SOMETIMES [DISCONTINUED]

Por badgal97

131K 11.9K 1.8K

Allegra Stewart. Gadis bengis, rakus, aneh, angkuh, dan menyebalkan. Wajahnya juga tidak terlalu cantik. Yaa... Más

PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 29
BAGIAN 30
AUTHOR NOTES
BAGIAN 31
BAGIAN 32
BAGIAN 33
BAGIAN 34
BAGIAN 35
BAGIAN 36
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 39
BAGIAN 40
BAGIAN 41

BAGIAN 42

1.3K 122 93
Por badgal97

Allegra Stewart's View

Harry benar. Aku harus menjalani apa yang seharusnya kujalani. Jika aku memang ditakdirkan seperti ini, maka aku harus menjalaninya. Kau tahu kenapa? Karena kuasa Tuhan adalah segalanya. Aku tahu itu terkesan sangat religius. Tapi... seburuk apapun sikapku, aku selalu percaya jika Tuhan itu ada. Takdir yang kudapat adalah hal yang sepatutnya terjadi. Dan bagaimana pun aku meronta untuk menghindarinya, semua tetap terjadi.

Sudah memasuki minggu kedua, Justin belum kembali. Dan selama itu, aku menghabiskan waktu untuk berpikir jernih. Aku mulai menerima, membuka kenyataan yang terjadi dan berusaha menerimanya dengan baik. Meski sejujurnya, aku masih merasa kehilangan dan berharap kalau dia akan kembali. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada yang bisa memastikan kepulangannya dan bahkan, Jaden yang tak lain adalah sahabat Justin sendiri merasa kalau dia memang tidak akan kembali.

Jaden memang sialan.

Kali ini, aku tengah berjalan di koridor sekolah sambil menghafal beberapa teori serta rumus kimia. Well, minggu depan aku akan mengikuti olimpiade Sains yang katanya diadakan oleh seorang profesor terkenal. Sejujurnya aku tidak yakin akan menang. Namun berkat teman-temanku di klub Sains yang terus menyemangatiku dan berani memilihku untuk Olimpiade ini, maka aku akan berusaha. Sambil sibuk menghafal rumus-rumus yang cukup rumit, aku berpikir. Memikirkan sesuatu yang akhir-akhir ini membuatku merasa bersalah.

Ini soal teman-temanku. Ah, bukan, mereka sahabatku. Selena dan Cara. Akhir-akhir ini aku sudah lama tidak melihat mereka. Maksudku, kami saling menghindar satu sama lain. Apalagi pertemuan terakhir kami memang tidak berujung baik. Aku memaki mereka, aku menjauhi mereka. Namun semua itu memiliki alasan tersendiri. Mereka salah mengerti mengenai prinsipku. Saat itu aku begitu marah dan tidak menerimanya. Sampai akhirnya, kami berjarak dengan hubungan yang buruk.

Aku tahu... sial. Semua salahku. Aku tahu selama ini mereka berusaha memperbaiki semua yang telah terjadi. Mereka tahu jika aku takut. Mereka berusaha mengerti. Namun aku menyia-nyiakan apa yang mereka usahakan karena egoku sendiri. Dan ketahuilah, sejujurnya aku menyesal. Prinsip yang kupegang terlalu kental. Ini tidak bagus dan aku merasa begitu sialan telah membuat semuanya menjadi begitu rumit.

Suasana sekolah tampak cukup sepi dari biasanya. Koridor yang biasa terlihat ramai oleh lalu-lalang para siswa kini tampak lengang. Melihat keadaan di sekitar, aku menghela napas tanpa berhenti berjalan. Secara refleks pikiranku merambat pada masa lalu. Entahlah. Aku tahu ini terdengar sangat melankolis. Namun koridor sekolah yang tengah kupijaki saat ini memiliki kesan tersendiri. Kau tahu, banyak kejadian yang sering kualami di sini. Dari kejadian mengejutkan, kenangan manis sampai hal-hal buruk yang begitu menyedihkan.

Semua yang kulewati bersama Justin, dan teman-temanku.

Sial. Sudut terdalam batinku terasa sakit sekarang. Oke, itu terdengar sangat menjijikkan. Tapi sungguh, aku merasakannya. Aku tercekat. Merasa begitu... aneh dengan keadaan saat ini. Mengapa kenangan selalu terasa indah saat kita mengenangnya? Mengapa memori selalu terlihat cantik ketika telah berlalu? Mengapa kita tidak bisa merasakannya ketika kenangan itu tengah terjadi? Memikirkan hal tersebut entah mengapa membuatku ingin menangis. Untuk sejenak, mataku terpejam. Dan ketika mataku terbuka kembali, eksistensi Selena dan Cara yang berjalan membelakangiku sontak membuatku semakin merasa... emosional.

Mereka berjalan bersisian, menyusuri lorong sekolah dengan begitu ringan. Kulihat Selena tampak ceria, seperti biasanya. Sesekali gadis itu tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Cara di sampingnya yang tersenyum. Dan ini pertama kalinya aku melihat Cara menguncir rambutnya dengan ikatan yang tidak terlalu rapi namun cukup membuatnya tampak manis. Tanpa disadari, dari jarak sekitar dua meter aku berjalan perlahan membuntuti mereka dengan perasaan sesak. Sungguh, mereka terlihat begitu bahagia tanpa aku.

Sial. Lihat mereka. Seharusnya aku tidak terlibat, seharusnya aku tidak ikut andil dalam pertemanan itu. Sebelum aku datang, mungkin mereka memang sudah seakrab itu, kan? Ini sungguh menyedihkan. Semuanya membuatku sadar jika kehadiranku di hadapan mereka hanya untuk merusak, hanya untuk menghancurkan persahabatan mereka yang sebelumnya sudah terjalin.

Secara dramatis, pikiranku kembali terdesak pada kenangan lama. Potongan-potongan bagai kilasan film itu berputar secara tidak sopan di kepalaku. Kenangan konyolku bersama Cara, tingkah bodoh Selena dan bagaimana caraku membuka diri terhadap mereka perlahan-lahan. Bagaimana aku menjadi diri sendiri di depan mereka, bagaimana aku merasa... mereka mendampingiku dalam posisi yang sempurna. Dan bagaimana aku merasa jika Cara dan Selena adalah pengganti Connor dalam kehidupanku di sini.

Sial, sudah berapa kali aku merasa rapuh?

Saat itu, aku hendak berbalik. Berniat untuk mencari jalan lain memasuki kelas dan membiarkan mereka menikmati waktu tanpa kehadiranku lagi. Namun tiba-tiba, angin berembus kencang. Hingga sesuatu terasa memasuki hidungku, membuatnya terasa gatal dan saat itu juga aku bersin dengan keras. Kau tahu, keras sekali. Sampai-sampai aku merasa cairan hidungku keluar begitu saja. Refleks aku segera menyekanya dengan punggung tanganku lalu membersihkannya dengan pakaianku. Oke, aku tahu itu terdengat sangaaaaat menjijikkan, tapi aku kehabisan stok tisu di dalam ranselku. Sial, aku sibuk membenahi diri dan cairan hidungku sendiri tanpa menyadari jika Cara dan Selena kini berbalik dan memandangku syok.

Sial.

Embusan angin mulai lenyap secara perlahan, menyisakan embusan kecil yang menghasilkan bunyi gesekan dedaunan di atas pohon. Aku menghela napas, dengan keadaan yang sudah lebih baik—menurutku—lantas mendongak, menatap eksistensi mereka berdua dengan pandangan... entahlah. Aku hanya memandang mereka, bermaksud untuk berani.

Hingga tiba-tiba, Selena bersuara. "Kau..."

"Maaf," tandasku seraya menaikkan satu alis, berlagak apatis seperti yang biasa kulakukan saat terdesak. "Aku hanya bersin dan tidak berniat menganggu kalian sama sekali. Silakan lanjutkan perjalanan menyenangkan kalian menuju kelas karena aku—"

"Allegra,"

"—karena aku berniat mampir ke perpustakaan untuk mengadakan pertemuan singkat bersama klub Sainsku. Lalu..."

Ucapanku menggantung begitu saja saat Selena menatapku dengan pandangan... horor. Diiringi ringisan kecil yang terlihat mengertikan. Dari jarak dua meter, tiba-tiba ia menunjuk lantai di dekatku seraya bergumam. "Ingusmu berceceran."

The fuck?

Refleks, aku menunduk dan praktis tercekat saat kulihat cairan hidungku sendiri yang mengotori lantai dengan... begitu lebar. Demi Tuhan, aku tahu ini sangat menjijikkan. Ini adalah pertama kalinya aku merasa benar-benar bodoh dan jorok sekali. Tapi, persetan. Aku melakukan ini di hadapan teman-temanku. Jadi masa bodoh. Beruntung keadaan sekolah tengah sepi. Setelah menyadari keadaan sekitar yang cukup aman, aku melangkah. Lantas membersihkan cairan hidungku sendiri dengan sepatu yang kukenakan. Sial, sepatu kesayanganku digunakan untuk mengelap ingus? Yang benar saja.

Saat sibuk membersihkan cairan hidung di atas lantai dengan gesekan sepatuku sendiri, aku mendengar Selena mengerang seraya mengernyit jijik. Mulanya, aku tidak terlalu peduli. Karena sikap Selena bisa sangat lebih gila dari yang ia lakukan saat ini. Namun aku terkejut saat tiba-tiba Cara tertawa. Astaga, perempuan itu tertawa keras sambil memegangi perutnya sendiri. Suara tawanya bahkan terdengar jelek sekali.

Aku dan Selena menatapnya bingung.

"Ya ampun! Menggelikan sekali—HAHAHAHAHA! Aku tidak kuat lagi." tukas Cara dengan mulut terbuka lebar. "Astaga, itu ingus. Aku melihat ingus!"

"Kau menertawakan hal yang menjijikkan, Car." Selena membalas dengan dramatis. "Itu ingus orang dewasa. Lendirnya pasti lebih kental."

Mendengar ucapan Selena membuatku ingin muntah. Sial, sial. Aku tidak bisa berhenti merutuki diriku sendiri. Oke, aku tahu apa yang kulakukan barusan sangatlah menjijikkan. Kau bayangkan saja ingusku keluar begitu banyak sampai-sampai mengotori lantai sekolah. Jika orang lain melihat ini, aku tidak yakin masih bisa bersikap percaya diri. Apalagi jika... kau tahu, jika Justin melihatnya.

Aku bisa mati.

"HAHAHA, ALLEGRA! Apa kau terserang flu?"

"Cara, hentikan. Ingus itu tidak lucu!"

"Oh, sial." Cara tidak berhenti tertawa. "Allegra, kemarilah."

Aku tercekat, "Hah?"

"HAHAHAHA!" sungguh, tawa Cara sama sekali tidak enak didengar. "Ayo, kemarilah. Sebentar lagi jam masuk tiba."

Diam-diam aku terkejut. Maksudku, yang benar saja? Setelah sebelumnya kami bertengkar hebat di belakang sekolah hingga Selena yang berani memakiku karena tingkahku yang menyebalkan, kini kami bertiga kembali berbicara diiringi humor rendahan yang tak lain karena seonggok ingus? Ini sungguh membuatku bingung. Aku sempat melongo, bahkan bertanya-tanya.

Namun pada akhirnya, aku menghampiri mereka. Tak bisa kutahan senyum bahagiaku saat Cara tiba-tiba merangkulku tanpa berhenti tertawa—kiranya sudah beberapa menit ia terus tertawa?—lalu Selena yang sibuk berceloteh seraya menjauhiku karena dia sadar jika sepatuku baru saja menginjak ingus. Dan pada akhirnya, kami berjalan bersama memasuki kelas. Diiringi tawa dan hal konyol. Hingga perasaan melankolis yang sebelumnya kurasakan lenyap begitu saja.

Aku rindu teman-temanku.

***

Author's View

Nuansa kamar berkonsep minimalis dengan dinding berwarna pink serta ranjang manis berwarna pastel itu terdengar hening. Tidak ada alunan lagu Katy Perry yang diputar dari tape setiap siang seperti biasanya. Karena akhir-akhir ini gadis pemilik kamar itu lebih gemar berbaring bersama keheningan di atas ranjang berwarna pastel miliknya yang empuk dan hangat.

Selena Gomez kini merebahkan tubuhnya dengan posisi terlentang. Kedua matanya yang berwarna cokelat memandangi langit kamarnya yang dihiasi stiker besar bergambar unicorn. Untuk sejenak, pikirannya kosong. Namun di detik kemudian, sesuatu kembali menghantam kepalanya secara tidak sopan. Membuat Selena sontak menghela napas, lantas mengembuskannya dengan keras hingga beberapa helai rambutnya terkibas pelan karena embusan napasnya sendiri.

Sejujurnya Selena benci situasi ini. Situasi dimana ia tengah sendirian di dalam kamarnya lalu pikirannya mengambil alih terlalu banyak hingga Selena kembali mengingat sesuatu yang sama sekali tidak ingin ia ingat. Sesuatu yang akhir-akhir ini terlalu menganggunya. Bahkan membuatnya rikuh setengah mati. Selena bersumpah, setelah mendengar pengakuan Jaden di dalam Ruang Kesehatan sekolah saat itu, ia tidak sudi berdekatan dengan cowok itu lagi.

Dan berusaha menjauhinya.

Namun, semakin ia menjauh, Selena merasa semakin terganggu dengan pikirannya sendiri. Dan Jaden tidak berhenti menggodanya seperti biasa. Seakan pengakuannya saat itu bukanlah masalah. Seakan apa yang ia katakan tidak menyakiti siapa pun. Jaden begitu ringan. Tanpa tahu jika Selena merasa terluka. Entah karena apa.

"Aku benci ini." lirih Selena tiba-tiba yang disambut oleh keheningan. Ekspresinya memelas, bibirnya yang dipoles lipbalm berwarna pink mencebik putus asa. "Sungguh. Ini menyebalkan."

Saat kembali larut dalam pikirannya yang kacau. Tiba-tiba ponsel Selena berbunyi singkat menandakan satu pesan masuk. Membuat gadis itu sontak menoleh ke sisi kiri, tempat dimana ponselnya terletak. Tanpa ragu ia segera mengambilnya dan membaca pesan masuk yang tertera.

Jaden : Wht d u mean?

Bibir Selena makin mencebik. Gadis itu cukup dibuat terkejut melihat pesan tersebut karena, sungguh! Jaden bahkan tidak pernah melakukannya. Beberapa detik terdiam membuat Selena bisa meredam keterkejutannya. Lantas, jarinya bergerak. Memberi pesan balasan.

Selena : ?

Jaden : Ooo u nod ur head yes but then u say no

Selena : Apa yang kau bicarakan, jelek?

Jaden : Hey yeah u don't want me to move but u tell me to go

Selena : Kau gila

Jaden : Apa itu terdengar seperti lirik lagu?

Selena : Aku tidak tahu dan aku tidak peduli!

Jaden : Cuttie

Jaden : Kau galak sekali

Selena menghela napas lantas mengerang seraya memeluk boneka kesayangannya. Kedua matanya tetap terpancang pada layar ponsel, meski pikirannya terus bertanya-tanya mengapa ia masih sudi membalas pesan Jaden ketika kenyataannya lelaki itu benar-benar brengsek?

Jaden : Kau marah padaku

Selena : Aku normal. Aku tidak terserang hipertensi dan aku tidak berminat untuk marah-marah.

Jaden : Tapi kau marah

Jaden : Aku tahu itu

Selena : Terserah

Jaden : Astaga:(

Jaden : Biasanya kau tidak segalak itu padaku:(

Jaden : Aku jadi takut

Jaden : Apa mungkin...

Jaden : CUTTIE, APA KAU BARU SAJA KERASUKAN?

Jaden : CUTTIE

Jaden : CUTTIE, KAU DENGAR AKU?

