SOMETIMES [DISCONTINUED]

By badgal97

131K 11.9K 1.8K

Allegra Stewart. Gadis bengis, rakus, aneh, angkuh, dan menyebalkan. Wajahnya juga tidak terlalu cantik. Yaa... More

PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 29
BAGIAN 30
AUTHOR NOTES
BAGIAN 31
BAGIAN 32
BAGIAN 33
BAGIAN 34
BAGIAN 35
BAGIAN 36
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 39
BAGIAN 40
BAGIAN 42

BAGIAN 41

1.6K 194 90
By badgal97

Bagian 41

Allegra Stewart Views

Justin pergi.

Sudah satu minggu. Dia seakan menghilang. Dia tidak ada dimana pun. Dia layaknya sesuatu yang fana. Dia layaknya riak air yang lenyap begitu cepat. Hingga saat ini aku tidak merasakan apapun. Justin menghilang. Justin tertelan. Dia menghapus seluruh akun sosial media, dia menutup segala akses. Jaden pernah bilang jika Justin pergi ke Brazil. Namun aku tahu, semua itu hanya omong kosong. Aku tahu Jaden hanya punya mulut sampah. Aku tahu Jaden tidak berguna.

Aku tahu segalanya.

Aku tahu semua omong kosong yang dimiliki banyak orang. Aku tahu aku tak bisa memercayai seseorang selain ibuku, Elise atau Lucy. Bahkan aku tidak sudi memercayai ayahku sendiri. Semua tidak berguna. Sial. Aku benci merasakan ini. Tapi mengapa? Mengapa saat aku benar-benar tahu jika Justin pergi dan membuka omong kosongnya seperti orang lain, aku tetap berharap seperti orang idiot dan masih memiliki sisa rasa percaya padanya?

Semua ini melelahkan. Setiap saat aku tidak bisa berhenti berpikir. Aku selalu tertekan dalam lamunan panjang tak berujung. Setiap saat aku merasa resah. Semua terlalu membingungkan. Dan terkadang, aku terlalu frustasi untuk menghadapinya. Aku tidak mampu mengendalikan pikiranku sendiri. Hingga pada akhirnya aku sadar. Ketika aku merasakan semua hal bedebah ini, aku tahu jika aku merasa kehilangan.

Dan kesepian.

Menyadari kelemahanku yang mulai terbuka secara perlahan, aku tertegun. Kulingkupi tubuhku sendiri dengan kedua tangan, lantas berbaring di atas rerumputan halaman belakang sekolah dengan pikiran yang begitu penuh. Tidak, aku tidak menangis. Aku menahannya. Dan aku benci jika kembali terjebak dalam lamunan. Seperti saat ini.

"Allegra,"

Mataku praktis terpejam. Seseorang memanggilku. Ini pertama kalinya aku mendengar orang lain memanggil namaku lagi setelah sekian lama aku menjauh dari semua orang di lingkungan sekolah––kecuali guru tentu saja, aku bukan orang yang begitu tolol––. Dan dari suara yang terdengar, aku tahu jika itu suara Cara. Aku bisa merasakan kehadirannya di belakangku, aku bisa melihat bayangannya yang berdiri di bawah matahari. Beberapa detik kemudian, aku mendengar bunyi langkahnya yang menggesek rerumputan, menghampiriku. Aku bisa mendengarnya. Namun Aku diam saja.

"Allegra."

"Hai, apa kabar?"

Kini aku mendengar suara Cara dan Selena secara bergantian. Sial. Mengapa mereka berada di sini? Apa jam istirahat belum berakhir? Mataku praktis terpejam, bibirku tetap terkatup rapat tanpa sedikit pun merespon sapaan formalitas mereka. Hingga keheningan melingkupi diriku sendiri, diiringi desau angin dan bunyi gesekan dedaunan di atas pohon. Aku tidak peduli. Aku tidak bergeming. Terdiam dan berbaring membelakangi mereka tanpa peduli akan apapun yang akan terjadi setelah semua ini. Persetan.

