The Boy With A Fake Smile

By indahmuladiatin

27.5M 1.5M 223K

#1 in Teenfiction # 1 in Fiksiremaja #1 in Fiksi #1 in Love (SELESAI) FOLLOW DULU SEBELUM BACA Dia Kenneth Al... More

Prolog
BAB 1 - The Unlucky Day
BAB 2 - I'm Not Alone
BAB 3 - Changed
BAB 4 - The Star
BAB 5 - Who Is He?
BAB 6 - The Mysterious Guy
BAB 7 - Bad Rumors
BAB 8 - Beautiful Rain
BAB 9 - Where Is He?
BAB 10 - Worried
BAB 11 - Annoying Holiday
BAB 12 - Jealous (?)
BAB 13 - Beach With The Star
BAB 14 - Refrain
BAB 15 - She is Elyza
BAB 16 - Kenneth Aldebaran
BAB 17 - He's Mine
BAB 18 - Like a Star
BAB 19 - Sad Moment
BAB 20 - The Angel
BAB 21 - I Hate You
GIVEAWAY NADW!!!
BAB 22 - Sick
BAB 23 - The Secret
BAB 24 - Fake Smile
BUKAN UPDATE
BAB 26 - An Answer
BAB 27 - Become Better
BAB 28 - Commotion
BAB 29 - In Hospital
BAB 30 - Good Moment
BAB 31 - Gita's Secret
BAB 32 - The Winner
OA LINE TBWAFS
BAB 33 - New Idol
BAB 34 - Anger
BAB 35 - Do you Remember Me?
BAB 36 - Say Sorry
BAB 37 - No One Understands
BAB 38 - I Don't Wanna Go
BAB 39 - Stay With Me, Please
BAB 40 - Haunted by Guilt
BAB 41 - Still Waiting
BAB 42 - Missing You
BAB 43 - Little do you Know
BAB 44 - Happy Graduation
BAB 45 - See You
Pengumuman
BAB 46 - I'm Okay
BAB 47 - Emergency Time
BAB 48 - Indecision
BAB 49 - Pulse
Giveaway!!!
BAB 50 - The Wedding
Picture & Pengumuman
PENGUMUMAN
CERITA BARU
Q n A (1)
Attention
INFO GRUP INPLAYERS
JOINT GRUP INPLAYERS
He Always be the Legend
He Always be the Legend (2)
Spoiler Layout
Anatomi, Fisiologi, dan Si Mata Biru
PRE ORDER TBWAFS

BAB 25 - Give up? It's Not Me

402K 27.7K 3.7K
By indahmuladiatin

Halo setelah dua minggu akhirnya up juga. Ketik ulang dengan sabar😂😂

Jadi begini untuk yang minta up dua. Hampura, maaf banget belum bisa karena laptop belom sempet aku benerin karena masih padet kegiatan kampusnya.

Skripsi aja belom sempet kepegang lagi 😂😅

Jangan lupa follow ig : @indahmuladiatin untuk update terbaru NADW

Langsung aja yaaa happy reading guys! Hope you like this chapter 😘😘

🍬🍬🍬

Bara berjalan menyeberangi lapangan sekolah yang diisi oleh beberapa murid. Jam pulang sekolah memang bukan berarti sekolah jadi kosong melompong. Biasanya setiap hari ada saja kegiatan. Seperti ekstrakulikuler paskibra, drumband, seni, basket, dan masih banyak lagi. Sekarang, tim futsal sedang bersiap untuk mengelilingi lapangan. Hal yang rutin dilakukan sebagai pemanasan.

Setidaknya dia bisa meninggalkan Caramel dengan tenang. Cewek itu tidak mungki diculik orang bukan. Ahh kepala Bara menggeleng pelan, meskipun bodoh, Caramel itu cukup bisa diandalkan dalam bela diri. Lagipula siapa yang mau menculik cewek ceroboh macam Caramel.

"Ken," panggil Fina sambil melambaikan tangan. Dia sudah berdiri di dekat koridor utama. Dia juga sudah mencari Bara ke lapangan tapi cowok itu tidak ada.

Bara tersenyum tipis dan berjalan mendekat. "Udah lama?"

"Lumayan," jawab Fina. Kepalanya melongok ke belakang. "Kamu abis darimana?"

"Ada urusan, kita langsung balik ya?" tanya Bara langsung.

Fina menganggukan kepala. Dia tidak berharap Bara bersikap manis. Cowok itu mau menerimanya saja sudah bagus. Bahkan sampai sekarang dia ragu Bara itu serius atau tidak. Cowok di hadapannya ini terlalu sulit untuk ditebak.

"Baraaa," panggil Raya dari ujung koridor dekat tangga. Dia berlari menghampiri Bara dan Fina. "Nanti malem jadi kan?"

"Yapp, dateng aja," kata Bara.

Fina mencibir pelan. Dia kenal dengan Raya. Dulu dia dan cewek itu sering bertemu di pertandingan basket antar sekolah. Karena sama-sama menjadi ketua tim cheerleaders sekolah jadi dia dan Raya selalu bersaing. Seingatnya dulu Raya itu suka sama Rafan.

