Are We Getting Married Yet?

Por AnnyAnny225

20.4M 984K 35.1K

Sagara Fattah Ghani seorang dokter obgyn di RS terkenal di kota, sudah mencapai usia di awal 30 namun masih s... Más

01
02
03
04
05
06
07
08
09
Sekilas Info
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
PREVIEW
41
42
43
44
46
PREVIEW 2
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
INTERMEZZO
Extra Part - Lisa's Pregnant
Extra Part - Saga's Worried
Extra Part - Triplets!
Extra Part - Triplets Again (Part 1)
Extra Part - Triplets Again (Part 2)
Extra Part - Triplets Again (Part 3)

24

269K 15.8K 242
Por AnnyAnny225

Author POV

Jemari Lisa terus bergerak mengetuk pahanya dalam irama. Matanya bergerak gelisah, lebih banyak melirik ke sebelah kiri, pada si pria yang tengah mengemudikan mobil, membelah jalanan Paris yang masih diselimuti salju tipis dengan kecepatan lambat. Seperti sengaja mengulur waktu, agar bisa berlama-lama dengan wanita yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali bertemu di atas pesawat.

"Relax, we just doing shopping," ujar Ben saat menangkap kegelisahan di mata Lisa. Ben tidak mengerti bagian apa dari dirinya yang membuat Lisa begitu takut akan dirinya. Padahal, mereka sudah saling berkenalan tadi di Masion Pic. Bahkan Lisa juga sudah tau kalo Benjamin Allard adalah keponakan dari Mr. Damien. Ben yakin mereka akan akrab, karena Lisa begitu antusias saat meeting.

Tapi, ketika meeting selesai dan Mr. Damien memaksa Lisa untuk memilih hadiah pernikahan darinya bersama Ben, Lisa lebih banyak diam. Jika diajak cerita hanya menanggapi sepintas. Selebihnya dia akan lebih banyak diam.

"I know," jawab Lisa pendek.

"Apa aku harus pake bahasa Indonesia baru kamu mau ngobrol?" Lisa menoleh dengan cepat ke arah Ben yang kini tersenyum senang. Meski sedang menatap ke depan, di bisa melihat ekspresi kaget di wajah Lisa.

"Kamu bisa bahasa Indonesia??" Tanya Lisa masih tak percaya. Karena sepanjang meeting pria itu hanya berbicara bahasa Inggris. Meski agak sedikit cadel.

"Iya. Aku sudah belajar dari bulan lalu saat Uncle Damien memintaku memimpin cabangnya di Jakarta,"

"Kalo kamu bisa bahasa Indonesia, berarti kamu..." Lisa menahan kalimatnya, mencoba mengingat ocehan yang sempat dia lontarkan secara terang-terangan di depan Ben karena merasa dia pun tak akan mengerti apa yang Lisa katakan.

"Aku mengerti apa yang kamu katakan waktu pertama kali masuk mobil. Kamu bilang aku modus, dan caper. Caper means cari perhatian, kan?"

Lisa menutup wajahnya yang memerah dengan kedua telapak tangan, seperti tertangkap tangan sedang mengumpat kata-kata kasar oleh ibunya. Kemudian terdengar tawa Ben yang renyah, serenyah biskuit Engkonggua yang meski beda bentuk, rasanya akan tetap sama.

"Maaf. Aku cuman... Ummm... Tapi kamu curang!" Lisa mengacungkan telunjuknya ke samping kepala Ben.

"Curang kenapa?" Tanya Ben santai sambil melirik Lisa yang ternyata lebih cantik jika dilihat dari dekat.

"Kamu bisa bahasa Indonesia tapi kamu nggak kasih tahu aku," Lisa melipat tangan di depan dada dengan bibir mengerucut, membuat Ben semakin gemas.

"Tapi kamu tidak tanya ke aku, kan?"

"Tapi... Huh! Aku mau turun di sini!" Seru Lisa dan memukul dashboard agak kencang. Jawaban Ben semakin membuatnya kesal.

