A Homing Bird

By yayan_d

537K 43.5K 2.9K

Fatta : Aku nggak akan pernah mencintai wanita manapun seperti aku mencintai kamu. Seandainya waktu dapat di... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 46
Part 47
Epilog

Part 30

5.5K 1K 62
By yayan_d

Sebab hari ini Ayah saya ulang tahun dan karenanya saya sedang bahagia, sedikit berbagi postingan baru cukup menyenangkan.
Maaf ya, saya sering lama gak update. Tau sih kesannya ngegantung, tapi udah lama banget sejak saya terakhir buka wattpad. Mudah-mudahan kedepannya bisa lebih rutin.
Trimakasih buat yg masih setia nunggu. Tapi jangan ngomel-ngomel ya, kan saya postingnya kalo saya ada waktu luang. Lagian di wattpad ini kan banyak tulisan lain yang jauh lebih baik penulisannya dari saya, kalo kelamaan nungguin saya.
Semoga mau bersabar dan selamat membaca :)

*****

"Ma... Pa... aku ingin bicara."

Bapak dan Ibu Anindya, kedua orang tua Genta menatap putera semata wayangnya yang berdiri di depan pintu kamar orangtuanya dengan wajah tegang.

"Ini sudah malam, Ta," ujar Bu Anindya sambil tersenyum kecil, "Apa nggak bisa besok pagi aja?"

"Harus sekarang, Mama."

"Sekarang?" alis Pak Anindya terangkat.

Genta mengangguk mantap.

"Masuklah," ujar Pak Anindya sambil bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju sofa di sudut ruangan lalu memberi tanda pada Genta untuk ikut duduk, "Tentang apa ini?"

Genta duduk di hadapan Pak Anindya, "Tentang masa depanku."

Pak Anindya tersenyum bijak. Genta sudah cukup umur untuk bicara tentang masa depan, tapi ia tidak mengira anak bengalnya yang terlalu sering menyusahkan itu tiba-tiba terlihat amat sangat dewasa dan percaya diri malam ini. Genta duduk menatap dirinya dengan tatapan tak berkedip. Dia seperti diriku dahulu, pikir laki-laki tua itu.

"Ada apa, Genta?" tanya Pak Anindya sambil menatap puteranya.

"Aku mau menikah."

"Genta!" dengan cepat Bu Anindya duduk di samping Genta, "Dengan siapa?"

"Raya."

"Raya?" tanya Anindya dengan wajah tak percaya.

"Iya, Raya."

"Tapi kamu bilang Raya bertunangan dan akan menikah dengan orang lain," kata Bu Anindya dengan dahi mengerut. Tentu saja dia ingat dengan gadis cantik yang sopan dan menyenangkan itu. Gadis berpembawaan tenang yang tidak mudah dilupakan.

"Itu dulu, Mama. Sekarang dia nggak bertunangan dengan siapa pun."

"Kenapa dia nggak jadi menikah?" tanya Bu Anindya penasaran.

"Raya berhubungan dengan laki-laki yang sudah menikah dan laki-laki itu kembali dengan istrinya," ujar Genta terus terang. Ia memilih untuk tidak menutupi apa pun dari orangtuanya. Ia berharap dengan kejujuran, kedua orangtuanya akan mengerti dan menerima Raya begitu mereka tahu duduk permasalahannya. Ia tak ingin memulai biduk pernikahan yang dilandasi kebohongan. Saat ini Genta membutuhkan dukungan dan ia ingin mendapatkan hal itu dari orangtuanya.

"Maksud kamu, Raya berselingkuh dengan suami orang, Genta?" mata Bu Anindya melotot dan kelihatan sekali dia kaget. Gadis semanis itu, mana mungkin bisa begitu jahat.

"Laki-laki itu namanya, Fatta. Dia yang melindungi Raya sejak kecil dan pernikahan Fatta dengan istrinya sudah bertahun-tahun rusak. Mereka bahkan sudah berpisah dan sedang mengurus perceraian. Lalu Raya kembali dari Sydney dan bertemu lagi dengan Fatta. Laki-laki itu mengatakan ia dan istrinya telah berpisah dan memberikan Raya harapan. Mereka berhubungan, tapi ternyata laki-laki itu tidak jadi bercerai karena istrinya hamil."

"Maksud kamu, laki-laki itu mempermainkan Raya?" tanya Bu Anindya dengan rupa heran.

"Tepatnya mencampakkan Raya, Ma."

"Dan kalau begitu Genta, kenapa tiba-tiba kamu ingin menikahi gadis yang baru saja di tinggal pergi pacarnya. Papa rasa ini jelas kesalahan. Mungkin dia menerima lamaran kamu karena sedang terluka dan belum bisa berpikir jernih," kata Pak Anindya sambil mengambil rokok, menyalakan pemantik dan mulai menghisapnya.