Yaa wajar, Rafan dan Arkan itu kembar yang terkenal diantara murid-murid SMA. Setiap dua orang itu bertanding pasti kursi penonton ramai anak perempuan bukan cuma dari SMA yang bertanding. Kalian tahukan alasan kenapa kursi-kursi yang lebih sering kosong itu mendadak ramai. Tentu saja untuk berteriak memanggil dua orang iru. Arkan yang terkenal playboy, dan Rafan yang terkenal sangat cuek.

"Mau ngapain?" tanya Fina.

"Ehh lo belom bilang ya?" tanya Raya pada Bara. "Gini loh Fin, gue diajak Bara main ke bengkelnya."

"Ngapain?" tanya Fina lagi.

Bara menghela nafas panjang. Dia sudah merencanakan ini tadi siang. "Fin, sorry gue nggak bisa lanjut."

Raya menahan senyumnya dan langsung merangkul Bara. "Gue sama Bara udah pacaran sekarang."

Fani mengerjapkan matanya, dia menoleh pada Bara dan menunggu cowok itu menjelaskan semua. Setifaknya semua harus jelas. Kenapa sampai Bara menerimanya waktu itu.

"Kita udahan Fin, gue ngerasa nggak cocok sama lo, gue lebih cocok sama Raya," kata Bara tenang.

Fina terperengah. Dia menampar pipu Bara dengan keras. "Kurang ajar!" bentaknya. Nafasnya turun naik menahan emosi yang berada di puncak.

Fina menatap mata biru Bara yang masih tenang seperti biasa. Warna birunya seperti hamparan laut tanpa ombak. Tapi, bukankah laut tanpa ombak seperti manusia tanpa nyawa.

"Perlu gue anter balik?" tanya Bara setelah mengusap pipinya yang memerah.

"Nggak perlu," ketus Fina.

Bara mengangguk. "Oke," dia menoleh pada Raya. "Ayo balik."

Raya yang sejak tadi diam langsung kembali tersenyum lebar. Dia mengangguk dan kembali menggandeng tangan Bara. Alisnya terangkat dengan wajah meledek ke arah Fina. Sekali dayung dua pulau terlampaui. Dia bisa pacaran dengan Bara dan bisa mengalahkan Fina. Saingannya setiap ajang cheerleaders antara sekolah.

Selama di perjalanan Bara hanya diam. Dia pacaran dengan Raya bukan karena suka pada cewek itu. Semua gara-gara Caramel yang terus mengikutinya. Tidak tahu apa yang sekarang cewek itu pikirkan. Kenapa harus sampai begitu, apa susahnya melupakan dia dan pura-pura tidak kenal. Itu akan lebih mudah untuk mereka sekarang.

"Thanks," kata Raya setelah turun dari motor Bara.

Bara cuma tersenyum kecil dan menganggukan kepala. "Gue langsung balik ya."

"Nati gue ke bengkel," kata Raya. Dia mencium pipi Bara dan melambaikan tangan. "Bye, take care," katanya sebelum masuk ke dalam rumah besar dengan dinding yang didominasi oleh kaca. Sangat indah meskipun halamannya tidak terlalu luas.

"Sial," desis Bara sambil mengusap-usap pipinya. Kalau bukan karena terpaksa dia mana mau dicium Raya. Dia langsung menyalakan motornya kembali. Masih ada waktu untuk mengunjungi Gita di tempat rehabilitasinya sekarang.

Motornya melaju, melewati sekumpulan kendaraan yang meramaikan jalan di jam-jam sibuk ini. Dengan lincah motornya meliak-liuk diantara kendaraan-kendaraan besar. Kecapatan motornya semakin bertambah setelah melewati batas kota Jakarta. Dia dan Defan sengaja memilih daerah di luar Jakarta karena semakin sedikit yang tahu kalau Gita adalah pecandu maka itu akan semakin baik. Saat ini masa depan Gita sedang dipertaruhkan.

"Mas Ken," sapa ibu Ayu. Ibu yang sanga baik dan Bara percayai untuk menitipkan Gita.

"Sore Bu," balas Bara sambil menyalami wanita paruh baya itu.

"Gita lagi ada di taman," kata bu Ayu.

Bara tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Saya ke Gita dulu Bu."

Gita sedang duduk di kursi taman, dekat dengan pohon rindang yang melindunginya dari panas matahari. Rambut panjangnya tergerai bebas, dihempas angin segar sore hari. Wajahnya putih pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata. Pemandangan yang beberapa hari ini harus Bara saksikan setiap melihat wajah Gita.

"Bengong aja," kata Bara setelah duduk disamping Gita. Dia memejamkan mata dan mendongak, menikmati suasana yang menenangkan.

Tidak ada tanggapan dari Gita. Sejak masuk sini Gita memang jadi pendiam. Wajar saja, cewek itu pasti sedang banyak pikiran. Siapa yang tidak kepikiran kalau masa depan dan hidupnya terancam. Semua karena satu barang haram itu.

"Telat setengah jam," kata Gita serak.

"Hehe maaf, gue udah berusaha cepet," jawab Bara.

Gita tersenyum kecil dan menundukan kepalanya. "Gue mau pulang Ken," lirihnya.

