Tusuk Kundai Pusaka - Liang I...

By JadeLiong

30.2K 513 16

Lanjutan "Kisah-kisah Bangsa Petualang" Salah satu kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32 (TAMAT)

Jilid 28

365 4 0
By JadeLiong

Menghadapi sinar mata si nona yang begitu berwibawa gentarlah hati Se-kiat. Tetapi demi mendengar ucapan In-nio, ia berbalik girang sekali dan buru-buru menyatakan dirinya bukan manusia yang lupa budi lupa kecintaan.

Tiau-ing mendengarkan dengan tertawa dingin.

Dengan tenang, berkatalah In-nio sepatah demi sepatah: "Jangan kalian keliru menafsirkan. Apa yang kukatakan Kecintaan itu adalah kecintaan sahabat. Dan yang kusebut Budi itu ialah Budi Kebajikan yang sejati! Se-kiat, memang benar, aku dan kau pernah mengikat persahabatan. Adalah karena itu maka aku tak mau membiarkan seorang sahabat menjurus ke jalan yang sesat! Se-kiat, kau yang selalu membanggakan dirimu berhati perwira, mengapa sekarang gelap pikiran tak mau mendengar nasihat sahabat-sahabatmu?"

"Dalam hal apa aku mata gelap? Hanya yang menjalankan Kebenaran yang dapat hidup di dunia. Ketika Li Yan dan puteranya mulai bergerak di Thay-gwan, apakah juga tidak sebagai menteri kerajaan yang merebut kekuasaan junjungannya? Apalagi aku bukan menteri kerajaan Tong, mengapa lebih tidak boleh?" bantah Se-kiat.

"Jika kau bertujuan menolong penderitaan rakyat, itu baru benar-benar jantan perwira. Tapi bagaimana dengan tindakanmu sekarang? Kau bersekutu dengan anak keturunan haram dari An dan Su. Kau sepaham dan sehina martabatnya. Kau hendak meminjam tentara asing untuk menyerang negaramu sendiri. Taruh kata kau berhasil, pun tentu akan dinista orang. Apalagi rakyat masih mendendam kebencian terhadap pemberontak An dan Su. Bagaimana kau dapat mengambil hati rakyat?"

Dimakin oleh In-nio, Tiau-ing spontan balas mendamprat: 'Bagus, akupun mendapat hinaanmu. Kalau diriku ini dikata keturunan haram dari kawanan pemberontak An dan Su, apakah ayahmu itu? Bukankah pada masa itu ia juga berhamba pada An Lok-san?"

"Tetapi siang-siang ayahku sudah insyaf dan kembali ke jalan yang benar," sahut In-nio.

"Oho, raja keturunan she Li itu, juga bukan raja yang genah!" Tiau-ing mengejek.

"Tetapi tetap jauh lebih baik dari pemberontak An Lok-san yang buas kejam itu," jawab In-nio.

"Asal aku tidak bertindak kejam sewenang-wenang, toh tak apa," Se-kiat menyeletuk.

"Tetapi langkahmu pertama sudah salah. Mana rakyat mau percaya padamu?" bantah In-nio.

"Habis kalau menurut anggapanmu, bagaimana?" tanya Se-kiat.

"Bawalah anak buahmu itu untuk segera tinggalkan tempat ini. Hendak mengadakan revolusi tidak boleh mengandalkan orang luar!" In-nio menyatakan dengan tegas.

Se-kiat tergelak-gelak, serunya: "Ini omongan anak kecil. Kalau menurut cara itu, entah berapa banyak rintangan yang akan kujumpai nanti."

"Ya, memang kutahu kau hendak mengambil jalan singkat. Tetapi kau lupa bahwa makin mengambil jalan singkat, rintangannya makin banyak."

Su Tiau-ing tertawa mengejeknya: "Maksudmu tak lain tak bukan hanya akan memisahkan aku dan Se-kiat saja. Baiklah, Se-kiat, rupanya ia lebih pintar, angkatlah dia menjadi kun-su (penasihat militer)!"

In-nio tahan kemarahannya dan berkata lagi: "Aku hanya menunaikan kewajibanku sebagai seorang sahabat. Kata telah kuucapkan, menerima atau tidak terserah padamu. Karena kalian menyangka aku begitu, maka tak perlu aku bicara lebih lanjut."

"Tetapi teorimu itu juga bukan baru. Tempo hari Thiat-mo-lek juga sudah mengatakan begitu," kata Se-kiat.

"Aku selalu mengagumi pandangan Thiat toako. Jadi ia juga pernah mengatakan begitu? Kalau begitu, kau anggap Thiat toako itu juga seorang anak kecil?" tukas In-nio.

"Berlainan arah tujuan, tentu tak dapat seperjalanan. Aku sudah putus dengan Thiat-mo-lek. Seorang ksatria, apabila sudah putus hubungan, tak mau memfitnah. Aku tak mau membicarakan pendapat Thiat-mo-lek itu."

In-nio tertawa kecewa, hatinya berduka sekali. Dan berkatalah ia dengan tawar: "Karena berlainan arah tujuan tentu tak dapat seperjalanan, maka persahabatan kita berdua inipun putus sampai di sini. Ah, aku masih kesalahan mengomong lagi. Aku sekarang menjadi tawananmu, mau dibunuh mau digantung, aku harus menurut. 'Putus hubungan' perkataan itu, tak perlu kukatakan lagi."

Wajah Se-kiat sebentar gelap sebentar merah. Berpaling kepada Tiau-ing, berserulah ia: "Tiau-ing kau berikan ia ...."

Belum kata yang terakhir 'obat penawar' diserukan, Tiau-ing sudah menukasnya: "Lupakah kau bahwa ia puterinya Sip Hong? Lepaskan ia pulang, karena ia sudah tahu keadaan kita, tentu akan membantu ayahnya menghantam kota ini. Kalau pada waktu itu kau dan aku menjadi tawanan Sip Hong, belum tentu mereka ayah dan puteri itu mau melepaskan."

Se-kiat terbeliak kaget, pikirnya: "Ya, perkataan Tiau-ing itu memang benar. Mana aku berani memastikan In-nio tak membantu ayahnya?"

Tetapi untuk mencelakai In-nio, ia tetap tak sampai hati. Selagi ia masih bersangsi belum dapat mengambil keputusan, tiba-tiba seorang serdadu masuk dan melaporkan bahwa ada seorang utusan dari Im-ma-jwan datang menghadap.

Se-kiat mempunyai dua pembantu yang paling boleh diandalkan. Satu Kay Thian-hau dan lainnya Nyo Tay-lui, pemimpin begal Im-ma-jwan. Orang itu bertubuh tinggi sekali hingga digelari sebagai Nyo Toa-koji atau Nyo si orang besar. Kay Thian-hau dan Nyo Besar itu merupakan jago yang dimalui di kalangan loklim. Dahulu yang mendukung pencalonan Se-kiat sebagai lok-lim-beng-cu juga kedua orang itu. Waktu Se-kiat menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi, ia telah mengirim Lok-lim-cian (panah lokim atau tanda maklumat), supaya semua kepala-kepala penyamun berkumpul di Yu-ciu. Anak buah Kay Thian-hau sudah datang lebih dulu sedang Nyo Besar masih belum tiba.

Waktu mendengar pihak yang diharap-harapkan itu mengirim utusan, Se-kiat girang sekali. Ia segera minta Tiau-ing membujuk In-nio, sedang ia lalu keluar menyambut utusan itu.

Yang datang ternyata seorang kerucuk. Umurnya baru 20-an tahun, berwajah jujur dan sikapnya seperti pemuda desa. Hanya sepasang matanya yang bersorot tajam itu, sepintas pandang Se-kiat mengetahui kalau orang itu cukup tinggi ilmu lwekangnya. Diam-diam Se-kiat heran mengapa Nyo Besar mempunyai seorang bawahan semacam itu.

"Siapakah nama saudara dan sudah berapa lama ikut pada Im-ma-jwan? Apakah sebelum masuk Im-ma-jwan pernah berguru pada orang pandai? Di dalam pesanggrahan Im-ma-jwan, menjabat tugas apa?" demikian Se-kiat mengajukan beberapa pertanyaan.

Anak muda itu memberi hormat lalu menjawab: "Aku orang she Wan, nama Hun. Mendiang ayahku dulu menjadi guru rumah-persilatan. Aku mendapat beberapa macam pelajaran ilmu pedang. Masuk ke Im-ma-jwan baru satu tahun. Hanya karena kemurahan hati Nyo-cecu, aku telah diangkat menjadi siau-thaubak (kepala regu)."

Setahun yang lalu, meskipun Se-kiat pernah datang ke Im-ma-jwan, tapi hanya tinggal selama 10-an hari saja. Diantara ratusan thaubak yang berada di Im-ma-jwan itu, sudah tentu ia tak dapat mengenali semua. Apalagi pemuda itu baru masuk saja. Sekalipun begitu Se-kiat tetap heran, mengapa Nyo Besar tak mengirim thaubak yang ia kenal. "Ah, mungkin karena anak muda ini berkepandaian tinggi maka Nyo cecu mempercayakan tugas ini kepadanya. Ini tak dapat mempersalahkannya," pikirnya.

Ketika se-kiat memandang keluar, matanya tertumbuk akan seekor kuda putih yang tengah makan rumput. Kembali Se-kiat tersirap dan memuji: "Kuda ciau-ya-say-cu yang bagus sekali! Apakah itu tungganganmu?"

Anak muda yang menyebut dirinya bernama Wan Hun itu mengiakan: "Kuda itu milik tentara negeri yang dirampas Nyo cecu. Untuk sementara diberikan padaku supaya dipakai."

"Dimana Nyo cecu dan sekalian anak buahnya? Mengapa ia begitu perlu mengirim kau? Berita penting apa yang hendak dilaporkan itu?" tanya Se-kiat.

"Nyo cecu dan saudara-saudara semua, sudah mulai berangkat. Ketika aku berpisah, mereka baru tiba di lembah Ko-in-ko di Siam-pak. Mungkin dalam waktu 10-an hari tentu dapat tiba kemari. Adanya Nyo cecu mengirim aku kemari, karena hendak melaporkan suatu berita yang penting sekali."

Atas pertanyaan Se-kiat, pemuda itu menerangkan: "Pengangkatan Sip Hong menjadi wakil panglima untuk memerangi kita ini, adalah atas usul Kwe Cu-gi. Kwe Cu-gi telah memberikan lima puluh ribu serdadu pilihan kepadanya, suruh ia menggabung dengan Li Kong-pik. Kemungkinan dalam setengah bulan lagi mereka tentu sudah tiba di Yu-ciu. Harap bengcu suka bersiap-siap."

"Soal ini aku sudah tahu. Dan apa lagi?" kata Se-kiat.

Dengan terkerat-kerat kerucuk itu menyahut: "Masih ada berita rahasia entah harus dikatakan atau tidak?"

"He, apa maksudmu? Soal apa yang tak harus dikatakan?" tegur Se-kiat.

"Karena mungkin bengcu tak senang."

"Bilanglah! Berita yang senang harus didengar, yang tidak senang lebih harus didengarkan! Apakah Thiat-mo-lek hendak memusuhi aku?"

"Bukan," sahut si kerucuk, "berita yang kami dengar itu ialah bahwa puteri Sip Hong yang bernama Sip In-nio ikut pada ayahnya tetapi pada suatu hari tiba-tiba lenyap. Turut laporan mata-mata kami nona itu menuju ke Yu-ciu. Nyo cecu kuatir kalau nona itu menyelundup ke Tho-ko-poh menjumpai bengcu. Nyo cecu mengatakan ...."

"Ai, sudahlah, aku sudah tahu. Memang Nyo toako itu setia padaku. Karena tahu bagaimana hubunganku dengan nona itu tempo hari, maka ia kuatir aku kena terpikat, benar?"

"Sekarang siapa kawan siapa lawan, sudah jelas. Apalagi kabarnya bengcu hendak melangsungkan pernikahan dengan Tay Yan kongcu. Dikuatirkan nona Sip itu akan membunuh secara menggelap. Maka Nyo cecu meminta bengcu supaya lebih waspada. Jika mengetahui jejak nona itu, supaya ditangkap saja, jangan dilepaskan. Tetapipun jangan buru-buru dibunuh, karena dapat dijadikan tanggungan untuk menekan Sip Hong."

Se-kiat tertawa girang: "Ai, tak kira Nyo toako pintar juga. Ha, ha, ha apa yang dapat dibayangkan Nyo toako, masakan aku tak dapat memikirkan? Harap kalian jangan kuatir. Tetapi akupun merasa berterima kasih atas kesetiaan Nyo toako itu. Masih ada apa lagi?"

"Apakah bengcu sudah mengetahui jejak puteri Sip Hong itu? Apakah sudah dapat menangkapnya?" tanya pemuda itu.

"Itu urusanku, tak perlu kau turut campur. Karena menempuh perjalanan jauh, beristirahatlah dulu," kata Se-kiat yang dalam pada itu menganggap utusan itu terlalu usil tetapi sikapnya ketolol-tololan seperti Nyo Besar.

Entah kapan keluarnya, tahu-tahu Tiau-ing menghampiri ke muka utusan tadi. Setelah mengawasi sejenak, ia berkata: "Wajahmu seperti tak asing, entah di mana kau pernah berjumpa dengan aku?"

"Kongcu tentu salah lihat. Aku hanya seorang kerucuk baru dari Im-ma-jwan, masakan mempunyai kehormatan besar berjumpa dengan kongcu?" sahut si pemuda itu.

Mendengar itu serempak timbullah kecurigaan Se-kiat: "Nanti dulu, kau mengaku belum pernah melihat ia, mengapa tahu kalau ia seorang kong-cu?"

In-nio pun mendengar pembicaraan di luar kamar tadi. Makin mendengar makin merasa tak asing dengan nada suara utusan itu. Tiba-tiba ia teringat seseorang dan girangnya bukan kepalang. Meskipun tenaganya masih lumpuh, tapi karena lwekangnya kuat, ia segera berusaha menyalurkan pernapasannya. Beberapa saat kemudian, dengan paksakan diri ia dapat juga berjalan keluar. Pada saat itu tepat Se-kiat mendesak si utusan dengan pertanyaan yang terakhir tadi. In-nio merayap tembok dan tiba di pinggir pintu.

Utusan dari Nyo Besar tadi tengah terpukau menghadapi pertanyaan Se-kiat. Tiba-tiba ia mendengar suara In-nio berseru: "Aku di sini, lekas bekuk perempuan siluman itu!"

Kerucuk utusan itu bukan lain adalah Pui Bik-hu. Dalam perjalanan ke Yu-ciu di tengah jalan ia bertemu dengan regu pelopor dari kawanan Im-ma-jwan. Mereka coba merebut kuda Bik-hu, tetapi malah dihajar Bik-hu. Bik-hu dapat menyambar seorang siau-thaubak (pemimpin regu), terus dilarikan.

Bik-hu memang masih hijau dalam pengalaman, tapi ia punya otak juga. Ia paksa siau-thaubak memberi keterangan tentang keadaan Im-ma-jwan. Kemudian setelah menutuk si thaubak, ia lantas melucuti pakaiannya dan dengan menyaru sebagai siau-thaubak Im-ma-jwan, dapatlah ia menyelundup ke Tho-ko-poh.

Benar Tiau-ing pernah bertemu dengan Bik-hu di hotel tempo hari, tapi karena di waktu malam jadi ia tak melihat jelas wajah anak muda itu. Apalagi saat itu Bik-hu menyaru maka Tiau-ing pun tak berani memastikan. Waktu ia hendak menanyai lebih jauh In-nio muncul dan meneriaki Bik-hu supaya menindak nona itu. Dan memang Bik-hu sudah siap-siap. Dengan berseru keras, secepat kilat ia sudah maju dan menutuk jalan darahnya.

Se-kiat kaget sekali dan cepat ayunkan pukulannya tapi Bik-hu segera gunakan tubuh Tiau-ing untuk perisai. Untung Se-kiat dapat lekas-lekas menarik pulang tangannya diganti dengan sebuah tendangan dan rangsangan tangan kiri untuk mencengkeram lambung Bik-hu yang terbuka.

Bik-hu mundur tiga langkah. Bret, baju lambung kanannya kena dirobek jari Se-kiat. Bik-hu tertawa dingin, dan mencabut pedangnya: "Bo Se-kiat, selangkah lagi kau berani maju, siluman wanita ini tentu kubunuh!"

Saking marahnya mata Se-kiat sampai mendelik tapi ia tak berani maju lagi.

"Se-kiat sekarang kita dapat melakukan barter cara kaum Hek-to. Jika kau menghendaki pengamanmu berilah obat penawar padaku," seru In-nio.

"Memangnya aku bermaksud hendak memberikan obat penawar padamu, mengapa kau perlu gunakan akalan begitu?" sahut Se-kiat.

"Suci, kau terkena racun mereka?" Bik-hu berseru kaget.

"Tak mengapa. Obat bo-kut-san itu tak begitu ganas, hati wanita siluman itu lebih ganas dari racunya," sahut In-nio.

Se-kiat masuk ke kamar mengambil obat. Ketika keluar dilihatnya In-nio berdiri di samping Bik-hu. Bik-hu tampak girang sekali. Melihat itu Se-kiat dapat menduga. Meskipun ia telah mengalihkan cintanya kepada lain nona, tapi masih ada setitik bekas kasihnya kepada In-nio. Dan tanpa terasa ia merasa cemburu juga.

"In-nio, sungguh mengagumkan sekali sutemu mau mati-matian menyusul kau kemari! Kudoakan kalian berbahagia," katanya dengan rawan.

"Berikan obat penawar itu dan kita lakukan barter secara adil. Siapa sudi menerima kemurahan hatimu. Sudah, jangan banyak kata yang tiada guna lagi," sahut In-nio, waktu ia sudah menerima obat dari Se-kiat, Se-kiatpun segera menanyakan tentang pembebasan Tiau-ing. Tetapi Bik-hu mengatakan belum bisa.

"Bagaimana maksudmu?" Se-kiat marah.

Bik-hu tak menghiraukan. Beberapa saat kemudian baru ia menanyakan In-nio tentang obat yang telah diminumnya itu. In-nio tertawa dan menerangkan bahwa obat itu memang mustajab. Ia sudah dapat berangkat.

Kini tahu Se-kiat kemauan mereka: "Kurang ajar! Kau anggap aku Bo Se-kiat ini orang macam apa? Masakan akan mengambil obat palsu untuk menipu kalian? Dan apakah sekarang kau sudah dapat melepaskan Tiau-ing?"

"Masih belum," lagi-lagi Bik-hu menyahut.

"In-nio sutemu mungkin baru pertama kali bertemu aku, tapi kau tentulah sudah kenal pribadiku. Apakah aku pernah menarik kembali ucapanku? Apakah kau masih belum mempercayai aku?" Se-kiat marah-marah.

"Bo toa-bengcu, jangan naik pitam. Pengantinmu tentu akan kami kembalikan. Hanya terpaksa kuminta ia mengantar perjalanan sebentar. Sute, begitukah maksudmu?" kata In-nio.

Bik-hu mengiakan: 'Ya, begitulah. Bo toa-bengcu, bukan aku tak percaya pdamu melainkan tak percaya pada perempuan siluman ini!"

In-nio minta supaya Tiau-ing diberikan kepadanya saja supaya jangan menimbulkan kecurigaan orang. Bik-hupun menurut. Saat itu tenaga In-nio sudah pulih sebagian besar. Sambil mencengkeram jalan darah di punggung Tiau-ing, In-nio meminta Se-kiat supaya mengambilkan kuda. Walaupun mendongkol, namun toa-bengcu (pemimpin besar) itu terpaksa menjadi tukang kuda. In-nio dan Tiau-ing naik kuda Ngo-hoa-ma. Bik-hu pun segera mendapatkan kudanya Ciau-ya-say-cu yang tengah makan rumput. Setelah memberi hormat kepada Se-kiat, berkatalah ia: "Bo toa-bengcu, jika kau kuatir, silahkan ikut."

Sudah tentu Se-kiat kuatir dan iapun mengendarai kudanya. Kuda Se-kiat itu juga hebat, tapi tetap kalah dengan kuda In-nio dan Bik-hu. Karenanya ia ketinggalan jauh di belakang. Terpaksa In-nio suruh Bik-hu lambatkan kudanya agar jangan diduga Se-kiat hendak melarikan Tiau-ing.

Mereka menuju keluar kota. Di situ merupakan daerah perkemahan anak buah Se-kiat. Di sepanjang jalan tampak tentara pribumi. Dengan sebelah tangan memegang kendali kuda dan sebelah tangan menekan punggung Tiua-ing, In-nio mengisiki: "Nona Su, harap kau unjukkan muka riang, jangan mengerut masam, atau nanti terpaksa aku bertindak keras."

Tiau-ing kerenyotkan gerahamnya namun mau tak mau ia terpaksa menuruti permintaan itu juga. Anak buah Se-kiat karena melihat kedua nona itu begitu akrab sekali pun tak menaruh kecurigaan apa-apa.

Tak lama kemudian tibalah mereka di pintu dari kota luar. Melihat Tiau-ing dan Se-kiat, penjaga pintu buru-buru membukakan pintu dan bertanya dengan hormat sekali: "Bengcu, rupanya hari ini kongcu tampak gembira sekali. Apakah hendak ke padang rumput mencoba kuda?"

Dengan enggan Se-kiat menyahut: "Tak usah mengurusi urusan lain. Selanjutnya siapa saja yang datang kemari, meskipun membawa tanda keterangan, tapi harus dilaporkan dulu padaku. Setelah kusuruh orang kemari, barulah tetamu itu diperbolehkan masuk."

Begitu keluar, In-nio dan Bik-hu segera congklangkan kudanya. Kembali Se-kiat ketinggalan di belakang. Sudah tentu ia cemas sekali. Tetapi kecemasannya itu segera lenyap ketika setengah li di sebelah muka sana, In-nio tampak turunkan Tiau-ing dengan hati-hati.

"Pengantin perempuan kembali padamu. Kau dapat membuka jalan darahnya. Sekarang kami akan pergi," seru In-nio.

"In-nio, apakah tiada lain jalan bagi kita kecuali berjumpa di medan pertempuran?" tanya Se-kiat.

"Apa yang hendak kukatakan, telah kukatakan. Sejak saat ini tergantung padamu. Tetapi mudah-mudahan kau mau menimbang semasak-masaknya lagi. Memang paling baik jangan bertemu di medan pertempuran," sahut In-nio.

Tiba-tiba Se-kiat merasa pilu. Memandang kepergian In-nio dengan Bik-hu itu, ia merasa seperti kehilangan sesuatu. Walaupun pendiriannya bertentangan tapi mau tak mau ia merasa kagum juga terhadap In-nio. Ya, memang begitulah perasaan manusia. Di kala ia kehilangan seorang sahabat, barulah ia merasakan sifat-sifat yang baik dari sahabatnya itu.

Bayangan In-nio makin lama makin kecil. Tetapi dalam pandangan mata Se-kiat, bayangan itu bukan makin kecil sebaliknya malah makin besar, ya semakin besar hingga menutupi bayangan Tiau-ing. Se-kiat termangu-mangu, pikirannya melayang. Dan timbullah kesangsiannya: apakah ia tak keliru menetapkan pilihannya?

Detik-detik kekosongan hati Se-kiat yang terisi dengan renungan indah, hanya berlangsung beberapa kejab. Karena pada saat itu kedengaran Tiau-ing meneriakinya supaya datang membuka jalan darahnya yang tertutuk. Se-kiat gelagapan dan buyarlah semua kenangannya tadi. Tiba-tiba terngiang apa yang pernah diucapkan Tiau-ing: kau dan aku adalah seperti sepasang belalang yang terikat seutas tali. Ya, benar. Untuk menguasai Tiong-goan, menduduki kota raja Tiang-an, tak ada lain jalan kecuali harus semua suara hatinya. Bayangan In-nio pun buyar bagai awan tertiup angin. Buru-buru ia menghampiri Tiau-ing.

Saat itu In-nio dan Bik-hu masih belum lari jauh. Tiba-tiba dari muka tampak seorang wanita yang menyanggul hud-tim (kebut pertapaan) dan pedang. Larinya cepat sekali, lebih cepat dari kuda lari. Diam-diam Bik-hu terkejut melihat ilmu gin-kang si wanita yang sedemikian ampuhnya itu.

Pun wanita itu berseru memuji kedua ekor kuda yang dinaiki In-nio dan Bik-hu. Sekonyong-konyong Tiau-ing berteriak: "Suhu, lekas tangkap kedua orang itu. Mereka telah menghina aku!"

Ternyata wanita yang dandanannya aneh itu bukan lain ialah Shin ci-koh, suhunya Tiau-ing. Gong-gong-ji sudah berjanji hendak menikah dengannya, tetapi karena Gong-gong-ji bersama Coh Ping-gwan hendak mengejar Ceng-ceng-ji, ia merasa tak leluasa kalau berjalan dengan seorang wanita. Maka ia pun suruh tunangannya itu menunggu di daerah Tho-ko-poh.

Shin Ci-koh digelari orang sebagai Bu-ceng-kiam atau Pedang tak kenal cinta. Tetapi sebenarnya ia bukan seorang wanita yang tak kenal cinta, bahkan sebaliknya ia seorang yang sentimentil sekali. Segala tindakannya didasarkan atas pertimbangan hatinya sendiri. Dalam hidupnya, satu-satunya pria yang dicintai ialah Gong-gong-ji, dan yang paling disayangi ialah muridnya Su Tiau-ing itu. Maka waktu mendengar teriakan Su Tiau-ing tadi, ia merasa kebetulan sekali. Memang sebenarnya ia hendak merampas kuda kedua anak muda itu, tapi sayang belum mendapat alasan.

"Jangan kuatir, Ing-ji, akan kuringkus kedua bangsat cilik itu," serunya sembari kebutkan hud-timnya.

Jarak In-nio dan Bik-hu dengan Shin ci-koh itu masih 10-an tombak jauhnya. Tapi ternyata kuda mereka meringkik keras dan kaki depannya tekluk ke muka terus menjorok jatuh. Ternyata kebutan hud-tim Shin Ci-koh dilakukan dengan lwekang tinggi. Beberapa lembar bulu dari kebut itu, meluncur seperti senjata rahasia. Jauh lebih lihay dari jarum bwe-hoa-ciam. Empat lembar bulu tepat sekali mengenai kuku kaki depan kedua kuda. Memang tak membahayakan, kelak dapat diobati lagi. Tapi karena buku kakinya disusupi bulu, kedua kuda itupun tak dapat berlari lagi.

Walaupun kudanya jatuh, tapi In-nio dan Bik-hu tetap dapat bertahan duduknya. Dengan gusarnya, Bik-hu loncat ke udara untuk menyerang Shin Ci-koh. Shin Ci-koh perkencang hud-timnya hingga lurus seperti sebatang pena pit. Trang, ia tutuk pedang Bik-hu hingga tangan pemuda itu terasa sakit sekali. Memang pedang Bik-hu terkisar ke samping tapi tak sampai jatuh. Hal ini membuat Shin Ci-koh terkejut. Dan pada saat itu In-nio pun memburu datang dengan mainkan ilmu pedang Hui-hoa-boh-tiap. Begitu pedang diputar segera berubah menjadi tujuh sinar bunga yang mengarah tujuh jalan darah orang.

Shin Ci-koh pun tebarkan hud-tim menjadi ribuan sinar. Dan cukup dengan satu gerakan itu, patahlah serangan In-nio. Malah sehabis itu, bulu dari kebud Hud-tim itu mengencang lurus ke muka akan menutuk jalan darah In-nio. Bik-hu berseru keras dan mainkan pedangnya seperti orang bermain golok. Itulah ilmu pedang istimewa ciptaan bersama dari Mo Kia-lojin dan Thiat-mo-lek. Shin Ci-koh keder juga dan terpaksa alihkan hud-tim untuk menghalau Bik-hu.

Beberapa jurus kemudian, Shin Ci-koh makin terkejut. Bukan karena kepandaian kedua anak muda itu hebat, tetapi karena makin tahu jelas akan sumber ilmu permainan mereka. Dengan gunakan jurus hong-cong-jan-hun, Shin Ci-koh menyingkirkan pedang In-nio dan Bik-hu, kemudian berseru: "Biau Hui sinni dan Mo Kia Lojin itu pernah apa dengan kalian?"

In-nio pun sudah mengenali Shin Ci-koh itu sebagai wanita yang bersama Gong-gong-ji telah membikin ribut di lapangan Eng-hiong-tay-hwe. Sebagai seorang nona yang cerdik walaupun tak tahu sampai dimana hubungan antara wanita itu dengan Gong-gong-ji, namun ia sedikit-sedikit dapat menduganya juga.

Sebaliknya Bik-hu hanya berniat hendak menggempur saja, maka ia tak menghiraukan pertanyaan Shin Ci-koh dan masih tetap menyerangnya. In-nio buru-buru berseru: "Biau Hui sin-ni adalah suhuku dan juga menjadi bibinya. Dia murid kesayangan Mo Kia lojin. Thiat-mo-lek adalah suhengnya. Apakah kau ini bukan Shin lo-cianpwe? Bukantah kita pernah bertemu di lapangan Eng-hiong-tay-hwe?"

Seganas-ganas Shin Ci-koh namun ia masih gentar juga terhadap Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin. Selain itu, iapun tahu juga sampai di mana hubungan antara Thiat-mo-lek dengan Gong-gong-ji. Oleh karena ketika berada di tempat kediaman Cin Siang. Shin Ci-koh segera mengikut Gong-gong-ji pergi, maka ia tak tahu tentang Cin Siang memberi kuda kepada In-nio dan Bik-hu itu. Waktu In-nio mengingatkan tentang Eng-hiong-tay-hwe, Shin Ci-koh pun segera mengenalinya.

"Ah, kiranya budak itu sute dari Thiat-mo-lek. Jika sampai kulukai, mungkin Gong-gong-ji tentu kurang senang," pikirnya. Sampai beberapa saat ia tak dapat mengambil keputusan.

Karena tak tahu tentang peristiwa di Eng-hiong-tay-hwe, maka Tiau-ing pun segera tertawa mengejek: "Huh, apakah dengan mengatakan nama suhumu dan Thiat-mo-lek itu, kau kira dapat menggertak suhuku?"

"Bah, siapa yang hendak mengambil muka? Suhumulah yang bertanya dulu, bukan aku hendak membanggakan suhuku," teriak Bik-hu,

Shin Ci-koh berhati tinggi. Ia mau selalu minta menang. Walaupun gentar tapi kuatir orang mengira ia takut kepada Biau Hui, Mo Kia dan Thiat-mo-lek. Justeru Tiau-ing mengerti akan sifat perangai suhunya itu, maka ia sengaja mengatakan begitu agar suhunya jangan mundur.

Ketambahan pula kata-kata Bik-hu tadi menyakitkan telinga. Shin Ci-koh kerutkan dahi, berpikir: "Kalau kulepaskan, dia tentu mengira aku benar-benar takut pada suhu dan suhengnya. Baiklah, asal aku tak melukainya, tak apa. Dia memang perlu diberi sedikit hajaran."

Tetapi untuk meringkus kedua anak muda itu pun tidak mudah. Pertama, kedua anak muda itu memang lihay. Kedua, karena ia tak mau melukai mereka dan ketiga, karena terhadap orang muda ia tak mau gunakan pedang. Dengan adanya tiga faktor itu pertempuran berlangsung seri.
Cepat sekali 30 jurus telah berlangsung. Tiba-tiba Tiau-ing berseru meminta Se-kiat membantu Shin Ci-koh untuk membekuk In-nio dan Bik-hu. Se-kiat merasa sulit. Terhadap In-nio ia menaruh perindahan, terhadap Bik-hu ia mempunyai rasa cemburu terhadap Tiau-ing ia merasa agak jeri. Ia segan mencelakai In-nio, sebaliknya malah menginginkan supaya nona itu tak pergi.

Tiau-ing yang bermata tajam segera mengetahui apa yang terkandung dalam hati Se-kiat. Ia tertawa ewah: "Se-kiat, kau hanya teringat akan kenanganmu yang lampau tapi lupa bahwa ia adalah puteri Sip Hong!"

Se-kiat terkesiap dan tersipu-sipu menyahut: "Benar, jangan sampai ia lepas." -- Dengan hati berat, ia maju ke muka.

Sebenarnya permintaan Tiau-ing tadi hanya untuk membikin panas hati suhunya saja. Tetapi demi melihat sikap Se-kiat kebimbang-bimbangan ia tak puas. Permintaan yang hanya buat alasan saja itu, akhirnya didesakkan sungguh-sungguh kepada Se-kiat.

Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak: "Ing-ji sudah berapa tahun ikut aku mengapa kau belum percaya pada kepandaianku? Apa kau kira aku benar-benar tak dapat meringkus kedua bocah ini?"

Berhentilah tertawa, berserulah ia dengan serius: "Begitu pedangku Bu-ceng-kiam keluar tentu akan meminum darah. Tapi dengan memandang muka Biau Hui sin-ni dan Mo Kia lojin, kali ini kuadakan kecualian."

Bik-hu berteriak marah: "Apa Bu-ceng-kiam itu? Mengapa dibuat.....," belum Bik-hu menghabiskan kata-katanya, pedang Bu-ceng-kiam sudah menyambarnya.

Melihat gerak serangan orang sedemikian saktinya, Bik-hu segera menutup diri dengan tembok sinar pedang. Tapi ilmu pedang Shin Ci-koh itu mempunyai ciri yang khas.

"Kena!" tiba-tiba Shin Ci-koh berseru. Pedangnya berhamburan memenuhi delapan penjuru. Bik-hu mati-matian mengadu jiwa, tetapi justeru itulah yang dikehendaki Shin Ci-koh. Hanya pelahan sekali Bu-ceng-kiam itu dilekatkan ke batang pedang Bik-hu, dengan meminjam tenaga Bik-hu sendiri, sekali tarik Shin Ci-koh dapat membuat tubuh Bik-hu menjorok ke muka. Dan meminjam pula tenaga Bik-hu, sekali gelincirkan Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh dapat memaksa si anak muda lepaskan pedangnya karena separuh tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Kiranya Shin Ci-koh telah gunakan ujung pedang untuk menutuk jalan darah anak muda itu. Caranya ia menggunakan tenaga tepat dan luar biasa. Bik-hu hanya rasakan pergelangan tangannya sakit seperti digigit nyamuk, sedikit bintik merah tetapi tak sampai mengeluarkan darah.

In-nio terkejut dan buru-buru gunakan jurus giok-li-tho-soh untuk menusuk jalan darah Shin Ci-koh. In-nio berusaha mengacaukan lawan, agar sutenya tertolong. Tapi sayang, selihay-lihay ilmu pedang In-nio, tetap masih kalah jauh dengan kepandaian Shin Ci-koh. Pada saat Shin Ci-koh tutukkan pedang ke tangan Bik-hu, hud-tim yang dicekal di tangan kirinyapun sudah berhasil melibat tangkai pedang In-nio.

"Lepas!" teriak Shin Ci-koh dan pedang In-nio pun terpental melayang ke udara. Dan dengan tangkai hud-tim, Shin Ci-koh menutuk jalan darah In-nio. Dengan demikian dapatlah Shin Ci-koh mengakhiri pertandingan itu. 

Tetapi walaupun menang, ia rasakan tangannya pegal juga karena lelah menghadapi Bik-hu dan In-nio. Diam-diam ia merasa kagum juga kepada kedua anak muda itu. Ia membatin: "Tak nyana dalam beberapa tahun ini, di dunia persilatan telah muncul tunas-tunas muda yang cemerlang. Walaupun kedua anak muda itu tak dapat menyamai kelihayan Toan Khik-sia, tetapi aku baru dapat mengalahkan mereka setelah memakai Bu-ceng-kiam, sudahlah boleh dianggap lihay sekali mereka."

Waktu Se-kiat hendak menghampiri untuk menghaturkan terima kasih, Shin Ci-koh berpaling pada Tiau-ing dan menanyakan: "Siapakah ini?"

"Aku yang rendah Bo Se-kiat menyampaikan hormat kepada locianpwe?" kata Se-kiat.

Tiau-ing tertawa: "Suhu, maaf karena sebelumnya aku tak memberitahukan. Tetapi rasanya suhu tentu sudah dapat mengetahui persoalannya. Se-kiat bergaul dengan aku dan bersikap begitu mesra kepada muridmu ini, tentulah suhu mengerti."

"Oh, kiranya dia bakal suamimu," seru Shin Ci-koh.

Wajah Tiau-ing kemerah-merahan, ujarnya: "Besok lusa kami akan langsungkan 'hari baik'. Sebetulnya aku memang hendak mengundang suhu supaya memberi restu."

"Oh, kiranya kau ini Bo Se-kiat, pemimpin baru dari loklim yang namanya menggetarkan seluruh dunia persilatan itu. Dengan begitu, tidak akan mengacaukan soal 'angkatan' lagi," Shin Ci-koh tertawa.

Se-kiat tercengang, tak tahu apa yang diartikan Shin Ci-koh itu. Hanya Tiau-ing yang merah padam mukanya dan diam-diam menggerutu: "Ah, suhu memang kelewatan, mengapa di hadapan Se-kiat mengatakan begitu? Bukankah it berarti membuka borokku? Untung Se-kiat rupanya masih belum mengerti. Tetapi dengan ucapannya itu apakah suhu sendiri sudah rujuk kembali dengan Gong-gong-ji? Gong-gong-ji baik sekali dengan Thiat-mo-lek. Aku harus mencari akal untuk menghadapi soal ini. Meskipun nanti tak dapat menarik tenaga suhu untuk membujuk Gong-gong-ji, tapi setidak-tidaknya harus mengusahakan supaya Gong-gong-ji jangan sampai mengacau gerakan kami."

Kiranya Shin Ci-koh itu memang berhasrat hendak menikah dengan Gong-gong-ji. Toan Khik-sia adalah sute Gong-gong-ji. Apabila Tiau-ing sampai dapat Khik-sia, bukantah itu berarti suhu dan murid (Shin Ci-koh dan Tiau-ing) akan menikah dengan suheng dan sute (Gong-gong-ji dan Khik-sia)?

Ia merasa tak enak dengan 'angkatan' atau urut-urutan tingkatan hubungan tersebut. Demi tahu Tiau-ing berganti suka pada Se-kiat, bukannya memarahi sang murid yang begitu gampang berubah hati sebaliknya Shin Ci-koh malah gembira. Itulah sebabnya tadi ia mengungkat tentang 'angkatan' (sebutan).

Karena dipermainkan tadi, Se-kiat masih marah. Wut, ia terus mencambuk Bik-hu yang sudah tak dapat berkutik karena tertutuk jalan darahnya itu.

"Oh, sungguh garang, sungguh gagah sekali kau lok-lim-beng-cu!" In-nio mengejeknya dengan hina.

Mendengar itu tiba-tiba Se-kiat tersadar, ia sebagai seorang bengcu yang ternama, mana boleh ia memukul seorang anak muda yang sudah tak berdaya. Buru-buru ia hendak tarik pulang cambuknya tapi sekonyong-konyong Ci-koh kebutkan hud-timnya hendak melibat cambuk Se-kiat. Se-kiat terkejut, buru-buru ia menggelincir ke samping untuk menghindari libatan itu.

"Bagus, kiranya memang lihay, pantas menjadi bengcu. Daripada Toan ...."

"Suhu, kiranya kau hendak menjajal kepandaian Se-kiat? Ah, aku terkejut setengah mati," seru Tiau-ing, padahal sebenarnya Shin Ci-koh tak mau turun tangan sungguh-sungguh karena mengingat Thiat-mo-lek.

Tiau-ing menghampiri In-nio dan tertawa mengejek: "Nona Sip, sayang, sayang sekali. Bagaimanapun kau tetap tak dapat lolos dari genggamanku.'

Ia hanya menyindir In-nio itu, karena masih ada rasa 'sungkan'. Tidak demikian terhadap Bik-hu. Ia mendampratnya dengan sengit: "Hm, budak busuk, kau sungguh kurang ajar sekali terhadap aku!" 

Ia terus hendak memukul tapi Shin Ci-koh cepat memeluknya: "Ing-ji, mengapa kau semarah itu? Ai, jangan kelewat mengumbar nafsu nanti menganggu kesehatanmu. Bilanglah bagaimana cara mereka menghinamu tadi?"

Waktu Tiau-ing menuturkan peristiwa tadi, Shin Ci-koh bertanya: "Mengapa ia menutuk jalan darahmu?"

"Apalagi kalau bukan karena nona Sip itu?" sahut Tiau-ing.

"Nona Sip mengapa berani datang kemari?"

"Ia puterinya Sip Hong. Sip Hong memimpin tentara hendak menyerang kemari, ia diam-diam hendak menemui Se-kiat."

Shin Ci-koh deliki mata kepada Se-kiat, serunya: "Aneh, mengapa nona itu hendak menemui Se-kiat? Ing-ji, apakah ia (Se-kiat) bersungguh hati kepadamu?"

Tiau-ing tahu bahwa suhunya itu paling benci kepada lelaki yang tak dapat dipecaya. Kuatir kalau Se-kiat akan mendapat kesulitan, maka ia cepat-cepat memberi alasan: "Suhu, mengapa kau memikir begitu jauh? Nona Sip itu datang sebagai utusan ayahnya."

"Oh, kiranya begitu. Dua negeri yang berperang tak boleh membunuh utusan. Kau tak boleh begitu."

"Tetapi ia sudah menyelidiki keadaan tempat kita. Kalau dilepas pulang tentu membahayakan pihak kita," bantah Tiau-ing.

"Kalau begitu tahan sajalah!" kata Shin Ci-koh.

"Memang akupun takkan membunuhnya. Hm, sekalipun ia sengaja memancing supaya aku membunuhnya, namun aku tetap tak mau. Tetapi, budak lelaki liar itu ...."

"Budak itu membela mati-matian kepada suci-nya. Rupanya mereka sepasang keksaih?" tanya Shin Ci-koh.

Tiau-ing tertawa ewah: "Hati nona Sip itu sukar diraba. Budak liar itu, kebanyakan tentu tergila-gila seorang diri!"

Tiba-tiba Shin Ci-koh tergelak-gelak: "Aku paling menghargakan seorang lelaki yang berbudi dan berperasaan. Bahwa budak itu karena hendak membela sucinya sampai berani malandai kau, itu dapat dimaafkan. Hukumannya ringan. Lebih baik kau masukkan mereka ke dalam tahanan saja."

Kiranya selama 20 tahun ini Shin Ci-koh telah mengandung asmara sepihak terhadap Gong-gong-ji. Maka spontan ia merasa sependeritaan dengan Bik-hu.

Tiau-ing menganggap keputusan itu kelewat murah, tapi pada lain kilas ia mengetahui bahwa ternyata Se-kiat masih mempunyai setitik perhatian terhadap In-nio. Maka jika Bik-hu ditahan di situ, Se-kiat tentu cemburu dan tak mau memikirkan In-nio lagi. Maka ia pun segera menurut apa yang dikatakan suhunya itu.

Setelah dibawa balik ke dalam kota, In-nio dan Bik-hu diborgol tangannya dan dibwa Tiau-ing sendiri ke dalam sebuah penjara air. Penjara air itu didirikan di bawah tanah, berdinding batu tebal. Konstruksinya dibagi dua, atas dan bawah. Bagian atas merupakan waduk air. Begitu perkakas dibuka, airpun segera menggenangi ruangan bawah.

"Kuberi waktu kalian hidup gembira sampai beberapa hari. Tetapi jangan kalian coba melarikan diri. Sekali kupijat perkakas, kalian tentu akan menjadi kura-kura di laut," kata Tiau-ing.