"Hei, aku cuman bercanda. Jangan marah, ya? Cantik kamu hilang kalo marah-marah," Ben mencoba mengembalikan mood Lisa yang sepertinya memang tidak baik dari awal mereka bertemu di pesawat. Mau tidak mau, Lisa tersenyum sepintas, namun kembali memasang tampang masam saat matanya bertemu dengan mata coklat Ben.

"Baiklah, aku minta maaf. Aku traktir es krim terenak di kota Paris,"

Mendengar kata es krim membuat senyuman kembali menghiasi bibir tipisnya.

"Es krim?" Tanya Lisa dengan intonasi yang imut.

"Iya. Kamu suka es krim kan? Buktinya gelato yang aku pesan untuk kamu langsung habis,"

"Aku cuman nggak mau buang-buang makanan," Lisa memasang tampang coolnya.

"Tidak apa-apa. Aku malah senang kamu habisin es krimnya. Tapi kita beli hadiah dulu. Kamu mau hadiah apa?"

"Ada limit nilai hadiahnya?" Tanya Lisa sambil berpikir akan membeli apa.

"No limit with unlimited credit card," jawabnya yang membuat Lisa menjentikkan jari dengan senang.
***
Champs Elysees merupakan surganya barang-barang branded asli dan merupakan tempat favorit bagi para wanita utamanya. Berbagai jenis busana, tas, sepatu, aksesoris hingga cafe berjejer rapi sepanjang jalan. Jika Paris dijuluki sebagai pusat mode dunia, tentu sudah tak aneh lagi. Lisa mulai menyisir satu per satu gerai apapun yang dilihatnya. Mulai dari Luis Vuitton, Christiani Loboutin, Zara, Cerruti, Agatha, Bulgari, hingga Quick Silver. Sementara Ben, dengan setia mengikuti dari belakang meski merasa sebentar lagi engsel lututnya akan terlepas. Dia heran, bagaimana bisa Lisa tetap bugar-meski sedang memakai heels, masuk keluar dari satu toko ke toko lain, mencoba berbagai pakaian, sepatu dan tas, namun tak ada satu pun kantong belanja yang ditentengnya sedari tadi.

Hingga mereka berakhir di cafe Harriot, Lisa masih tak membeli apa pun.

"Oh, I'm so tired," keluh Ben dan mengistirahatkan sebagian badannya di atas meja. Lisa tertawa ketika melihat tingkah Ben. Sebenarnya, dia hanya ingin mengerjai pria ini. Balas dendam ceritanya.

"Cuman segitu aja capek," cibir Lisa dan menyeruput kopi hitamnya. Badan Ben langsung berdiri tegak dan menatap Lisa penuh curiga.

"Kamu lagi kerjain aku?" Tanyanya polos, membuat Lisa tak bisa lagi menahan tawanya.

"I knew it," sungut Ben saat tawa Lisa semakin menjadi.

"You're so funny, Benjamin!" Seru Lisa sambil menyeka air mata yang menggenang di ujung mata saking lucunya. Pria ini diluar dugaan Lisa. Lucu dan selalu menghiburnya. Membuatnya lupa akan masalah kekalutan hatinya sejak kemarin.

"Capek aku tidak seberapa jika dibanding melihat senyum kamu sekarang. Favorit aku," goda Ben membuat Lisa berhenti tertawa seketika.

"Dimana-mana cowok sama aja. Tukang gombal!"

"Aku berkata jujur. Aku tidak pernah berbohong,"

"Aku tidak percaya," Lisa mengibaskan tangan di udara, tanda tidak percaya pada apapun kalimat Ben.

"Aku akan buat kamu percaya," Ben menyeringai kecil, membuat Lisa sedikit terpana, kemudian cepat mengalihkan pandangannya.

"Kamu nggak capek lagi, kan? Cepat belikan aku es krim yang kamu janjikan," Lisa berdiri dari kursinya dan berjalan tanpa menunggu Ben yang bahkan belum menyentuh kopinya.

Kini mobil Ben menuju sebuah toko es krim bernama Berthillon Glacier, yang terletak di Notre Dame. Pada bulan seperti ini, harga es krim akan jauh lebih mahal dari summer holiday. Lisa tidak peduli jika dia tengah kedinginan, yang penting dia bisa mencicipi es krim terenak di Paris. Lisa memilih sorbet stroberi, sedangkan Ben memilih 2 scoop es krim coklat dalam cone berbentuk corong. Mereka lebih memilih menikmati es krim sambil berjalan kaki, menyusuri jalanan yang ramai.

"Enak?" Tanya Ben yang hanya dijawab oleh sebuah anggukan, karena lidah Lisa sibuk menjilat sorbet yang mencair. Pria itu tersenyum puas, berhasil membuat Lisa terpukau dengan rasa es krim.

"Mau coba punya aku?" Tawar Ben dan mengacungkan es krim coklat ke arah Lisa. Wanita itu berpikir sebentar, dan berjalan lebih cepat meninggalkan Ben. Dia tidak mau bertukar ludah dengan pria asing.

Tak lama mereka berhenti di mana banyak orang sedang berkumpul. Ada seorang pengamen jalanan sedang memetik gitar akustiknya yang tersambung ke sebuah speaker mini. Pengamen itu menyanyikan lagu dalam bahasa Prancis. Lisa terpukau oleh suara si pengamen yang mirip suara Brian Adams. Seketika dia berkhayal, dinyanyikan oleh seorang pria dengan gitar. Jika saja, pria itu Saga. Lisa mendesah pelan ketika ingatannya kembali pada Saga. Apa kabar dia? Apa dia sehat? Hingga hari ini pun, tak ada kabar. Ah, Lisa lupa. Dia sementara menggunakan nomor Prancis, dan tidak mengaktifkan paket datanya. Tapi, kemungkinan besar tak ada satu pun pesan dari Saga.

"This is a song," sebuah suara yang mulai familiar di telinganya membuat pandangan kosongnya kembali memusatkan perhatian pada si pengamen. Bukan, sekarang yang tengah berdiri di tengah sana sambil memegang gitar adalah Benjamin. "For this beautiful young lady" lanjutnya dan menunjuk Lisa yang seketika menjadi pusat perhatian. Dia tertunduk malu saat orang-orang mulai berbisik, mengira dirinya adalah kekasih Benjamin. Ben memetik gitar, dan mulai bernyanyi lagu Perfect dari Ed Sheeran. Seketika, ingatan Lisa melayang ke bulan lalu, saat dirinya sedang bersama Saga di sebuah cafe setelah Saga mengunjungi orang tuanya untuk meminta restu.

I found a love for me
Darling, just dive right in and follow my lead

Well, I found a girl, beautiful and sweet
Oh, I never knew you were the someone waiting for me

'Cause we were just kids when we fell in love
Not knowing what it was

I will not give you up this time
But darling, just kiss me slow, your heart is all I own

And in your eyes you're holding mine

Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms
Barefoot on the grass, listening to our favorite song

When you said you looked a mess, I whispered underneath my breath

But you heard it, darling, you look perfect tonight

Well I found a woman, stronger than anyone I know
She shares my dreams, I hope that someday I'll share her home

I found a love, to carry more than just my secrets
To carry love, to carry children of our own

We are still kids, but we're so in love
Fighting against all odds

I know we'll be alright this time
Darling, just hold my hand
Be my girl, I'll be your man

I see my future in your eyes

Baby, I'm dancing in the dark, with you between my arms
Barefoot on the grass, listening to our favorite song

When I saw you in that dress, looking so beautiful
I don't deserve this, darling, you look perfect tonight

Baby, I'm dancing in the dark, with you between my arms
Barefoot on the grass, listening to our favorite song

I have faith in what I see
Now I know I have met an angel in person

And she looks perfect, no I don't deserve this

You look perfect tonight

"Terima kasih untuk hari ini, Ben. Baru kali ini aku ke Paris menyenangkan seperti ini," ujar Lisa saat Ben mengantarnya hingga ke pintu masuk hotel.

"Well, my pleasure," jawab Ben dan mengecup singkat punggung tangan Lisa. Wanita itu hanya tersenyum, membiarkannya lagi karena Ben sudah membuatnya bahagia hari ini. Di lain waktu, mungkin dia akan menghajar wajah Ben dengan tasnya.

"Besok aku jemput makan siang," sebuah pernyataan dari Ben yang bahkan tak menanyakan apa Lisa bersedia atau tidak.

"Oke. Thankyou once again,"

"You're welcome my princess," ujar Ben dan membiarkan Lisa yang melengos pergi, merasa geli dengan sebutan Ben untuk dirinya. Dia bahkan tak repot berbalik ke belakang ketika Ben mengucapkan selamat tinggal. Namun, tak urung senyuman mengembang ketika dia berada di lift.

Begitu sampai di kamar, Lisa memilih berendam sebentar di bathtub dengan air hangat, ditambah bath bomb yang memiliki aroma terapi. Badannya terasa pegal setelah seharian berjalan. Sesekali dia tersenyum saat mengingat salah satu kekonyolan Ben ketika jatuh karena jalan yang licin. Atau ketika Ben berpose, berpura-pura menjadi salah satu manekin. Namun, yang membuat Lisa kagum adalah saat Ben menyanyikan lagu Perfect untuk dirinya. Suaranya tidak jelek, tidak pula bagus. Cukup membuat Lisa terpukau, hingga tak bisa melepaskan pandangan sedikit pun dari Ben saat itu.

"Apaan sih, malah jadi mikirin dia terus," keluh Lisa dan mengambil ponsel di samping bathtub.

Lisa mulai menyalakan WiFi. Ribuan pesan WhatsApp segera masuk tanpa jeda, seperti berebut untuk dibaca oleh Lisa. Kebanyakan grup kantor, dan dia malas membacanya. Lisa men-scroll perlahan ke bawah, berharap menemukan sebuah pesan dari Saga. Namun, dia berhenti saat sampai di pesan gambar dari Yolan yang masuk dari tadi pagi.

1 picture received

Yolanda: Saga bakal operasi usus buntu besok. Gue harap, Lo bisa dampingi dia nanti

Tangan Lisa bergetar hebat saat membaca pesan di bawa gambar tersebut. Hampir saja ponselnya meluncur turun ke air jika dia tidak cepat-cepat menggenggamnya erat. Tubuhnya terasa lemas, jantungnya berdetak cepat, hingga terasa di seluruh tubuhnya.

"Apa yang terjadi?" Gumamnya dengan suara gemetar. "Jadi Saga sebenarnya usus buntu? Dan aku malah meninggalkannya," Lisa mulai terisak, tangannya cepat menekan nomor Yolan yang tak aktif. Dia terus mencoba hingga putus asa karena masih saja nomornya tak aktif. Air matanya sudah meluncur dari kedua mata, dan bersatu di ujung dagunya. Nomor Saga aktif. Namun, tak ada jawaban hingga beberapa kali.

"Saga, plis angkat telpon aku," lirihnya sambil terus mencoba menghubungi Saga. Tetap saja tak ada jawaban. Lisa mengecek sekali lagi foto yang dikirim Yolan, kalau-kalau Yolan sedang mengerjainya. Tapi itu benar, foto itu benar-benar Saga yang sedang berbaring. Tangis Lisa semakin menjadi, sekarang dia amat menyesal karena lebih memilih dikuasai amarah saat itu. Lisa memutuskan menghubungi Mr. Damien. Dia satu-satunya orang yang bisa membantunya.

