(NOT) Brother Complex

By dhitenk

173K 4.1K 261

Novel ini bercerita tentang dua orang artis yang beradu peran di film yang sama, dimana keduanya dituntut unt... More

Satu
We Are Trying
Kiss
Ulah
Songket?
Everything I do, I do it for You
Insiden
Part 8
PART 9 - HEAVEN OR HELL
Sick
Fashion Show
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 18
PART 19
PART 20
Part 21
Part 22

Part 17

4.4K 97 5
By dhitenk

Teresa menikmati sunset di ujung dermaga sendirian. Duduk di pojokan menatap jauh ke matahari yang tinggal setengahnya ditemani nyanyian merdu Charlie Puth dari headphone di telinganya. Perasaannya gak enak banget seharian ini, jadi dia mutusin buat menyendiri.

Siang tadi ia sempet pergi bareng Olin belanja. Mood-nya sempet membaik tadi, tapi begitu balik ke cottage ternyata dia down lagi. Jadi disinilah dia sekarang.

Theo berkali-kali ngajak dia bicara, tapi cuma ia respon seperlunya. Rasanya dia tuh sebel banget sama abangnya itu. Apa dia lagi kena PMS ya?. Emang tanggal-tanggal segini tuh jatahnya dia kena bulanan. Teresa mengangkat bahunya mengacuhkan pikirannya.

Sementara di cottage suasana jadi serba salah. Theo jadi pendiem dan sensi, ditanya dikit jawabnya nyolot. Yang lain jadi pada bingung mau ngapain, padahal ini malem terakhir mereka disini.

Olin gak kuat ngeliat Theo yang biasanya ceria dan super aktif jadi mellow gitu. Jadi dia memutuskan mendekati Theo. “Kak Theo. Boleh ngomong bentar?”.

Olin duduk di samping Theo begitu Theo mengangguk, menyilangkan kedua kakinya santai.

“Udah ngomong sama Tere?”

“Belum”, jawab Theo tanpa memalingkan tatapannya.

“Tere itu gak suka sama cewek itu”.

“Dari dulu juga gitu. Tapi Lin, kamu kan-“.

“Tere itu ada masalah pribadi sama cewek kakak”, potong Olin. Dalam hati ia deg-degan, takut salah ngomong.

“Kita udah gak ada hubungan apa-apa”, bantah Theo.

“Ya, maksudnya mantan kakak itu”, koreksinya. “Kakak tau itu?”.

“Masalah sepatu di kontes model itu?. Bukan Cathy pelakunya Lin”.

“Mana ada maling mau ngaku- ups. Maaf kak”, Olin menggeram dalam hati, bisa-bisanya keceplosan gitu. “Tapi bukan itu masalah yang sebenernya”.

Kali ini Theo menatap Olin sepenuhnya, menuntut penjelasan. Ia pikir selama ini ia tau semua masalah adiknya, apapun itu. Ia membujuk Olin agar cepet bicara.

“Percobaan pemerkosaan di party Yoga” tutur Olin setelah cukup lama diam.

Theo melotot gak percaya dengan apa yang baru aja ia denger dari Olin. “Apa?!, Gak mungkin. Apa maksud kamu Lin?”.

Olin menghela nafasnya, berat. Tapi ia udah terlanjur bongkar rahasia ini, jadi inilah saatnya menjelaskan semuanya.

Dalam hati ia merasa bersalah. Dulu waktu insiden itu terjadi ia emang pergi berdua ke pesta itu sama Teresa, terus gabung sama temen-temen kuliahnya. Dan Olin udah janji gak akan ceritain ini ke siapapun. “Aku ada disana juga waktu itu”.

Theo diam, berfikir. Ia mengingat-ingat kapan pesta itu, dan sedang apa dia waktu itu. Beberapa detik kemudian ia ingat, itu enam bulan lalu. Ia di Australia waktu itu, dalam misi menghindari Cathylin yang terus-terusan ngejar-ngejar dia.

Apa Cathy- “Apa hubungannya sama Cathy?”.

Olin menjelaskan detil kronologisnya tentang Yoga yang ternyata saudara Cathylin. Dan tentang teman Yoga yang disogok segepok duit sama Cathy buat nyelakain Teresa. Tapi namanya juga cowok dewasa dan normal, liat barang mulus dikit naik deh libidonya. Bukannya nyelakain Teresa dia malah njebak Teresa pake anggur beralkohol tinggi biar mabuk berat.

Untung aja waktu itu ada Alvin yang gak sengaja denger pembicaraan Cathy sama si tersangka, jadi Alvin bisa bertindak cepat. Cowok bayaran itu udah hampir aja nelanjangin Teresa di kamar tamu rumah Yoga waktu Alvin dan Olin dateng ke kamar itu. Alvin menghajarnya sampe babak belur dan mengancam Cathy. Sejak saat itulah Cathylin menghilang tanpa kabar. Sampe akhirnya kemarin pagi ia muncul lagi di bawah langit yang sama dengan mereka. Tapi Theo gak pernah tau soal ini.
***

Cathy!”.

Cathy menoleh dan tersenyum lebar menyambut kedatangan Theo ke kamar cottagenya. Tapi kemudian ia mengulum senyumnya melihat ekspresi marah Theo.

“Hey babe”, sapanya mesra. Ketika hendak memeluknya, dengan cepat Theo menahan tangannya.

“Apa salah Tere?”, tanya Theo pelan. Tapi penuh emosi dalam setiap katanya.

“Salah apa? Dia masih marah sama kamu? Tey, aku kan udah bilang, ak-“

“Pesta Yoga enam bulan lalu. Kenapa lo lakuin itu?”, sela Theo.

Kaget.

Itulah yang terlihat jelas dari raut wajah Cathylin, bahkan ia ketakutan. “Eh- Tey. Ka- kamu ngomong apa sih?”.

“Gak usah banyak berkilah!. Gue udah tau semuanya Cat”, bentak Theo. “Gue gak nyangka lo sepicik  itu”.

Cathy beringsut mundur. Ia takut menghadapi Theo yang marah seperti ini. “Kamu salah paham Tey”, ujarnya lirih.

“Gue emang salah. Salah menilai lo!”, bentak Theo lalu berbalik meninggalkan Cathylin.

“Aku gak seburuk itu, Tey”.

Mendengar bantahan Cathylin Theo berhenti dan menatap tajam ke arahnya, menuntut penjelasan.

“She’s everything for you, I think”.

“Dia adek gue, Cat!”.

“No more feel? You sure?”.

“Apa maksud lo?”.

Cathylin tersenyum miring dan membuang tatapannya dari Theo. Dia tahu, kalo dia membahas ini Theo akan semakin marah padanya, tapi dia gak peduli sekarang. “Brother or sister complex... you know?”.

***

Teresa kembali ke cottage saat makan malam. Semuanya sibuk menyiapkan makan malam sambil bergurau, kecuali Theo.

Dimana dia?.

SHIT!!!

Kata-kata kotor itu keluar dari bibir si bule legok yang menjatuhkan omelette dari teflonnya. Tapi tatapan Kevin langsung berubah begitu melihat Teresa di tengah ruangan. Begitu juga yang lainnya.

Teresa yang merasa aneh dipandang begitu akhirnya angkat bicara. “Hey. What’s going on?”.

---

The number you’re calling is not active. Please try again in view minutes.

Sudah puluhan kali Teresa mendengar kalimat dengan nada yang sama itu. Ia gak tau kenapa Theo pergi gitu aja. Gak ada yang tau apa alasan Theo pergi mendadak begitu. Cuma Kevin satu-satunya yang ada di cottage saat Theo pergi, tapi Kevin bersumpah Theo cuma bilang kalo dia harus pergi karna sesuatu yang mendesak, tapi dia gak bilang apa itu.

Pergi tanpa mengaktifkan ponsel, itu bukanlah Theo yang biasanya. Teresa jadi merasa bersalah karna hal ini, mungkin Theo marah padanya jadi pergi gitu aja.

“Harusnya gue gak kekanakan gini!”, gerutunya.

Frustasi karna panggilannya yang selalu masuk ke mailbox membuat Teresa menangis. Ia bener-bener nyesel karna udah mengacaukan liburan mereka. Padahal jarang-jarang mereka bisa gini. Ini adalah malem terakhir mereka disini.

Rencananya mereka bakal pesta sepuasnya di dermaga malem ini, dan pulang di esok paginya. Tapi bukannya have fun justru galaulah yang Teresa rasain.
***

“Thanks bang”. Ujar Teresa begitu mobil Arsen berhenti di depan pagar rumahnya.

Arsen tersenyum dan nawarin diri nganter Teresa sampe dalem rumah, tapi ditolak. Jadi dia menuju bagasi dan mengambilkan koper Teresa yang disambut cepat oleh pemiliknya.

“Abang gak jalan?”. Teresa berbalik karna Arsen masih diem di samping mobilnya, memandangnya. Bukannya balik ke mobil dan pulang.

“Cuma mau mastiin my sweetheart sampe rumah dengan selamat”, jawabnya gombal.

“Bokis!”, cela Teresa. Tapi akhirnya dia tersenyum juga.

“Oke. Tere masuk sekarang. Silahkan diperhatikan”, ujarnya dengan nada yang dibuat-buat.

“Um. Take care my bokis brother”, ujarnya saat berbalik lagi.

“Ok”. Arsen mengacungkan jempol dan kelingking kanannya bersamaan mengisyaratkan agar Teresa menelponnya yang dijawab dengan anggukan Teresa.

“Damn you Tey!”, maki Arsen lirih ketika Teresa berhasil membuka pintu utama dan melambai padanya.

***

Dua hari sudah Teresa gak dapet kabar apapun dari Theo. Arsen, Dave, Kevin dan teman-teman mereka lainnya juga gak ada yang dapet kabar Theo. Dia seolah menghilang begitu aja, tanpa pesan. Untung orang tuanya belum menelpon tiga hari ini, jadi dia gak perlu beralasan kalo mama atau papanya nanyain Theo.

Kepergian Theo yang mendadak, tanpa pamit dan dalam keadaan yang gak baik ngebuat Teresa selalu cemas. Dialah penyebab semua ini. Theo pergi karna Teresa marah dan mengabaikannya. Seharusnya dia gak bersikap kekanak-kanakan waktu itu.

***


Teresa berjalan tergesa-gesa di koridor khusus di sebuah studio foto dimana dia harus berpose untuk pemotretan majalah fashion untuk sebuah brand yang mengontraknya sejak dua bulan terakhir ini. Seharusnya hari ini dia dateng berdua bareng Theo karna emang mereka jadi brand couple model di edisi ini dan untuk beberapa edisi ke depannya. Tapi udah tiga hari ini dia sama sekali gak dapet kabar dari abangnya itu. Ponselnya juga gak bisa dihubungi.

Dan dia berharap, bener-bener berharap abangnya itu akan ada disini sekarang. Seenggaknya buat pekerjaan mereka. Jadi dengan cepat ia menuju ruang make up yang akan mereka tempati buat persiapan pemotretan. Tapi harapan tinggallah harapan. Karna bukan Theo-lah yang duduk di ruang make up itu, melainkan Gerry. Teresa tau, pasti Gerry gantiin bang Theo hari ini.

“Hai”, sapa Gerry begitu Teresa masuk. Memeluknya singkat.

“Hey”, balas Teresa lirih lalu duduk di samping Gerry.

“Gimana liburannya?”.

“Hmm, yah... exciting”, jawab Teresa berusaha yakin. “Jadi, lo yang gantiin bang Theo?”.

Gerry mengangguk. “Dia masih asyik nostalgia kali”.

“Nostalgia?”.

Gerry menegapkan posisi duduknya sambil mengarahkan tubuhnya menghadap Teresa sepenuhnya. “Ya. Cathylin, you know? Her ex-girlfriend”.
Cathylin? Nostalgia? Apa maksudnya?

“Lo gak tau? Dia gak ngasih tau lo?”, ujar Gerry dengan nada terkejut.

“Oh, shit!. Harusnya gue gak kasih tau lo”, desah Gerry menyesal dan membodoh-bodohkan dirinya sendiri.

“Dia bilang apa ke lo Ger?”. Gerry menggeleng. “Gue cuma mau tau”, desak Teresa. Tapi Gerry tetep menggeleng dan bilang kalo gak ada yang Theo omongin ke dia.

“Dia minta lo gantiin dia di job ini?”.

“Ya”.

“Apa alesannya?”, tanya Teresa lirih, tapi menuntut.

Sakit hati.

Itulah yang ia rasain sekarang.

Berhari-hari ia mikirin abangnya, khawatirin dia, nyesel karna udah ngambek ke dia bahkan sampe gak bisa tidur tapi ternyata yang dipikirin justru lagi have fun sama orang yang dibencinya. Gak nelpon dia sama sekali. Tapi justru nelpon Gerry?.
Emang, Theo dan Gerry terbilang cukup deket. Tapi kenapa dia nelpon Gerry dan gak nelpon adiknya sendiri?.

“Yaa... dia cuma bilang dia masih belum bisa balik, dan dia udah bilang pihak majalah kalo dia mangkir, dan... disinilah gue”, jelas Gerry.

Teresa bener-bener pengen nangis. Tapi ia tetep nahan air matanya. Buat apa dia nangis cuma gara-gara gak ditelpon abangnya? Iri sama Gerry? What the hell?!.

“Sorry, Re”.

Teresa mengangguk lemah dan menghela nafasnya keras, berusaha menetralisir emosinya.

Gak ada yang boleh liat dia lemah begini. Gerry cukup jadi satu-satunya karna dialah narasumber masalah ini.
***

Continue Reading

You'll Also Like

114K 12.1K 19
[Content warning!] Kemungkinan akan ada beberapa chapter yang membuat kalian para pembaca tidak nyaman. Jadi saya harap kalian benar-benar membaca ta...
1M 78.6K 76
"You do not speak English?" (Kamu tidak bisa bahasa Inggris?) Tanya pria bule itu. "Ini dia bilang apa lagi??" Batin Ruby. "I...i...i...love you" uca...
113K 10.8K 89
bertahan walau sekujur tubuh penuh luka. senyum ku, selalu ku persembahkan untuknya. untuk dia yang berjuang untuk diri ku tanpa memperdulikan sebera...
293K 18.7K 55
Ini tentang seorang anak perempuan yang hidup tapi berkali-kali dimatikan, anak perempuan yang mentalnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri, dan an...