Dedarah 「END」

By andhyrama

440K 54.9K 19.7K

[15+] Aku dikutuk. Aku hanyalah seorang gadis penderita asma yang ingin menjalani hari-hari dengan tenang ber... More

Prolog
Bagian 00
Bagian 01
Bagian 02
Bagian 03
Bagian 04
Bagian 05
Bagian 06
Bagian 07
Bagian 08
Bagian 09
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Epilog
Delapan
Segera Terbit!
Vote Cover!
Pre-Order
Ada di Shopee!

Bagian 12

9.9K 1.5K 598
By andhyrama

Dedarah
Bagian 12

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Lebih sering buka Facebook atau Twitter?

Percayakah kalian malam Jumat Kliwon adalah malam sakral dan mistis?

Sebutkan hantu asal luar negeri yang kalian tahu!

Kalau kalian berada di sebuah terowongan dan di belakang kalian ada tukang begal dan di depan kalian ada pocong, kalian bakal lari ke mana?

Kalau kalian  lagi naik motor dan di belakang kalian ada Mbak Kun yang bonceng, apa yang akan kalian lakukan?

Setujuhkah kalian kalau hantu suster ngesot merendahkan profesi suster?

○●○

"Jadi, dia sedang menyelidikinya?" tanya Naya yang sekarang sedang membuka kulit kacang dan kemudian memakan isinya.

Aku dan Naya sedang ada di ruang tamu, duduk di sofa sembari mengerjakan PR dan makan camilan. Aku tidak membicarakan Sari ataupun masalah penghapus yang ditemukan Hani—dan insiden di perpustakaan. Walau Naya adalah sahabat terdekatku, bukan berarti dia harus tahu segalanya. Aku juga tidak memberitahunya soal teori gilaku bahwa Darma akan mengajakku tidur dengannya, motif-motif yang kuungkapkan pada Darma, atau tentang sosok misterius yang menyerupai Rajo. Tapi, ada satu hal yang ingin kuberitahu padanya.

"Kamu penasaran tidak, kenapa aku tiba-tiba mau minta bantuan ke Darma?" tanyaku ke Naya.

Naya mengangguk, lalu memandangku dengan serius. "Iya. Apa? Kenapa? Ayo ceritakan!"

"Jadi, aku didatangi makhluk halus malam Jumat kemarin. Dia punya rambut yang sangat panjang, melilit tubuhku di atas ranjang, lalu dia berdiri di hadapanku, menggunakan jari-jarinya yang seperti gunting—atau memang gunting. Lalu, mencukur poniku," ungkapku yang kemudian menunjukkan poniku yang tidak rata lagi.

Naya tampak merinding. "Serius. Seram banget!"

"Aku rasa dia itu sosok penyihir," ungkapku. "Maksudku dia penyihir yang sudah mati dan arwahnya masih gentayangan."

Naya tiba-tiba antusias. "Kamu pernah dengar cerita tentang rumah tua di daerah barat kota, tidak?" tanya Naya.

"Rumah tua?" tanyaku bingung.

"Iya. Ada sepupuku yang sekolah di daerah sana. Katanya ada anak yang tinggal di rumah tua yang besar itu. Banyak gosip yang mengatakan kalau penghuninya adalah penyihir. Nama anaknya itu Amanda dan kebetulan sekali, ibunya sudah meninggal. Jangan-jangan, yang kamu temui itu ibunya Amanda," ungkap Naya yang kemudian bergidik takut.

"Amanda dikira penyihir oleh teman-temannya, maksud kamu?" tanyaku.

"Iya. Otomatis ibunya juga, kan?"

Apa benar yang dikatakan Naya. Namun, dia suka sekali termakan gosip-gosip tidak berdasar seperti itu. Lebih baik aku abaikan saja. Aku harus menunggu Darma.

"Eh, Rajo punya Nintendo, ya?" kata Naya.

"Iya. Itu dia lagi main di ruang tengah," jawabku.

"Aku ikut main dengannya ah," kata Naya yang kemudian berdiri dan menuju ke ruang tengah.

"PR-nya bagaimana?" tanyaku kesal.

Bunyi dering telepon terdengar. Aku segera berdiri dan menuju ruang tengah. Rajo dan Naya sedang bermain Nintendo bersama.

"Ayo kamu bisa kalahkan Kakak, tidak?"

"Bisa, aku kan jago!"

Aku tertawa kecil melihat Rajo yang tampak senang bermain dengan Naya. Aku pun menangkat telepon dan mengatakan kalimat awal yang selalu kami ucapkan saat menerima telepon. "Halo, dengan kediaman keluarga Barmastya di sini." Mengucapkan nama belakang ayahku menimbulkan sedikit getaran di dada—rasa nyeri yang membuatku merasa harus berdiri lebih tegap.

"Assalamu 'alaikum. Saya Darma. Apa ada Rema di sana?" tanya sosok di balik sana.

"Siapa, Ma?" Naya berbisik ingin tahu.

Aku hanya tersenyum kecil ke arah Naya dan kemudian membalik, agar tidak melihat temanku yang suka ikut campur itu.

"Wa 'alaikumus-salam. Ini Rema," jawabku. "Kau menelepon juga. Apa yang ingin kamu bicarakan. Apa ada sesuatu yang penting?"

"Rema," dia memanggil namaku—entah bagaimana membuatku sedikit gugup. "Sepertinya saya baru mendapatkan hal yang sangat menarik. Dari polisi yang saya kenal, ternyata pernah ada kasus serupa seperti yang sedang kamu alami di tahun 1986. Jika tidak keberatan, saya ingin bertemu langsung untuk membicarakan ini."

Ada kasus serupa? Aku menggeleng tidak percaya. Ini berarti aku sudah selangkah di jalan untuk bisa mengatasi kutukan ini. "Ka-kapan?" kataku yang masih berdebar karena cukup senang dengan berita dari Darma si detektif ini.

"Saya akan menjemputmu nanti malam, kita bicara di salah satu kafe di pinggir kota," kata dia.

"Kau bawa apa?" tanyaku. Ini sangat rasional, karena kalau dia bawa motor aku harus menolak. Rambutku harus benar-benar terlindungi.

"Saya bawa mobil milik Ayah," jawabnya. "Rambutmu aman," lanjutnya yang benar-benar mengerti apa yang aku pikirkan.

"Baiklah, jam delapan bisa," kataku. Aku tidak mungkin meninggalkan Rajo sendirian di sini, Ibu biasanya sebelum jam delapan malam sudah pulang.

"Siap. Saya ke sana usai salat Isya," jawabnya.

"Aku menunggumu," kataku.

"Kenapa saya jadi deg-degan ya ditunggu sama Rema," kata dia dengan nada bercanda.

"Ada yang ingin aku bicarakan juga, soal isi buku itu," kataku.

"Wah, sepertinya malam kita akan seru," ujarnya, "membahas iblis."

"Itu Darma, ya? Kamu bilang kalau ada kemajuan dia bakal telepon, kan?" kata Naya yang masih saja usil bertanya.

"Sudah, aku tutup dulu ya teleponnya," kataku yang kemudian menutup teleponnya setelah dia mengucapkan salam dan aku menjawabnya.

Aku menoleh ke Naya. "Iya, dia yang meneleponku. Nanti malam kami mau bertemu. Dia akan menjemputku."

Naya berdiri, begitu gembira. "Kalian akan kencan!" Naya melangkah ke arahku, dan menarikku menuju kamar.

"Apa-apaan, sih!" keluhku.

"Ayo aku bantu pilih baju untuk nanti malam!" serunya kegirangan.

Kencan? Apa ada kencan yang membahas kutukan dan buku berisi pemujaan iblis? Naya ada-ada saja.


"Tumben kamu pakai baju itu," kata Ibu saat melihat aku memakai pakaian yang dibelikannya waktu itu. Sebuah pakaian hitam dengan motif bunga-bunga kecil berwarna putih.

Naya sangat cerewet soal bagaimana penampilanku untuk bertemu Darma malam ini. Aku sampai ganti baju lebih dari lima kali untuk memilih mana yang terbaik. Alhasil, aku memakai pakaian ini. Dengan jelana jins ketat, aku juga memakai jaket jins dengan warna senada. Memakai sepatu hitam dengan rambut dikucir kuda.

Tadinya, ide mengucir kuda rambutku mungkin akan membuatku sakit karena aku tahu bahwa rambutku hidup—dalam artian dapat bergerak sendiri—walau hanya di malam itu. Namun, ternyata tidak. Rambutku justru lebih aman jika dikucir kuda seperti ini.

"Kamu mau keluar, ya?" tanya Ibu seraya merapikan piring di meja dapur.

Aku mengangguk.

"Dengan siapa?"

"Teman."

"Dengan Kak Darma, ya?" tanya Rajo yang tentu saja mendengar obrolanku dengan Naya.

"Siapa Darma?"

"Teman sekolah," jawabku.

"Kamu pergi dengan laki-laki? Ke mana?" tanya Ibu yang seperti heran.

Aku memang tidak pernah pergi dengan anak laki-laki sebelumnya. Di malam hari, tempat paling jauh yang aku tuju hanya pasar malam. Lagi pula, aku pergi ke sana dengan Naya kalau ada pasar malam yang diselenggarakan di lapangan. Namun, itu sangat jarang. Tidak lebih dari lima kali dalam setahun.

"Tidak boleh?" tanyaku ke Ibu.

"Bukan begitu," kata dia. "Tidak masalah kalau kamu punya pacar."

"Dia bukan pacarku."

Ibu tersenyum ke arahku, senyumannya seperti ingin mengatakan jika aku tidak perlu malu mengakui kalau Darma itu pacarku. Namun, dia salah sangka. Jika dia tahu aku bertemu Darma untuk membahas kutukan dan pemujaan iblis, aku tak tahu apa yang akan terjadi.

"Sebentar lagi dia sampai," kataku yang melihat jam tangan—aku disuruh Naya untuk memakai jam tangan agar aku selalu ingat waktu.

"Ibu khawatir karena ini malam Jumat," kata dia.

Suara mobil yang mendekat terdengar.

"Itu dia," kataku. "Aku akan baik-baik saja." Aku berdiri dan kemudian melangkah pergi dari dapur.

Setelah mengambil tas tangan yang berisi inhaler, dompet, dan buku merah itu aku menuju beranda. Sebuah mobil sudah terparkir di depan sana. Darma berdiri di samping mobil. Dia memakai jaket kulit hitam dan celana jins. Aku menelan ludahku karena dia terlihat sedikit berbeda. Tampan bukan kata yang tepat, karena dia selalu seperti itu. Aku belum menemukan kata yang cocok—lupakan.

Darma mengangkat tangannya dan tersenyum. Lalu, aku menyadari sesuatu. Kata-kata yang dikatakan Ibu tadi. Malam Jumat. Itu artinya malam saat aku bertemu dengan sosok itu. Apa dia akan kembali? Tidak. Aku bersama Darma. Jika pun dia datang lagi, dia akan datang selepas aku pulang. Sebelum itu, aku akan bersiap-siap.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Apakah kalian mendukung Rema jadi dengan Darma?

3. Selain Hani, siapa karakter yang paling kalian curigai?

Siapa yang pengin lanjut? Comment: Aing macan!

Hadiah permainan di Bagian 28: Memiliki kemampuan tidak bisa menapak di atas tanah.

Continue Reading

You'll Also Like

110K 9.6K 9
Pemenang THE WATTYS 2016 kategori #CeritaUnik Untuk setiap kejujuran yang ada, dan kebohongan yang disusul penyesalan. Cover by: @marchvee -hak cipta...
1.4M 946 2
Dari penulis "Misteri anak-anak Pak Jawi" HANGGAREKSA RESTAURANT, sebuah restoran tua di ujung jalan Kalimaya. Populer di kalangan masyarakat kota g...
6.3K 1.5K 44
dari danilla, untuk adam. pagi, dam! udah sarapan 'kan? jangan lewatin sarapan, ya. sekolah 'kan butuh tenaga. kalau kamu gak masuk, siapa yang bakal...
8.3K 394 43
⚠️ DILARANG KERAS UNTUK PLAGIAT CERITA!!! JANGAN PLAGIAT YA, DOSA TAU!!! ⚠️ SOALNYA IDE ITU MAHAL SAYANG ರ╭╮ರ "Goblok emang, udah gue bilangin bukan...