A Homing Bird

By yayan_d

537K 43.5K 2.9K

Fatta : Aku nggak akan pernah mencintai wanita manapun seperti aku mencintai kamu. Seandainya waktu dapat di... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 46
Part 47
Epilog

Part 38

5.2K 992 214
By yayan_d

Raya sekarang mulai terlihat gemuk dengan perutnya yang membundar. Tapi Genta suka melihatnya pagi-pagi berjalan ke arahnya dengan tertatih-tatih tapi sekaligus terlihat anggun dan menggemaskan. Hari-hari mereka berlalu dengan begitu cepat. Mereka mulai membeli perlengkapan bayi dan sebagainya. Dahulu hidup Genta amat permanen dan statis dengan kegiatan di band dan malam-malam panjang di tempat hiburan. Tapi sekarang semuanya berubah, perubahan yang menyenangkan dan memberikan pengalaman baru yang menyegarkan.
Begitu membanggakan mengantarkan Raya memeriksakan diri ke dokter kandungan. Begitu menyenangkan berburu tempat tidur bayi dan bersibuk-sibuk mencari nama-nama bayi di dalam buku nama. Dan seharian ini, ia dan Raya berbelanja pakaian dan berbagai perlengkapan bayi mereka.
Genta melirik jam dinding. Pukul dua lebih tiga puluh lima menit dan ia belum bisa tidur. Genta bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Perutnya amat lapar dan ia betul-betul ingin makan saat ini. Ketika ia sampai di dapur, lampu dapur telah menyala dan Raya duduk di tengah ruangan dengan setangkup roti dan segelas susu.
“Raya?”
“Aku membangunkanmu, ya?” tanya Raya sambil bertopang dagu memerhatikannya.
Genta menggeleng lalu duduk di samping Raya, “Aku lapar.”
“Mau kubuatkan makanan?” tanya Raya.
Genta menggeleng, “Makan roti saja,” sahut Genta sambil membuka tempat roti, mengolesinya dengan selai blueberry Bonne Maman dan mulai makan.
“Capek ya, menemaniku seharian?” tanya Raya dengan pandangan menyelidik.
“Nggak, menyenangkan kok.”
“Aku lapar banget,” gumam Raya.
“Aku juga dan untunglah kamu sudah melewati masa ngidam. Kalau enggak, bukan gak mungkin malam ini kita pergi ke Bandung membeli batagor.”
Raya tertawa dan memerhatikan Genta yang makan dengan lahap.
“Jangan memandangiku seperti itu,” kata Genta jengah.
“Kalau kamu malu-malu seperti itu terlihat manis sekali.
Genta tergelak, “Kamu sering menyelinap malam-malam dan makan begini, Ra?”
Raya tersipu malu dan mengangguk.
“Kenapa malu?” tanya Genta heran.
“Orang-orang bilang jangan makan terlalu banyak ketika hamil, atau kamu akan kesulitan untuk mendapatkan bentuk tubuhmu kembali.”
“Omong kosong,” sahut Genta, “Perempuan hamil makan bukan untuk dirinya sendiri tapi juga untuk bayinya, jadi makan begitu banyak makanan malah sangat dianjurkan.”
“Baru akhir-akhir ini aku begitu tergila-gila pada makanan. Kemarin-kemarin setiap mencium bau makanan perutku langsung mual. Tapi sekarang semua makanan terasa sangat enak. Oh… bayinya bergerak!”
“Apa?”
“Bayinya bergerak,” kata Raya sambil mengamati perutnya.
“Seperti apa rasanya?” tanya Genta dengan perasaan takjub.
Raya meraih tangan Genta dan menempelkannya di perutnya. Dan Genta ternganga seketika. Di bawah telapak tangannya bayi itu mulai bergerak.
“Sayang… dia bergerak,” gumamnya sambil memandang Raya dengan perasaan campur aduk.
Raya tertawa, “Peganglah… ini kakinya.”
“Bagaimana kamu tau ini kakinya?” tanya Genta bingung.
“Karena dia menendang.”
“Tentu saja, dia laki-laki seperti yang Papa bilang. Anak laki-lakiku,” kata Genta dengan bangga, “Ya ampun, Raya… anak laki-lakiku keren sekali.”
“Keren?” tanya Raya bingung.
“Kurasa dia sedang menggebuk drum di dalam sana seperti Om Ruben,” bisik Genta, “Dina kan selalu bilang Ruben cowok terkeren di seluruh muka bumi. Kurasa nggak lama lagi dia bakal dapat saingan.”
“Mama mendaftarkanku ke kelas senam,” kata Raya tiba-tiba pada Genta.
“Kapan mulainya?” tanya Genta.
“Besok malam jam tujuh,” kata Raya sambil menguap, “Di rumah sakit.”
“Sudah mau tidur, Ra?”
Raya melorot di kursinya sambil mendongak menatap Genta dan bertukar pandang, “Semua orang di antar suaminya,” tuturnya pelan lebih menyerupai bisikan.
Genta tersenyum lembut, “Besok malam kamu akan di antar suamimu ke kelas senam itu. Sekarang lebih baik kita pergi tidur, ya,” lanjut Genta sambil membantu Raya berdiri dari kursinya dan mengantarkannya ke dalam kamar, membaringkan Raya, menyelimutinya dan memerhatikannya hingga istrinya itu tertidur pulas.