Jaden : SAYANG?

Selena : #*?/(-$@!!

Jaden : Sungguh, aku takut sekarang

Selena menepuk jidatnya, lantas mendengus seraya mencakar-cakar tempat tidurnya sendiri dengan kuku-kukunya yang dihiasi kuteks dengan hiasan panda. Belum selesai ia melampiaskan kekesalannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Membuat Selena kembali mendengus seraya melihat layar ponselnya. Sedetik kemudian, gadis itu melongo dengan mulut terbuka lebar.

Jaden Smith

FaceTime...


***

Langit malam menggantung, menebarkan gelap dengan secercah cahaya bulan di atas sana. Kini, cahaya bulan telah kalah oleh kilauan lampu dari gedung-gedung tinggi berhiaskan kemewahan di California. Dan semua itu berbanding jauh dengan keadaan Allegra saat ini, gadis itu tengah berdiri di atas balkon apartemennya yang begitu sederhana.

Berdiri di atas balkon dan melamun dengan memandangi keadaan luar adalah hal yang jarang sekali Allegra lakukan. Bahkan gadis itu baru menyadari jika balkon apartemennya bisa menjadi tempat yang cukup nyaman untuk menyendiri. Karena selama ini, Allegra lebih sering menghabiskan waktu di kamarnya. Merasa terkurung dalam prinsip dan kekerasan kepalanya tanpa menyadari keadaan luar yang bisa membuatnya lebih baik.

Allegra baru menyadarinya.

Gadis itu menghela napas, meresapi udara malam yang dingin diikuti helaian rambutnya yang terkibas lembut diterpa angin. Kedua matanya terpejam sesaat, mengingat masa lalu saat tiba-tiba lagu yang ia dengar lewat earphone berhasil menyentil kembali perasaan terdalamnya.

Maybe I know, somewhere

Deep in my soul

That love never lasts

And we've got to find other ways

To make it alone

But keep a straight face

Sial, gadis itu kembali membatin dalam hati. Ketika menit terus berjalan hingga menempuh waktu yang berlalu, mengapa harus lagu ini yang tiba-tiba terputar? Dan mengapa Allegra baru menyadarinya ketika lagu tersebut telah terputar cukup lama? Sontak, pikirannya kembali berlabuh pada kenangan. Pada suara merdu Justin saat menyanyi bersama petikan gitarnya yang dinamai Demon, pada semilir angin serta ombak pantai di Italia, pada kerasnya bebatuan karang yang ia pijaki serta lembutnya gaun putih yang pernah Allegra kenakan hanya untuk menuruti kemauan Justin.

And I've always lived like this

Keeping a comfortable, distance

And up until now

I had sworn to myself that I'm content

With loneliness

Allegra kembali menghela napas, merasakan perasaan rindu yang kembali menguasainya. Sial, Allegra tahu ini sangat picisan. Namun, untuk ke sekian kalinya, gadis itu rela membuka dirinya sendiri untuk menikmati kerinduan ini.

Because none of it was ever worth the risk

But, you are, the only exception

You are, the only exception

You are, the only exception

You are, the only exception

Mulut Allegra terbuka, mengikuti lirik lagu seraya mengacak rambutnya sendiri. Lantas, sebelum gadis itu berteriak menggila karena kerinduan dalam benaknya, tiba-tiba pintu di belakangnya terbuka, menimbulkan cahaya lampu di dalam ruang apartemen hingga menampilkan sosok bayangan yang tidak asing. Melihat eksistensi seseorang yang berjalan menghampirinya lantas merebut bagian earphone yang berada di telinganya membuat Allegra tersenyum. Gadis itu menoleh, memandangi Harry yang kini berdiri di sampingnya, turut menikmati lagu Paramore yang nyaris selesai.

"Kau datang lagi di jam yang sama seperti kemarin." bisik Allegra seraya menyentuh birai balkon yang dingin.

"Anggap saja ini sebagai rutinitas." Harry membalas seraya menoleh, rambutnya yang ikal sedikit tersepuh oleh angin.

"Yang benar saja."

