Tusuk Kundai Pusaka - Liang I...

By JadeLiong

30K 513 16

Lanjutan "Kisah-kisah Bangsa Petualang" Salah satu kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 31
Jilid 32 (TAMAT)

Jilid 30

512 8 1
By JadeLiong

Orang yang kesatu berkata pula: "Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan orang dengan baik? Apakah bukan pura-pura saja? Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil itu. Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang, ia tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi saja mungkin kau sekar mendapat."

Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat. "Mereka menyebut-nyebut 'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita? Ha, apakah bukan ...."

Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak. Yang dua bertanya: "Toako, apa yang kau tertawakan?"

Opsir ketiga itu menyahut: "Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada di mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus!"

"Kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" tanya kedua orang tadi.

"Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti 'patung Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun menjadi seperti 'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada mereka? Turut pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita jadikan isteri cecu (pemimping begal)."

"Bagus, tetapi jadi isteri siapa? Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan kita retak hanya karena siluman kecil itu," kata kedua orang kawannya.

Kata opsir tadi: "Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya. Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek. Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah."

Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan ranting. Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia membacok kedua kawannya tadi. "Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut isteri dengan aku, terpaksa aku bertindak!"

Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba sesosok tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya: "Siapa yang hendak kau ambil isteri itu? Wanita itukah?"

Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita kedengaran berteriak: "Khik-sia, tolonglah aku!"

Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang pohon siong. Mata mereka saling beradu. Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang perjumpaannya dengan Tiau-ing. Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu, membuat Khik-sia terlongong-longong. Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok Khik-sia.

Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya tersentuh dengan logam dingin. Bagi seorang ahli silat, dalam saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar. Begitupun dalam saat yang fatal itu. Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri.

Brat, bajunya terpapas rompal, jaraknya hanya terpisah seujung rambut dari lengannya. Ternyata tenaga hantaman golok si opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia. Memang cepat sekali gerakan golok itu, tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis.

Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi. Ilmu kepandaiannya tinggi juga. Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk menjaga keseimbangan badannya yang condong ke muka. Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi. Bahkan sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan. Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh Khik-sia. Itulah yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to. Indahnya bukan buatan.

Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga. Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu. Bentaknya: "Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini!"

Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia pinjam tenaga untuk memukul. Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala si opsir. Cret, bluk ..... kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang rubuh ke tanah.

Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita. Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan terus rubuh ke tanah. Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu.

"Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka?" tegur Tiau-ing.

"Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu ...." Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya. Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga pakaian Khik-siapun kelumuran juga.

Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya. Tomulun pun memimpin pasukan suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing). Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah pertempuran di malam hari yang dahsyat. Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek) dan kuda tunggangannyapun terkena sebatang pisau. Kuda itu binal dan lari sekuatnya.

Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan mana kawan lagi. Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu. Begitu ia dilarikan kudanya, juga tiada anak buahnya yang mengawalnya. Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu dan tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi. Ketiga opsir itu juga loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu. Mereka hendak bersembunyi di lembah situ, setelah pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya.

Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing. Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan. Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti berunding lagi. Demikian keputusan mereka. Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu silatnya. Tapi ia jahat dan licin. Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua kawannya secara licik. Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia.

Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing. Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah, tak sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya.

"Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku. Tusuklah aku supaya segera mati! Dari sorot matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu? Kalau sudah membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi!"

"Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi!" Khik-sia mendengus dingin.

Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya: "Khik-sia, aku merasa salah kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu. Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau ...."

"Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan kau di sini!" bentak Khik-sia.

Tiau-ing menyeringai: "Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu, menurut putusanmu!"

"Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu, baik jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu," kata Khik-sia.

Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing. Girang karena mendapat pertolongan, mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan. Meskipun menolong, tapi ia merasa dihina juga. Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing. Yang penting ia hendak menolong. Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu dilumuri obat.

Tiau-ing mendapat itga buah luka. Lengan, perut dan punggungnya. Untuk melumurkan obat, Khik-sia harus membuka pakaian nona itu. Sudah tentu ia bersangsi. Tapi pada lain saat tampillah kesatriannya: "Seorang ksatria selalu bertindak dengan terang dan jujur. Karena aku sudah meluluskan menolongnya, mengapa ragu-ragu?"

Sekalipun begitu tak mau ia membuka pakaian, melainkan merobeknya di bagian yang terluka dan melumurinya obat. Karena pakaiannya ada empat lima bagian yang robek, malu juga Tiau-ing.

Obat Khik-sia manjur sekali. Begitu dilumurkan, darahpun berhenti. Khik-sia segera membuka jalan darahnya. Ujarnya: "Kau tidurlah dulu, biar kucari kereta."

Kata Tiau-ing: "Penduduk desa di sekeliling tempat ini sudah pindah semua. Untuk mendapatkan kereta, kecuali merampas ke dalam kubu tentara, sekalipun kepandaianmu tinggi jangan harap bisa mendapatkan di lain tempat. Jika kau tinggalkan aku di sini, bagaimana nanti apabila ada musuh datang?"

Khik-sia anggap pernyataan Tiau-ing itu betul juga. Apa boleh buat, terpaksa ia membawa juga nona itu. Pikirnya: "Aku hendak menyampaikan surat kepada Bo Se-kiat. Jika sekalian mengantar isterinya, berarti sekali tepuk dua lalat. Dengan mengolong isterinya itu, mau tak mau ia tentu berterima kasih kepadaku. Siapa tahu ia suka mendengar nasihatku."

Segera ia memanggul nona itu dan dengan gunakan gi-kang ia lari sepanjang jalan besar. Tak berapa lama, ia berpapasan dengan sebuah pasukan berkuda, yakni gabungan anak buah Tomulun dan pasukan wanita dari Kay Thian-sian.

Sebagai kongcu (puteri) dari raja Wi Yan, sudah tentu setiap orang kenal pada Tiau-ing. Melihat sang puteri dipanggul seorang lelaki, gemparlah sekalian anak tentara. Pertempuran di daerah Tho-ko-poh kali ini, boleh dikatakan Tiau-ing lah yang menjadi biang keladinya. Karena bentrok dengan engkohnya, mereka telah menjadikan daerah kediaman suku Ki itu sebuah medan peperangan. Tentara suku Ki tak senang pada Tiau-ing. Saat itu mereka menertawakan dan mendampratnya: "Ho, apakah itu bukan memperlainya Bo Se-kiat? Baru kemarin ia menikah, sekarang sudah lari ikut lain lelaki."

"Eh, rupanya tidak begitu. Jangan-jangan bocah laki itu yang menyerobotnya," kata seorang lain.

Ada sementara tentara Ki yang kenal pada Khik-sia, berseru: "Ai, apa bocah lai itu bukannya yang tempo hari sudah melarikannya? Rupanya mereka berdua sudah sekongkolan, mana dituduh menyerobot? Lihatlah, siluman perempuan itu memeluknya kencang-kencang. Ai, mesra sekali!"

Ada pula yang menyelutuk: "Tak peduli perempuan itu diserobot atau suka rela melarikan diri dengan lain lekaki, tapi yang nyata Se-kiat telah menerima pembalasan yang setimpal. Se-kiat bermaksud hendak merampas daerah kita, kini isterinya diserobot orang lebih dulu. Ha ha, ini namanya 'siapa menanam tentu memetik hasilnya'."

Anak buah pasukan wanita Kay Thian-sian, hampir semua benci pada Tiau-ing. Mereka sama mendekap mulut tertawa mengejek. Walaupun tak leluasa mendamprat tapi cemooh tertawa mereka itu lebih menyakitkan telinga.

Khik-sia berdada lapang. Ia hanya memikirkan menolong orang, lain tidak. Ia tak menyangka kalau perbuatannya itu dicemoohkan orang. Bermula panas juga ia mendengar cemooh ejekan mereka itu. Tapi pada lain saat, rasa ksatrianya lebih tampil. Ia tak mau meladeni mulut mereka yang iseng itu dan terus cepatkan larinya. Iapun siapkan pedang, menjaga kemungkinan apabila anak tentara hendak mengganggunya.

Benar juga nona 'manis' Thian-sian keprak kudanya ke muka dan tertawa gelak-gelak: "Hai, bocah laki, apa kau dirayu lupa daratan oleh perempuan siluman itu? Tidakkah kau melihat bentuk pakaiannya? Dia kan masih memakai pakaian pengantin! Hm, ternyata di dunia masih terdapat seorang perempuan yang begitu tak tahu malu dan seorang lelaki tolol yang begitu tak kenal selatan!"

Tiau-ing membisiki telinga Khik-sia: "Khik-sia, bunuh perempuan jelek itu dan rampas kudanya!"

Thian-sian tak kenal Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia pernah mendengar In-nio bercerita tentang diri Thian-sian. Begitu melihat wajahnya yang jelek, ia segera mengenalinya sebagai panglima wanita berwajah jelek tapi berhati baik. Tak mau ia menempurnya. Begitu Thian-sian menerjang, Khik-sia segera melesat dari samping kuda si nona. Karena serangannya luput, Thian-sian tak keburu menarik pulang tangannya. Orang dan kudanya menerjang ke muka.

"Tinggalkan perempuan siluma itu dankau nanti bebas! Jika tidak, kita tentu bertempur lagi!" bentak Tomulun seraya putar tombaknya.

Tempo hari Tomulun pernah kalah dengan Khik-sia. Anak raja itu mengagumi kepandaian Khik-sia, itulah maka ia suka melepaskannya. Tapi demi dilihatnya Khik-sia masih bersikap seperti yang sudah-sudah, yakni mati-matian melindungi Tiau-ing, timbullah kecurigaan Tomulun bahwa Khik-sia tentu mempunyai hubungan tak layak dengan Tiau-ing.

Thian-sian putar kudanya dan berseru: "Ging-kang bocah itu hebat sekali, hati-hati, jangan lepaskan dia!"

Tomulun ajukan kudanya dan dengan mainkan tombak ia membentak: "Jika tak menyerahkan orang, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata. Aku bukan bermaksud hendak mencelakai kau, tetapi perempuan siluman itu harus kutangkap!"

Khik-sia tetap tak mau berhenti, bahkan ia putar pedangnya dengan seru. Tring, tring, tring, tanah penuh dengan kutungan golok, tombak dan pedang tetapi tiada satupun dari anak buah Tomulun yang terluka. Khik-sia hanya memapas senjata tak mau melukai orang.

Tomulun mengejar, teriaknya: "Apakah kau betul-betul sayang pada perempuan siluman itu?"

"Budak itu sudah lupa daratan. Rela mati asal mendapat paras cantik. Yang penting, tangkap saja perempuan siluman itu. Tak usah banyak bicara dengan budak itu," seru Thian-sian.

Rupanya Thian-sian tahu kalau Tomulun itu segan bertempur dengan Khiks-ia. Maka iapun lantas mendesaknya. Ia paling benci Tiau-ing. Sudah tentu tak mau lepaskan kesempatan yang baik itu.

Tomulun kertek gigi dan membentak: "Lihat tombak!" 

Ia kaburkan kudanya dan menombak Khik-sia. Tombak yang panjangnya setombak lebih itu, menimbulkan angin keras.

Khik-sia putar diri untuk menghadapi Tomulun supaya Tiau-ing lebih aman. Begitu ujung tombak hampir tiba di dadanya, ia lantas tempelkan pedangnya pelahan-lahan. Tombak Tomulun menurun ke bawah. Tomulun kerahkan tenaganya untuk mengangkat tekanan pedang Khik-sia. Inilah yang ditunggu Khik-sia. Ia biarkan pedangnya dijungkirkan ke atas, lalu dengan meminjam tenaga congkelan itu, ia enjot tubuhnya melambung ke udara dan melayang sampai beberapa tombak jauhnya. Sambil dengan sebelah tangan mendekap tubuh Tiau-ing supaya jangan sampai jatuh, Khik-sia berjumpalitan dengan jurus Kek-cu-hoan-sim (burung merpati membalik tubuh). Dalam posisi kaki di atas kepala di bawah, ia menukik turun seperti burung garuda menyambar. Jatuhnya tepat ke arah seorang tentara berkuda. Ia congkel tentara itu sampai terguling ke tanah, kemudian ia hinggap di atas punggung kuda dan mengepraknya lari.

Baik anak buah Tomulun maupun pasukan wanita Kay Thian-sian sama melongo. Belum pernah mereka menyaksikan kepandaian yang begitu luar biasa. Setelah Khik-sia mencapai setengah li, barulah kawanan tentara itu gelagapan. Mereka berteriak-teriak sembari lepaskan anak panah. Tetapi mana dapat mengenai? Memang ada beberapa batang panah yang hendak menyusup ke punggung Khik-sia tapi semua kena ditangkis jatuh oleh si anak muda.

Tomulun menghela napas: "Ah, perempuan siluman itu benar-benar lihay. Meskipun sudah menjadi isteri Bo Se-kiat, ia masih dapat membuat seorang anak muda gagah menjual jiwa untuknya. Terang tadi anak muda itu tak mau melukai anak buah kita. Baiklah, biarkan dia pergi tak usah dikejar."

Memang karena ditusuk pantatnya, kuda Khik-sia lari pesat. Tapi setelah lari beberapa saat, kuda itupun letih, mulutnya berbuih. Maklum bukan kuda sakti semacam kuda pemberian Cin Siang.

"Tiau-ing, apa kau sudah agak baik? Akan kurampaskan seekor kuda untukmu," kata Khik-sia.

Tiau-ing paksakan membuka mata dan dengan terengah-engah ia minta Khik-sia memeluknya kencang-kencang karena ia tak kuat duduk. Sebenarnya Khik-sia mengharap, setelah darahnya berhenti keluar, semangat Tiau-ing lebih kuat dan dapat naik kuda sendiri. Tetapi karena nona itu bertingkah sedemikian rupa, Khik-sia pun mengira lukanya tentu makin berat. Terpaksa ia dudukkan nona itu di muka. Dengan sebelah tangan memegang kendali dan sebelah tangan memeluk pinggang Tiau-ing, Khik-sia larikan kudanya.

Meskipun hati Khik-sia bersih tak mempunyai pikiran apa-apa namun karena duduk merapat di belakang seorang wanita cantik yang harum baunya, mau takmau berdebar juga hatinya, mukanya merah padam. Tapi ada lain macam bau yang membuat Khik-sia muak. Ialah walaupun darah pada luka Tiau-ing itu sudah tak keluar lagi, tapi dari luka-luka itu masih tetap mengalir air darah. Bau wangi tercampur bau amis, menjadi semacam bebauan aneh yang amat menusuk hidung. Khik-sia muak tapi kasihan juga.

"Ah, hari ini ia cukup menderita. Menolong orang harus sampai selesai. Aku sudah berjanji menolongnya. Sebelum bertemu Se-kiat aku harus menjaganya hati-hati." Diam-diam Khik-sia mendamprat dirinya sendiri yang mempunyai rasa muak. Meskipun dengan naik kuda secara boncengan itu tak sedap dipandang umum, namun daripada menyuruh nona itu naik kuda sendiri dengan resiko mungkin akan jatuh, lebih baik ia memakai cara boncengan saja.

"Jalanlah di sebelah kiri jalanan ini, ai, mengapa kuda ini seperti tak bisa lari?" kata Tiau-ing dengan suara masih tersengal-sengal.

Jalan di bagian tengah akan menjurus ke kota Lu-liong, yakni lini (garis) yang akan ditempuh Sip Hong dalam penyerangannya nanti. Jalanan bagian kiri, menuju ke kota Leng-bu. Merupakan lini yang akan dibuat jalan oleh Li Kong-pik dengan tentaranya nanti. Itulah maka Tiau-ing dapat menentukan bahwa Se-kiat tentu mengambil jalan yang membelok ke kiri itu. Khik-sia buru-buru hendak mengejar jalan, tapi kudanya sudah letih apalagi dinaiki dua orang. Makin lama makin lambat jalannya.

Selama dalam perjalanan itu, Khik-sia berpapasan dengan bermacam anak pasukan. Mereka adalah tentara-tentara yang kalah perang. Ada yang termasuk anak buah Su Tiau-gi. Ada juga anak buah Se-kiat yang kececer di belakang dengan rombongannya. Di samping itu terdapat juga laskar rakyat suku Ki yang berbondong-bondong menuju ke kota Tho-ko-poh karena didengarnya terjadi pertempuran.