*****


Seluruh penghuni kelas itu nyaris tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran senamnya begitu pula dengan semua orang di rumah sakit, begitu Genta dan Raya datang untuk kelas senam hamil pertamanya. Keberadaan Genta benar-benar menarik perhatian. Dia begitu tampan, begitu ramah dan begitu memanjakan serta memuja istrinya. Genta tidak segan-segan memegang tas tangan istrinya, menuntunnya ketika berjalan, menatap mata sang istri ketika bicara, begitu perhatian dan baik hati. Orang yang melihat akan mengira mereka adalah pasangan yang berbahagia dan saling mencintai. Membuat semua perempuan di sana merasakan perasaan iri pada perempuan hamil yang terlihat tidak percaya diri dan rapuh di samping Genta.
“Ya ampun… Raya, kamu sangat beruntung. Suamimu itu jauh lebih cakep dari di TV,” bisik seorang perempuan hamil di sampingnya sambil mengamati Genta yang duduk di antara laki-laki lain di ruangan itu yang tengah menunggui istri-istri mereka.
“Apa dia menidurkanmu dengan nyanyian setiap malam?” tanya perempuan lain di belakang Raya sambil menatap Genta antusias.
Raya memandangi Genta. Genta balas menatapnya dan tersenyum manis. Mengenakan celana denim hitam, kaus abu-abu gelap, habis mandi dan sangat bersemangat mengikuti kelas senam Raya, Genta terlihat benar-benar tampan. Dan Raya benar-benar sadar mengapa semua orang memandanginya dengan perasaan iri. Genta terlihat amat manis di sana, tersenyum penuh cinta dan memandanginya tanpa berkedip.
“Ah… pasti romantis sekali ya, kehidupan pernikahan kalian. Apa dia sudah menciptakan lagu untuk bayi kalian?”
Raya tersenyum kecil dan Genta balas tersenyum di tempatnya. Menciptakan lagu untuk bayi ini memang romantis. Tapi Genta tidak hanya romantis. Dia begitu baik hati. Memberinya rumah yang indah, menikahinya dengan pesta luar biasa, bulan madu ke pegunungan,  membeli perlengkapan bayi, merawatnya ketika dia begitu lemas dan tak berdaya dengan kehamilannya dan tentu saja menyelamatkan mukanya serta bayinya dengan memberi status sebagai istri.
Pelajaran senam itu dimulai, Raya duduk dan menjulurkan kakinya seperti teman-teman sekelasnya dan mencoba berkonsentrasi pada pelajarannya. Raya memerhatikan pelatih senamnya dan mereka mulai melakukan relaksasi sederhana sebagai permulaan. Pelatih senamnya bertepuk tangan setelah dua jam berlalu, “Baiklah pelajaran kita selesai hari ini. Kita akan betemu tiga hari lagi untuk latihan pernafasan. Dan para ayah, bantuin dong, bundanya bangkit.”
Dengan sigap Genta bangkit berdiri menuju Raya. Sambil tersenyum dia membantu Raya berdiri dan kemudian menuntun istrinya menuju mobil mereka.
“Capek, sayang?” tanya Genta di dalam mobil yang bergerak meninggalkan rumah sakit.
Raya menggeleng, “Tapi aku lapar.”
“Mau makan apa?”
“Aku mau makan soto betawi,” Raya tersenyum senang sambil bersandar di kursinya.
Ya.. seenggaknya soto betawi banyak di Jakarta.

*****


Genta pernah membaca bahwa cinta adalah kekuatan yang menakjubkan. Orang-orang bahkan bisa melakukan hal-hal gila dan tidak masuk akal karena cinta. Dan mungkin itulah yang telah dilakukan Genta. Perasaan cinta kepada Raya yang menyelimuti hatinya begitu kuat membuatnya begitu bergairah menghadapi hidup. Memikirkan Raya saja membuatnya bisa menulis lirik lagu yang indah, bukan hanya tentang Raya tapi juga tentang bayi itu. Keajaiban kecil yang indah. Ia gembira memerhatikan bentuk tubuh Raya berubah. Gembira  bahwa ia yang selalu berada di samping Raya. Sungguh menakjubkan mengetahui bayi itu bergerak-gerak di perut ibunya, menendang dan bermain-main setiap harinya.
Sekarang ia mengetahui arti cinta yang sebenarnya. Hanya dengan berbaring diam setelah terbangun di pagi hari dan menyadari kalau ia memiliki Raya, telah membuat hidupnya terasa sempurna. Cinta yang sempurna. Cinta itu seperti alunan musik yang indah. Cinta membuatnya seakan terbang ke udara. Cinta membuatnya jadi berani dan kuat. Cinta membuatnya memiliki keinginan untuk melindungi dan menjaga. Cinta membuat hidupnya menjadi bercahaya. Cinta membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Cinta memberinya inspirasi hidup bermakna. Dan cintanya kepada Raya memberinya perasaan setia sampai akhir.
Di masa lalu perasaan ini pasti akan ditampiknya keras-keras, tapi sekarang meraih hati Raya seperti menambatkan biduk di sebuah pantai dan ia akan berjuang untuk menggapai impiannya.