"Lisa what-"

"Mr. Damien help me!" Seru Lisa cepat diantara tangisannya.

"Are you okay? Kenapa kamu menangis?" Mr. Damien mulai terdengar panik.

"Mr. Damien tolong saya, bantu saya pulang ke Jakarta sekarang. Saya mohon, saya mohon Mr. Damien, suami saya... Suami saya..." Lisa tak bisa melanjutkan kalimatnya. Air mata sudah membanjiri wajah cantiknya.

"Baiklah, saya ke sana sekarang," ujar Mr. Damien tegas. Sambungan telpon terputus, dan Lisa menyeka air matanya. Membasuh tubuh secepatnya, dan bergegas membereskan barang-barangnya. Apapun yang terjadi, dia harus sampai di Jakarta secepatnya. Saga membutuhkannya. Namun, jika pria itu tak membutuhkan dirinya, Lisa akan tetap berada di sampingnya. Bukan sebagai istri. Tetapi, sebagai seseorang yang peduli pada Saga, seseorang yang memprioritaskan apapun untuk Saga, dan, seseorang yang menyukai Saga meski tak tahu apa perasaan ini akan berbalas.
***
Saga POV

Aku sudah merasa sangat baik dari sebelumnya meski infus masih menancap di tangan kiriku. Besok aku sudah boleh pulang. Aku lebih banyak sendiri karena memang aku sengaja tak memberitahu ibu. Beliau pasti akan panik begitu tahu aku sedang sakit. Lebih baik aku menanggungnya sendirian. Untunglah ada Marco dan Yolan yang selalu membantuku, serta rekan-rekan kerja yang lain. Jadi, aku tidak benar-benar sendirian.

Sebenarnya, alasan utama aku tak memberitahu ibu karena aku tidak mau membuat Lisa terkesan jelek di mata ibu, karena tidak menemaniku selama aku sakit.

Pada kenyataannya, memang dia tak tahu kalo aku harus rawat inap. Aku tidak mau menambah beban pikirannya. Aku sudah membuatnya marah, hingga membuat dadaku terasa berat hingga saat ini karena beban kasat mata. Apa ini namanya penyesalan? Aku belum pernah berada di situasi seperti ini. Jadi aku tidak mengerti. Kekhawatiran ku sedikit berkurang saat Yolan menawarkan bantuannya untuk menghubungi Lisa. Aku kelihatan seperti pengecut karena tidak mampu menghadapi Lisa terlebih dahulu. Ya, aku memang pengecut. Sendirian seperti ini semakin membuatku banyak berpikir hingga sakit kepala.

Aku memutuskan keluar sebentar dan menikmati sinar matahari pagi yang menenangkan di taman. Aku duduk di sebuah bangku panjang sambil mendengarkan musik. Aku memberanikan diri menelpon Lisa terlebih dahulu. Tiba-tiba saja jantungku berdetak keras seiring tanganku yang menekan tombol berwarna hijau.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif,"

Aku menarik nafas dalam dan mengembuskan dengan cepat, merasa lega dan kecewa disaat bersamaan. Tak lama telpon dari Yolan masuk, sempat membuatku kaget karena berpikir Lisa yang menghubungi.

"Halo," kataku setelah menerima panggilan.

"Di mana? Gue tadi ke kamar, Lo nggak ada," Tanya Yolan diselingi suara asistennya. Sepertinya dia sedang di poli. Sebentar lagi pelayanan akan dimulai

"Di taman bawah,"

"Oh, oke. Mau taruhan nggak?" Yolan terkekeh di seberang sana.

"Taruhan apa?"

"Gue taruhan Lisa bakal sampai Jakarta hari ini, dan langsung ke rumah sakit buat ketemu elo,"

"Hari ini? Gue rasa nggak mungkin," aku menggeleng tidak percaya.

"Lo berani taruhan nggak?" Tantangnya lagi.

