Tusuk Kundai Pusaka - Liang I...

By JadeLiong

30K 513 16

Lanjutan "Kisah-kisah Bangsa Petualang" Salah satu kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32 (TAMAT)

Jilid 27

545 8 0
By JadeLiong

Sebenarnya kepandaian paderi itu tidak di bawah Bik-hu. Tapi karena tak berhasil menangkap Sip Hong, sebaliknya kedua sutenya malah menjadi korban, pecahlah nyalinya. Dengan gerak teng-li-ciang-sim ia menghindari tusukan pedang Bik-hu. Tapi secepat itu juga Bik-hu sudah susuli lagi dengan tusukan yang kedua dan ketiga. Dengan mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua aliran, begitu mendapat angin, serangan Bik-hu itu seperti air bah melanda. Sekalipun andaikata paderi itu masih mempunyai semangat bertempur, tetap ia tak mampu balas menyerang.

Ternyata kepandaian naik kuda dari si paderi itu hebat sekali. Dengan gerak to-coan-cu-lian, ia dapat lolos dari lubang jarum. Caranya menghindar memang istimewa juga ialah dengan melorot turun dan bersembunyi di bawah perut kudanya. Tapi sekalipun orangnya selamat, kudanya kena termakan pedang di bagian pantat. Kuda paderi itu juga kuda ternama. Begitu terluka, binatang itu lantas mencongklang sekuat-kuatnya. Larinya tak kalah pesat dengan kuda ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu.

Jurus itu berlangsung dengan cepat sekali. Pada saat Bik-hu dapat menghalau si paderi, Sip Hong pun tepat menginjakkan kakinya ke tanah. Karena memikirkan keselamatan jenderal itu, Bik-hu lepaskan si paderi. Buru-buru ia loncat turun dari kudanya dan menanyai keadaan Sip Hong.

"Terima kasih atas pertolonganmu. Beruntung aku tak sampai terluka. Tetapi entah bagaimana dengan kuda tungganganku itu," kata Sip Hong. Dalam berkata-kata itu, kudanya tampak lari mendatangi. Binatang itu mengusap-usapkan bulu surinya kepada Sip Hong dan meringkik beberapa kali. Seolah-olah ia tahu dan girang bahwa tuannya tak kurang suatu apa. Pun karena mengetahui kudanya tak kena apa-apa, Sip hong girang. Kiranya kuda itu hanya membaui racun saja tetapi tak sampai terkena.

"Paderi jubah merah itu adalah tokoh dari Leng-san-pay. Sayang tadi membiarkan ia lari," kata Bik-hu. Sip Hong suruh anak muda itu memeriksa kedua paderi yang terluka tadi. Ternyata yang kena tertusuk pedang Bik-hu itu sudah tak bernyawa. Karena tak tega melihati korbannya, Bik-hu segera menguburnya. Yang seorang ialah yang terbungkus jubah merah tadi, setelah dibuka, ternyata hanya terluka ringan.

"Mengapa kalian datang kemari? Mengapa hendak mencelakai aku? Lekas mengaku terus terang, kalau tidak tentu kutabas," bentak Sip Hong seraya mencabut pedang.

"Ciangkun, ampunilah jiwaku. Ini bukan urusanku, aku hanya disuruh toa-suhengku, terpaksa aku melakukan juga," sahut si paderi.

"Apakah toa-suhengmu itu si Ceng-bing-cu?" tanya Sip Hong pula.

Si paderi mengiakan: "Ya, toa-suheng telah menerima undangan Su Tiau-gi dan kepala suku Ki. Anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan semua dibawa ke daerah Yu-ciu."

"Untuk apa toa-suhengmu mengutus kau kemari?"

"Untuk memata-matai keadaan tentara kerajaan."

Waktu Ceng-bing-cu menyuruh tiga belas sutenya menangkap Su Tiau-ing, di tengah jalan telah berpapasan dengan Shin Ci-koh. Dari ketiga belas murid Leng-san-pay itu, kecuali seorang ialah si paderi jubah merah yang ternyata murid kedua dari Leng Ciu siangjin, yang dua belas orang semua telah binasa di tangan Shin Ci-koh.

Peristiwa itu telah menimbulkan kemarahan Leng Ciu siangjin. Ia kabulkan permintaan muridnya pertama yakni Ceng-bing-cu, untuk mengerahkan segenap anak murid Leng-san-pay dari dua angkatan, turun gunung membantu Su Tiau-gi sekalian untuk membalas sakit hati pada Shin Ci-koh. Ceng-bing-cu telah memperhitungkan karena kepentingan muridnya, Shin Ci-koh tentu datang ke Yu-ciu. Untuk itu Ceng-bing-cu telah mempersiapkan barisan pilihan menghadapi wanita itu. Jika itu masih gagal, barulah Leng Ciu siangjin akan keluar sendiri.

Tetapi Ceng-bing-cu itu ternyata seorang ambisius. Tujuannya tidak melainkan menuntut balas pada Shin Ci-koh, pun ia ingin menjadi Kok-su (penasehat agung) dari Su Tiau-gi. Kelak apabila Su Tiau-gi berhasil dalam usahanya mendirikan kerajaan, partai Leng-san-pay tentu akan mendapat prioritas untuk merajai dunia persilatan. Maka serta merta ia meluluskan permintaan Su Tiau-gi untuk mengirim tiga orang sutenya menyelidiki keadaan tentara kerajaan. Untuk keperluan itu, Su Tiau-gi tak segan menghadiahkan tiga ekor kuda yang istimewa.

Karena paderi itu mengaku dengan terus terang, Sip Hong dapat mengampuni jiwanya. Tapi untuk sementara waktu, paderi itu harus ditawan dulu sampai nanti setelah pihak Yu-ciu dapat dipukul pecah.

"Apakah adik perempuan dari Su Tiau-gi itu sudah kembali ke Yu-ciu?" tiba-tiba Bik-hu bertanya. Si paderi menyatakan tidak tahu. Sip Hong heran mengapa Bik-hu memperhatikan sekali kepada adik perempuan Su Tiau-gi. Sudah tentu ia tak mengerti jalan pikiran Bik-hu. Yang diperhatikan Bik-hu itu bukan Su Tiau-ing, melainkan Se-kiat. Dan lebih lanjut lagi, sebenarnya bukan Se-kiat, tetapi In-nio.

Waktu Sip Hong hendak membawa pulang paderi itu, tiba-tiba Bik-hu meminta supaya panglima itu mengeluarkan sebuah perintah. Sudah tentu Sip Hong heran dan menanyakan apa yang dimaksud anak muda itu.

"Su Tiau-gi berani mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan kita, mengapa kita tak balas mengirimorang untuk menyirapi keadaan mereka? Aku sendiri belum mendirikan pahala apa-apa, maka dengan ini mohon ciangkun sudi memberi ijin padaku pergi ke Yu-ciu," kata Bik-hu.

Sip Hong menyatakan memang ia juga mengandung pikiran begitu. Tapi karena jaraknya dengan Yu-ciu masih kira-kira seperjalanan setengah bulan, ia belum bertindak. Nanti saja apabila sudah tinggal delapan atau sepuluh hari, ia baru akan mengirim mata-mata itu.

"Tapi kudaku itu pesat sekali. Walaupun jarak Yu-ciu itu masih ribuan li, namun aku dapat menempuhnya pulang balik selama empat lima hari saja. Lebih lekas mengetahui keadaan musuh, lebih baik," Bik-hu tetap mendesak.

Sip Hong sebenarnya dapat menyetujui tapi ia masih sangsi karena pemuda itu baru masuk menjadi tentara, pengalamannya kurang.

"Pengalaman? Bagaimana mendapat pengalaman kalau tak menempuhnya? Jika ciangkun mengutus aku, aku tentu akan berhati-hati."

Karena si anak muda ngotot begitu, akhirnya Sip Hong meluluskan juga. Besok pagi Bik-hu boleh berangkat. Pada saat itu karena ditungguh sampai sekian lama, panglima tak kembali, Lau congkoan segera membawa beberapa pengawal menyusul.

"Lau congkoan sudah menyusul kemari. Kiranya tak perlu aku yang harus membawa pulang tawanan ini. Kupikir aku akan berangkat sekarang juga," kata Bik-hu.

"Ai, mengapa begitu terburu-buru?" kata Sip Hong.

"Tugas ketentaraan harus dijalankan dengan cepat. Sekarang hari masih sore, sebelum petang kudaku tentu sudah dapat lari sejauh 100-an li."