*****

Raya terbangun mendadak pukul dua pagi. Tiba-tiba ia tidak bisa bernafas dan perutnya terasa amat kejang. Dan Raya segera tahu itu kontraksi pertamanya. Raya memegang perutnya dan merasakan sakit luar biasa. Sambil mengerang Raya mencoba bangun dan turun perlahan-lahan dari tempat tidur dan berlutut di lantai. Dia ingin berteriak memanggil nama Genta, tapi suaranya seolah-olah hilang entah di mana.
Genta sedang memetik gitar di kamarnya. Dia tidak bisa tidur dan memutuskan untuk menulis lirik lagu. Tapi yang muncul kemudian malah wajah Raya dan ia tidak bisa meneruskan lirik selanjutnya. Jadi yang dilakukannya kemudian adalah mengambil gitarnya dan menatap langit dari jendela yang terbuka. Hembusan angin malam yang dingin membelai wajah Genta. Ia ingin melihat Raya sekarang. Tapi ia tahu Raya sudah tidur setelah makan malam. Sebenarnya Genta bisa saja ke kamar Raya dan memandangi istrinya yang sedang tidur, karena Raya tidak pernah mengunci kamarnya, tapi ia tahu itu tidak sopan. Walau pun mereka telah berbulan-bulan menikah, Genta tetap menghormati Raya. Ia tidak ingin memanfaatkan Raya dengan pernikahan mereka dan statusnya sebagai suami Raya. Ia ingin Raya perlahan-lahan belajar mencintainya dan Genta tahu ia sedang berjalan menuju kesana. Genta dapat melihat kepanikan di mata Raya jika ia terlambat pulang. Ia juga dapat melihat senyum cerah Raya kalau ia memuji masakannya atau tatapan kagum Raya ketika ia membuat lirik lagu untuk bayi mereka. Ia bahkan dapat melihat kilatan bangga di mata Raya ketika teman-teman kelas senamnya memuji Genta. Ia tahu sedikit demi sedikit ia telah memenangkan hati istrinya.
Tiba-tiba Genta mengernyit dan menghentikan petikan gitarnya ketika mendengar suara aneh. Suara apa itu? Genta meletakkan gitarnya di atas meja dan melongok keluar jendela dan menajamkan pendengarannya. Tiba-tiba ia mendengar namanya di panggil dan seketika ia sadar itu suara Raya. Genta berbalik dengan cepat dan berlari ke kamar Raya. Genta menemukan Raya di tengah ruangan kamar, meringkuk dan kesakitan.
“Ra…?”
Genta menghampiri istrinya dan memeluknya, “Kamu nggak jatuh kan, sayang?” tanyanya panik.
Raya menggeleng lemah, “Bayinya, Genta…”
Genta mengangguk lalu menggendong Raya kembali ke tempat tidur. Kemudian dengan tergesa-gesa ia membuka lemari, mengeluarkan pakaian dan mulai berbenah.
“Ta…”
Genta menoleh cepat.
“Tolong sweaterku. Dingin.”
Genta mengangguk lalu mengambil sehelai sweater dari wool dan perlahan-lahan memakaikannya di atas gaun tidur terbuat dari katun sederhana yang dikenakan isrinya dan dengan hati-hati Genta mengambil sendal datar lalu memasangkannya di kaki Raya. Setelah itu Genta mengambil tas berisi pakaian lalu menggandeng Raya.
“Sudah menelpon dokternya?” tanya Raya.
Genta menggeleng, “Harus ya?” tanyanya.
Raya tertawa, “Ya telpon dia dulu, aku hanya mau dia yang menangani persalinanku dan Ta… kamu nggak akan ke rumah sakit dengan piyama itu kan?”
Genta menggeleng, “Biar saja, yang penting kita segera ke rumah sakit.”
“Telpon dokter Tedi dan ganti baju sana, bayinya belum akan lahir kok,” Raya tersenyum kecil sambil melambaikan tangannya mengusir Genta.
Genta meraih telepon. Menelepon dokter Tedi dan setelah itu berlari ke kamarnya, memakai t-shirt dan celana jeansnya dengan tergesa-gesa lalu menyambar kunci mobil dan dompetnya.
Satu jam kemudian mereka sudah berada di rumah sakit. Raya bersikeras Genta harus mendampinginya. Dan ia benar-benar menangis ketakutan ketika perawat memerintahkan Genta untuk keluar ruangan. Genta mencium dahi Raya dengan lembut dan berjanji tidak akan meninggalkannya. Orang tua Genta datang satu jam kemudian. Bu Anindya tersenyum lembut dan mengatakan pada Raya bahwa ia akan menggantikan Genta untuk menemaninya selama masa persalinan. Tapi Raya mencengkeram lengan Genta erat-erat.
“Jangan tinggalin aku, Ta…” dan Raya menangis lagi.
Genta tidak meninggalkan Raya sampai pagi, memegang tangannya dan mengelap keringat di dahinya dengan handuk hangat dan membisikkan kata-kata untuk menyemangati Raya yang sudah terlalu lelah.
“Ra, sama Mama sebentar ya, biar Genta sarapan dulu…” ujar Bu Anindya sambil duduk di sisi tempat tidur Raya.
“Ma…” bantah Genta sambil menatap mamanya dengan marah.
“Nanti setelah sarapan ke sini lagi, Genta.”
“Iya, pergi saja sebentar, bayinya belum akan lahir kok,” Raya berusaha tersenyum, “Aku nggak apa-apa, kan ada Mama.”
Genta menatap Raya khawatir lalu keluar kamar, menemukan papanya sedang membaca koran di ruang tunggu.
“Bagaimana perkembangan cucu laki-laki Papa?” tanya Pak Anindya sambil meletakkan korannya.
Genta menggeleng, “Lama sekali, Pa,” keluh Genta.
“Halo calon ayah!!”
Genta menoleh dan melihat Donnie, Alex dan Ruben menenteng kotak makanan dan terlihat sama berantakan dengan dirinya.
“Kalian darimana?” tanya Genta heran.
“Beli makanan buat lo,” ujar Alex sambil mengeluarkan burger dan cangkir kertas berisi kopi.
“Dari jam berapa ke sini?” tanya Genta.
“Setengah enam,” sahut Ruben, “Om yang telpon,” katanya lagi sambil mengangsurkan cangkir kopi.
Genta mengambil cangkir kopi dan menghirup cepat-cepat, “Gue bingung, bayinya belum lahir juga sementara Raya kelihatan sudah kehabisan tenaga.”
“Tenang Ta, dulu waktu kamu lahir, Mama bahkan harus menahan sakit lebih dari dua puluh empat jam,” ujar Pak Anindya lembut sambil menepuk punggung putera semata wayangnya.
Genta meletakkan cangkir kopinya yang telah kosong lalu beranjak pergi.
“Mau kemana, Ta?” tanya Ruben.
“Cuci muka.”
Genta mencuci mukanya dan kembali ke ruang persalinan. Menolak burger yang ditawarkan Ruben dan kembali duduk di samping ranjang Raya lagi. Raya sudah kelihatan lebih tenang, dia bahkan sudah bisa tertawa mendengar cerita Bu Anindya. Enam jam kemudian bayi itu lahir. Bayi laki-laki yang berteriak luar biasa kerasnya.
“Bayi yang sangat tampan, seperti ayahnya,” kata dokter Tedi sambil tersenyum kepada Genta.
Ya seperti ayahnya, pikir Raya muram sambil menatap Genta yang sedang tersenyum bahagia.
“Aku mencintaimu, Raya,” kata Genta sambil mencium dahi istrinya dan dua bulir air mata jatuh di pipi Raya.

TBC

Pilih Genta ato Fatta?
Bentaran lg kelar yak, rajin-rajin ngecek. Karna setelahnya mau diapus. Saya bakal rutin posting cuman ya gak nentu waktunya... bisa seminggu, bisa sepuluh hari. Tapi nggak bakalan ketunda lama. Karena mau mulai ngerjain tulisan yg lain. Lagian ini tulisan kyknya udah kelamaan.
Sip?


Continue Reading

You'll Also Like

8.7M 107K 43
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
499K 25.4K 45
Bagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.
456K 35.2K 16
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...
1.3M 106K 34
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...