"Iya nanti kalau lo udah sembuh," jawab Bara santai.

"Gue mau pulang sekarang, gue nggak betah di sini," kata Gita sambil terisak. rangorang di sni memang baik, tapi dia lebih baik di rumah. Setidaknya ada Bara dan yang lainnya. Seramai-ramainya di sini dia tetap merasa sendirian.

Bara mengusap kepala Gita, matanye teduh menatap wajah Gita yang basah. "Gue janji bakal bawa lo balik, asal lo sembuh." Dulu di saat dia terpuruk, cuma Gita yang dengan suka rela mengulurkan tangan untuk membantunya. Sekarang gilirannya, gilirannya untuk terus menemani Gita dalam masa-masa sulit seperti sekarang ini.

"Lo nggak sendiri Git, lo punya gue, Defan, Thomas, Roni, semua nunggu lo. Kita saudara kan?" tanya Bara.

Gita menangis dan menutupi wajahnya. Harusnya dia tidak pernah menghancurkan hidupnya begini. Harusnya dia mendengarkan ucapan Bara, kalau Beni itu bukan orang baik. Harusnya dia langsung pergi waktu itu, bukannya menyerah dan kalah pada obat yang menghancurkan tubuhnya secara perlahan.

Bara memeluk Gita, menepuk-nepuk pelan punggung Gita. Saat ini yang Gita butuhkan cuma teman dan dukungan. Tidak lebih. "Jangan nangis terus, lo serem."

Gita mendengus pelan dan mengusap airmatanya. "Bodo amat."

Bara tertawa geli dan melepaskan pelukannya. Alisnya terangkat dengan senyum hangat. "Gue temenin terapi ya?"

"Nggak usah, lo ganggu nanti," tolak Gita sambil tertawa.

Bara mencibir pelan tapi dia ikut tertawa. "Gimana hasil tes kesehatan lo?"

"Nggak tau, belum keluar. Mungkin besok," kata Gita.

Bara mengangguk-anggukan kepalanya. "Mudah-mudahan semua baik," doanya tulus.

Gita tersenyum hangat dan mengangguk. Dia masih beruntung karena ada sahabat-sahabatnya yang selalu datang. Ada Bara yang memberikan dukungan sepenuhnya. Setidaknya dia tidak sendirian sekarang. "Thank," ucapnya lirih. Itu adalah kata-kata yang paling ingin dia ucapkan untuk semua temannya. Teman yang benar-benar teman.

"Harus ada balesannya," jawab Bara.

"Apa?" tanya Gita.

"Lo sembuh, dan semua yang kita lakuin bakal terbayar," jawab Bara tegas dan yakin.

🍬🍬🍬

Caramel terus merutuk kesal. Kalau saja ada yang bisa dia cekik pasti akan dia cekik sekarang juga. Wajahnya cemberut sambil mengurut kakinya yang membiru karena jatuh tadi. Bara benar-benar keterlaluan. Sudah dicuekin habis-habisan, ditinggal pulang pula. Untung tadi dia tidak diculik.

Kepalanya menggeleng pelan. "Sabar-sabar," katanya sambil mengelus dada.

"Ngapain kamu?" tanya Rafan sambil duduk di samping Caramel.

"Nyuci baju," jawab Caramel ketus. "Keliatannya Kara lagi apa?"

"Galak amat," kata Rafan dengan geli. Matanya melirik tangan dan kaki Caramel yang memar. Dia hanya menghela nafas panjang. Pemandangan paling biasa. Sekaang tidak tahu alasan apalagi luka itu bisa muncul.

Caramel meremas tangannya sendiri. "Liat aja tuh orang.." dumelnya.

"Siapa?" tanya Rafan lagi.

Caramel melirik Rafan dengan wajah menakutkan. "Kepo!"

"Ada apa?" tanya ayah yang baru saja pulang dari kantor. Penampilan ayah dengan kemeja yang sudah digulung hingga siku membuatnya kelihatan lebih santai. Caramel tidak heran kalau sampai sekarang masih banyak wanita yang berusaha mengambil perhatian ayahnya.

"Ayaaaaaaah," panggil Caramel sambil merentangkan tangan lebar-lebar.

Ayah tersenyum dan mengacak rambut Caramel. Putri yang selalu jadi kesayangannya. "Sudah makan?"

"Udah," jawab Caramel. Dia menciumi pipi ayah seperti biasa.

"Kara kan udah besar," kata bunda yang membawa dua plastik dengan logo yang tidak asing lagi. Salah satu logo dari toko kue langganan bunda.

"Biarin aja," kata Caramel. "Ayah, ayoo ke toko ice cream," rengeknya.

"Idih.. Ayah capek kali," kata Rafan.

Ayah tertawa ringan. "Nanti yaa? Ayah mandi dulu."

"Sekarang Yah.." rengek Caramel lagi.

"Dasar anak kecil," kata Raka yang baru saja masuk ke dalam rumah. Dia langsung mencium pipi bunda. Sudah dua hari ini dia pergi ke luar kota untuk mengecek kantor cabang.

"Sayang, kemana Lyza?" tanya bunda. Lyza memang merengek minta ikut ke luar kota dengan Raka, dan pada akhirnya bunda dan Raka menurutinya. Kasihan, bosan di rumah terus katanya.

"Dengan Arkan di luar," jawab Raka sambil menghampiri Caramel yang belum mau lepas dari ayah.

"Ngapain mereka?" tanya bunda dengan wajah bingung.

Rafan tertawa geli, kelakuan saudara kembarnya itu memang menggelikan. "Lagi ngegodain mbak-mbak kost depan Nda, biasa."

"Iuh," kata Caramel. Mbak kost depan gang rumah mereka memang sering jalan di depan rumahnya. Katanya sih lari sore, tapi dandanannya mengalahkan orang yang akan pergi ke acara pernikahan.

"Apa?" tanya bunda yang disusul dengan menepuk kening sendiri. "Satu anak ceroboh keterlaluan, satu anak lagi hobinya menggoda perempuan, dua orang anak terlalu cuek sampai jomblo terus," keluhnya dramatis.

Ayah hanya tersenyum mendengar keluhan bunda tentang keempat anaknya ini. "Setelah Ayah mandi kita ke tempat ice cream. Oke?" tanya ayah dengan gaya membujuk anak kecil.

Caramel cemberut kesal dan mengangkat kelingkingnya. "Janji yaa Yah?"

"Promise," kata ayah sambil menyatukan kelingkingnya.

"Yesss! oke Kara tunggu di mobil," kekehnya dengan semangat. Dia melupakan kakinya yang sedang sakit. Ayah memang selalu bisa membuat moodnya berubah.

"Dimana Chika?" tanya Raka.

"Lembur di kantor, kenapa? rindu?" tanya bunda dengan alis terangkat.

Rafan tersenyum geli melihat bunda yang benar-benar ingin abangnya ini cepat menikah. Yaa wajar saja. Ini sudah waktunya untuk Raka menikah. Umurnya sudah cukup. Pekerjaan sudah ada. Apalagi yang ditunggu. Apa mau menunggu tua.

Raka cuma mendengus pelan dan pergi ke dapur. Menanggapi ledekan bunda tidak akan ada habisnya. Dia akan kalah.

"Rafan nanti ikut deh Yah," kata Rafan.

"Yaa sudah lama kita tidak pergi sama-sama," jawab ayah sambil menepuk bahu putranya ini. "Ajak Arkan juga."

"Siap!" jawab Rafan.

"Bunda nggak diajak?" tanya bunda.

"Ini waktu ayah sama anak-anaknya Nda," kekeh Rafan sebelum mendapat pelototan dari bunda.

Caramel duduk manis di mobil. Ahh ice cream akan membantunya untuk memperbaiki mood yang dirusak Bara. Untung ayah selalu menuruti permintaannya. Meskipun dia tahu sebenarnya ayah pasti lelah.

"Loh Abang ikut?" tanya Caramel melihat Rafan dan Arkan masuk ke dalam mobil.

"Iya dong, emang lo doang yang mau diteraktir sama Ayah?" tanya Arkan.

Caramel cemberut kesal dan melipat tangannya. Kalau ada dua orang ini, alamat moodnya semakin jelek karena selalu jadi objek kejailan. Nasib jadi anak terakhir.

Ayah datang dengan wajah lebih segar dan pakaian rumahan yang terlihat lebih santai. "Sudah siap?"

"Siap! kita beli ice cream yang banyak!" kata Caramel.

"Wah Ayah bakal rugi," kekeh Arkan.

Di rumah bunda menyiapkan makan malam yang lumayan banyak. Semua sedang berkumpul, dan moment begini termasuk jarang. Biasanya ada saja yang sibuk dengan urusan masing-masing.

"Sini Bunda biar Chika bantu," katanya masih dengan pakaian formal.

"Aduh sayang nggak usah, kamu kan baru pulang. Capek kan? mandi aja yah? biar Bunda dibantuin sama Mbak aja," jawab bunda sambil mengusap kepala Chika.

Chika tersenyum dan menganggukan kepalanya. "Terima kasih Nda."

"Alah, terima kasih untuk apa? sudah sana mandi!" kata bunda.

"Hehe siap Nda," jawab Chika sebelum berbalik pergi ke kamarnya. Atau lebih tepatnya kamar Raka.

Malam ini setelah ayah dan tiga buntutnya sudah pulang, makan malam dimulai. Makan malam yang hangat karena adanya celotehan tidak penting dari Caramel. Atau dari bunda yang menceritakan kegiatannya di kantor dengan tante Putri.

Chika berdeham sampai semua menoleh padanya. Dia tersenyum seperti biasa. "Chika mau bicara sama semua."

"Ada apa?" tanya bunda.

Chika terdiam sebentar dan menghela nafas panjang. "Chika udah dapat rumah kontrakan untuk tempat tinggal sementara."

Caramel mengerjapkan matanya. Dia melirik Raka yang duduk di sampingnya. Abangnya itu memang kelihatan tidak peduli tapi dia bisa melihat tangan Raka yang mencengkram sendok dengan kuat.

"Kamu ingin pindah?" tanya bunda.

Chika menganggukan kepalanya. "Chika sudah lama tinggal di rumah ini. Kasihan Raka kalau harus terus tinggal di apartemennya."

"Jangan jadikan aku alasan. Aku baik-baik saja tinggal di sana," kata Raka tegas dan datar.

Sepertinya dua orang ini memang sedang ada masalah. Padahal pasangan itu kelihatan baik-baik saja. Bahkan tidak pernah ada perdebatan.

"Hey aku tahu. Kamu temanku yang terbaik, karena itu aku tidak mau terus menyusahkanmu," kata Chika dengan senyum sedih. "Bunda, Om Karel dan semua sudah baik sekali. Terima kasih banyak untuk semuanya."

"Kak jangan pindah, Kara udah seneng punya Kakak perempuan," pinta Caramel.

"Kakak masih tetap jadi kakakmu setelah pindah dari sini. Rumah kakak dekat dengan kantor, kapan-kapan kamu bisa main dan menginap di sana," jawab Chika.

"Sayang kamu yakin? Bunda rasa Raka tidak masalah untuk tinggal di apartemennya sendiri. Dia memang sudah waktunya mandiri," kata bunda dengan wajah sedih.

"Bunda, ini juga sudah waktunya untuk Chika melanjutkan hidup. Chika tidak bisa terus bergantung pada Raka. Sekarang Chika ingin kembali menata semuanya, Bunda dan yang lain sudah banyak membantu. Sekarang Chika juga sudah bekerja di perusahaan Om Karel," kata Chika.

"Jaman sekarang bahaya anak perempuan tinggal sendirian. Pikirkan baik-baik Chika, Om juga sudah menganggapmu sebagai anak Om sendiri," kata ayah dengan wibawa kebapakannya.

Chika kembali tersenyum. Dia sanat sadar kalau orang-orang di rumah ini menyayanginya dengan tulus. "Di sana lingkungannya sangat aman Om, Chika sudah survei sendiri. Ayah angkat Chika juga sudah lama tidak menghubungi Chika lagi, doakan tidak terjadi apa-apa."

Ayah menghela nafas panjang. "Baiklah, semua keputusan ada di tanganmu. Tapi kalau kamu ingin kembali, rumah ini akan selalu terbuka." Tanggapan yang selalu Caramel sukai dari ayah. Ayah tidak pernah memaksakan kehendaknya. Bagi ayah, silahkan lakukan apa yang disukai, asal tahu batasan dan sanggup bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuat.

"Terima kasih," kata Chika.

Raka bangkit dari kursinya dan menatap lurus ke arah Chika yang mengangkat alis dengan wajah bingung. "Ikut aku sebentar," katanya sebelum berbalik pergi.

Chika tersenyum pada semuanya dan langsung menyusul Raka yang berjalan cepat. Meninggalkan wajah-wajah bingung yang berada di meja makan. Semua melempar pandangan bertanya satu sama lain. Kecuali ayah tentu saj yang dengan cuek lanjut makan.

"Lagi perang dingin?" tanya Arkan.

"Perasaan keliatan adem ayem," kata Rafan sambil mengerutkan keningnya.

Caramel bertopang dagu sambil berpikir. "Kira-kia mereka ngomongin apa yaa?"

Bunda berdecak kesal dan menggelengkan kepalanya. "Sayang, sekarang bagaimana?"

"Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka Fi," kata ayah.

Bunda menghela nafas panjang. Padahal bunda menyukai Chika. Anak itu baik dan menyenangkan. Harapannya nanti Chika akan kembali ke rumah ini lagi, tapi Raka juga tidak harus pindah dari rumah ini.

"Berarti Bang Raka akan kembali ke rumah ini?" tanya Lyza.

"Iya, tapi Bunda sedih karena Chika memilih pindah," kata bunda sambil menundukan kepalanya.

"Yaa aku juga sedih. Dia sangat menyenangkan, aku bisa belajar banyak darinya," kata Lyza.

Besoknya Carael jadi malas sekolah karena mau ikut mengantar Chika pindahan. Kalau saja dia tidak ingat hari ini ada ulangan harian biologi, pasti dia sudah bolos. Dengan wajah tidak ikhlas dia memakan sarapan yang ada di piringnya. "Pokoknya semua gara-gara Bang Raka!"

"Habiskan makananmu," kata ayah mengingatkan. Baguslah, semua sudah bosan mendengar ucapan Caramel yang terus menyalahkan Raka.

🍬🍬🍬

"Kara masuk ya," katanya sebelum keluar dari mobil ayah. Dia langsung berlari ke kelas untuk menaruh tasnya. Hari ini rencananya dia mau menunggu Bara lagi, tapi bukan di rumput-rumput. Takut ditempeli ulat bulu seperti kemarin.

"Weh lo mau kemana lagi?" tanya Bella yang tadinya sibuk membaca buku.

"Lo belajar?" tanya Caramel heran.

Bella nyengir dan menggelengkan kepalanya. "Mau bikin batik di tangan," kekehnya.

"Yee! udah ah gue mau ke depan nungguin si Bara!" kata Caramel semangat.

"Kak Bara udah dateng pagi-pagi, tadi gue pas-pasan di koridor. Pasti dia takut sama lo," kekeh Bella geli.

Caramel cemberut kesal. Dia duduk di kursinya dan memikirkan cara untuk mengikuti Bara lagi. "Oke nanti siang aja deh."

Bella menggelengkan kepalanya. "Mau sampe kapan?"

"Sampe tuh orang capek sendiri ngehindarin gue," jawab Caramel dengan senyum cerah. Dia menepuk keningnya sendiri. "Mbel gue lupa bawa bekelnya Bara!"

"Lo nyiapin?"

"Bukan! Bunda yang nyiapin, kata Bunda itu spesial buat Ken," jawab Caramel dengan alis terangkat dan senyum senang. "Ehh gue jadi punya alesan ke kelas Bara dong sekarang?"

"Hah kan bekelnya ketinggalan?" tanya Bella bingung.

"Emang, tapi gue kan bisa ke sono terus sok minta maaf gitu udah lupa bawa bekel titipan Bunda. Iya kan?" tanya Caramel.

Bella meringis geli, dia cuma bisa geleng-geleng kepala. "Suka-suka lo lah Ra! bodo amat! nggak peduli gue."

Caramel terkekeh geli. Dia menata rambutnya yang meskipun sudah disisir tapi tetap acak-acakan karena angin saat berlari tadi. Kalau mau ketemu Bara dia harus cantik. Tampil cantik saja ditolak mentah-mentah, apalagi kalau tampil dekil.

"Bye Mbel," katanya sebelum berlari keluar kelas.

Selama berjalan dia bersenandung kecil. Menyanyikan lagu yang saat ini sedang jadi favoritnya. Lagu yang dia tidak mengerti sama sekali artinya tapi melodinya indah dan menyentuh. Ahh ini karena bunda yang sering mendengarkan lagu ini.

"Eehhh Baraa!" panggil Caramel sambil mempercepat larinya. Dia menghampiri Bara yang baru saja keluar dari kelas. "Baru aja gue mau nyamperin lo."

"Eh lo mau kemana?" tanya Caramel yang dijawab oleh angin. Nging, nging. Suara nyamuk terbang bahkan lebih ramai.

Caramel mencibir pelan. Bodo deh, anggep aja lagi belajar pidato, batinnya. "Tadi Bunda nyiapin bekel buat lo loh, tapi gue lupa bawa. Hehe maaf yaaa.. besok gue bawa deh, oh iya lo mau apa? biar gue pesenin Bunda. Terus lo sekarang kemana?"

Matanya mengerjap. "Oh iya tadi gue udah nanya itu, hemm ngomongin apalagi yaa.." ucapannya terputus karena langkah Bara terhenti.

"Kenapa berenti?" tanya Caramel.

Bara memutar bola matanya. "Lo mau ikut masuk?"

"Hah?" tanya Caramel. Dia langsung menoleh ke pintu dan meringis kecil melihat tulisan toilet laki-laki di sana. Pipinya memerah. "Ohh hehe yaudah sana masuk, gue tunggu di luar."

Bara cuma menggeleng pelan dan masuk dan menutup pintunya, meninggalkan Caramel yang sibuk mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri. Tidak heran, karena Caramel selalu mempunyai dunia sendiri sampai kadang orang juga susah untuk mengerti cewek itu. Dia jadi ingat dulu tidak sengaja bertemu dengan Caramel di toko buku. Waktu itu dia juga belum sadar kalau cewek itu adalah cewek yang sama dengan foto yang pernah Rafan tunjukan. Kalau diingat pertemuannya dengan Caramel memang selalu konyol, tapi sesuatu yang tidak biasa juga akan sulit untuk dilupakan.

Di luar toilet, Caramel menunggu sambil bersandar pada tembok. Dia kembali bersenandung kecil. Anggap saja ini lagu perjuangan untuknya. Kekehan geli muncul dari mulutnya sendiri, lagu perjuangan? terdengar bagus.

Bel berbunyi nyaring. Menghentikan segala aktivitas yang berada di luar kelas. Caramel merengut kesal, Bara belum keluar juga. "Kebelet banget kali yaa," gumamnya.

Dia mengetuk pintu cokelat itu. Bodo amat kalau di dalam ada orang lain selain Bara. "Abang Ken?? udah bel loh. Lo nggak mau masuk? sakit perut banget yaaa? yaudah deh gue masuk duluan yaa? jangan kangen berat kamu nggak akan kuat, aku juga nggak kuat," katanya asal mengutip film yang baru-baru ini dia tonton.

Setelah mengutip dan mengganti kata-kata tanpa tanggung jawab itu, Caramel langsung berlari ke kelasnya. Perjuangannya dijeda dulu, sekarang berjuang untuk masa depan sekolahnya. Kalau telat bisa tidak diizinkan ikut ulangan harian. Ikut saja belum tentu nilai raportnya hitam, apalagi tidak ikut.

"Wah gue kira lo betah di kelas Kak Bara," kata Bella dengan wajah menyebalkan.

"Betah, tapi dia yang enek sama gue," jawab Caramel dengan tawa geli. Dia duduk di kursinya dan menyiapkan alat tulis.

"Iya lah, gue yang denger aja enek," kekeh Bella.

Guru biologi sudah masuk ke dalam kelas. Di tangannya ada kertas-kertas ulangan. Seperti biasa, sebelum ulangan seluruh meja dan kolong meja harus dikosongkan. Katanya untuk menghindari kecurangan. Padahal masih banyak jalan menuju roma.

Ada sepuluh soal, dan Caramel semalam sudah membaca sebagian. Jadi dia lumayan bisa mengerjakan ulangan itu. Lumayan, setidaknya nilai ulangam ini bisa pas dengan KKM. Itu sudah cukup, dia tidak mau muluk.

Caramel dengan percaya diri mengumpulkan kertas ulangannya. Dia tertawa geli melihat wajah Bella yang kelihatan kesal. Semalam sahabatnya itu memang pergi sampai tidak sempat belajar. "Kenapa lo? katanya ngebatik?"

"Salah materi gue! sialan udah nulis panjang sampe paha," keluh Bella.

"Anjir! bego lo, kan gue udah bilang kita ulangan Bab empat," kekeh Caramel geli.

Bella melirik Deni dengan tatapan mautnya. "Dia bilang Bab lima!"

"Weitss nggak sengaja," kekeh Deni.

"Yaudah gampang Bel, tu batik jangan lo apus sampe ulangan Bab depan," kata Rahmat yang dihadiahi lemparan buku oleh Bella.

Caramel tertawa geli. Teman-temannya ini benar-benar keterlaluan. Tidak ada yang bisa diajak serius. Ada saja kelakuan konyol yang membuat kelas ramai.

Jam istirahat Bella minta diantar ke koperasi. Di sana Caramel bertemu dengan Arkan yang sedang nongkrong dengan gerombolan pembuat onar sekolah. Pembuat onar yang mengaku jadi pahlawan paling berjasa di sekolah ini. Padahal kalau mati konyol pun tidak akan ada kenangan yang dibanggakan oleh sekolah ini.

"Ngapain lo Bang nongkrong di sini? ngerusak pemandangan," kata Caramel asal. Cuma dia dan Bella yang berani bilang begitu ke pentolan sekolah.

"Untung sayang," kata Arkan. "Lo berdua ngapain si? di rumah ketemu di sini ketemu."

"Yee ini juga kita lagi ketiban sial makanya ketemu lo," kekeh Bella.

Arkan mendengus kesal dan merapikan kerah seragamnya yang berantakan itu. "Lo berdua orang beruntung karena wajah gue pembawa keberuntungan buat orang yang liat."

Caramel dan Bella sama-sama meringia ngeri dan mempraktikan gaya muntah di depan Arkan. "Dia bukan Abang gue."

"Coret dari KK Ra! buruan!" kata Bella dramatis.

Teman-teman Arkan cuma ketawa melihat bosnya mati kutu di depan dua cewek ini. Caramel dan Bella yang sudah di cap oleh Arkan tidak boleh diganggu. Kecuali oleh dia dan Rafan.

"Udah-udah sono!" usir Arkan.

"Huuuu," kata Caramel sambil menarik tangan Bella.

"Mbel lo mau ikut ke kelas Bara nggak?" tanya Caramel setelah mereka pergi dari koperasi.

Bella menganggukan kepala. Dia tahu sekarang Caramel sedang berusaha mengembalikan Bara ke keluarganya. Dia juga tidak mungkin tidak membantu. "Ayo!"

"Yesss!" kata Caramel senang.

"Ngapain Ra?" tanya Tio yang ada di depan kelas Bara.

"Bara mana?" tanya Caramel langsung.

"Di taman belakang mungkin, mau ngerokok katanya," jawab Tio.

Caramel menoleh ke Bella dengan alis terangkat. Kalau Bara benar di taman belakang sih tidak apa. Tapi kalau yang dia temui nanti hantu bagaimana. Dia belum mau mati jantungan. Masih banyak dosa.

"Lo berani nggak?" tanya Bella.

"Nggak, lo berani?" tanya Caramel.

Bella berdecak kesal. "Kita kan sama-sama penakut! pokoknya nanti kalau ada rambut panjang langsung lari. Setuju?"

Caramel mengangguk yakin. "Oke."

Semakin dekat dengan taman belakang, langkah kedua orang ini semakin tidak pasti. Antara mau lanjut atau kabur tunggang langgang saja sekalian. Daripada sok berani.

"Mbel lo merem?" tanya Caramel.

"Ck udah diem, lo kasih tau aja kalo ada apa-apa!" kata Bella.

"Curang!" keluh Caramel.

Mereka lanjut berjalan sampai ke taman belakang. Benar ada rambut panjang. Tapi bukan milik kuntilanak yang mereka takuti. Hemm mungkin ini lebih menakutkan. Itu Raya yang rambutnya panjang dengan gelombang di bagian bawahnya. Tidak tahu dibentuk pakai apa.

"Beneran Mbel, ini sih emaknya kunti," kata Caramel asal.

"Hahh? kabur buru kabur!" bisik Bella cepat masih dengan mata terpejam.