Ketika pintu ditutup, In-nio dan Bik-hu berada dalam kegelapan. Ruangan itu memakai dinding batu, tapi ada sebagian yang menggunakan batu asli. Dari celah-celah batu asli itu sinar matahari dapat menyorot masuk. In-nio dan Bik-hu sejak kecil berlatih melepaskan senjata rahasia, maka matanya pun lebih tajam dari orang biasa. Cepat mereka sudah biasa dengan kegelapan itu. Hanya dengan sinar dari celah batu itu mereka sudah dapat melihat wajah masing-masing.

Tampak mata Bik-hu berkilat-kilat, wajah kemerah-merahan. Kiranya ia merasa likat sekali ketika isi hatinya – yang ia sendiri tak berani mengutarakan – telah dibuka oleh Shin Ci-koh. Kemudian diejek lagi oleh Tiau-ing. Meskipun Bik-hu mendongkol, tapi diam-diam ia merasa lega. Ia malu tapi girang juga.

Sebenarnya In-nio pun sudah mengetahui sikap sutenya itu terhadap dirinya. Apalagi pada saat itu. Dengan melihat sorot matanya, dapatlah ia mengetahui bagaimana gelora hati sutenya itu. In-nio menghela napas, ujarnya: "Pui sute, sungguh merepotkan kau saja. Perempuan siluman itu hendak menggunakan aku untuk mempengaruhi ayah. Aku tetap tak mau. Bahwa kau menemani aku menyongsong kematian, aku sungguh berterima kasih sekali."

"Ah, tak apalah. Kita hidup bersama hidup, mati berdua mati. Bagiku sudah puas tak menyesal. Hanya aku merasa kecewa mengapa kepandaianku begitu cetek, sehingga tak mampu menolongmu."

Sederhana sekali kata-kata Bik-hu itu namun penuh dengan nada jeritan kalbunya. Sedingin-dingin hati In-nio, terpaksa tergerak juga mendengar pernyataan itu. Tanpa tersadar mereka makin merapat dan saling berjabat tangan: "Sute, terima kasih atas kebaikanmu. Sayang jiwa kita berada di ujung rambut. Mungkin aku tak sempat membalas budimu itu."

"Suci, dnegan pernyataanmu itu sekalipun wanita siluman itu membunuh aku saat ini, akupun akan mati dengan meram," kata Bik-hu.

In-nio merah mukanya dan berbisik: "Aj, janganlah berkata begitu sute. Hatiku makin pilu."

"Ah, suci, sekarang baru aku terlepas dari tindihan batu berat," tiba-tiba Bik-hu berseru.

In-nio terkesiap: "Apa yang menyiksa .... itu?"

"Ah, apakah aku harus mengatakan?"

"Kita hanya hidup beberapa hari saja. Kalau hendak menyatakan apa-apa, silahkan bilang," kata In-nio dengan lapang dada, tetapi sebenarnya hatinyapun berdebar keras juga. Ia mengeluh dalam batin: "Aku tak mau membohong mengatakan cinta padanya. Tapi akupun tak mau membuatnya kecewa. Ai, bagaimana ini?"

"Kutahu kau denganBo Se-kiat itu bersahabat baik, baik sekali. Terus terang, suci, ketika kutahu hal itu, hatiku merasa sedih sekali. Bo Se-kiat, dia seorang bengcu, kepandaiannya tinggi orangnya cakap. Ya, dalam segala apa saja, aku memang kalah dengan dia. Dalam kedudukanku itu, kumengharap agar kau berbahagia. Maka walaupun sedih, tetapi aku bergirang untuk keberuntunganmu. Kuanggap kau dan Se-kiat betul-betul merupakan sejoli pasangan yang tepat sekali. Aku tak berhak cemburu atau iri hati lagi!"

"Kemudian setelah tiba di Tiang-an,b aru aku mengetahui lebih banyak tentang pribadi Se-kiat. Dia pisahkan diri dengan Thiat suheng. Karena hendak mendapatkan perempuan siluman itu ia tak sayang meninggalkan sahabat, bahkan tak sayang sebagaimana dulunya kukira. Dia tak setimpal menjadi pasanganmu."

"Kemudian ketika kau tinggalkan perkemahan, cepat dapat kuduga kau tentu menuju ke Tho-ko-poh mencarinya. Tetapi aku tak tahu tujuanmu yang sebenarnya. Maka aku selalu gelisah saja, kuatir kau akan jatuh ke dalam pikatannya lagi. Takut kau akan, akan ... maaf atas dugaanku yang bukan-bukan ini. Ya, aku sungguh kuatir kau akan terbakar lagi hatimu kepadanya."

"Setelah kudengar nasihatmu kepada Se-kiat, barulah kutahu tindakanmu itu sangat utama. Aku terkejut, girang dan kagum kepadamu! Suci, kau benar-benar seorang gadis perwira, berani dan pandai. Begitu lama aku bergaul padamu, baru sekarang kutahu jelas pribadimu. Bahwa tadinya kau menguatirkan dirimu, nyata-nyata pikiran seorang siaujin!"

In-nio tenang-tenang saja mendengar pernyataan Bik-hu. Diam-diam iapun tergerak hatinya dan gembira. Dalam pernyataan yang begitu panjang lebar, sepatahpun Bik-hu tak menyatakan kata-kata 'cinta'. Namun setiap patah katanya, merupakan luapan suara hatinya. Dan yang paling mengagumkan, Bik-hu dapat memahami maksud kunjungan In-nio kepada Se-kait. Tanpa tersadar, In-nio mengepal tangan Bik-hu erat-erat, ujarnya: "Su-te, kau terlalu menyanjung aku. Sebenarnya tidak sebaik seperti yang kau kira itu. Kau berhati jujur, setia dan perwira. Ternyata lebih hebat dari persangkaanku semula. Tetapi kau mempunyai sebuah cacad ...."

Bik-hu tersirap kaget dan meminta keterangan.

"Kekuranganmu itu ialah kau terlalu tak mengerti sifat-sifatnya yang baik sendiri. Kau memandang rendah dirimu sendiri, selalu menganggap dirimu tak menang dengan lain orang. Sebenarnya, kecuali untuk sementara ini kepandaian silat kalah dengan Se-kiat, lain-lainnya kau lebih menang dari dia. Manusia hidup yang terutama ialah nilai pribadinya. Se-kiat tak dapat menyamai kau," kata In-nio.

Demikian setelah melalui pernyataan-pernyataan itu, keduanya makin intim. Walaupun Bik-hu tak berani mengucapkan namun hati mereka sudah saling mengisi. Dan setelah mengetahui isi hati masing-masing, mereka pun segan untuk membicarakan diri Se-kiat lagi.

Dalam penjara tanah yang segelap itu, mereka merundingkan tentang ilmu pedang dan pengalaman di dunia persilatan. Mereka tak merasa kesepian. Pada waktu-waktu tertentu, tentu ada orang mengantarkan makanan. In-nio memperhitungkan karena masih membutuhkan tenaganya, Tiau-ing tentu tak mau memberi racun dalam makanan itu. Dari jumlah antaran makanan, diperkirakan sudah dua hari mereka berada dalam penjara tanah itu. Pada saat itu mereka tengah bercakap-cakap. Lapat-lapat In-nio mendengar suara genderang.

Setelah menempelkan telinganya ke tembok, Bik-hu tertawa getir: "Itu bunyi musik menyambut temanten!"

"Benar, memang kita sudah dua hari berada di sini. Hari pernikahan mereka berlangsung hari ini," kata In-nio.

"Karena sama-sama berselera busuk biarkan mereka bergabung. Lihat saja mereka dapat mengecap kebahagiaan sampai berapa lama?"

"Memang telah kuduga mereka akan menikah, namun hatiku tetap bersedih juga," kata In-nio.

"Suci, mengapa ...."

"Tiada lain maksud kecuali mengingat persahabatan kita, aku tetap tak sampai hati melihat dia terjerumus semakin dalam. Dengan pernikahan itu, dia taakn terangkat lagi selama-lamanya. Dapatkan kau memaafkan kesedihanku ini?"

Bik-hu menyatakan penyesalannya karena khilaf. Tetapi In-nio pun membenarkan apayang diucapkan Bik-hu tadi.

"Ai, suci, dengarlah! Seperti terjadi sesuatu yang tak beres!" tiba-tiba Bik-hu berseru. Dan memang tak berselang berapa lama terdengar kuda meringkik, orang berteriak dan senjata beradu. Di luar seperti terjadi pertempuran.

"Apakah tentara negeri menerjang kemari?" tanya Bik-hu.

"Ayah paling cepat enam tujuh hari lagi baru datang. Li Kong-pik meskipun lebih dekat, tapi karena sudah berjanji ia tentu menunggu kedatangan ayah dulu baru bergerak. Kurasa kemungkinan besar mereka tentu gasak-gasakan sendiri," kata In-nio.

Bik-hu mengatakan bahwa saat itu adalah kesempatan untuk meloloskan diri. Tepat pada saat itu terdengar derap kaki mendatangi. Setelah merenung sejenak, In-nio mengambil ketetapan untuk meloloskan diri. Ia suruh Bik-hu gunakan lwekang memutuskan rantai borgolannya. Bik-hu menurut, tapi sampai sekian saat belum berhasil. Ia menghampiri ke dinding batu. Setelah mencari bagian yang tajam, ia hantamkan borgolannya sekuat-kuatnya. Eh, berhasillah ia sekarang. Setelah itu iapun membantu memutuskan borgolan In-nio.

"Wanita siluman itu mengatakan penjara ini ada perkakasnya entah perkakas apa," kata In-nio. Tiba-tiba terdengar suara air bergemuruh seperti hujan lebat. Cepat sekali ruang tahanan itu digenangi air. Karena gugupnya, In-nio tergelincir. Ia tak pandai berenang dan airpun cepat sekali naiknya. Baru hendak membuka mulut berteriak, mulutnya terminum beberapa teguk air. Dalam saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba ia rasakan tubuhnya terangkat naik. Kiranya Bik-hulah yang mengangkatnya.

Sebagai anak yang dilahirkan di tepi sungai, Bik-hu pandai sekali berenang. Bukannya takut sebaliknya ia malah girang dengan terjangan air itu. Ia merasa mendapat jalan untuk lolos. Asal ia dapat mencapai ruangan atas.

"Suci, peganglah lenganku erat-erat tapi jangan terlalu keras. Tutuplah dulu napasmu," serunya. Karena saat itu air sudah setinggi tiga tombak. Ketika berenang, Bik-hu hanya terpisah dua meter dari lantai ruang atas.

"Kongcu menghendaki masih hidup, jangan sampai mereka terendam mati, tiba-tiba di sebelah atas terdengar suara orang. Ia mengajak kawannya turun. Tapi sang kawan mengusulkan lebih baik kait saja. Mendengar itu Bik-hu diam-diam girang. Ia duga orng itu tentu hanya bangsa kerucuk saja.

Beberapa kait dijulurkan turun. Kait itu dibuat secara istimewa, ada yang panjangnya sampai satu tombak. Bik-hu diam saja, begitu ia mendapat kesempatan, cepat disambarnya sebatang kait terus ditariknya. Blung, seorang penjaga kecemplung. Secepat itu juga dengan menekan kepala si penjaga, Bik-hu apungkan tubuhnya ke atas. Ia sambar kait orang tadi terus dikaitkan ke pintu air. Beberapa penjaga tengah sibuk menolongi kawannya yang jatuh tadi. Demi melihat tubuh Bik-hu sudah menonjol keluar, kejut mereka bukang kepalang: "Celaka, bangsat itu hendak menerobos keluar!"

Segera ada juga yang meneriaki supaya lekas-lekas menutup lubang air. Tetapi sudah terlambat. Sembari sebelah tangan menarik In-nio, sebelah tangan mencekal kait, Bik-hu melesat keluar. Seorang penjaga membacok kait Bik-hu tadi dan seorang penjaga sibuk menutup pintu air. Tapi Bik-hu yang sudah berhasil naik, dengan kaitnya yang sudah kutung itu menangkis sserangan orang. Ia terus mainkan kutungan kait itu dan cepat dapat merubuhkan beberpa penjaga itu.
In-nio yang terminum air, masih agak pusing dan lemas kakinya. Seorang lelaki bersenjata thong-jin menghantamnya tapi dengan sebuah gerakan, dapatlah In-nio membuatnya jatuh jungkir balik. Baru In-nio heran mengapa Tiau-ing hanya menempatkan penjaga-penjaga yang berkepandaian rendah, tiba-tiba dua batang golok menyambarnya dengan dahsyat. 

In-nio terhuyung mundur, brat, bajunya kena terpapas ujung golok. Ketika mengawasi, ternyata penyerangnya itu adalah dua orang wanita. Rupanya mereka itu orang kepercayaan Tiau-ing. Ilmu goloknya dari ajaran Tiau-ing. Mereka lebih lihay dari kawanan atau thaubak Se-kiat. Karena masih limbung minum air, hampir saja tadi In-nio termakan golok mereka. Tapi karena terkejut itu, semangat In-nio timbul lagi. Kedua orang kepercayaan Tiau-ing itu sudah tentu bukan tandingan In-nio. Dalam beberapa gebrak saja, mereka terampas goloknya dan tertutuk jalan darahnya.

Pun Bik-hu bersua dengan dua orang lelaki yang lumayan kepandaiannya. Tapi bagaimanapun mereka bukan lawan Bik-hu. Tepat pada saat In-nio merubuhkan kedua wanita tadi, Bik-hupun dapat mencengkeram tengkuk mereka terus dibenturkan dengan kawannya. Kedua orang itupun tak ingat diri lagi.

Mengapa Tiau-ing tak memberi penjagaan kuat? Itulah karena ia yakin akan kelihayan penjara air itu dan kedua kalinya karena pada saat ia melangsungkan pernikahan, ia hendak bergerak menggempur engkohnya. Itulah maka ia hanya menaruh beberapa penjaga karena semua orang-orangnya yang berkepandaian tinggi dibawa keluar.

Masih Bik-hu mengamuk kawanan penjaga yang berusaha hendak melarikan diri, tetapi dicegah In-nio. Maka Bik-hu hanya menutuk jalan darah mereka saja. Karena melihat sucinya basah kuyub, maka Bik-hu suruh In-nio berganti dengan pakaian wanita tadi. Dengan mengancam, dapatlah Bik-hu paksa bujang wanita itu tadi membuka alat perkakas.

Begitu keluar dari penjara air itu, ternyata In-nio dan Bik-hu berada di lereng gunung. Dan ketika mereka melintasi gunung, didengarnya suara senjata beradu. Kiranya di tengah hutan situ terdapat sepuluh orang paderi tengah mengerubuti seorang wanita. Wanita itu memegang hud-tim dan pedang. Dan dia adalah Shin Ci-koh. Dalam beberapa kejab saja, Shin Ci-koh sudah dapat merubuhkan beberapa paderi. Dua orang yang tersabet hud-timnya berguling-guling di tanah menjerit-jerit.

Tetapi paderi-paderi pantang mundur. Kiranya mereka adalah anak murid Leng-ciu-pay, yang dipimpin oleh Ceng-beng-cu. Sebagai pemimpin yang berkuasa menjatuhkan hukuman dalam partai Leng-ciu-pay, Ceng-beng-cu dapat mengancam mereka supaya bertempur mati-matian. Dan Ceng-beng-cu sendiri walaupun kalah dengan Shin Ci-koh tapi juga lihay. Menghadapi orang yang nekad itu, diam-diam Shin Ci-kohpun mengeluh dalam hati.

Munculnya In-nio dan Bik-hu itu makin membuat keder hati Shin Ci-koh. Ia tahu In-nio dan Bik-hu itu tak di bawah Ceng-bing-cu, kalau kedua anak muda itu sampai membantu pihak Leng-ciu-pay, celakalah ia.

Sebaliknya pihak Leng-ciu-pay juga mempunyai kekuatiran begitu. Mereka tak kenal In-nio dan Bik-hu. Jika kedua anak muda itu ternyata di pihak Shin Ci-koh, celakalah mereka.

Tetapi terhadap kedua pihak yang bertempur itu, In-nio dan Bik-hu pernah bermusuhan juga. In-nio dan Bik-hu heran mengapa mereka bertempur. "Tak usah hiraukan mereka, kita jalan terus. Di sebelah muka lebih ramai lagi," kata In-nio.

Karena tahu hubungan Shin Ci-koh dengan Gong-gong-ji, maka In-nio mempunyai kesan lebih baik daripada terhadap pihak Leng-ciu-pay. Tapi sekalipun begitu ia tak mau membantu wanita yang menjadi suhu Tiau-ing itu. Dan Bik-hu hanya menurut apa yang dikatakan suci-nya saja. Karena kuatir mereka turut campur, orang-orang Leng-ciu-pay itupun tak mau merintangi kedua anak muda itu.

Melintasi gunung di bawah gunung terbentang sebidang padang rumput. Disitu tampak orang bertempur dengan naik kuda. Dari kejauhan, tampak Se-kiat dan Tiau-ing naik kuda, memberi komando anak buahnya untuk menyerang.

Kepala Tiau-ing bersunting bunga warna merah dan masih mengenakan pakaian pengantin baru.

Apa yang diduga In-nio ternyata tak meleset. Pertempuran itu terjadi antara suami-isteri Se-kiat lawan Su Tiau-gi. Su Tiau-gi telah merencanakan suatu gerakan razia. Pada waktu Se-kiat menyambut pengantinnya, akan ditangkap kemudian Tiau-ing akan dipaksa untuk menikah dengan putera raja Ki (sebenarnya Tiau-ing tinggal bersama dengan Se-kiat. Tapi pada hari pernikahan itu ia terpaksa pulang ke tempat engkohnya agar Se-kiat datang menyongsong).

Memang tepat sekali perhitungan Su Tiau-gi itu. Tapi ternyata Tiau-ing pun sudah siap menghadapi. Malah lebih lihay dari engkohnya. Ia mempunyai tiga ribu tentara wanita, disamping berkomplot dengan beberapa opsir sebawahan Tiau-gi. Iapun merencakan, begitu Se-kiat datang terus hendak diajak untuk menangkap Su Tiau-gi. Setelah Tiau-gi terbunuh, Tiau-ing segera akan memegang kekuasaan tentara engkohnya itu.

Keduanya sama merancang rencana busuk, sehingga suasana pernikahan yang gembira itu berubah menjadi pertempuran darah yang ganas. Benar juga, persiapan Tiau-ing ternyata lebih unggul. Namun Su Tiau-gi untuk masih mempunyai pengikut-pengikut yang setia. Rencana Su Tiau-ing untuk membunuh engkohnya itu, sukar terlaksana. Paling-paling hanya dapat mengurung Tiau-gi dan tentaranya.

Sedang pihak Leng-ciu-pay itu memang mempunyai rencana sendiri. Selagi kedua saudara itu bertempur, orang Leng-ciu-pay segera mengurung Shin Ci-koh. Karena sedang sibuk, Se-kiat tak dapat mencegah perbuatan mereka.

Dari lima puluh ribu pasukan berkuda kepunyaan Tiau-gi, sudah ada dua pertiga bagian yang memberontak ikut pada Tiau-ing. Keadaan Tiau-gi memang berbahaya, tampaknya ia tak dapat lolos lagi. Tapi selagi Se-kiat bersemangat memberi komando kepada anak buahnya, tiba-tiba kedengaran genderang bertalu riuh dan sebuah pasukan berkuda di bawah pimpinan Tomulun menerjang ke medan pertempuran.

Tomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Ia mengamuk dengan sebatang tombak yang beratnya tak kurang dari 70-an kati sehingga anak buah Se-kiat kocar-kacir. Se-kiat marah dan larikan kudanya untuk menangkap putera raja itu. Tiau-ing buru-buru memperingatkan Se-kiat supaya jangan membunuh Tomulun.

"Ya, kau sudah mengerti. Dia adalah putera tunggal dari raja Ki. Jika dapat ditawan, ayahnyapun tentu menurut perintahku," sahut Se-kiat.

Pada saat itu Timulunpun menyerang tiba. Tiau-ing meneriakinya: "Pangeran Tomulun, ini adalah urusan kami berdua saudara. Hubungan kita sudah baik, harap kau jangan turut campur. Mengapa kau hendak membantu engkohku?"

"Heh, sekarang kau baru mengambil hatiku? Sudah kasip. Sekalipun sekarang kau suka menikah dengan aku, aku tak sudi lagi memperisterikan seorang wanita siluman seperti kau!" damprat Tomulun.

Sudah tentu Se-kiat marah sekali. Larikan kudanya menerjang kemuka, ia berseru: "Tutup mulutmu, pantat kuali! Di hadapanku, jangan jual lagak seperti anak raja!"

"Aku tidak merebut binimu, mengapa kau marah-marah? Lihat serangan tombakku!" teriak Tomulun.

Waktu Se-kiat hendak menangkis tiba-tiba sebatang passer telah melayang mengenai kuda tunggangan Se-kiat. Kuda itu rubuh.

"Aku tak mau mendapat kemurahan, ayo kita turun bertempur!" seru Tomulun sembari loncat turun dari kudanya dan menyerang dengan tombaknya. Se-kiat girang. Ia anggap dengan bertempur tanpa kuda itu, mudah sekali untuk menawan putera raja itu. Dan ia menertawakan Tomulun yang dianggapnya hanya mengandal kekuatan saja tetapi ilmu silatnya kurang lihay. Ia lingkarkan pedangnya menyerang ke tengah.

"Bagus!" seru Tomulun sembari benturkan tombaknya ke pedang lawan. Dalam soal kepandaian silat, sudah tentu Tomulun itu bukan tandingan Se-kiat. Maka sembari tertawa gelak-gelak Se-kiat rubah greakan pedangnya lurus-lurus untuk menempel tombak dan terus dipapakan ke muka. Jika tak mau lepaskan tombak, jari Tomulun tentu hilang. Jika lain orang, tentu sudah menyerah. Tapi tidak demikian dengan Tomulun.

"Aku tak sudi lepaskan senjataku!" teriak putera raja itu yang dengan nekad telah sapukan tombaknya. Memang Se-kiat akan dapat memapas kutung jari lawan, tapi ia nanti juga akan termakan tombak. Buru-buru ia tarik pulang pedang dan sambil berputar tubuh ia membentak lagi: "Apa kau benar-benar tak mau lepaskan tombakmu?!"

Dengan kecepatan seperti kilat Se-kiat gunakan jurus Pek-hong-koan-jit atau bianglala menyongsong matahari, ia menusuk perut lawan. Dengan bersenjata tombak panjang itu, memang Tomulun dapat bertempur dari jarah jauh dengan bagus. Tapi kalau jaraknya dekat, gerakannya terpancang.

Tampaknya Tomulun terancam bahaya tapi justeru karena tak tahu keindahan gerakan musuh, dengan gunakan cara berkelahi orang Ki ia balas menusukkan tombaknya. Sudah tentu Se-kiat kerupyukan sekali. Se-kiat sudah berjanji takkan melukai pangeran itu. Gerakan memapas jari tadi hanya sekedar untuk menggerak supaya Timlun lepaskan tombaknya saja. Apalagi gerakannya menusuk perut orang itu, sudah tentu lebih tidak berani melanjutkan sungguh-sungguh. Karena pancangan itu, betapa lihay ilmu permainannya pedang tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa.

Tomulun memang tak kenal ilmu pedang yang sakti. Melihat Se-kiat tiap kali berganti permainan dan menghindar, ia mengira Se-kiat itu takut kepadanya, maka tertawalah putera raja itu terbahak-bahak.

Se-kiat mendongkol sekali ditertawai begitu rupa. Namun ia terpaksa menindas kemarahannya juga. Sembari bertempur ia terus putar otak memikirkan cara untuk menangkap hidup-hidup putera raja itu.

Tiau-ing memberi komando kepada pasukan wanitanya untuk memutus pasukan berkuda dari Tomulun. Tiba-tiba muncul lagi sebuah juada (bendera pertandaan) baru. Kay Thian-sian si nona buruk muka memimpin pasukan wanitanya menerjang datang.

Buru-buru Tiau-ing keprak kudanya untuk menyambut: "Cici Kay, kebetulan sekali kau datang!"
Kay Thian-sian berludah dan berseru: "Siapakah cici-mu itu? Kau pengapakan ciciku In-nio itu? Tak peduli kau ini seorang kongcu atau isteri bengcu, kalau berani mengganggu selembar rambut cici In, aku tentu akan mengadu jiwa padamu."

Engkoh Thian-sian, yakni Kay Thian-hau, saat itupun berada di medan pertempuran. Mendengar kata-kata adiknya itu, ia kaget dan marah. Ia larikan kuda menghampiri dan membentaknya: "Budak liar, mengapa kau berani ngaco belo? Apa kau hendak berkhianat? Apakah di matamu tiada lagi Bo bengcu dan engkohmu ini?"

"Bo Se-kiat berbudi rendah tidak konsekwen. Dia bukan orang baik. Kalau dia dapat membuang cici In-nio, apakah aku tak dapat berkhianat?" sahut Thian-sian.

Waktu mendongak kepala, Thian-sian melihat Tomulun tengah bertempur seru dengan Se-kiat. Sekali berbuat, tak mau ia kepalang tanggung. Terus saja ia menerjang ke sana: "Tomulun jangan takut, aku membantumu! Hm, Se-kiat, mengapa kau menghina suamiku?"

Kiranya karena saling mencocoki hati, kedua insan buruk muka itu telah mengikat jodoh.
"Budak tak tahu malu, lihat golokku!" dengan marah sekali Thian-hau menyerang adiknya.

Continue Reading

You'll Also Like

129K 2.6K 89
Lanjutan Pendekar Baja Sim Long. Puncak karir Khu Lung yang melegenda. Setara dengan novel - novel peraih Nobel. Li Sun Huan merupakan salah satu kar...
148K 1.8K 112
Pendekar Harum yang nama aslinya adalah Chu Liu Xiang (Coh Liu Hiang) adalah karakter yang diangkat dari novel karya Gu Long (Khu Lung) yang diterbit...
211K 2.4K 47
Keng thian giok cu Thi keng serta putra kesayangannya Giok bin Coan cu (Coan cu berwajah kemala) Thi Tiong giok dari Dunia Persilatan secara beruntun...
Segalanya💞 By xwayyyy

General Fiction

62.7K 9.7K 33
hanya fiksi! baca aja!