 33.2K 3
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] (Karakter, tempat dan insiden dalam cerita ini adalah fiksi) Hidup seorang remaja laki-laki yang menjabat sebagai Ketua Gale...
2.4M 132K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...