"Allegra?" Sial. Cara belum juga menyerah. "Boleh kita duduk disini?"

Aku terdiam.

"Allegra?"

"Allegra, kau mendengar kami?"

Sial. Mengapa mereka mengangguku dengan cara seperti ini? Apa mereka tidak mengerti jika aku ingin sendirian? Mengapa mereka bodoh? Mengapa mereka tidak bisa mengerti? Aku benci ini.

"Allegra––"

"Duduklah jika kalian ingin duduk. Tempat ini bukan milikku. Tidak usah bertingkah bodoh."

Aku tidak mendengar respon apapun lagi baik dari Selena mau pun Cara. Namun aku bisa merasakan pergerakan mereka di belakang sana, terdengar bunyi gesekan rerumputan diikuti eksistensi mereka yang berjarak semakin dekat denganku. Dan aku tidak bergeming. Aku tetap terdiam dalam posisi yang sama, berbaring membelakangi mereka.

"Aku ingin membicarakan sesuatu."

"Aku tidak peduli."

"Kau akan peduli setelah mendengarnya."

"Aku tidak ingin."

"Tapi kau perlu."

"Aku sama sekali tidak membutuhkannya. Bahkan aku tidak pernah memintanya."

"Allegra, dengarkan aku––"

"Kubilang, aku tidak peduli." aku menggeram, tanpa sedikit pun berbalik untuk melihat eksistensi Cara yang begitu keras kepala. "Aku merasa tidak perlu mendengar apapun darimu. Aku terlalu muak mendengar penjelasan dari orang lain, bisakah kau mengerti? Satu hal yang perlu kau tahu, Cara. Aku merasa cukup kenyang dengan omong kosong."

Hening.

Perkataanku terbalas oleh embusan angin. Hanya sunyi yang menguar hingga aku merasa bahwa semuanya sudah berakhir. Aku tidak peduli dengan reaksi Cara di belakang sana. Yang kulakukan setelah berbicara seperti itu padanya hanyalah tetap diam. Bahkan aku merasa tidak perlu untuk berbalik dan menatapnya. Aku tidak butuh apapun. Aku benci membahas segalanya. Aku butuh diam dan sendiri.

"Allegra,"

"Aku bilang cukup."

"Menyebalkan!" tiba-tiba kudengar Selena bersuara. Dan tanpa diduga, dia menarik bahuku. Semua berlangsung begitu cepat hingga tubuhku dibalik secara paksa. "Kami datang secara baik-baik. Kami berusaha untuk bicara padamu sebaik mungkin. Tapi, demi Tuhan, Allegra. Bisakah kau menghargai kami sedikit saja!?"

Kini aku beranjak dari posisi berbaring, lantas melihat eksistensi Cara dan Selena yang duduk tepat di depanku. Mereka berdua menatapku dengan pandangan yang... sulit diartikan. Aku tidak tahu. Bisa kulihat kedua mata Cara yang tampak berkaca-kaca, sial. Ini pertama kalinya aku melihat Cara tampak begitu menyedihkan. Sementara Selena, dia melihatku dengan tatapan terluka. Gadis itu tampak murka dan aku bersumpah dia lebih menyeramkan dari boneka hantu.

"Aku tidak meminta kalian untuk datang dan berbicara baik-baik padaku."

"Kau!"

"Aku tidak peduli. Apapun, oke? Apapun. Aku tidak peduli apapun."

"Allegra, kami temanmu. Kau berlagak seperti primitif dan itu sangat rendahan. Kau seakan hidup sendiri dan selamanya akan seperti itu! Apakah kau bodoh!? Hah? Kau tidak lihat jika kami datang untuk membantumu!?"

Holy shit. Apa yang ia bicarakan?Mendengar semua omong kosong Selena, aku menggeleng. "Hentikan."

"Aku selalu berusaha mengerti bagaimana sifatmu. Aku tahu kau terluka, kau kecewa oleh banyak hal. Namun sialnya, kau semakin menyebalkan dan semua ini membuatku muak." ceracau Selena dengan napas tersendat. Kedua matanya menyipit, menatapku dengan tatapan asing diikuti telunjuknya yang bergerak menunjuk eksistensiku. "Kau buta dan tidak bisa membedakan letak ketulusan orang lain. Ini sudah terlalu lama, Allegra."

Apa dia bilang? Apa dia baru saja mengataiku bodoh? Begitu? Apa Selena baru saja merendahkanku dengan omong kosong yang tidak berguna? Ketahuilah, dia hanya orang tolol yang tidak tahu apapun. Ketulusan dan hal persetan lainnya hanyalah semu. Jika dia baru saja mengataiku buta karena tidak bisa melihat ketulusan dari orang lain, lantas apa? Tahu apa dia soal ketulusan? Bahkan aku pernah melihat Cara dan Justin yang bercumbu di atas sofa.

Persetan dengan semua itu.

Ingin sekali aku menghampiri Selena lalu menampar wajahnya, atau meninju perutnya hingga dia muntah. Atau mencekik Cara dan menendang bokongnya hingga memerah seperti pantat bayi. Dan setelah itu, aku yakin mereka akan pergi. Namun entah mengapa, aku merasa keberanianku tertahan oleh sesuatu. Dan itu membuatku gila. Aku... sial. Aku merasa jika aku... aku butuh penjelasan lebih dari omong kosong Selena.

"Dan kau harus tahu, Allegra. Aku sama sepertimu. I feel you. Kehilangan seseorang yang kau cintai adalah sesuatu yang menyakitkan. Masalah yang kau alami adalah sesuatu yang sensitif. Aku tahu itu."

Mataku terpejam. Aku tertekan.

Kudengar helaan napas Selena yang begitu lembut, lantas ia kembali bergumam. "Melihat Calum yang berciuman dengan jalang di pesta Hailey saat itu benar-benar membuatku terpuruk. Tapi apa aku menyalahkanmu? Atau Cara? Atau orang lain meski aku menganggap beberapa di antara mereka terlibat? Allegra, semua tidak seburuk yang kau kira. Lihatlah sekitarmu dan kami disini."

Tidak. Aku salah. Apa maksudnya? Sial. Apa ini? Mendengar semua penjelasan itu, tanganku praktis terkepal kuat. Selena seakan bermaksud menyudutkanku. Dia berkata seakan aku menjauh dan gila. Sial. Mengapa dia senaif itu? Aku menjauh karena lelah. Aku muak dengan pertemanan, hubungan dan segala hal bedebah lainnya yang membuatku terlibat dengan banyak hal. Aku menjauh bukan karena menyalahkan. Aku menjauh karena muak. Seharusnya Selena mengerti akan hal itu.

"Aku mohon, berhenti menyalahkan banyak hal."

"Hentikan."

"Allegra."

"Moron, aku tidak peduli jika kau menganggapku gila. Aku tidak menyalahkan siapa pun. Aku hanya ingin sendirian."

"Kau mulai lagi."

"Aku tidak peduli."

"Allegra! Hentikan!"

"Kau yang seharusnya berhenti!"

Selena terdiam.

"Kau hanya bisa menghakimi." aku menggeram. Entah mengapa aku merasa begitu marah sekarang. "Jika kau menganggapku buta untuk melihat ketulusan orang lain, terserah. Karena kau tidak lebih mampu melihat banyak hal. Kau tidak bisa menerka sisi dariku. Bagaimana aku menerima semua ini dan alasanku untuk menjauhi kalian berdua."

Aku menatap Cara dan Selena secara bergantian. Tanganku semakin terkepal dengan kuat.

"Aku muak dengan semua ini. Kalian mengerti?"

Hening.

Dan saat itu, aku segera berdiri lalu berbalik untuk melangkah pergi. Mataku terpejam diikuti pikiranku yang semakin penuh. Aku tidak peduli. Sudah kubilang aku tidak peduli dengan omong kosong. Dan desakan mereka hanya membuatku semakin gila. Semua hanya membuang waktu. Karena sejauh apapun aku membuka diri, semua akan berujung sama. Dan saat ini aku sudah muak untuk menelannya.

"Allegra."

Cara memanggilku, dan langkahku terhenti.

"Sejujurnya kami datang untuk memberitahumu bahwa..." hening selama beberapa detik, hingga sejurus kemudian Cara kembali bersuara diiringi embusan angin. "... Justin keluar dari sekolah."

Dan aku merasa benar-benar rapuh setelah mendengarnya.

***

Author's View

Tayangan infotaiment di televisi pada malam hari sungguh membuat Allegra muak. Namun alih-alih mengganti channel dan menonton tayangan lain, gadis itu hanya terdiam memandangi layar televisi dengan pandangan kosong. Beberapa buku Sains berukuran tebal bertebaran di atas sofa, disertai beberapa bungkus camilan yang teronggok berantakan di atas meja. Siang tadi, Allegra memang sengaja membolos kerja. Ia memilih untuk berdiam di rumah dan mematangkan materi yang dikuasainya untuk persiapan olimpiade Sains yang diadakan beberapa minggu lagi.

Namun, semua itu hanya niat semata.

Allegra tidak menyentuh buku-buku Sains di sekitarnya, sedikit pun. Pikirannya penuh. Mereka seakan bergumul lantas menebarkan tekanan dalam kepalanya. Mendengar kabar mengenai Justin yang keluar dari sekolah membuat Allegra benar-benar merasa goyah. Gadis itu cukup dibuat terkejut. Terlebih ketika ia mengetahuinya dari Cara.

Namun, apa itu benar? Apa Justin memang telah resmi keluar dari Perkins High School yang bisa dibilang adalah sekolah milik keluarganya sendiri? Allegra tidak bisa berhenti bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia merasa bingung, resah dan gusar di saat yang sama. Meski sesungguhnya Allegra muak harus merasakan semua ini, namun rasanya, perasaan yang bercokol di dalam hatinya mengalir begitu saja.

Dan Allegra sadar, ia telah jatuh terlalu dalam.

Allegra membutuhkan seseorang untuk menghadapi semua ini. Jika boleh jujur, ini adalah pertama kalinya ia merasa kehilangan dan resah hanya karena seorang lelaki. Ini pertama kalinya Allegra merasa jatuh cinta, lebih dari ia menyukai Harry, atau Kurt Cobain yang telah lama menjadi idolanya. Dia mencintai Justin. Namun sialnya, keadaan membuat cinta yang Allegra rasakan harus tertahan. Tertahan oleh kekacauan.

Allegra bingung harus menyalahkan siapa.

Gadis itu mengembuskan napas, lantas terdiam di tengah kesunyian yang melingkupi dirinya sendiri. Tayangan televisi yang tengah bersuara seakan senyap oleh pikirannya. Allegra merenung, hingga beberapa detik kemudian gadis itu mengerjap, lantas meraih ponsel yang terletak di sisinya. Ia menekan beberapa digit nomor sebelum akhirnya menelepon seseorang.

"Halo?" bisiknya setelah telepon tersambung.

"Allegra! Astaga, bagaimana kabarmu?"

"Aku merindukanmu, Connor." Allegra tersenyum masam, kedua matanya menerawang dengan pandangan sendu. "Sangat merindukanmu."

Mendengar suara sahabatnya setelah sekian lama tentu membuat Connor senang. Namun, lelaki itu cukup peka akan apa yang telah terjadi. "Hei, kau baik-baik saja?"

"Tentu."

"A, kau tidak cukup keren untuk berakting."

"Aku tidak berakting. Astaga, Connor. Kau pikir apa?" Allegra terkekeh seraya memutar mata. "Aku tidak cukup keren untuk mendapat piala Oscar."

"Kau garing sekali."

"Apa kau bilang? Kau tidak suka leluconku? Well, kau tidak menghargai usahaku untuk melawak."

"Allegra."

"Connor, sungguh. Aku sangat merindukanmu. Bagaimana Atlanta sekarang? Bagaimana kabar ibumu, lalu paman  George dan Bibi Marie?"

Hening sejenak.

"Kau baik-baik saja?" bisik Connor di seberang sana.

"Aku baik. Aku tidak terserang kanker. Aku sehat."

"A, aku serius."

"Dan aku selalu lebih serius darimu, C."

"Apa kau tengah dalam masalah––"

"Bagaimana kedekatanmu dengan gadis itu?" sergah Allegra cepat seraya memejamkan mata. Gadis itu mengembuskan napas, merasa begitu sesak dengan perasaan yang tengah ia rasakan saat ini. Dia menelepon Connor hanya untuk pengalihan semata. Allegra tidak ingin Connor tahu soal... Justin.

Hening kembali terjadi selama beberapa detik. Connor belum menjawab pertanyaan Allegra. Dan dari embusan napas yang terdengar lewat sambungan telepon, Allegra tahu jika lelaki itu... merasa gagal. Dan Allegra merasa... menyesal setelah mendengarnya.

"Namanya Bella." bisik Connor putus asa. "Kau tahu, aku sempat mengajaknya jalan-jalan. Ya... hanya mengunjungi perpustakaan kota karena dia suka membaca. Mulanya, dia terlihat menyukaiku. Aku... oke, mungkin itu hanya perasaanku saja. Tapi entahlah, aku merasakannya."

Allegra mengernyit. "Lalu?"

"Semua itu hanya perasaanku saja. Ya, itu benar. Bella sudah punya pacar dan wajahnya tidak lebih tampan dariku. Cowok itu berkulit hitam dan sungguh aku tidak bermaksud rasis namun dia selalu mengejekku soal freckles dan kulit putih. Dia punya mulut kejam soal rasisme sementara dia memacari Bella yang kulitnya putih sekali!"

"Kurang ajar." Allegra berdecak gemas. Ia mulai marah. "C, sungguh. Jika aku tengah bersamamu, bisa kupastikan cowok itu akan habis di tanganku."

"Aku tahu." Connor terkekeh. "Kau lebih kuat dari Wonder Woman, bahkan Hulk. Tapi kau tidak hijau."

Allegra ikut terkekeh, lantas membalikkan ucapan Connor sebelumnya. "Kau garing sekali."

Mendengar ucapan Allegra, Connor tertawa selama beberapa detik, lantas terdiam diikuti Allegra yang kini termenung. Sambungan telepon mereka masih terhubung, namun keheningan yang terasa seakan begitu nyata. Allegra dan Connor seakan merenung dalam kesendirian untuk sejenak. Hingga tiba-tiba Connor kembali menghela napas, lantas memecah keheningan lewat sambungan telepon yang masih terhubung.

"Cinta itu naif."

Allegra tetap diam.

"Dan sesungguhnya aku lelah menjadi naif."

"Tidak." Allegra tercekat diiringi napas yang terasa sesak. "Cinta lebih buruk dari itu."

"Aku tahu kau juga merasakannya, A."

"Dan aku benci itu. Aku ingin berhenti." desis Allegra seraya merebahkan tubuhnya di atas sofa. Kedua matanya terpejam, ia berusaha menahan tangis. "Bantu aku untuk berhenti menjadi naif, atau apapun itu."

"Kau tidak bisa." Connor mendesah putus asa, ia seakan berbicara pada dirinya sendiri. "Karena cinta bagaikan perekat. Ia hanya akan hilang jika, kau tahu, jika terkubur termakan waktu dan lenyap oleh kuasa Tuhan."

"Kau religius sekali." bibir Allegra bergetar, mati-matian ia berusaha menahan tangisnya. "Aku benci merasakan ini, C."

"Cinta membuatmu belajar."

