Part 20

2.1K 83 4
                                    

Ini sudah minggu ke tiga dari waktu Rio menolaknya, meskipun tidak menyampaikan perasaan secara langsung. Shilla benar merasa hidupnya kosong, sering melamun di mana pun. Bahkan di kelas saat semua temannya memperhatikan guru mengajar, Shilla melamun. Membuatnya sering di tegur guru dan hanya bisa meminta maaf, menghiraukan pandangan kebingungan teman sekelas yang merasa perubahan sifatnya.

Ini masa paling menyedihkan bagi Shilla. Di mana sahabat menjauhinya, sepupu ia hindari, dan penolakan menyakitkan dari orang yang di sukai. Shilla tidak bisa menerima semua itu bersamaan, ia terlalu sakit, tapi apa daya? Ia hanya bisa diam dan diam.

Menghindar dari siapa pun yang bermasalah dengannya. Jika sedang berjalan sendirian di koridor dan tidak sengaja melihat atau bersisian dengan Rio, Alvin atau Via, Shilla memilih diam dan perlahan menjauh.

Seperti saat ini, Shilla berdiri di depan gerbang sekolah yang sudah sepi. Lima belas menit lalu jam pulang berbunyi dan wajar jika Shilla tidak menemukan siapa-siapa lagi, kecuali anak ekskul.

Shilla berdiri menunggu jemputan yang tidak kunjung datang dan berniat menghubungi supir, tapi lupa mengisi pulsa.

Shilla kembali menghela napas untuk sekian kalinya. Bersandar, menumpu sedikit berat tubuh di pagar sekolah mengurangi penat di kaki yang telah berdiri sejak tadi.

Tiba-tiba mobil Alvin berhenti di sebelahnya. Pemuda itu keluar dan menatap Shilla yang mengalihkan perhatian ke mana pun, asal tidak pada Alvin.

"Shil ...." panggil Alvin. Shilla tidak menoleh. "Kenapa belom pulang? Pak Tejo belum jemput? Pulang bareng gue, yuk," ujar Alvin seperti biasanya.

Menawarkan tumpangan jika Shilla tidak di jemput oleh supirnya. Shilla menoleh dan tersenyum singkat.

"Nggak usah, Vin. Gue nunggu Pak Tejo aja. Lo bisa pulang," tolak Shilla untuk kesekian kali setiap Alvin mengajak pulang bersama.

Memang semenjak hari itu, Alvin masih tetap menawarkan tumpangan untuk Shilla, tapi sejak hari itu juga Shilla selalu menolak setiap bantuan yang diberikan. Alvin mendesah. Ia benar-benar tidak bisa seperti ini. Berjauhan dengan Shilla dan paling parahnya gadis itu terus menghindarinya. Alvin sunguh sakit dengan keadaan seperti ini.

Jika Shilla mengizinkannya berbicara, ia akan berbicara apa pun yang membuat dadanya sesak. Melepaskan semua unek-unek nya tentang gadis itu.

"Beneran?" tanya Alvin yang di balas anggukan kepala Shilla.

"Ya udah. Lo hati-hati, ya," kata Alvin lalu masuk kembali ke mobil.

Ini bukan seperti yang kalian pikirkan. Menurut kalian, mungkin jika Alvin berusaha sedikit lagi, Shilla akan mau pulang bersama dengan Alvin dan mungkin kalian berpikir, kalau Alvin orang yang mudah menyerah, tidak mau berjuang atau pemikiran jelek lainnya. Itu tidak benar.

Jika Alvin terus memaksa Shilla untuk pulang bersama, Shilla akan semakin marah padanya dan kesempatan untuk berbaikan akan kecil. Alvin tidak ingin mengambil resiko untuk itu. Melihat Shilla yang menjauh dan menghindari saja sudah membuatnya sakit. Apalagi dengan kurun waktu yang lama, bisa-bisa Alvin gila. Ia selama ini sudah terbiasa dengan Shilla dan tidak akan pernah bisa tanpa Shilla.

Mobil Alvin melesat meninggalkan Shilla yang acuh tak acuh. Tetap melirik ke kiri dan kanan sisian jalan. Berharap taksi atau ojek lewat di depannya, namun nihil. Tidak ada satu pun.

Sampai menit ke dua puluh lima semenjak Alvin pergi, ia belum mendapatkan transportasi untuk mengantarnya pulang. Supirnya juga tidak memberi kabar seperti biasa. Shilla hanya mendesah seiring motor Rio lewat begitu saja di depannya tanpa menghiraukan keberadaan Shilla.

Pangeran Es [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang