BAGIAN 41

1.6K 194 90
                                    

Bagian 41

Allegra Stewart Views

Justin pergi.

Sudah satu minggu. Dia seakan menghilang. Dia tidak ada dimana pun. Dia layaknya sesuatu yang fana. Dia layaknya riak air yang lenyap begitu cepat. Hingga saat ini aku tidak merasakan apapun. Justin menghilang. Justin tertelan. Dia menghapus seluruh akun sosial media, dia menutup segala akses. Jaden pernah bilang jika Justin pergi ke Brazil. Namun aku tahu, semua itu hanya omong kosong. Aku tahu Jaden hanya punya mulut sampah. Aku tahu Jaden tidak berguna.

Aku tahu segalanya.

Aku tahu semua omong kosong yang dimiliki banyak orang. Aku tahu aku tak bisa memercayai seseorang selain ibuku, Elise atau Lucy. Bahkan aku tidak sudi memercayai ayahku sendiri. Semua tidak berguna. Sial. Aku benci merasakan ini. Tapi mengapa? Mengapa saat aku benar-benar tahu jika Justin pergi dan membuka omong kosongnya seperti orang lain, aku tetap berharap seperti orang idiot dan masih memiliki sisa rasa percaya padanya?

Semua ini melelahkan. Setiap saat aku tidak bisa berhenti berpikir. Aku selalu tertekan dalam lamunan panjang tak berujung. Setiap saat aku merasa resah. Semua terlalu membingungkan. Dan terkadang, aku terlalu frustasi untuk menghadapinya. Aku tidak mampu mengendalikan pikiranku sendiri. Hingga pada akhirnya aku sadar. Ketika aku merasakan semua hal bedebah ini, aku tahu jika aku merasa kehilangan.

Dan kesepian.

Menyadari kelemahanku yang mulai terbuka secara perlahan, aku tertegun. Kulingkupi tubuhku sendiri dengan kedua tangan, lantas berbaring di atas rerumputan halaman belakang sekolah dengan pikiran yang begitu penuh. Tidak, aku tidak menangis. Aku menahannya. Dan aku benci jika kembali terjebak dalam lamunan. Seperti saat ini.

"Allegra,"

Mataku praktis terpejam. Seseorang memanggilku. Ini pertama kalinya aku mendengar orang lain memanggil namaku lagi setelah sekian lama aku menjauh dari semua orang di lingkungan sekolah––kecuali guru tentu saja, aku bukan orang yang begitu tolol––. Dan dari suara yang terdengar, aku tahu jika itu suara Cara. Aku bisa merasakan kehadirannya di belakangku, aku bisa melihat bayangannya yang berdiri di bawah matahari. Beberapa detik kemudian, aku mendengar bunyi langkahnya yang menggesek rerumputan, menghampiriku. Aku bisa mendengarnya. Namun Aku diam saja.

"Allegra."

"Hai, apa kabar?"

Kini aku mendengar suara Cara dan Selena secara bergantian. Sial. Mengapa mereka berada di sini? Apa jam istirahat belum berakhir? Mataku praktis terpejam, bibirku tetap terkatup rapat tanpa sedikit pun merespon sapaan formalitas mereka. Hingga keheningan melingkupi diriku sendiri, diiringi desau angin dan bunyi gesekan dedaunan di atas pohon. Aku tidak peduli. Aku tidak bergeming. Terdiam dan berbaring membelakangi mereka tanpa peduli akan apapun yang akan terjadi setelah semua ini. Persetan.

"Allegra?" Sial. Cara belum juga menyerah. "Boleh kita duduk disini?"

Aku terdiam.

"Allegra?"

"Allegra, kau mendengar kami?"

Sial. Mengapa mereka mengangguku dengan cara seperti ini? Apa mereka tidak mengerti jika aku ingin sendirian? Mengapa mereka bodoh? Mengapa mereka tidak bisa mengerti? Aku benci ini.

"Allegra––"

"Duduklah jika kalian ingin duduk. Tempat ini bukan milikku. Tidak usah bertingkah bodoh."

Aku tidak mendengar respon apapun lagi baik dari Selena mau pun Cara. Namun aku bisa merasakan pergerakan mereka di belakang sana, terdengar bunyi gesekan rerumputan diikuti eksistensi mereka yang berjarak semakin dekat denganku. Dan aku tidak bergeming. Aku tetap terdiam dalam posisi yang sama, berbaring membelakangi mereka.

SOMETIMES [DISCONTINUED]On viuen les histories. Descobreix ara