"Tidak." tangis Allegra pecah. "Aku mohon. Aku ingin berhenti dari semua ini."

Setelah itu, Allegra terus menangis. Ia meluapkan segalanya kepada Connor. Hingga curahan itu harus terinterupsi oleh ketukan pintu. Tanpa ragu, Allegra menghampiri pintu lantas segera membukanya. Dan gadis itu tidak pernah menyangka jika eksistensi Harry Style kini berada di hadapannya. Lelaki itu tersenyum seraya mengulurkan satu tangannya, bermaksud untuk mengajak Allegra pergi.

"Jika kau ingin tahu bagaimana keadaan Justin, ikutlah aku dan kita bicara." Harry berucap lugas.

***

Allegra termenung. Meresapi angin malam yang terasa menusuk sekujur tubuhnya. Kedua mata gadis itu tampak berkaca-kaca dan sembab, bibirnya gemetar. Kini ia tengah teduduk di sebuah kursi taman, ditemani Harry yang kini terdiam di sampingnya. Lekaki berambut ikal itu hanya terdiam memandangi Allegra. Dan Harry bersumpah, bahwa ini pertama kalinya ia melihat Allegra yang begitu rapuh.

Allegra menangis.

"Kau benar-benar merasa kehilangan, ya?"

Allegra mendongak diikuti air matanya yang menetes sekilas, lantas gadis itu menoleh, menatap eksistensi Harry di sampingnya dengan pandangan sendu. Entah mengapa, Allegra merasa dirinya begitu... terluka. Ia merasa ingin meluapkan segalanya sekarang.

Harry menghela napas. "Kau sudah tahu."

"Ya," Allegra memejamkan mata seraya mengembuskan napas.

"Justin keluar dari sekolah. Ayahnya yang memutuskan itu semua demi kepentingan bisnis keluarga." Harry memulai. Kedua mata hijaunya tampak berkilat di balik cahaya remang lampu taman. "Kau tahu, sejak dulu dia selalu tertekan oleh keluarganya sendiri."

Allegra terdiam.

"Dia tidak pernah merasa bebas. Mereka selalu menuntutnya untuk satu tujuan yang tidak diinginkannya."

Allegra menunduk, air mata tidak bisa berhenti mengaliri wajahnya hingga jatuh menetes ke atas tanah.

"Ketahuilah, semua orang selalu merasakan luka. Dan seberat apapun itu, kau tidak bisa menyangkalnya." Harry menghela napas. "Bukan hanya kau yang terluka, Allegra. Justin, aku, dan semua orang pun memiliki luka yang sama."

"Aku lelah merasakan ini."

"Namun Justin tidak." bisik Harry seraya mendongak, suaranya menguar di keheningan malam. "Dia tidak lelah. Dia menikmati perasaannya saat kehilanganmu."

Allegra tersentak. "Darimana kau tahu?"

"Dia menghubungiku."

"Aku mohon." Allegra tercekat. "Apa kau masih punya nomor ponselnya yang aktif?"

"Dia berkeliling ke berbagai negara. Waktunya benar-benar tersita. Dia menghubungiku di waktu yang terbatas dan nomor itu sudah tidak aktif lagi."

Allegra mendesah, lantas terisak pelan. Bulu matanya sudah benar-benar basah oleh air mata. Kini ia sudah tidak peduli dengan segala ketegaran dan kekuatannya selama ini. Allegra sudah kehilangan itu semua. Semua seakan terhisap habis oleh rasa kehilangan. Kehilangan yang entah mengapa begitu menyesakkan.

"Dan tidak ada yang tahu dimana dia sekarang. Namun salah satu temanku di Italia mengirimku ini."

Tiba-tiba Harry beranjak, lelaki itu mendekati Allegra seraya menyalakan ponselnya. Lantas menunjukkan layar ponsel tersebut pada Allegra.


Dan tangis Allegra pecah saat melihatnya.

"Kau bisa melihatnya, bukan? Terakhir kali dia terlihat seperti ini di depan publik." Harry bergumam seraya mengelus punggung Allegra.

"Rambutnya terlihat lebih panjang." Allegra berbisik, terisak.

"Dan lihat matanya." Harry menghela napas, turut memerhatikan visual Justin dari foto yang didapatnya. "Dia sama sepertimu. Dia terlihat lelah."

Allegra memejamkan matanya dengan kuat. Ia tidak bisa. Gadis itu tidak bisa menahan segalanya terlalu jauh. Ia merindukan Justin. Entah mengapa ketidakhadirannya membuat segalanya jadi terasa begitu hampa. Meski Allegra sadar jika Justin telah mengkhianatinya selama ini. Namun... mengetahui diri Justin yang sebenarnya membuat Allegra merasa... terbuang. Mengapa selama ini Allegra tidak bisa menerkanya? Mengapa Allegra tidak bisa berada di samping Justin ketika semuanya menjadi serumit ini?

"Dia baik-baik saja, kan?" Allegra kembali berbisik, iris matanya tetap terpancang pada layar ponsel Harry yang membiaskan cahaya.

"Dia baik-baik saja. Namun dia tersiksa karena... merindukanmu."

"Sungguh?"

Harry menoleh. Memandangi wajah Allegra dari samping yang tampak begitu manis. Rona pipinya, matanya yang sembab disertai hidungnya yang memerah. Dan dia tampak begitu rapuh saat ini. Seperti dedaunan musim gugur yang menguning nan kering. Harry tahu, seluruh perasaan Allegra kini hanya terpusat pada Justin. Tidak ada sedikit pun kesempatan bagi Harry untuk meraihnya kembali. Namun, mulai saat ini, Harry akan selalu menyayanginya tanpa balas. Tanpa pamrih yang tertoteh oleh ketidaktulusan.

Harry tulus melakukan segalanya.

"Harry?"

Harry berdeham lembut.

"Saat Justin menghubungimu, apa yang ia katakan?"

Harry kembali menatap Allegra yang terus memandangi layar ponselnya. Diikuti air mata yang tidak berhenti mengalir. Bulu matanya yang basah menghiasi kedua matanya yang berkaca-kaca. Dan dari pandangan itu, terdapat rindu yang tersemat dengan begitu dalam. Allegra benar-benar membuka segalanya. Ia begitu rapuh.

"Dia bilang," jemari Harry bergerak, menelusuri helai rambut Allegra yang pendek hingga perlahan ia mengelusnya dengan lembut. Menebarkan rasa hangat yang mengalahkan dinginnya malam. "Dia mempercayaiku untuk menjagamu. Dan, he loves you. Entah kapan ia akan kembali, namun kurasa ia pasti kembali."

"Kapan ia akan kembali?"

"Tidak ada yang tahu."

"Apakah akan lama?"

Harry mendesah.

Dan Allegra memejamkan matanya.

"Kau tidak perlu menunggunya."

"Aku..."

"Yang perlu kau lakukan hanyalah..." Harry bergerak saat Allegra mulai terisak keras, lantas segera membawa tubuh mungil gadis itu ke dalam dekapannya. "... jalani apa yang perlu kau jalani. Jangan pernah melawannya."

TO BE CONTINUED!

A/N: Gue nggak tau harus ngomong apa. Yang jelas... maaf. Ini udah sangat sangat lama bgt gue tau. Gue cuma berharap kalian masih pada suka baca cerita ini dan terus baca sampai akhir:') love ya
(oia maaf maaf kalau banyak typo muehehehehehehehe gak diedit lagi soalnya)

B a d g a l

Continue Reading

You'll Also Like

67.3K 5K 24
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB ⚠️ M...
195K 9.6K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
1M 84.8K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
164K 15.6K 38
Tidak pandai buat deskripsi. Intinya ini cerita tentang Sunoo yang punya enam abang yang jahil. Tapi care banget, apalagi kalo si adek udah kenapa-ke...