Caramel berdecak kesal. "Bukan! itu si Raya!" katanya.

Bella mengerutkan kening dan membuka matanya. "Oh iya bener emaknya kunti. Kalo yang ini sih maunya gue libas!"

Caramel terbelalak kaget melihat Raya tiba-tiba mencium bibir Bara. Sepertinya Bella juga sama kagetnya sekarang. Caramel mengepalkan tangan dan langsung menghampiri dua orang itu dan langsung menarik rambut indah Raya itu. Rambut yang pasti perawatannya saja mahal.

"Aahhh!" ringis Raya.

Bara cuma mengerjapkan mata. Dia juga kaget tiba-tiba Raya menciumnya tadi. Cewek itu benar-benar berani.

"Kurang ajar! lepasin nggak!" kata Raya.

"Bodo amat! kalo perlu gue jambak rambut lo sampe botak!" kata Caramel dengan wajah memerah kesal.

"Baraaa tolongin aku!" kata Raya dengan rengekan menyebalkan.

Bara memejamkan mata sebentar dan langsug menarik tangan Caramel. "Lepasin Ra!" katanya.

"Apaan si? diem nggak lo?! abis ngehajar dia, lo juga bakal gue hajar!" bentak Caramel asal.

Ada yang bilang kalau Caramel itu manis. Jangan tanya kemana perginya manis itu sekarang. Lenyap semua, digantikan dengan wajah ganas yang tidak cocok sama sekali untuk wajah seperti Caramel.

Bara menghela nafas panjang dan merangkul bahu Caramel mengunci gerakan cewek itu agar berhenti menjambak Raya. Masalahnya kalau tidak berenti sekarang, Raya bisa benar-benar botak. "Ra berenti!"

Raya langsung menjauh dari Caramel yang sedang ngamuk. Benar-benar menakutkan. "Dasar gila!"

"Iya emang! sini gue patahin tulang-tulang lo sekalian! enak aja nyium cowok gue! gue aja belom pernah!" kata Caramel yang tidak sadar kalau Bara jadi salah tingkah mendengar ucapan itu.

Bella menahan tawanya melihat kejadian lucu itu. Dia bisa lihat kalau wajah Bara memerah karena ucapan sahabatnya yang tidak pernah sadar lingkungan kalau sedang marah. Kalau membawa ponsel, dia pasti merekam semuanya.

Raya mengusap kepalanya yang sakit dan langsung berbalik pergi. Mungkin mau menangis di sini tapi malu. Atau mungkin mau memeriksa rambut mahalnya itu. Atau ketakutan tulangnya akan patah.

Setelah Raya pergi baru Bara melepaskan Caramel. Dia menunggu Caramel mengamuk tapi cewek itu cuma diam dengan kepala tertunduk. Caramel menangis. Dia tahu itu.

"Sialan!" desis Caramel. "Orang yang begini yang gue suka? pengecut, penakut, lebih suka cari posisi aman."

"Apa maksud lo?" tanya Bara.

"Pengecut! kalau lo berani, coba tanya Daddy apa alesan lo dipindahin ke London!" kata Caramel. "Ahh tapi lo nggak bakal berani, lo takut Daddy ngaku kalau lo emang dibuang kan? kasian sih. Lo emang lebih suka kaya gini. Di zona nyaman, yang penting hidup yang penting punya temen. Nggak berani keluar dari itu."

Bara mengepalkan tangannya. Laki-laki itu harga dirinya tinggi. Kalau dijatuhkan sedikit maka marahnya luar biasa. Apalagi kalau dibilang pengecut oleh perempuan. "Oke gue bakal tanya dia."

"Nggak bakal berani," kata Caramel sambil mengibaskan tangannya. Dia mengusap airmatanya. "Ngapain pake nangisin orang kaya gini sih? buang-buang waktu." Dia berbalik dan mengajak Bella pergi.

Bara memejamkan mata sebentar dan langsung berjalan menyusul Caramel. Dia menarik tangan Caramel. "Kita ke rumah Daddy sekarang!" katanya tandas.

🍬🍬🍬

See you in the next chapter 😉😉😉

Jangan lupa follow ig mereka yaa

@kennethaldebaran

@caramelstarla

@rafansafaraz

@umbrellakirei

@arkanlazuard

Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 259K 28
Pernah membayangkan cowok paling keren di seluruh penjuru sekolah tiba-tiba saja membenci kalian tanpa sebab? Itulah yang dirasakan Syakilla saat Mar...
1.2M 119K 64
Varrios, tim yang berdiri sejak tiga tahun yang lalu. Kini diambil alih kepemimpinannya oleh Araka. Sebuah tragedi menyeret semua personil mereka. Sa...
24.6M 1.9M 54
[SUDAH TERBIT - sebagian part sudah dihapus] #1 in Teen Fiction [11-02-18] "Karena beku adalah cara gue bertahan" _________ "Kalo si Kutub Es itu nat...
79.1K 5.6K 48
"Gue bisa ngelakuin sesuatu yang nggak gue mau demi dapetin apa yang gue mau." Alysa Keyra "Bisa gak, lo berhenti jadi orang yang nggak gue suka!?" A...