Part 21

2.2K 88 0
                                    

Rio mendesah menatap malas ke arah mamanya yang menangis sambil memegang tangan Aya yang tertidur dan papa nya yang berdiri di sebelah ibunya hanya bisa merangkul pundak istrinya.

Kata-kata penyesalan keluar dari mulut ke dua orang tuanya membuat Rio benar-benar ingin mengenyahkan keduanya dari ruangan itu.

Rio mendelik. "Stop! Mama nggak usah nangis, percuma. Semuanya sudah telat. Sekarang mama sama papa nyesel? Kemana kalian selama ini? Kenapa baru sekarang mengakui Aya sebagai cucu? Di saat Aya udah benar-benar kritis? Kenapa kalian nggak datang dari awal? Kenapa?!"

Rio mengeluarkan semua uneknya. Berusaha menggunakan nada normal. Tidak ingin menimbulkan keributan di ruangan ini. Ia tidak ingin Aya terganggu.

"Mama minta maaf Rio. Mama minta maaf. Mama salah." Mama Rio menangis sambil menghampiri anaknya.

Rio menatap tajam ibunya. "Keluar sekarang juga! Rio dan Aya nggak butuh kalian! Rio bisa jagain Aya, tanpa harus melibati kalian."

Rio membuang pandang. Tidak ingin melihat mata mama atau papanya yang terbelalak kaget mendengar ucapan anaknya.

"Tapi Ri--"

"KELUAR RIO BILANG KELUAR!!" teriak Rio menunjuk pintu ruang inap Aya.

Tanpa mereka sadari, Aya menggerakkan jarinya dan mata yang bergerak ke kanan dan kiri.

Mamanya terisak sambil menggeleng kepala saat papa Rio merangkulnya dan membujuknya untuk keluar.

"Mama mohon Rio, izinin mama untuk tetap di sini," kata Mama Rio di sela-sela tangisnya saat suaminya membawanya mendekati pintu.

Saat bersamaan Aya mengigau nama kakak cantik berulang kali. Membuat Rio berseru nama 'Aya' dan menghampiri gadis kecil yang masih terpejam dengan alat-alat memenuhi tubuh dan wajahnya.

Waktu itu juga papa Rio yang ingin membuka pintu menoleh dan menghampiri Aya. Di mana Rio sedang memencet tombol merah besar di atas ranjang Aya berulang kali. Berharap dokter segera datang.

¶Yoshil¶

Rio mendesah panjang melihat orang yang di bencinya dan ia hindari belakangan ini berdiri di seberang koridor yang tampak sepi bersama sahabatnya. Alvin memegang tangan Shilla yang sedang menangis.

"Shil, demi apa pun akan gue lakuin, asalkan lo nggak ngehindarin gue. Gue benar-benar nggak bisa berjauhan dengan lo. Gue udah terbiasa dengan kehadiran lo, Shil. Gue mohon, jangan jauhin gue," kata Alvin berputus asa menatap dalam mata Shilla yang berkaca-kaca.

Shilla meneguk ludah susah payah. Bukan hanya Alvin saja yang tidak bisa berjauhan dengan nya. Ia juga. Shilla terlanjur terbiasa bersama Alvin.

"Demi apa pun?" cicit Shilla setelah berusaha mengeluarkan suaranya.

Alvin mengangguk, Shilla menghela napasnya. Ini saatnya meminta Alvin untuk mendekati Via dan ini saatnya Shilla bisa berbaikan dengan Via. Ya, ini saatnya. Hati Shilla meyakinkan.

"Gue mohon sama lo untuk deketin Via. Lo belajar untuk nerima kehadiran dia dan perasaanya. Selama ini Via sudah banyak memendam sakit karena sikap dan ucapan lo, Vin dan sekarang saatnya lo ngebalas semuanya. Lo obati sakit yang lo buat, Vin."

Alvin tampak menggeleng samar, mendekati cewek itu tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Lagian perasaanya tidak akan secepat itu berpaling dari Shilla.

Pangeran Es [End]Where stories live. Discover now