Part 17

2.1K 97 4
                                    

Semalaman Shilla tidak tidur sama sekali. Matanya sangat susah untuk di tutup dan air matanya selalu merembes keluar. Menyisakan mata sembab dan bengkak di pagi harinya serta kepala pusing dengan wajah yang pucat pasi.

Siapa pun yang melihatnya pasti mereka tahu kalau Shilla tengah sakit saat ini. Namun, karena sifat keras kepalanya, Shilla berjalan sendirian menelusuri koridor menuju kelas. Pergi sepagi mungkin agar ia tidak bertemu dengan Alvin saat cowok itu menjemputnya.

Ia benar-benar sedang tidak ingin bertemu dengan Alvin saat ini. Karena itu, ia akan berusaha menghindar dari Alvin.

Shilla duduk di kursinya. Menunggu Via yang akan datang sebentar lagi dan benar saja, lima menit kemudian Via dan Ify serta Acha masuk bersamaan. Ify dan Acha pergi ke mejanya sedangkan Via mendekati Gita yang duduk di bagian depan nomot dua di dekat pintu masuk. Menyuruh gadis berkaca mata itu untuk bertukaran duduk dengannya.

Gita melirik ke arah Shilla sebentar yang menatap Via sedih. Ify dan Acha menoleh ke belakang saat mendengar permintaan Via untuk bertukar tempat duduk.

"Shil, lo lagi ada masalah sama Via?" tanya Acha dengan kerutan di keningnya.

Shilla melirik Acha dan Ify sekilas sebelum matanya beralih pada Gita yang kini meletakkan tasnya di atas meja dan menyusul duduk.

"Shil, gue duduk sini ya. Via katanya mau tukeran," ujar Gita yang di angguki Shilla lemah.

"Shil, lo sakit?" tanya Ify khawatir yang di balas gelengan dari Shilla.

"Wajah lo pucat. Mau gue anterin ke UKS?" Acha berucap.

"Nggak usah. Gue baik-baik aja kok," balas Shilla kembali menatap punggung Via sendu.

Ify menggenggam tangan Shilla membuat gadis itu meliriknya.

"Gue emang bukan teman dekat Via, tapi gue yakin, kalau Via nggak akan berani lama-lama marahan. Apalagi itu lo, 'kan kalian sahabat," ujar Ify menenangkan.

Shilla menatap Ify yang tersenyum hangat lamat-lamat. Mencoba mencari keyakinan di dalamnya dan Shilla menemukan itu. Perlahan ia mengangguk, berharap apa yang di ucapkan Ify benar adanya. Shilla menghela napas panjang mengeluarkan sesak yang menyemak di dalam dadanya semenjak kemarin.

¶Yoshil¶

Sudah seminggu lebih Sivia menjauhinya dan seminggu lebih juga Shilla menghindari Alvin dengan berbagai cara. Namun, berbeda kali ini, Shilla gagal menghindar dari Alvin. Cowok itu telah berdiri di depan yang berjarak dua meter darinya. Menatap Shilla tajam dengan rahang mengeras serta buku-buku tangan yang memutih akibat di kepal terlalu kuat.

Dengan gerakan cepat, Alvin menghampiri Shilla dan menarik tangan cewek itu, membawanya ke taman belakang sekolah. Shilla meronta minta di lepaskan, tapi Alvin seakan menulikan telinganya.

Alvin tidak menyadari apa yang ia lakukan menyakiti Shilla. Ia mencengkram tangan Shilla erat sehingga menimbulkan jejak merah tangan cowok itu di sana. Dari kejauhan Rio melihatnya, tangan Rio terkepal serta bunyi gemelutuk giginya terdengar, tanpa ia sadari. Rio tidak suka melihat cara Alvin menarik Shilla dengan kasar. Ia memang sering memperlakukan Shilla tidak baik, tapi ia tidak pernah melukai fisik cewek itu.

"Sakit Alvin!" pekik Shilla menyentakkan tangan saat mereka telah sampai di taman belakang sekolah.

Alvin menghiraukan Shilla yang kesakitan akibat cengkeramannya. Ia menatap Shilla tajam dan lagi menghiraukan Shilla yang menangis.

"Kenapa lo ngehindarin gue seminggu belakangan ini?" tanya Alvin dengan nada dingin serta tatapan mengintimidasi.

Shilla yang mendengar itu menelan saliva susah payah lalu ragu-ragu mendongak menatap Alvin.

"G-gue ...."

"KENAPA ASHILLA?" teriak Alvin.

Shilla tersentak kaget. Ia cukup lama terdiam sebelum ikut tersulut emosi mendengar bentakan Alvin. Menghiraukan rasa sakit di pergelangan tangannya akibat cowok di depannya itu.

"KARENA GUE NGGAK MAU NGEBUAT VIA SEMAKIN SAKIT, ALVIN. KENAPA LO NGGAK PERNAH PEKA KALAU DIA SUKA SAMA LO?! Kenapa lo dekatin gue? Kalau lo nggak gini, Via nggak akan marah sama gue. Via nggak akan jauhin gue. LO BENER-BENER COWOK TERNYEBELIN ALVIN!"

Shilla memuntahkan semua unek-uneknya di depan Alvin lalu merosot jatuh. Membiarkan roknya kotor terkena tanah.

Alvin yang melihat Shilla kacau seperti itu mengusap wajah kasar dan meninju udara kesal. Menghela napas dalam-dalam, berharap bisa meredakan emosinya.

Alvin berjongkok kemudian memeluk Shilla yang menangis dalam pelukannya. Alvin ikut menangis, ia sakit melihat Shilla seperti ini. Alvin tidak bisa melihat Shilla sedih.

"Maafin gue," gumam Alvin mencium lembut puncak kepala Shilla."Maafin gue," ulang Alvin berkali-kali.

"Kenapa Alvin, kenapa lo lakuin semua ini?" tanya Shilla lirih.

Menyerukan pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya setiap kali Alvin mendekatinya lebih seperti seorang sepupu. Alvin melepaskan pelukannya lalu menangkup ke dua pipi Shilla, menatap dalam-dalam mata cewek itu.

"Karena gue cinta sama lo, Shil. Gue sayang sama lo," ungkap Alvin yang membuat Shilla terbelalak kaget.

Bahkan Shilla sempat menahan napas mendengar pengakuan Alvin. Ia tidak percaya kalau apa yang di pikirnya selama ini benar. Jadi, Alvin mencintainya?

Shilla menggelengkan kepala tidak percaya seiring air mata kembali jatuh. Ia beringsut mundur memandang Alvin nanar.

"Gue nggak percaya Alvin. Kenapa bisa? L-lo tahu ... ka ... kalau kita itu ...."

Alvin meletakkan telunjuknya di bibir Shilla, menyuruh gadis itu untuk tidak melanjutkan ucapannya.

"Gue tau. Sangat tau, tapi namanya juga perasaan nggak bisa di atur. Ia datang begitu saja tanpa gue kehendaki, Shil."

"TAPI ITU NGGAK AKAN TERJADI KALAU LO NGGAK NAHANNYA, ALVIN," teriak Shilla yang di balas dekapan oleh Alvin.

Mendekap Shilla dengan hangat. Membiarkan Shilla menangis sambil memukul dada bidangnya. Ia tidak perduli. Ia terlalu sakit melihat Shilla seperti ini. Alvin melepaskan pelukannya dan menatap Shilla.

"Gue udah pernah nyoba, Shil. Gue berusaha untuk nggak ngeindahin perasaan itu, tapi tetap nggak bisa. Semakin ke sini malah semakin besar." Lalu Alvin mengusap wajah kasar dan menjambak rambutnya sendiri. Ia menangis.

Shilla menyeka air mata kasar lalu menatap Alvin yang menunduk di depannya.

"Gue harap." Alvin mendongak menatap Shilla dalam. Bahkan Shilla sempat tersentak melihat Alvin menangis. Apakah Alvin menangis karenanya?

"Gue harap ..." ulang Shilla menarik napas. "Lo hilangin perasaan itu, karena kita tetap nggak akan pernah bersama. Bagaimana pun caranya Alvin."

Setelah mengucapkan itu, Shilla berdiri lalu menepuk roknya yang kotor dan berlalu dari hadapan Alvin yang menatapnya nanar.

Perlahan tangan Alvin terkepal kuat. Ia memukul tanah di depannya, membiarkan tangannya terluka karena ada beberapa batu kerikil kecil yang berserakan.

Alvin berteriak keras. Menjambak rambutnya kesal dan kembali menonjokkan tangan ke tanah dengan tenaga yang lebih besar, sehingga urat-urat tangannya terlihat dan darah yang keluar dari tangannya. Kenapa harus seperti ini?

¶Yoshil¶


Terima kasih.

©2015 - 2021

24 Jan 17

Au

Pangeran Es [End]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora