Pangeran Es [End]

By anakumak

95.7K 3.4K 111

[Yoshil Area] = Icil/Idola Cilik Ini tetang kedatangan Ashilla ke kota baru. Mempertemukan dia dengan sepupu... More

Blurb
Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Promo New Story
Part 17
Part 18
Bukan Update
Part 19
Part 21
Part 22
Epilog
Last and Thanks

Part 20

2.1K 83 4
By anakumak

Ini sudah minggu ke tiga dari waktu Rio menolaknya, meskipun tidak menyampaikan perasaan secara langsung. Shilla benar merasa hidupnya kosong, sering melamun di mana pun. Bahkan di kelas saat semua temannya memperhatikan guru mengajar, Shilla melamun. Membuatnya sering di tegur guru dan hanya bisa meminta maaf, menghiraukan pandangan kebingungan teman sekelas yang merasa perubahan sifatnya.

Ini masa paling menyedihkan bagi Shilla. Di mana sahabat menjauhinya, sepupu ia hindari, dan penolakan menyakitkan dari orang yang di sukai. Shilla tidak bisa menerima semua itu bersamaan, ia terlalu sakit, tapi apa daya? Ia hanya bisa diam dan diam.

Menghindar dari siapa pun yang bermasalah dengannya. Jika sedang berjalan sendirian di koridor dan tidak sengaja melihat atau bersisian dengan Rio, Alvin atau Via, Shilla memilih diam dan perlahan menjauh.

Seperti saat ini, Shilla berdiri di depan gerbang sekolah yang sudah sepi. Lima belas menit lalu jam pulang berbunyi dan wajar jika Shilla tidak menemukan siapa-siapa lagi, kecuali anak ekskul.

Shilla berdiri menunggu jemputan yang tidak kunjung datang dan berniat menghubungi supir, tapi lupa mengisi pulsa.

Shilla kembali menghela napas untuk sekian kalinya. Bersandar, menumpu sedikit berat tubuh di pagar sekolah mengurangi penat di kaki yang telah berdiri sejak tadi.

Tiba-tiba mobil Alvin berhenti di sebelahnya. Pemuda itu keluar dan menatap Shilla yang mengalihkan perhatian ke mana pun, asal tidak pada Alvin.

"Shil ...." panggil Alvin. Shilla tidak menoleh. "Kenapa belom pulang? Pak Tejo belum jemput? Pulang bareng gue, yuk," ujar Alvin seperti biasanya.

Menawarkan tumpangan jika Shilla tidak di jemput oleh supirnya. Shilla menoleh dan tersenyum singkat.

"Nggak usah, Vin. Gue nunggu Pak Tejo aja. Lo bisa pulang," tolak Shilla untuk kesekian kali setiap Alvin mengajak pulang bersama.

Memang semenjak hari itu, Alvin masih tetap menawarkan tumpangan untuk Shilla, tapi sejak hari itu juga Shilla selalu menolak setiap bantuan yang diberikan. Alvin mendesah. Ia benar-benar tidak bisa seperti ini. Berjauhan dengan Shilla dan paling parahnya gadis itu terus menghindarinya. Alvin sunguh sakit dengan keadaan seperti ini.

Jika Shilla mengizinkannya berbicara, ia akan berbicara apa pun yang membuat dadanya sesak. Melepaskan semua unek-unek nya tentang gadis itu.

"Beneran?" tanya Alvin yang di balas anggukan kepala Shilla.

"Ya udah. Lo hati-hati, ya," kata Alvin lalu masuk kembali ke mobil.

Ini bukan seperti yang kalian pikirkan. Menurut kalian, mungkin jika Alvin berusaha sedikit lagi, Shilla akan mau pulang bersama dengan Alvin dan mungkin kalian berpikir, kalau Alvin orang yang mudah menyerah, tidak mau berjuang atau pemikiran jelek lainnya. Itu tidak benar.

Jika Alvin terus memaksa Shilla untuk pulang bersama, Shilla akan semakin marah padanya dan kesempatan untuk berbaikan akan kecil. Alvin tidak ingin mengambil resiko untuk itu. Melihat Shilla yang menjauh dan menghindari saja sudah membuatnya sakit. Apalagi dengan kurun waktu yang lama, bisa-bisa Alvin gila. Ia selama ini sudah terbiasa dengan Shilla dan tidak akan pernah bisa tanpa Shilla.

Mobil Alvin melesat meninggalkan Shilla yang acuh tak acuh. Tetap melirik ke kiri dan kanan sisian jalan. Berharap taksi atau ojek lewat di depannya, namun nihil. Tidak ada satu pun.

Sampai menit ke dua puluh lima semenjak Alvin pergi, ia belum mendapatkan transportasi untuk mengantarnya pulang. Supirnya juga tidak memberi kabar seperti biasa. Shilla hanya mendesah seiring motor Rio lewat begitu saja di depannya tanpa menghiraukan keberadaan Shilla.

Shilla menatap nanar motor Rio yang semakin menjauh dan sekali lagi menghela napas dalam. Berharap sesak di dalam dada bisa keluar seiring membuang napas.

¶Yoshil¶

Shilla berjalan menelusuri setiap jalan yang akan membawanya ke rumah. Masuk gang ke luar gang hingga sekarang berada di jalan raya. Semenjak tadi, ia sudah memberhentikan beberapa taksi, tapi tidak satupun yang berhenti. Shilla ingin menaiki angkot, tapi tidak tahu naik angkot apa. Jadi di sini lah sekarang, berjalan sendirian di bawah terik matahari yang 'wah' dengan seragam lusuh. Shilla ingin mengutuk hari ini sebagai hari sialnya.

Shilla menendang-nendang kerikil kecil yang ada di jalanan taman kompleks bukan perumahannya untuk sekadar melepaskan kekesalan. Hingga matanya terbelalak bulat saat melihat seorang gadis kecil tiba-tiba pingsan tidak jauh di depannya. Shilla berlari mendekat seiring wanita yang saat itu berada di belakang anak kecil itu berteriak.

"Mbak ini kenapa?" tanya Shilla saat melihat wanita itu meraih kepala gadis kecil itu dan meletakkannya di paha.

Seketika Shilla kembali terbelalak ketika melihat wajah gadis kecil yang ia kenali.

"AYA!" pekiknya kaget. "Aya kenapa, Mbak?" tanya Shilla di balas gelengan sambil isak tangis-- yang Shilla yakini babysitter Aya.

Shilla mengambil alih Aya dan membawanya ke dalam gendongan lalu berlari ke jalan raya yang di ikuti pengasuh Aya dan setiba di sana, Shilla langsung memberhentikan taksi. Membawa Aya ke rumah sakit adalah pilihan yang benar.

Shilla menangis sambil mengelus lembut wajah Aya yang terpejam. Seperti tersadar ada yang menangisinya, Aya membuka mata sedikit. Melihat Shilla samar dengan senyum yang semakin tertarik. Aya mencoba perlahan mengangkat tangan untuk menyentuh wajah kaka cantiknya.

"Ka ... kak ... cantik," ujar Aya pelan.

Shilla menghentikan tangisnya lalu menatap Aya yang tersenyum dengan tangan yang akhirnya bisa mendarat di pipi Shilla. Shilla memaksakan untuk tersenyum.

"Kuat, Sayang. Kita sebentar lagi sampai." Aya membalasnya dengan anggukan kecil lalu kembali memejamkan mata dan membiarkan tangannya terjatuh begitu saja.

Shilla kembali terisak sambil menguncang-guncang tubuh kecil di pangkuannya sembari menyebut nama Aya.

¶Yoshil¶

Shilla berjalan mondar-mandir semenjak Aya di masukkan ke ruang ICU. Perasaan tidak enak melingkupi hatinya saat melihat dokter tidak keluar dari ruangan itu. Padahal sudah setengah jam berlalu.

"Mbak, duduk dulu, atuh," ujar babysitter Aya.

Shilla hanya tersenyum menanggapinya lalu berjalan mendekat ke pintu ruangan. Shilla menumpu siku kanan ke tangan kiri yang di lipat di perut. Shilla menggigit kukunya sesekali melirik pintu yang masih saja belum terbuka.

Shilla mendongak saat derap langkah orang berlari terdengar jelas di telinga, seketika ia tersentak kaget ketika melihat siapa yang ada di depannya. Rio. Orang itu tengah berbicara dengan pengasuh Aya. Menanyakan apa yang terjadi pada gadis kecil itu dan setelah mendapatkan penjelasan, Rio terduduk lemah di salah satu kursi.

Menunduk dalam dengan tangan yang meremas rambut. Ia terlihat frustasi. Shilla tidak tahu kenapa bisa ada Rio di sini dan apa hubungan Rio dengan Aya?

Perlahan Shilla mendekat setelah memberanikan diri dan menghirup napas panjang. Shilla memegang pundak Rio yang saat itu juga langsung mendongak. Rio sempat melebarkan mata melihat keberadaan Shilla di depannya, namun hanya sedetik, Rio cepat-cepat merubah ekspresinya seperti biasa. Datar. Tidak seperti beberapa menit lalu, di mana Rio terlihat kacau.

Shilla duduk di sebelah Rio. Ia membuang napas dalam-dalam. Berada di dekat Rio membuat detak jantungnya terpompa dua kali lipat dari sebelumnya. Jika seperti ini, ia tidak akan bisa move on. Berarti Shilla percuma untuk menyerah, mengakhiri semua perasaanya untuk Rio.

Shilla tidak ingin egois. Sepertinya, Rio memiliki hubungan kuat dengan Aya sehingga terlihat sangat kacau dan Rio pasti sedang membutuhkan teman untuk di sisinya dan Shilla ingin dia yang menjadi orang itu.

"Aya pasti baik-baik aja," kata Shilla meyakinkan Rio sambil mencengkeram pundak Rio mencoba ikut meyakinkan dirinya.

Rio menoleh, menatap Shilla terang-terangan mencoba mencari keyakinan itu dalam mata Shilla dan menemukannya. Rio mendesah lega. Sedikit lega, karena rasa yakin itu ikut menyelimuti dirinya. Rio yakin Aya akan baik-baik saja. Anak kecil itu sangat kuat. Rio yakin itu. Seketika tersadar, Rio memalingkan wajah dari Shilla dan mendengkus.

"Pergi lo dari sini!" Perintah Rio dengan nada dingin yang kembali membuat Shilla tergores luka.

Tanpa ingin membuat Rio semakin marah, Shilla mengangguk. Menuruti kemauan Rio, jika itu yang membuat Rio tenang. Shilla menjauh melangkah. Rio melirik Shilla yang berjalan memunggunginya, namun saat Shilla menoleh, Rio membuang pandangannya.

Sebenarnya, Shilla tidak tahu apa yang membuat Rio sangat membencinya. Shilla ingin menanyakannya pada Rio, tapi tidak berani sehingga memilih untuk diam sampai saat ini.

Berharap suatu hari nanti, Rio bisa menerima dan memaafkannya. Shilla tidak akan berharap terlalu tinggi, nyatanya akan membuatnya sakit. Ia sekarang hanya berharap bisa menjadi teman Rio seperti yang lainnya. Hanya itu.

Rio terlalu tinggi. Seperti langit dan bumi. Seperti upik abu dengan seorang pangeran kerajaan ,yang memiki banyak ruang pemisah di antaranya. Membuat Shilla sulit untuk menggapainya.

¶Yoshil¶

©2015 - 2021

19 Jul 17

Au

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 185 4
silahkan baca>< kalo ga nyambung? ywdh ga usah baca! Ini hanya fiksi jangan di bawa ke real life.
6.1K 529 17
Mungkin kita pernah sedekat mata kiri dan mata kanan, hanya saja tak pernah saling menatap. -Dheira Ravinza
2.1K 1.1K 38
"Ketergantungan hidupku pada obat-obatan membuat diriku ingin cepat bertemu dengan kematian ~R" "Gue kira penyakit lo udah sembuh?" "Gak akan" "A-apa...
1.9K 1.1K 65
Lagi fokus belajar buat ngadepin Ujian kelulusan SMP eh malah diajakin Ajik buat ngajarin teman-temannya. Gue yang awalnya nolak akhirnya tergoda kar...