Karena ini tidak mungkin, jadi aku menjawab "Berani. Gue taruhan Lisa nggak bakal pulang hari ini dan datang jenguk gue. Kalo gue menang, gue dapat apa?"

"Apapun," jawab Yolan mantap. "Kecuali keperawanan karena gue udah... Lo tahu, kan? Dan jangan jadiin gue istri kedua karena gue nggak sudi dan gue bukan pelakor,"

Aku tertawa mendengar jawaban Yolan yang absurd. "Oke, deal,"

"Nah, kalo gue yang menang, Lo hutang jawaban sama gue pertanyaan kemarin. Deal?"

Aku terdiam saat mendengar permintaan Yolan. Masih aku ingat dengan jelas pertanyaan Yolan. Saat itu aku memilih diam dan mengalihkan pembicaraan. Sialnya dia masih saja ingat.

"Oke, gue bakal jawab pertanyaan Lo. Itu pun kalo Lo menang taruhan ini," sinisku. Aku yakin dia tidak akan menang. Tidak tahu kenapa aku seyakin ini, meski sebenarnya aku ingin, kalo aku yang kalah. Aku mematikan sambungan telpon dan kembali menikmati sinar matahari hingga membuatku mengantuk.

Sebaiknya aku lebih banyak bergerak. Kemudian aku memilih berjalan disekitar rumah sakit sambil mendorong tiang infus yang sisa setengah. Beberapa staf rumah sakit menegurku, menanyakan apa aku sudah sembuh jika tak sengaja berpapasan di lorong. Setelah merasa cukup, aku memilih kembali ke kamar, karena sebentar lagi waktunya makan siang.

Begitu sampai di kamar, ternyata makanan sudah di antar dan tersusun rapi di atas meja. Lagi-lagi bubur. Padahal aku sudah minta diganti dengan nasi. Aku berdecih kesal dan memutuskan untuk mandi terlebih dahulu.

Aku melepaskan infus dengan hati-hati dari tiang dan mengunci selang infus saat membuka kemeja milik rumah sakit. Giliran membuka celana, tanpa mengetuk, seseorang membuka pintu.

"Tolong ketuk pintu dulu!" Nadaku sedikit tinggi, celana yang sudah berada di lutut terpaksa aku tarik kembali hingga menutupi setengah perutku. Aku bahkan harus berbalik membelakangi orang tersebut karena aku sudah tak memakai baju.

Aku mendengar suara sepatu yang beradu dengan lantai dan menimbulkan suara yang nyaring. Suara itu semakin mendekat, memaksa leherku menoleh ke samping, mencoba melihat siapa dia, melewati bahuku.
***
Author POV

Saga mencoba melihat orang tersebut dari balik bahunya. Meski sekilas, Saga tahu siapa sosok tersebut. Perlahan, pria itu berbalik, hingga berhadapan dengan orang tersebut. Si pemilik mata Hazel yang dirindukannya.

"Lisa," gumam Saga namun terdengar jelas oleh si pemilik nama. Lisa terdiam, tidak menyahut. Lama mereka hanya saling menatap, sampai Saga yang berinisiatif mendekati Lisa terlebih dahulu. Tatapan mereka tak lepas satu sama lain.

Punggung tangan Saga membelai pipi kirinya, membuat Lisa segera memejamkan mata, mencoba menikmati sentuhan nyata itu. She's hungry for Saga's touches. Kini tangannya berpindah merengkuh pinggang Lisa, membawanya ke dalam pelukan erat Saga.

"Maaf," bisiknya lemah tepat di telinga Lisa. Namun wanita itu masih tetap diam. Dagunya tersampir di pundak telanjang Saga. Membuatnya sulit berkonsentrasi. Amarah yang ingin dimuntahkannya sedari tadi hilang begitu saja ketika melihat perut dan dada Saga. Sial, maki Lisa dalam hati, merutuk kelemahannya. Tangan Lisa yang tergantung sejak tadi kini bergerak mendorong dada Saga. Melerai pelukan mereka agar dia bisa menatap wajah Saga yang sedikit pucat.