Khik-sia tak menghiraukan orang-orang itu. Ia merampas kuda tentara pelarian itu untuk berganti tunggangan. Selama itu ia harus beberapa kali berganti kuda. Tak kurang dari belasan ekor kuda yang ia rampas. Ketika mencapai 70-an li lebih, haripun sudah lohor (lewat tengah hari). Khik-sia gelisah. Ia teringat akan pertempuran Shin Ci-koh dengan Leng Ciu siangjin malam nanti. Ia sudah berjanji pada Shin Ci-koh, akan balik.

"Kalau sampai tak berhasil mengejar Se-kiat, bagaimana ini? Aku tak dapat menelantarkan Tiau-ing begini saja, tetapi aku tentu ingkar janji terhadap Shin lo-cianpwe. Yak-bwe dan cici In tentu gelisah memikirkan diriku," pikirnya.

Teringat pada Yak-bwe, bercekatlah hati Khik-sia. Kalau Yak-bwe tahu perbuatannya saat itu, tentu akan marah-marah. Paling tidak sepuluh hari atau setengah bulan tentu tak mau biara padanya (Khik-sia). Tapi ia tak berani membohongi tunangannya itu. Nantipun ia akan menceritakan terus terang.

Tengah pikiran Khik-sia gelisah, tiba-tiba di sebelah muka tampak segulung debu mengepul. Jauh di padang rumput sana tampak suatu pasukan besar sedang bergerak. Khik-sia girang dan cepat keprak kudanya.

"Apakah di sebelah muka terdapat Bo Se-kiat?" teriaknya. Ia gunakan lwekang suara Coan-im-jip-bi. Di tempat lapangan, suaranya dapat disampaikan 5-6 li jauhnya. Ia tak mau memanggil 'Bo toako' lagi. Pun tak suka menyebut 'Bo bengcu'. Langsung saja ia memanggil nama Bo Se-kiat.

Ia harap Se-kiat akan lekas-lekas keluar. Setelah menyerahkan surat dan meminta balasan, terus ia kembali ke biara rusak. Kalau ia dapat berjumpa dengan Se-kiat sendiri, itu lebih cepat selesainya. Tak usah melalui liku-liku peraturan ketentaraan di mana orang harus mendaftarkan diri dulu bila hendak bertemu pada seorang pembesar.

Ia larikan kudanya terus. Kira-kira satu li jauhnya dari pasukan besar itu, barulah ia melihat Bo Se-kiat diiring beberapa pengawal, berkuda menyongsong datang. Buru-buru Khik-sia turunkan Tiau-ing. Berbareng itu Se-kiatpun sudah tiba dan loncat turun dari kudanya. Demi melihat pakaian Tiau-ing compang-camping dan tubuh berlumuran darah, wajah Se-kiat mengerut gelap.

Khik-sia tercengang. Pikirnya: "Se-kiat tampak kurang senang, ai, apakah, apakah .... kurang ajar, apakah dia curiga padaku?"

Belum lagi ia sempat membuka mulut memberi keterangan, Tiau-ing sudah melengking dan lari kepada Se-kiat.

"Ing-moay, ini, ini, bagaimana?" tanya Se-kiat dengan getar.

Tiau-ing menelengkupi dada Se-kiat dan menangis tersedu-sedu: "Dia, dia, dia menghina aku!"

Karena berkata dengan isak tangis, suara Tiau-ing pun takjelas. Namun Khik-sia dapat mendengarnya dengan terang, seterang melihat burung merpati putih terbang di siang hari. Kejutnya bukan kepalang sehingga ternganga mulutnya.

"Nona Su, aku, kau kata apa?" tergopoh-gopoh ia menegur.

Mata Tiau-ing membalik seperti orang hendak menumpahkan kemarahan, dan sesaat pingsanlah ia dalam pelukan Se-kiat. Ternyata nona itu marah sekali atas sikap yang begitu dingin dari Khik-sia. Ia tak dapat melihat seorang pemuda yang pernah 'diincar' bersikap begitu dingin kepadanya. Ia anggap itu suatu penghinaan. Tadi sewaktu di hutan ditolong Khik-sia, timbullah seketika bekas-bekas cinta lama yang mengeram dalam hatinya kepada anak muda itu. Ia hendak 'menghangatkan' api asmara itu, tetapi disemprot Khik-sia. Khik-sia menganggap ia harus berlaku tegas dan jujur terhadap seorang wanita yang sudah bersuami. Siapa tahu hal itu telah menyinggung perasaan Tiau-ing. Akibatnya, budi dibalas dengan badi. Budi pertolongan Khik-sia, bukan saja tak diterimakasihi bahkan dibalasnya dengn kebencian yang menyala-nyala. Ia memutar balik urusan dan mengadu pada suaminya.

Pingsannya Tiau-ing itu memang bukan pura-pura. Selama dalam perjalanan naik kuda dengan mengandung luka-luka itu, memang napasnya sudah terhimpit. Ditambah pula dengan kemarahan dan kebenciannya terhadap sikap Khik-sia. Dan sakit hati itu dirasakan lebih hebat dari sakit luka di tubuhnya. Maka setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Se-kiat, iapun tak kuat lagi.

Wajah Se-kiat makin gelap. Tiau-ing diserahkan pada salah seorang tentara wanita dan ia lantas mencabut pedang. Bentaknya: "Khik-sia, kau bangsat kecil yang kelewat menghina aku!" - Sang kaki mengisar maju, pedang cepat menusuk Khik-sia.

Cengang Khik-sia masih belum tenang. Begitu pedang melayang tiba, baru ai gelagapan dan menghindar. Bret, leher bajunya tertusuk bolong namun ia dapat menghindar juga.

Khik-sia tak nyana sama sekali bahwa pertolongannya bakal mendapat balasan yang sedemikian keji. Sesaat tak tahulah ia bagaimana harus bertindak. Sebaliknya Se-kiat, sekali turun tangan terus menyerang berturut-turut. Setiap serangannya selalu menggunakan jurus berbahaya.

Bahwa orang yang belajar silat, pokoh utama ialah untuk membela diri. Maka karena didesak begitu rupa, mau tak mau Khik-sia curahkan perhatian untuk menghindar. Konsentrasi pikirannyapun mulai pulih. Tahu ia apa yang dihadapinya itu.

Setelah menghindar, berserulah ia: "Bo Se-kiat, dengarlah. Isterimu itu terluka. Aku bertemu di tengah jalan. Dengan baik-baik kuantarkan kemari!"

Se-kiat kertek gigi dan mendampratnya: "Untung ia belum mati dan masih dapat bicara membuka kebohonganmu!"

Cret, kembali ia sambarkan pedangnya dengan ganas. Sekali tabas hendak mengambil jiwa orang. Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar melilit kaki, demikian Khik-sia bergerak seraya mencabut pedang. Saat itu pedang Se-kiat sudah hampir mencium punggungnya. Dengan sebat Khik-sia menyabat ke belakang dan tepat sekali dapat menangkisnya. Terlambat sedikit saja, walaupun gin-kangnya lihay, tapi tentu akan kena juga.

Marahlah Khik-sia: "Kau hanya mendengar omongan isterimu saja tapi tak mempedulikan keteranganku!"

Se-kiat tertawa mengejek: "Siapa percaya obrolanmu? Apakah isteriku sudi merayumu?"

Dalam tukar bicara itu, Khik-sia sudah menghindari tiga buah serangan. Serunya: "Bo Se-kiat, kau betul-betul gelap pikiran. Jika aku menggoda isterimu, masakan aku berani mencari kau kemari? Karena ia terluka, siapa yang menolong kalau bukan aku?"

Se-kiat terkesiap namun pedangnya tetap menyerang, bentaknya: "Bangsat, jangan ngoceh tak keruan. Jika tak kubasmi nyawamu tentu tak dapat mencuci bersih hinaanmu!"

Se-kiat seorang yang cerdas. Mana ia tak dapat menimbang penjelasan Khik-sia tadi? Tapi justeru makin menimbang, makin besar rasa terhina dan cemburunya! Ia anggap keterangan Khik-sia yang mengatakan bahwa Tiau-ing lah yang merayu, menandakan bahwa isterinya itu masih belum dapat melupakan Khik-sia. Dan karena maksudnya tak tercapai maka Tiau-ing telah berbalik mendakwa Khik-sia. Se-kiat tahu juga hal itu. Namun karena ia tak dapat meninggalkan Tiau-ing, untuk menjaga kehormatanya, ia harus melenyapkan Khik-sia.

Karena Se-kiat tetap menutup telinga dan menyerang ganas, akhirnya marah juga Khik-sia. Serunya: "Thiat toako akan menyerahkan surat padamu. Lihat dulu surat itu, baru kita bicara lagi! Jika kau tak mau insyaf dan tetap akan bersama dengan perempuan siluman itu, terserah padamu kalau mau berkelahi. Akupun sedia melayani!"

Khik-sia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, untuk buang tubuhnya sampai tiga tombak ke belakang. Ia keluarkan surat dan dorongkan tangan kiri dalam pukulan biat-gong-ciang, surat itu melayang kepada Se-kiat. Tetapi tanpa melihatnya, Se-kiat bolang-balingkan pedangnya dalam jurus Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru) dan surat itupun hancur berkeping-keping bertebaran dibawa angin.

"Heh, apa kata Thiat-mo-lek kalau bukan mengulangi lagu lama yang menjemukan itu. Aku tak memerlukannya. Toan Khik-sia, mengingat sekelumit persahabatan kita yang lalu, silahkan kau bunuh diri sendiri. Agar aku tak perlu mencincang tubuhmu!" Se-kiat tertawa dingin.

Saking marahnya mulut Khik-sia sampai berbuih, bentaknya: "Se-kiat, kau tahu malu atau tidak? Yang harus bunuh diri adalah kau sendiri!"

"Apa kau masih akan bertanding lawan aku? Baik, terimalah kematianmu!"

Khik-sia tak dapat mengendalikan diri lagi dan menusuk. Tetapi sekali tangkis, Se-kiat dapat membuat Khik-sia terhuyung-huyung. Hampir saja ia termakan tusukan Se-kiat.

Khik-sia terkejut. Cepat ia tenangkan diri. Tapi secepat itu, Se-kiatpun sudah menusuk dada Khik-sia. Tring, Khik-sia gunakan jurus Heng-hun-toan-hong untuk menangkis dan pedang Se-kiat pun gempil sedikit. Keduanya sama-sama tergetar tubuhnya.

Se-kiat terkejut, pikirnya: "Kepandaiannya maju pesat sekali." 

Dahulu ketika diadakan pertandingan memilih lok-lim-beng-cu di gunung Kim-ke-nia, kedua anak muda itu pernah bertempur. Memang kala itu Khik-sia lebih kalah setingkat. Tetapi dia sedang dalam masa pertumbuhan, maka tenaganyapun lebih cepat bertambah kuat dari Se-kiat. Dalam pertempuran kali ini, tenaga mereka pun sudah berimbang. Bahkan Khik-sia menang set karena memakai pedang pusaka.

Tengah pertempuran berlangsung seru, kawanan thau-bak bawahan Se-kiat yang berjumlah belasana orang dan kawanan baju kuning pun tiba. Para thau-bak itu sudah kenal pada Khik-sia. Mereka kaget dan heran melihat Se-kiat bertempur lawan Khik-sia.

Seorang thau-bak yang sudah agak tua, maju memberi nasihat: "Harap bengcu jangan umbar kemarahan. Kita harus bertindak menurut pertimbangan. Walaupun kita berbeda tujuan dengan Thiat cecu dari Kim-ke-nia, tetapi kita sama-sama satu sumber."

Dan ada juga yang menasihati Khik-sia: "Toan hengte, harap kau minta maaf pada bengcu. Entah kesalahan apa yang kau lakukan terhadap bengcu. Tetapi saling bunuh itu kurang baik. Setelah kau minta maaf, kamipun dapat membantu menyelesaikan urusan."

Rupanya mereka tadi telah melihat Tiau-ing dipayang dua orang tentara wanita. Sedikit banyak mereka dapat menerka apa yang terjadi. Di dunia persilatan, mempermainkan isteri orang merupakan pantangan yang paling besar. Apalagi isteri dari Lok-lim-beng-cu. Tetapi orang-orang itu cukup mengenal Khik-sia sebagai pemuda yang lurus. Walaupun menilik keadaan Tiau-ing tadi, Khik-sia patut dicurigai, tetapi mereka tetap masih sangsi. Sebagian yang tahu akan mentalitet Tiau-ing, tak menyangsikan lagi kejujuran Khik-sia. Dengan pertimbangan bahwa Khik-sia itu seorang pemuda gagah yang lurus hati dan menjadi sute dari seorang tokoh loklim (Thiat-mo-lek) yang sangat diindahi, mereka segera berusaha untuk melerai.

Tetapi mana Khik-sia mau disuruh minta maaf? Ujarnya: "Se-kiat yang salah! Perempuan siluman itu menyembur fitnah, dan dia tak mau menerima keteranganku terus mau membunuh aku saja. Jika disuruh minta maaf, seharusnya Se-kiat yang melakukan lebih dulu."

Khik-sia masih muda umurnya. Sekali marah, ia tak ingat tempat lagi. Tiau-ing dicacinya sebagai 'perempuan siluman'. Suatu hinaan yang hanya sesuai untuk seorang wanita yang cabul. Sudah tentu Se-kiat marah sekali.

"Ini adalah urusanku dengan bangsat itu. Tak usah kamu turut campur. Barisan pengawal dari Hu-song-to tetap tinggal di sini, yang lain boleh pulang. Beritahukan pada sekalian saudara, tak boleh keluar kemah tanpa ijin," Se-kiat mengenyahkan kawanan thau-bak itu. Diam-diam ia sudah merencanakan, pada suatu kesempatan ia tentu harus melenyapkan beberapa thau-bak yang pro Khik-sia itu.

Kawanan thau-bak itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tak sadar kalau menyalahi perasaan Se-kiat dan menimbulkan kebencian bengcu itu. Dan karena melihat Khik-sia tetap membangkang, mereka anggap percuma saja melerai. Maka merekapun segera tinggalkan tempat itu. Kini yang tinggal hanya delapan orang baju kuning (pengawal Se-kiat dari Hu-song-to). Mereka memencar diri di delapan penjuru tetapi tak mau menyerang Khik-sia.

Sekonyong-konyong permainan pedang Se-kiat berubah. Ia berganti dengan ilmu pedang Loan-bi-hong-kiam-hwat (ilmu pedang angin lesus). Ujung pedang selalu mengarah jalan darah berbahaya dari tiga bagian tubuh Khik-sia. Kiranya Se-kiat mencemaskan gin-kang Khik-sia yang tinggi, maka yang terutama ia hendak melukai kaki anak muda itu supaya jangan sampai bisa melarikan diri.

Khik-sia unggul dalam senjatanya. Se-kiat lebih menang sedikit dalam tenaga kepandaian. Jika ko-chiu bertempur, baik tidaknya senjata yang mereka gunakan itu memegang peranan besar. Yang bersenjata pedang pusaka, sudah tentu lebih enak. Tetapi sekali-sekali bukan yang menentukan kemenangan. Ilmu pedang yang dimainkan Se-kiat itu, adalah ilmu pusaka dari Hu-song-to yang tak pernah diajarkan pada orang luar. Sekali dikeluarkan, Se-kiat segera menang angin.

Khik-sia mengandalkan ilmu gin-kangnya untuk berlincahan mengikuti srangan lawan. Dalam beberapa kejap, ia sudah menghindari tiga puluh enam jurus serangan Se-kait. Seklaipun Se-kiat tak mampu menusuknya, namun Khik-sia pun tak mampu keluar dari lingkaran pedang lawan. Melihat Se-kiat tumpahkan permainannya agar Khik-sia jangan sampai lolos, diam-diam marahlah Khik-sia. Ia mengambil putusan untuk mengadu jiwa. Namun keduanya sama-sama mempunyai keistimewaan sendiri. Tanpa terasa, mereka telah bertempur sampai 100-an jurus dengan tetap belum ada yang kalah atau menang.

Khik-sia mendongak dan dapatkan matahari sudah condong ke barat. Ia terkejut, pikirnya: "Menilik naga-naganya, pertempuran ini tentu akan berlangsung sampai seribu jurus. Dengan begitu bukankah akan menelantarkan janji pada Shin lo-cianpwe?"

Pikirnya lebih lanjut: "Se-kiat rupanya hendak mengurung aku, tapi aku justeru hendak pergi dari sini dulu baru nanti kupertimbangkan lagi. Apalagi di sini daerah kekuasaannya. Sekalipun mungkin ia sungkan suruh anak buahnya membantu, tetapi kalau pertempuran berjalan kelewat lama, akulah yang menderita kerugian. Kalau hari ini aku sukar mendapat kemenangn, perlu apa aku melibatkan diri dalam pertempuran."

Tetapi Khik-sia sudah terkurung dalam lingkaran pedang. Mau lolospun tak mudah. Khik-sia tenangkan dirinya. Terhadap ilmu pedang Se-kiat, sedikit banyak ia sudah dapat mengetahui.

Sekonyong-konyong ia rubah permainannya. Pedang diputar melingkar seperti orang main golok. Dengan jurus Lui-tian-kiau-hong ia bacok kepala Se-kiat kemudian membabat dua kali. Sekali gerak dua serangan. Dahsyatnya bukan kepalang. Se-kiat terkejut dan terdesak mundur sampai dua langkah.

Ternyata permainan yang digunakan Khik-sia itu, bukan asli ilmu pelajaran dari perguruannya, melainkan ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek yang dinamakan Hok-mo-kiam (ilmu pedang iblis mengeram). Pada waktu Thiat-mo-lek bertempur dengan Se-kiat dalam perebutan lok-lim-beng-cu tempo hari, Thiat-mo-lek sengaja mengalah. Padahal ilmu pedang ciptaannya itu adalah justeru penunduk dari ilmu pedang Se-kiat. Sebenarnya ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu bukan lebih lihay dari ilmu pedang perguruan Khik-sia. Melainkan karena ilmu pedang Thiat-mo-lek itu mengambil kelihayan (keistimewaan) dari permainan golok dan pedang. Tetapi pun ada syaratnya ialah harus dimainkan oleh orang yang memiliki lwekang tinggi. Jika lwekangnya kalah dengan lawan, tentu sukar untuk mengalahkan lawan.

Dalam pertempuran yang berlangsung lama itu, tiba-tiba Khik-sia teringat akan ilmu pedang yang dimainkan Thiat-mo-lek tempo dulu. Sekalipun ia tahu kalau tenaganya masih kalah dengan Se-kiat, namun ia dapat menutup kekurangan itu dengan pedang pusakanya. Akhirnya ia ambil putusan untuk mencobanya juga.

Pedang pusakan memang bukan faktor yang menentukan kemenangan. Tetapipun membahayakan juga. Se-kiat segera mengenali permainan Khik-sia itu adalah ilmu pedang yang pernah dimainkan Thiat-mo-lek dahulu. Kuatir pedangnya akan terpapas kutung oleh pokiam Khik-sia pula karena teringat bahwa tempo dulu pernah dikalahkan Thiat-mo-lek dengan ilmu permainan itu, tergetarlah hati Se-kiat. Dan karena hatinya jeri, iapun kena didesak mundur sampai dua langkah.

Sebenarnya Khik-sia bisa ilmu itu hanya karena melihat saja, Thiat-mo-lek tidak mengajarkan padanya. Karena itu permainannyapun kurang sempurna. Jika saja Se-kiat tidak kuncup nyalinya, belum tentu Khik-sia dapat menang.

Setelah berhasil mengundurkan Se-kiat, Khik-sia segera enjot tubuhnya lolos dari lingkaran pedang Se-kait. Tetapi sebelum kakinya menginjak bumi, dua orang baju kuning sudah menghadangnya: "Bangsat kecil, hendak lari kemana kau?" - Secepat kilat pedang merekapun sudah lantas menusuk.

Tetapi Khik-sia tangkas sekali. Mendengar sambaran pedang, tumitnya menginjak tanah dan dengan jurus heng-hun-toan-ma atau awan melintang memotong puncak, ia balikkan tangan menghantam. Tapi ia tak bermaksud melukai orang maka yang dipapas hanya pedang mereka saja. Setelah dapat memapas kutung, Khik-sia terus hendak menerobos keluar.

Kedua orang baju kuning itupun tidak lemah. Berbareng pada saat itu, ujung pedang dari salah seorang membentur pedang Khik-sia, sementara baju kuning satunya menyerang maju dalam jurus Hi-si-hun-kim. Ujung pedang menusuk lutut Khik-sia. Jurus ini adalah serangan untuk menolong diri dari bahaya. Khik-sia menyambut mereka dengan tak kurang istimewanya. Untuk pedang yang coba menekan pedangnya, ia babat kutung lagi. Sedang untuk si penyerang yang menusuk lututnya, ia tendang lututnya. Kedua orang baju kuning itu terpaksa mundur dua langkah. Tapi pada saat itu Se-kiatpun sudah selesai tiba.

"Se-kiat, hari ini aku benar-benar menyaksikan kegaranganmu sebagai lok-lim-beng-cu. Masih ada berapa lagi orangmu? Mengapa tak suruh mereka maju semua?" Khik-sia tertawa mengejek.

Se-kiat balas mengejek tertawa: "Bukankah kau mengatakan hendak bertempur mati-matian padaku? Mengapa belum ketahuan kalah menangnya, kau sudah mau lari terbirit-birit? Mereka hanya kutugaskan menahan tetamu saja, sekali-kali takkan mengeroyokmu. Mari, mari, kita bertempur sampai tiga ratus jurus lagi. Asal kau tak lari, mereka pun takkan turun tangan."

Kedua baju kuning itupun tak bergerak lagi. Mereka berdiri bahu membahu dengan saling silangkan pedangnya. Memberi hormat kepada Khik-sia, berkatalah mereka: "Harap Toan siauhiap suka tinggal!"

Marah Khik-sia tak terkira. Ia ingin menggasak Se-kiat. Tetapi demi teringat akan janjinya kepada Shin Ci-koh dan Yak-bwe, In-nio yang menunggu kedatangannya, amarahnyapun reda.

"Ya, ya. Thiat toako berulang kali memperingatkan aku, tidak boleh marah kalau berhadapan dengan musuh. Huh, jangan samapi aku termakan tipu Se-kiat!" pikirnya.

Selagi Se-kiat belum dekat, secepat kilat Khik-sia berputar tubuh dan lari ke jurusan lain, serunya: "Jika mau bertanding sampai ada yang kalah, mari ikut aku ke gunung sana!"

"Apakah di sini tidak sama saja, perlu apa ke lain tempat?" Se-kiat menertawakan. Dan berbareng itu kedengaran dua orang baju kuning sudah menyerang Khik-sia: "Harap tinggal di sini saja!"

Kedelapan Ui-ih-jin (baju kuning) itu menduduki delapan jurusan. Setiap akali Khik-sia hendak menerobos di sela-sela mereka, dengan spontan mereka tentu akan menutup. Khik-sia tak berdaya menerobos keluar walaupun gin-kangnya tinggi.

"Hm, kukuatir kalian tak mampu menahan aku!" Khik-sia mengejek serta menabas. Kedua orang baju kuning acungkan pedangnya. Begitu pedang saling melekat, Khik-sia menggembor keras dan maju dua langkah. Namun kedua orang itu meskipun mundur, pedangnya tetap bertahan mati-matian.

Kiranya Khik-sia telah adu lwekang dengan kedua Ui-ih-jin itu. Jika lwekang Khik-sia tak mampu menindih lawan, sekalipun mempunyai pokiam juga tak berguna karena tak dapat mengutungkan pedang orang.

Kedelapan orang baju kuning itu adalah pengawal dari pemimpin pulau Hu-song-to. Mereka sudah mendapat gemblengan ilmu lwekang dari Bo Jong-long. Meskipun tidak selihay lwekang Bo Se-kiat dan Khik-sia, namun karena dua orang maju berbareng, maka untuk beberapa saat Khik-siapun sukar mengalahkan.

Khik-sia kerahkan lwekang Hian-kang untuk mematahkan pedang kedua lawannya. Tiba-tiba kedua orang itu tertawa mengejek: 'Toan siauhiap lihay sekali! Tetapi dengan menggunakan ilmu lwekang Hu-song-to untuk membunuh kami, entah bagaimana bila kelak siauhiap bertemu muka dengan To-cu kami?"

Memang Khik-sia pernah mendapat bimbingan dari ketua Hu-song-to (Bo Jong-long) tentang ilmu lwekang mereka. Ia tahu juga tentang inti rahasia ilmu itu. Karena terburu-buru hendak meloloskan diri, Khik-siapun lantas gunakan Siau-bu-siang-sin-kang, sebuah tenaga lwekang yang paling mudah untuk memecahkan lwekang lawan. Dan Sian-bu-siang-sin-kang itu justeru merupakan lwekang yang paling istimewa dari kaum Hu-song-to.

Khik-sia terkejut sendiri dan kemerah-merahan mukanya. Lwekang Siau-bu-siang-sin-kang itu ternyata merajai sekali. Kalau menggunakan tenaga penuh, bukan melainkan pedang lawan saja yang akan putus, pun orangnya juga akan menderita luka dalam yang parah.

Khik-sia hanya membenci Se-kiat seorang. Sekalipun begitu ia masih tak sampai hati untuk membunuhnya. Adalah karena Se-kiat mendesaknya begitu rupa, terpaksa Khik-sia mengadu jiwa juga. Kawanan baju kuning itu hanya urusan dari Hu-song-to, mereka hanya mendengar perintah Se-kiat saja. Sudah tentu Khik-sia lebih-lebih takmau melukai mereka. Buru-buru Khik-sia menarik kembali pedangnya. Karena lwekang sudah mencapai tingkat sedemikian rupa, dapat disalurkan-ditarik menurut sekehendak hati. Tidak demikian dengan kedua baju kuning itu. Mereka tak mampu menguasai gerak lwekangnya seperti Khik-sia. Karena lwekang mereka masih tetap menyalur, Khik-sia menderita kerugian. Ia terhuyung-huyung beberapa tindak dan hampir-hampir rubuh.

Sret, Se-kiat datang dengan menusuk: 'Oho, tak nanti kau mampu lolos. Lebih baik bertempur lagi. Apa yang kau bisa, keluarkanlah semua. Sekalipun kau gunakan ilmu dari pamanku (Bo Jong-long), akupun takkan mengejekmu."

"Ilmu dari perguruanku tak nanti lebih rendah dari kaummu!" Khik-sia berseru marah. Sekali putar pedang, ia menyerang sembilan jalan darah di tubuh Se-kiat.

Se-kiat lintangkan pedang untuk melindungi diri. Ia bersikap bertahan tak mau menyerang. Pedang keduanya dalam beberapa kejap saja sudah saling berbentur sembilan kali. Tapi karena cepatnya gerakan mereka, benturan itupun hanya ringan saja dan karenanya pedang Se-kiatpun tak sampai putus.

"Ilmu menusuk jalan darah dari Wan-kong-kiam-hwat benar-benar lihay! Sayang kau berhadapan dengan aku, tak mudah mencapai maksudmu!" kembali Se-kiat tertawa mengejek.

Khik-sia terubur-buru dan marah. Pula tadi ia sudah menderita sedikit ketika adu lwekang dengan kedua baju kuning. Sebenarnya memang lwekang Khik-sia lebih rendah sedikit dari Se-kiat. Ia menyerang dengan kalap dan ini lebih menghamburkan tenaga lwekangnya.

Tiba-tiba Se-kiat membentak: "Kau tak dapat melukai aku, maaf, aku yang akan melukai kau!"

Cret, pedang Se-kiat menyambar dengan dahsyat. Khik-sia yang sudah kehabisan tenaga, tak kuat menangkis. Ia cepat menghindar tapi tak urung ujung bajunya tertusuk berlubang, lengannya tergurat luka sepanjang tiga dim.

Se-kiat hendak melanjutkan keganasannya tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang memaki dengan melengking: "Kurang ajar! Bo Se-kiat, kau berani mengganggu sute-ku!"

Se-kiat terperanjat. Tampak segulung asap putih meluncur cepat sekali. Walaupun belum melihat jelas orangnya, tapi manusia yang dapat berlari secepat angin pada jaman itu, siapa lagi kalau bukan Gong-gong-ji.

Karena baru pertama kali itu datang di Tiong-goan, kedelapan pengawal baju kuning dari pulau Hu-song-to, tak kenal akan kelihayan Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menerobos dari jurusan barat-laut, ialah justeru jurusan yang hendak diterobos Khik-sia tadi. Penjaganya juga kedua baju kuning yang adu lwekang dengan Khik-sia itu. Begitu ada angin menyambar, merekapun cepat menutup jalan. Jurus yang digunakanpun serupa seperti yang mereka lakukan terhadap Khik-sia.

Gong-gong-ji bersuit dan tring, tring, pedang kedua baju kuning itupun kutung menjadi dua. Itu bukan karena lwekang Gong-gong-ji jauh lebih tinggi dari Khik-sia. Tapi soalnya, Gong-gong-ji bergerak lebih cepat. Sebelum pedang kedua baju kuning itu merapat dan lwekangnyapun belum menyalur, sudah didahului oleh Gong-gong-ji.

"Jelas tidak? Ini sekali-kali bukan ilmu kepandaian dari Hu-song-to!" Gong-gong-ji menertawakan. Tetapi kedua jagoan Hu-song-to itu sudah lari terbirit-birit. Tiba-tiba mereka rasakan kepalanya silir sekali. Dikiranya kalau Gong-gong-ji mengejar. Mereka berpaling dan legalah hati mereka karena Gong-gong-ji ternyata tidak mengejar. Saat itu baru mereka berani meraba kepala .... astaga, kepala mereka sudah gundul kelimis! Mereka terkejut dan Gong-gong-ji tertawa terbahak-bahak.

Puas tertawa, Gong-gong-ji melesat ke muka Se-kait dan membentaknya: "Kau berani mengejek ilmu pedang kaumku?" - Wut-wut, wut, pedang berhamburan mengarah ke sembilan jalan darah Se-kiat. Jurusnya serupa dengan yang dimainkan Khik-sia, tetapi perbawanya jauh lebih hebat, seperti petir menyambar-nyambar.

Se-kiat menutup tubuhnya dengan lingkaran pedang. Memang ilmu pedang Hu-song-to mempunyai keistimewaan tersendiri. Pedangnya seolah-olah merupakan segulung sabuk kumala. Sedemikian rapatnya hingga air hujan pun tak dapat menembus. Tring, tring, tring, suara benda tajam berdering-dering dan dalam sekejap itu kedua pedang mereka sudah berbentur sampai sembilan kali. Se-kiat tangannya kesemutan, tapi Gong-gong-ji pun tak mampu menusuk jalan darah lawannya.

Kalau Se-kiat sudah menahan napas sedemikian rupa, ternyata serangan Gong-gong-ji itu hanya merupakan serangan kosong yang demonstratif. Dan gerak permainannyapun masih berlangsung. Membarengi kaki Se-kiat agak miring karena serangan bertubi-tubi tadi, Gong-gong-ji tiba-tiba menampar dengan sebelah tangannya. "Bo Se-kiat, kau berani menghina sute-ku, terimalah sebuah tamparanku!"

Khik-sia geli dalam hati: "Shin Ci-koh paling suka menampar orang. Sekarang toa-suheng juga ketularan." 

Karena Gong-gong-ji sudah turun tangan, iapun lantas menyimpan pedang dan minggir ke samping.

Sebenarnya Se-kiat tak pernah tinggalkan kewaspadaan. Tapi dikarenakan gerakan Gong-gong-ji terlampau cepatnya, iapun tak sempat lagi menghindar. Untung kebetulan saat itu Khik-sia menyisih ke samping. Sekali meleset ia lantas loncat melampaui tempat yang dipakai Khik-sia tadi. Berbareng itu, kedua orang baju kuning tadipun sudah menusuk punggung Gong-gong-ji.

Bret, sekalipun Se-kiat dapat menghindar cepat, namun tak urung bajunya kena terjamah tangan Gong-gong-ji sehingga robek dowak-dowak. Bahkan kulitnyapun kena tercakar, sakitnya bukan kepalang. Untungnya Se-kiat tak usah menerima malu dipersen tamparan.

Hoa-poh-hwe-sim atau menggelincir balikkan tubuh, adalah gerakan Gong-gong-ji ketika ujung pedang kedua orang baju kuning hnaya kurang setengah dim dari punggungnya. Secepat kilat Gong-gong-ji kiblatkan pedangnya ke belakang, kedua pedang jagoan Hu-song-to itu terpental.

Dengan gusar Se-kiat bersuit keras. Kedelapan jagoan Hu-song-to itupun mundur ke tempatnya masing-masing tapi lebih mempersempit lingkarannya. Mereka hendak mengepung Gong-gong-ji rapat-rapat.

Gong-gong-ji melirik dan dapatkan baju Khik-sia terlumur sedikit darah. Menandakan kalau Khik-sia terluka. Gong-gong-ji sudah banyak pengalaman bertempur. Meskipun dalam kemarahan, pikirannya masih terang. Pikirnya: "Toan sute terluka. Di sini tempat kekuasaan Se-kiat, tak leluasa untuk bertempur. Kedelapan jago baju kuning itupun bukan lemah. Jika mereka sampai sempat menyusun barisan, tentu sukar untuk lolos."

Memang kedelapan orang berbaju kuning dari Hu-song-to itu sedang bergerak dalam barisan Pat-tin-tho. Sebuah barisan dalam formasi delapan pintu yang diciptakan oleh Khong Beng, ahli strategi militer yang termasyhur pada jaman Sam Kok. Jika barisan itu sudah selesai disusun, betapa lihay Gong-gong-ji sekalipun, tak urung tentu kedua pihak akan terluka.

Gong-gong-ji memang tak tahu ilmu barisan. Tapi ia kaya pengalaman dan cerdas sekali. Segera ia meneriaki Khik-sia: "Sute, ikutlah aku!" - Ia melesat memburu Se-kiat.

Karena masih belum hilang kejutnya, Se-kiat tak berani menangkis. Buru-buru ia menyusup ke dalam Seng-bun (pintu hidup). Tapi baru ia hendak menggerakkan barisan, Gong-gong-ji sudah menyerbu. Se-kiat berputar masuk ke Gui-bun dan Siang-bun, Si-bun (pintu buka, pintu luka dan pintu mati). Kedua orang baju kuning tadi menyerang dari dua samping, maksudnya supaya Gong-gong-ji masuk ke dalam barisan. Tetapi Gong-gong-ji tak mau diakali. Sekali gerakkan pedang ia tabas kutung senjata penjaga Seng-bun, terus menerjang keluar. Khik-sia pun segera mengikuti suhengnya.

Suheng dan sute itu gunakan gin-kang istimewa. Hanya dalam waktu senyulut dupa saja, mereka sudah jauh tinggalkan pasukan Se-kiat. Setelah berlari kurang lebih sejam, mataharipun sudah terbenam di ufuk barat. Saat itu barulah Gong-gong-ji hentikan larinya. Ia menanyakan luka Khik-sia.

Luka di lengan Khik-sia itu hanya luka luar. Sekalipun banyak mengeluarkan darah tapi tak membahayakan. Setelah melumuri obat, Khik-sia menerangkan kalau lukanya tak berarti.

"Baik, nanti setelah malam gelap, kita menyelundup ke dalam kemah dan mengambil batang kepala Bo Se-kiat," kata Gong-gong-ji.

"Hutan Se-kiat itu besok kita perhitungkan lagi. Sekarang masih ada urusan teramat penting yang memerlukan tenaga suheng," sahut Khik-sia.

Gong-gong-ji kerutkan alis: "Urusan apakah yang lebih penting dari mengambil kepala Bo Se-kiat?"

"Shin lo-cianpwe tengah menunggu kedatanganmu."

"Oh, Shin Ci-koh?" tiba-tiba Gong-gong-ji berseru tawa, "Ya, aku telah bertunangan dengan Ci-koh. Kau boleh memanggilnya susoh. Terus terang saja, adalah karena aku berjanji akan bertemu dengan ia di Tho-ko-poh maka saat ini aku berada di sini. Kau tentu sudah berjumpa padanya kalau tidak masa tahu ia menunggu aku? Ya, kutahu ia menunggu kedatanganku, tapi toh aku sudah berada di sini, lambat atau cepat tentu akan menemuinya juga. Sekarang biarkan ia menunggu sedikit lama, biar kuambilkan dulu batang kepala Bo Se-kiat supaya hatimu lega."

Dalam umur 40-an tahun lebih, Gong-gong-ji baru bertunangan. Khik-sia adalah orang pertama yang mendengar berita girang itu. Pada waktu memberitahukan hal itu, Gong-gong-ji girang tapipun malu dalam hati. Ia tak mau dianggap lebih mementingkan isteri dari sute. Maka ia berkeras hendak membunuh Se-kiat dulu baru nanti menemui tunangannya.

Tergopoh-gopoh Khik-sia berkata: "Suheng, kau belum menjelaskan semua. Shin .... susoh saat ini sedang berada dalam kesulitan. Ia menunggu kedatanganmu bukan untuk bertemu biasa, tetapi untuk menolongnya!"

Gong-gong-ji belalakkan matanya dan berseru: "Ia mendapatkan kesulitan apa? Siapa yang berani mengganggunya? Apakah ia tak dapat mengatasi sendiri?"

"Leng Ciu siangjin! Mereka sudah berjanji akan bertempur malam ini di halaman biara rusak yang terletak di gunung itu," sahut Khik-sia.

"Oho, kiranya siluman tua itu! Sudah 20-an tahun lokoay itu tak pernah turun dari gunungnya. Mengapa Ci-koh bisa bentrok dengan dia?"

oooooOOOOOooooo

Selama berkecimpung di dunia persilatan, Shin Ci-koh sudah banyak membunuh orang. Tentang terlibatnya permusuhan dengan anak murid Leng-ciu-pay, ia tak pernah menceritakan kepada Gong-gong-ji. Ini disebabkan karena ia berhati tinggi berwatak sombong. Ia akan menghadapi sendiri musuh-musuhnya itu. Tak mau ia mengandalkan pengaruh Gong-gong-ji. Ini dapat ditertawakan orang.

"Aku sendiri juga tak jelas. Mungkin karena gara-gara Ceng-bing-cu. In-nio melihat Ceng-bing-cu memimpin anak buahnya (sute-sutenya) muncul di Tho-ko-poh dan mengepung Shin lo ... susoh," kata Khik-sia.

Gong-gong-ji yang cukup kenal akan pribadi Ceng-bing-cu, marah seketika: "Ya, kutahu. Ceng-bing-cu itu mempunyai biji mata tapi tak dapat melihat gunung Thay-san. Ia berani kurang ajar terhadap susohmu!"

Mendongak ke langit, Khik-sia dapatkan rembulan sudah mulai muncul. "Celaka, kukuatir saat ini mereka sudah mulai bertempur!" serunya kaget. Gong-gong-ji segera ajak sutenya segera berangkat. Sembari berjalan, Gong-gong-ji menanyakan kejadian di Tho-ko-poh, tentang Se-kiat yang tinggalkan Tho-ko-poh dan berkelahi dengan Khik-sia.

"Sute, jangan gelisah. Benar Shin Ci-koh tak dapat menangkan Leng Ciu lokoay, tapi paling tidak ia tentu dapat melayani sampai 300-an jurus!"

Walaupun berlari sambil beromong-omong, tapi karena gin-kang kedua saudara seperguruan itu sudah tinggi, sedikitpun tak mengurangkan kecepatan lari mereka. Waktu mendengar penuturan Khik-sia bahwa Ceng-ceng-ji pernah membantu Ceng-bing-cu, marahlah Gong-gong-ji: "Kali ini aku tak mau memberi ampun lagi, tentu kubeset urat nadinya dan kukuliti kulitnya!"

Dan waktu Khik-sia menceritakan tentang Leng Ciu siangjin memberi pil kepada Shin Ci-koh, Gong-gong-ji menghela napas dan mengeluh: "Celaka! Celaka!"

Khik-sia terkesiap dan menanyakan apa sebabnya. Sahut Gong-gong-ji: "Bagaimana keras kepala Ci-koh itu, aku sudah cukup paham. Sekalipun tak menerima pil dari Leng Ciu lokoay, ia pun tentu tak mau menerima bantuanku. Lebih-lebih setelah menerima obat itu. Menurut peraturan kaum persilatan, aku tak berhak untuk membantu lagi."

"Peduli apa dengan peraturan persilatan begitu!" bantah Khik-sia. Gong-gong-ji berdiam diri. Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan: "Ya, kita bicarakan lagi kalau sudah tiba di sana."

Memang menilik kedudukan Gong-gong-ji dalam dunia persilatan, dia tentu tak mau dicemoohkan orang. Khik-sia boleh melanggar peraturan persilatan, tetapi tidak Gong-gong-ji.

Tiba di kaki gunung, rembulan sudah banyak hampir di tengah.

"Apakah pertempuran mereka sudah dimulai?" tanya Gong-gong-ji.

Khik-sia mengatakan bahwa menurut apa yang dikatakan Leng Ciu siangjin, dia akan datang pada jam 10 malam. Gong-gong-ji menghela napas longgar. "Ah, kalau begitu, pertempuran baru berjalan satu jam. Ci-koh tentu belum sampai kalah."

Gong-gong-ji sudah mengambil keputusan. Apabila tiba saatnya, ia tentu berusaha menolong. Ya, meskipun ia tak mau turut mengeroyok, tapi ia percaya tentu dapat menyelamatkan tunangannya.

Baru mereka bercakap begitu, tiba-tiba di puncak gunung terdengar orang tertawa keras dan berseru: "Bagus, orang yang mengantar jiwa sudah datang!"

Seketika terdengar suara gemuruh dari batu-batu gunung yang bergelundungan ke bawah. Tampak berpuluh-puluh orang berseliweran sibuk menggelundungkan batu dan menimpukkan batu-batu kecil. Mereka ternyata barisan pendam yang akan memegat Gong-gong-ji.

"Bagus, apakah dengan cara licik itu mereka mampu menghalangi aku?" Gong-gong-ji marah sekali. Dengan gunakan gin-kang yang istimewa, ia lari mendaki. Memang tiada sebuah batupun yang dapat mengenai tubuhnya tapi karena harus berlincahan menghindar kian kemari, temponya pun jadi panjang. Khik-sia karena mendapat luka tusukan, gerakannya loncat agak terpengaruh. Beberapa kali hampir saja terkena batu, untung lwekangnya masih penuh. Batu yang tak mungkin dielakkan, dihantamnya saja dengan tinju.

Mendaki sampai setengah gunung, Gong-gong-ji menjemput beberapa batu dan berteriak: "Datang tidak diberi sambutan, itu kurang sopan. Kalian juga harus menerima sambutanku ini!"

Di tangannya, batu-batu itu berubah menjadi suatu senjata rahasia yang hebat. Dari atas puncak segera terdengar suara jeritan mengaduh dari beberapa orang yang kena timpukan. Dan yang tak kena, pun segera lari menyingkir. Bayang-bayang orang yang berkumpul di puncak tadi, pun bubar,

Karena tiada rintangan lagi, Gong-gong-ji dan Khik-sia dapat lebih cepat larinya. Dalam beberapa kejap, ketawa Gong-gong-ji sudah terdengar di atas puncak. Diantara kawanan penyerang yang serabutan melarikan diri itu, tiba-tiba Khik-sia menunjuk pada seorang yang agak bongkok punggungnya: "Bangsat itu adalah Ceng-bing-cu!"

Kiranya kawanan orang yang menggelundung batu-batu itu adalah anak murid Leng-ciu-pay yang dipimpin Ceng-bing-cu. Waktu Leng Ciu siangjin bertempur dengan Shin Ci-koh, anak murid Leng-ciu-pay tahu kalau tak boleh membantu. Ceng-bing-cu cerdik tapi licik orangnya. Meskipun tak berani masuk ke dalam biara, tetap ia mengatur penjagaan kuat di sekitar tempat situ.

Dari seorang anak buahnya, Ceng-bing-cu mendapat keterangan tentang kepergian Khik-sia pada pagi itu. Ia segera mengadakan analisa. Hanya ada dua kemungkinan: Pertama, Khik-sia jeri terhadap Leng Ciu siangjin maka tak mau turut campur dalam urusan itu. Tetapi dari keterangan Ceng-ceng-ji, Ceng-bing-cu tahu bahwa Khik-sia itu tunangan Yak-bwe. Kalau si nona tetap tinggal di biara, Khik-sia tentu bukan melarikan diri. Dan dari mulut Ceng-ceng-ji didapat keterangan bahwa Khik-sia itu tak jeri terhadap suhu mereka (Leng Ciu siangjin).

Jika begitu, tinggal kemungkinan yang kedua. Ialah, Khik-sia turun gunung karena hendak mencari bala bantuan. Dengan kesimpulan itu, Ceng-bing-cu segera siapkan sute-sutenya untuk menunggu. Begitu Khik-sia masuk ke mulut lembah, apakah ia membawa tenaga bantuan atau tidak, tetap harus dibunuh mati.

Rencana itu sebenarnya berasal dari Ceng-ceng-ji. Dan bermula Ceng-ceng-jiupun hendak membantu usaha Ceng-bing-cu menghancurkan Khik-sia. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia merubah niatannya dan tak ikut serta. Dan karena sudah banyak jumlahnya, Ceng-bing-cupun tak mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak. Dia tetap langsungkan rencana itu. Rencana jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin.

Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat membinasakan Khik-sia. Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay gin-kangnya seperti Gong-gong-ji. Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan pendam dari Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri.

Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat. Dengan beberapa loncatan saja ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu. Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu siangjin. Kepandaiannya juga tinggi. Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap. Sret, ia menabas ke belakang.

Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan Gong-gong-ji. Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang. Cukup dengan tangan kosong yang menggunakan gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah dapat merebut pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya.

"Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku," semangat Ceng-bing-cu serasa terbang dan dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam.

Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya: "Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah partai persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau? Aku paling benci kepada manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku bahkan akan membunuhmu!" - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera berkuik-kuik seperti babi hendak disembelih.

Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa: "Melihat kau begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut kata-kataku.

Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan. "Baik, kalau begitu ayo ikut aku," kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang menjinjing ayam saja.

Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit. Karena ada rintangan barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah malam. Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan Shin Ci-koh yang sudah bertempur selama dua jam. Iapun segera tambah gas lari sepesat angin.

Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal. Tetapi semuanya gagal. Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada buahnya sama sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat. Meskipun ada juga lain hasil ialah bertemu dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar. Kerugian itu berupa hinaan moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing. Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah melanggar pesan Yak-bwe.

"Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima penjelasanku atau tidak?" ia mengeluh dalam hati.

Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa yang dikiranya. Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah mengharap-harap kedatangan Khik-sia.

Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin Ci-koh sudah pulih seperti sediakala. In-nio dan Yak-bwe lega hatinya. Tetapi ketika malam tiba dan Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali. Bahkan kecemasan In-nio lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga.

Rembulan muncul dan perlahan-lahan mulai naik tinggi. Meskipun dirinya juga seorang iblis wanita yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga hatinya saat itu. Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu. Ini bukan main-main.

Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang tua: "Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini."

"Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat tadi," Shin Ci-koh berseru angkuh.

Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong Leng-ciu-pay itu tertawa: "Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku, tentu kau tak dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau mati tiada penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi."

"Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu?" tanya Shin Ci-koh.
Leng Ciu siangjin kesima, serunya: "Cara apa yang hendak kau lakukan itu? Silahkan bilang!"

Continue Reading

You'll Also Like

128K 2.5K 89
Lanjutan Pendekar Baja Sim Long. Puncak karir Khu Lung yang melegenda. Setara dengan novel - novel peraih Nobel. Li Sun Huan merupakan salah satu kar...
166K 3.7K 121
Di dalam cerita THPH, ada tiga orang jago pedang yang mewarisi ilmu dari Chang Man-tian - salah satu tokoh dalam Pedang Sakti Langit Hijau, karya per...
49.2K 770 13
Diam-diam Lie Bun tersenyum. Ah, julukan ini tidak lebih buruk dari pada Si Topeng Setan, yakni julukan yang dulu kakaknya memberinya. Kemudian ia pe...
789K 29.2K 33
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...