"Papa!" protes Bu Anindya, "Merokok harus di luar rumah."

Pak Anindya tertawa lalu mematikan rokoknya cepat.

"Dan Mama pikir, Ta, gadis itu masih belum berubah pikiran tentang perasaannya dengan kamu. Tidak ada jaminan ia belum melupakan laki-laki itu dan Mama tidak ingin anak Mama terluka jika Raya tidak bisa membalas perasaanmu."

"Memang," Genta mengangguk setuju, "Dia bahkan belum tau kalau aku akan melamarnya."

"Apa??" wajah kedua orang tua Genta melongo tidak percaya.

"Iya, dia belum tau dan aku bahkan belum bertemu Raya beberapa bulan ini, Ma, Pa."

"Dan kamu akan menikahinya? Dia pasti menolak," sahut Bu Anindya cepat.

"Belum tentu."

"Jadi kenapa pernikahan yang gadis itu sendiri belum tau akan dilamar, sepertinya terkesan tergesa-gesa?" tanya Pak Anindya.

"Karena Raya sedang hamil."

"Hamil?!?" teriak Bu Anindya sementara suaminya hanya sempat membuka mulutnya sedikit lalu mengatupkannya cepat-cepat.

"Ya, Raya hamil."

"Bayi itu milik siapa?" tanya Pak Anindya cepat, "Kamu bilang dia baru ditinggalkan laki-laki itu. Itu artinya itu bayi laki-laki itu kan?"

Genta mengangguk.

"Genta, Papa pikir kamu nggak harus menikahi gadis itu hanya untuk emosi sesaat. Ada baiknya kamu berpikir ulang mengenai masalah ini. Pernikahan bukan hal kecil dan Papa nggak ingin kamu menikah hanya karena perasaan iba atau sejenisnya. Papa ingin kamu benar-benar yakin dengan pernikahan kamu dengan siapa pun perempuannya. Menikah dengan gadis mana pun bagi kami berdua tidak masalah, tapi kami sebagai orang tua tidak ingin kamu menikah tanpa pertimbangan dan terkesan tergesa-gesa. Lagipula kami nggak ingin kamu mengorbankan masa depan kamu demi gadis yang belum tentu mencintai kamu."

"Pa… aku nggak pernah seyakin ini dalam mengambil keputusan. Aku sudah memikirkan hal ini berulang kali dan ini memang keputusan paling benar yang pernah aku ambil dalam hidup aku. Aku mencintai Raya, Pa. Aku nggak pernah bisa mencintai orang lain seperti aku mencintai, Raya. Kalau soal bayi Raya, itu sama sekali bukan masalah. Aku mencintai Raya dan aku juga akan mencintai bayi itu. Aku hanya merasa kalau saat ini aku harus melindungi dan menikahi Raya. Dan itu adalah satu-satunya jalan. Aku sudah pernah kehilangan Raya dan sekarang kesempatan datang di depan aku untuk memiliki Raya, aku nggak bisa membiarkan semuanya lewat begitu saja. Raya itu segalanya buat aku, Pa."

"Baiklah Nak, tapi yang menjadi masalah adalah gadis itu sendiri tidak tau kamu akan melamarnya kan dan belum tentu dia juga akan mau menerima ajakan kamu untuk menikah bukan?"

"Iya Papa," Genta mengangguk, "Aku baru akan bicara dengan dia besok, makanya sekarang aku bicara dengan Mama dan Papa. Aku ingin Mama dan Papa tau lebih dulu masalah ini. Aku ingin kalian mendukung aku. Jujur saja Ma, aku capek begini-begini terus. Aku ingin hidupku berubah ke arah yang lebih baik."

"Papa senang kamu sudah mau jujur dengan kami berdua dan paling tidak melibatkan kami dalam hal ini. Seperti yang tadi Papa katakan, bagi kami berdua, istri kamu adalah pilihan kamu sendiri seperti apa pun keadaannya. Pernikahan kamu adalah tanggung jawab kamu. Kami sebagai orang tua hanya dapat memberi masukan dan yang menentukan pada akhirnya adalah kamu sendiri. Yang terpenting bagi kami sebagai orang tua, kamu bisa hidup bahagia, bisa menjadi lebih baik, bisa menjadi kepala keluarga dan pemimpin yang baik pula. Tapi, apa tidak sebaiknya kamu memikirkan kembali masalah ini, Genta? Bukan karena ia sedang hamil dan tidak mencintai kamu. Tapi bagaimana dengan diri kamu sendiri. Ini masalah besar, Nak. Papa tidak bisa menyetujui atau menolak gadis yang bahkan tidak pernah Papa temui, tapi setidaknya berpikirlah kembali. Jangan menyesalinya di kemudian hari," ujar Pak Anindya panjang lebar sembari menatap puteranya dalam-dalam.

Genta menghela nafas dalam dan menghembuskannya dengan suara keras, "Aku sudah mengira Papa akan mengatakan hal ini. Tapi keputusanku sudah bulat. Aku akan menikahi Raya."

Pak Anindya menggelengkan kepalanya sebelum berkata, "Ini bukan tentang dirimu saja, Genta. Ini tentang kita semua. Bahkan band kamu. Kamu orang terkenal di negeri ini. Apa yang akan terjadi jika orang-orang tau tentang skandal ini? Semua orang bahkan tau kamu berhubungan dengan gadis model itu. Apa tidak akan menjadi pergunjingan orang. Besar dampaknya, Nak."

"Papa benar, Genta," ujar Bu Anindya sambil tersenyum, "Harga yang harus kamu bayar untuk menikahi Raya akan sangat besar. Pikirkan kembali."

"Well, aku tidak peduli," tukas Genta, "Orang-orang boleh bergosip sesuka hati dan itu tidak akan mengubah keputusanku. Lagipula selama ini aku sudah terlalu kenyang digosipkan. Terserah orang mau bilang apa. Aku lebih tau apa yang terbaik untukku, Ma. Akulah yang akan bertanggung jawab pada keputusan yang kuambil bukan orang lain. Tak seorang pun yang akan bertanggung jawab selain aku."

Sepasang suami istri itu menatap Genta. Pak Anindya dengan ekspresi geli karena kekeraskepalaan putera semata wayangnya, jelas Genta mewarisi hal itu darinya. Dan Bu Anindya memandang Genta was-was.

"Tidak, Genta," ujar Bu Anindya sambil menggelengkan kepalanya, "Kamu tidak boleh melakukan itu, Nak. Hidupmu akan hancur."

"Hidupku luluh lantak begitu aku tau ia memilih laki-laki lain, Ma," ujar Genta lembut sambil menatap ibunya, "Aku mabuk dan mabuk sepanjang hari. Aku menjadi bukan diriku sendiri. Dan jika saat ini aku melepaskannya lagi, aku tak tau apa yang akan terjadi pada diriku. Bukan tidak mungkin suatu hari Mama akan menerima telepon di pagi buta karena aku mati dengan leher patah seperti yang terjadi dengan Erick karena terlalu banyak minum. Apa itu yang Mama inginkan?"

Bu Anindya terkesiap dengan muka ngeri memandang anak laki-lakinya yang justru tersenyum samar. Genta tahu tak seharusnya ia memanipulasi ketakutan ibunya akan kehilangan dirinya, tapi sungguh jika menyangkut Raya, Genta tak peduli. Bagaimana pun caranya, malam ini ia harus mendapatkan persetujuan orangtuanya. Ia tak punya banyak pilihan. Raya tak punya banyak waktu. Gadis itu hamil dan setiap hari perutnya akan semakin membesar, belum lagi Raya bahkan telah menyiapkan diri untuk kabur.

Untuk sesaat mereka terdiam dalam suasana yang canggung. Genta menatap kedua orangnya tajam dan penuh tekad.

"Mama nggak bisa memahami kamu, Genta. Mengapa kamu menyamakan situasi kamu saat ini dengan Erick?"

Genta menyenderkan tubuhnya ke sandaran sofa dan memandang orangtuanya, "Karena aku terlalu jatuh cinta dengan Raya, Mama. Sebut aku berlebihan, tapi aku tidak dapat hidup tanpa Raya. Jika pun aku menikahi gadis lain selain dia, aku tidak menjamin aku akan bisa melupakan Raya. Aku sudah mencobanya bersama Marsya dan aku tidak bisa mengenyahkan Raya. Tolonglah mengerti, Ma. Jika tak bersama Raya, maka aku juga tak bisa bersama perempuan mana pun. Apa Mama ingin aku seperti itu?"

"Kamu tau, Mama hanya ingin kamu bahagia."

"Bahagia," Genta sontak tersenyum, "Rayalah kebahagiaanku."

Pak Anindya menghela nafas lalu meraih tangan istrinya. Genta mencintai gadis bernama Raya itu. Pak Anindya yakin akan hal itu. Ia dapat melihatnya di mata puteranya. Ini bukan jenis cinta sesaat atau cinta main-main. Ia yakin, Genta mengatakan yang sebenarnya. Pak Anindya tersenyum, merasakan rasa bangga menyelinap dihatinya mengetahui puteranya telah beranjak dewasa. Genta bahkan terlihat akan sanggup menghadapi apa pun walau seluruh isi dunia menentangnya.

"Jadi bila Papa dan Mama menolak pun kamu akan tetap teguh pada pendirian kamu?" tanya Pak Anindya.

Genta mengangguk mantap.

"Bisa tinggalkan Papa dan Mama sebentar, kami perlu bicara," ujar Pak Anindya dengan wajah tenang.