Tiba-tiba Harry terkekeh. "Lagi pula, ibumu tidak keberatan."

"Memangnya apa yang sedang ia lakukan di dalam?"

"Um... seperti biasa."

"Apa itu? Menonton acara Talk Show?"

Harry mengedikkan bahu.

Allegra mulai menatap Harry dengan skeptis. "Apa dia memakan camilanku?"

"Apa potongan apel termasuk camilanmu?"

"Itu apel milikku!" Allegra mendengus seraya melepas earphone yang menyumpal telinganya. "Menyebalkan."

Melihat tingkah Allegra yang tidak pernah berubah membuat tawa Harry lepas begitu saja. Lelaki itu tampak berseri, tawanya berderai diikuti bahu tegapnya yang sedikit bergetar mengikuti gelak tawanya sendiri. Sementara Allegra kini menatapnya tak percaya. Karena ini adalah pertama kalinya Allegra melihat seorang pria bisa tertawa dengan... astaga entah mengapa gadis itu menganggap jika suara tawa Harry terdengar begitu aneh.

Bahkan lebih parah dari gelak tawa Cara tadi siang.

"Harry?" Allegra berbisik, menatap horor lelaki di sampingnya yang belum berhenti tertawa. "Astaga, hentikan. Kau membuatku takut."

Butuh beberapa detik lagi bagi Harry untuk bisa menghentikan gelak tawanya. Lelaki itu menoleh, lantas mengacak rambut Allegra seraya merangkulnya. Mendekap sejenak gadis bertubuh mungil itu dengan satu tangannya. Hingga perlahan keheningan kembali merayap, menemani mereka ditaburi dinginnya malam serta remangnya cahaya bulan ditemani lampu-lampu dari setiap gedung yang menjulang tinggi. Untuk sejenak, Allegra menunduk, menatap birai balkon dengan pandangan kosong diikuti pikirannya yang kembali membuka dimensi lain. Yang kembali menusuk benaknya pada kerinduan.

"Persetan, dia tidak mungkin mengingatku."

Gumaman Allegra yang kini kembali tertegun bersama pikirannya sontak terdengar hingga membuat Harry menoleh, lantas menatap gadis berambut pendek itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Deru napasnya berembus perlahan, mengikuti belaian angin malam yang mencekat. Dan perlahan, lelaki itu menyentuh helaian rambut Allegra yang sedikit lebih panjang. Lantas menyibaknya dengan lembut.

"Kau harus percaya bahwa ia selalu mengingatmu."

Bisikan Harry berhasil membuat Allegra menoleh. Gadis itu mendongak, menatap Harry dengan pandangan yang lebih sulit untuk diterka.

"Percayalah. Selama ini dia selalu mempercayaimu."

Allegra terdiam.

"Dan apa yang tengah kau raih saat ini, buktikan padanya bahwa kau akan berhasil." kedua tangan Harry meregap bahu Allegra dengan lembut, menyalurkan motivasi disertai tatapan meyakinkan. "Buat dia bangga."

Dan malam itu pikiran Allegra kembali dikuasai oleh memori lama, suatu kenangan yang terlintas dan melebar begitu saja. Ketika hangatnya pantai di Italia menyelimuti dress putih pucatnya yang ia kenakan dengan terpaksa. Ketika bebatuan karang pantai menyentuh kaki telanjangnya, ketika sunset menguasai langit. Ketika bunyi ombak menemani sukacitanya. Lalu suara Justin, alunan gitar dan lagu yang baru saja ia dengarkan.

Hingga lirik terakhir yang tiba-tiba terlintas begitu saja.

And I'm on my way to believing

TO BE CONTINUED!

I MISS Y'ALL SO MUCH!!!!!

Tertanda,

Ananda Fenty

Seguir leyendo

También te gustarán

826K 87.2K 58
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
132K 10.2K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
1.7M 18.4K 40
Sebelum membaca, alangkah baiknya kalian untuk follow akun wp gw ya. WARNING 🔞!!! Yg penasaran baca aja Ini Oneshoot atau Twoshoot ya INI HASIL PEMI...
484K 48.6K 38
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...