"Kenapa... Kenapa aku harus jadi orang terakhir yang tahu kamu bakal operasi hari ini?" Lirih Lisa dengan air mata menggenang. "Kenapa aku harus tahu dari Yolan, bukan dari kamu sendiri kalo ka-kamu operasi usus buntu hari ini? Kamu anggap aku ini apa, Ga?"

Saga terdiam. Masih mencerna apa yang dikatakan Lisa. Operasi usus buntu?

"Saya tidak-" kalimat Saga disela oleh Lisa.

"Kamu bahkan nggak hubungin aku sama sekali. Jangankan hubungi, kamu bahkan nggak ngejar aku waktu di apartemen hari itu. Kamu hanya diam. Bahkan sekarang aku yang datang ke kamu disaat jelas-jelas kamu yang salah! Aku menempuh perjalanan belasan jam demi kamu. Sampai di sini kamu masih belum ngerti juga, Ga?"

"Lisa, dengar dulu-"

"Aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu. Aku nggak butuh uang kamu. Aku hanya butuh... Aku hanya butuh kamu..." Lisa memejamkan mata erat hingga air mata mengalir di kedua pipinya. Dia sudah merendahkan harga dirinya. Dia tidak peduli lagi. Yang penting, Lisa merasa lega karena sudah mengungkapkan apa yang terpendam di bagian paling dalam hatinya, yang tanpa Lisa sadari, sudah dikuasai Saga. Namun pikirannya masih berkecamuk, memikirkan reaksi Saga setelah ini.

Saga tersenyum getir melihat Lisa yang menangis. Hatinya terasa sakit setiap melihat wanita ini menangis. Apalagi, tangisan Lisa kali ini disebabkan oleh dirinya sendiri. Apa yang didengarnya tadi bukanlah halusinasi. Saga terkejut. Sangat terkejut. Tapi dia berusaha menguasai diri. Satu pertanyaan yang berputar sedari tadi di otaknya. Apa, Lisa menyukainya?

"Please, say something," isak Lisa sambil tertunduk dan meremas kedua roknya, mencoba menyalurkan kecemasannya. Sekali lagi, Saga membawa Lisa ke dalam pelukannya. Memeluk lebih erat dari sebelumnya, mencoba membuat Lisa mengerti, betapa rindu dirinya pada Lisa.

"I miss you,"
***
Udah ketemu yakkk mereka berdua. Part-part selanjutnya bakal sweet sampe diabetes. Maka dari itu aku harus riset dan bertapa. Jadi tunggu dengan sabar wahai para readers Budiman dan budiwati 😆😆

Minta tolong dong, rekomendasiin  aku judul cerita yang genre komedi romantis kayak punya kak Almira Bastari yang judulnya Resign itu. Kebanyakan cerita sekarang kalo gak 18+ ya 20+. Huft... Aku suka cerita yang ringan, kata-katanya gak njelimet, mudah dimengerti. Kalo ada rekomendasi judul cerita yang bagus, balas di komen yakkk

Thankyou ♥️

Keep voment & support me 🙏

Seguir leyendo

También te gustarán

38.3K 4.3K 35
"Kalian yakin cuma sahabatan? ngga lebih?" TREASURE FANFICTION INDONESIA
1.8K 207 55
Sekali lagi Revan melihat rumah kosong itu. Di mana pemiliknya sekarang. Rumahnya kotor dan tak ada yang membersihkannya. Banyak rumput liar tumbuh d...
6.2M 235K 31
Devano Putra Syahreza (27) harus menerima perjodohan yang dilakukan oleh mamahnya dengan anak sahabat mamahnya karena ia tak kunjung menikah sampai b...
13.1M 849K 69
Cerita ringan untuk menemani karantina kalian. Start: 7 Mei 2020 End: 22 Juni 2020 [Masih suka update meskipun udah tamat] ❄❄❄ "Emang kalau saya mau...