Genta mengangguk, lalu dengan tenang ia meninggalkan kedua orangtuanya untuk bicara. Begitu Genta menutup pintu kamar orangtuanya, ia menghela nafas dalam-dalam. Ia menahan dorongan dirinya sendiri untuk menguping pembicaraan kedua orangtuanya. Satu jam kemudian, Genta sudah kembali duduk di hadapan kedua suami istri itu.

"Kamu sudah dewasa, Genta," ujar Pak Anindya memulai pembicaraan, "Kamu sudah sangat matang untuk mengambil keputusanmu sendiri untuk hidupmu. Papa bangga kamu teguh memegang prinsipmu. Papa bangga melihatmu tumbuh menjadi laki-laki bertanggung jawab. Sekeras apa pun kami selaku orangtuamu menentang pilihan hidupmu, pada akhirnya yang akan menentukan arah hidupmu adalah dirimu sendiri."

"Jadi?" tanya Genta dengan dada berdebar.

Pak Anindya tersenyum sembari merangkul pundak istrinya, "Bagaimana lagi? Kalau memang Raya adalah pilihan kamu, bagi Papa sama sekali bukan masalah. Kalau menurut Mama bagaimana?" tanya Pak Anindya pada istrinya yang sedari tadi diam.

"Yah… setelah bicara panjang lebar dengan Papamu, Mama menerimanya, Genta. Mama pernah bertemu Raya. Anaknya baik dan sopan. Nasibnya mungkin yang kurang baik dan mungkin anak itu pernah salah melangkah, tapi bukan berarti dia sepenuhnya bersalah. Semua orang pernah melakukan kesalahan dan semua orang juga berhak mendapatkan kesempatan kedua. Dan kalau kamu mengatakan jika kehamilannya bukan masalah, Mama juga nggak akan mempermasalahkannya. Mama akan berusaha untuk menerimanya. Lagipula Mama sudah cukup pusing dengan pacar kamu yang model video klip itu."

Senyum Genta menjuntai tak tertahan, "Terimakasih, Tuhan. Terimakasih Mama, Papa. Dan tentang Marsya, Mama tidak perlu khawatir, kami sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi kok."

"Genta, Mama memang tidak ikut campur mengenai istri pilihan kamu, tapi bukan berarti masalah pernikahan Mama nggak ikut campur, ya?"

"Maksud Mama?" tanya Genta bingung.

"Soal resepsi pernikahan dan sebagainya itu urusan Mama dan Mama berhak tau. Kamu tidak bisa untuk tidak mengikutsertakan Mama dalam urusan itu. Mama harus tau soal catering, undangan, gaun pengantin, gedung…"

"Ya Tuhan!! Mama cerewet sekali sih!" omel Genta jengkel.

"Bawa dia menemui kami," sahut Bu Anindya sambil tertawa.

"Maksud Mama apa?" tanya Genta heran.

"Calon menantu, Mama, sayang. Bawa dia kemari," ulang Bu Anindya sambil mengerling pada suaminya.

"Beres, Ma. Aku akan membawanya segera setelah melamarnya. Doakan aku ya, Ma. Doakan agar dia nggak menolak aku, sehingga Mama bisa ikut campur pada semua urusan tetek bengek resepsi itu."

Bu Anindya menggeleng, "Cuma gadis bodoh yang akan menolak lamaran anak Mama."

Genta bangkit berdiri, mencium ibunya kuat-kuat, memberi hormat dengan gaya dibuat-buat pada ayahnya dan keluar kamar sambil bernyanyi dengan riang. Pak Anindya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bagaimana?" tanya laki-laki itu pada istrinya, "Kamu yakin bisa menerima gadis itu dan bayinya, Ma? Biasanya perempuan lebih peka mengenai masalah ini."

"Halo, Opa!" Bu Anindya tersenyum kecil sambil mencium pipi suaminya dengan sayang, "Aku pernah bertemu gadis itu dan aku menyukainya. Genta mencintainya dan tidak ada salahnya melihat anak kita satu-satunya bahagia. Aku tidak ingin melarang anak itu. Dia tau apa yang terbaik untuk hidupnya dan membiarkan dia menjadi seorang kepala keluarga adalah hal paling masuk akal untuk menjauhkannya dari kehidupan hura-huranya. Kalau dia bisa menerima Raya dan bayi itu, kurasa aku juga akan mencoba menerima dan menyayangi mereka berdua. Lagipula rumah ini sangat sepi dan akan menakjubkan rasanya melihatmu berlarian mengejar cucu laki-lakimu. Kelihatannya itu cukup menyenangkan."

"Ya, cucu laki-lakiku," gumam Pak Anindya sambil tersenyum lebar.

Tbc

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 35.9K 28
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
2.2M 32.7K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
423K 26.7K 55
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
6.3M 324K 59
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...