"Ya, baiklah. Sekarang kau boleh berangkat. Tetapi ingatlah, nyali harus besar, pikiran harus cermat, segala apa harus ditanggung diri sendiri," Sip Hong memberi pesanan.

Setelah menerima ciang-leng (perintah), Bik-hu segera congklangkan kudanya, ia sudah hilang dari pemandangan. Dibawa 'terbang' kuda ciau-ya-say-cu, pikiran Bik-hu melayang-layang: "Ia berangkat beberapa hari yang lalu. Mungkin sekarang sudah berada di Yu-ciu. Jika di dalam kalbunya hanya terukir Se-kiat seorang, sekalipun dapat kususul, aku dapat berbuat apa?"

Kiranya adanya Bik-hu bergegas-gegas menuju ke Yu-ciu itu, menyelidiki keadaan musuh hanyalah untuk alasan saja. Yang penting baginya ialah menyusul jejak In-nio. Sewaktu mendengar keterangan Sip Hong bahwa nona itu tak beradi di perkemahan tentara, cepat sekali Bik-hu sudah menduga bahwa In-nio tentu pergi ke Yu-ciu menjumpai Se-kiat. Memikir sampai di sini hati Bik-hu rawan juga.

Tetapi pada lain kejap ia berpikir lagi: "Ah, tak peduli ia menaruh hati padaku atau tidak, aku tetap akan berusaha supaya ia jangan sampai terjeblos dalam pikatan Se-kiat. Dan akupun telah meluluskan Yak-bwe untuk menghibur kedukaan In-nio. Ai, biar ia jemu padaku, namun aku tetap akan menemuinya!"

Dan memang dugaan Bik-hu itu jitu sekali. In-nio hanya mengajukan alasan akan pulang menjenguk mamanya, tapi sebenarnya ia menuju ke Yu-ciu untuk menemui Se-kiat. In-nio bersifat seperti seorang anak lelaki. Kepergiannya ke Yu-chiu itu sekali-kali bukan karena ia tak kunjung padam cintanya kepada Se-kiat, tetapi karena sebagian juga akan menasehati pemuda itu supaya jangan terlalu jauh terbenam dalam kesesatan. In-nio anggap Se-kiat itu juga seorang sahabat, maka ia harus berdaya untuk menasehatinya.

Dalam musim rontok di bulan sembilan, padang rumput di luar perbatasan mulai kering. Seorang diri berkuda melintasi padang rumput hati In-nio juga terasa rawan. Seluas berpuluh-puluh li, tak tampak barang seorang insan. Untung In-nio membekal ransum kering.

Pada hari itu ia mulai masuk ke perbatasan Yu-ciu. Rumah-rumah penduduk pun mulai banyak. Dilihatnya di tegal gandum, ada orang sedang menuai gandum. Pada masa seperti saat itu, iklim di padang rumput berubah-rubah. Pagi dan malam dingin sekali, tetapi siang hari panas sekali. In-nio buru-buru melanjutkan perjalanan. Ia merasa haus dan sekalian perlu untuk bertanya pada penduduk di situ. Ia turun dari kuda dan menghampiri seorang pak tani yang sedang menuai gandum untuk meminta minum.

Pada masa ahala Tong, kaum wanita tidak dikekang dengan peradatan yang keras. Terutama di daerah suku Oh, seorang gadis bepergian seorang diri sudahlah biasa.

Tetapi entah bagaimana, petani-petani itu heran melihat In-nio, hanya karena sifat penduduk di situ jujur-jujur, jadi mereka tetap melayaninya dengan baik.

Dalam percakapan selanjutnya, In-nio menerangkan bahwa ia hendak ke Tho-ko-sim-ki menjenguk seorang bibinya. Tho-ko-sim-ki adalah tempat kediaman suku Ki. Ada juga sejumlah kecil suku Han. Karena percampuran itu, suku Ki paling rapat dengan suku Han.

Perempuan tani suku Ki itu kerutkan dahinya: "Nona, sekarang ini tidaklah tepat jika kau ke sana karena di sana sedang diadakan persiapan perang. Sebenarnya tak seharusnya raja kami menerima Su Tiau-gi itu, sekarang tentara kerajaan marah."

"Justeru sebelum perang meletus, aku hendak mengambil pergi bibiku. Tentara negeri tentu tidak secepat itu datangnya, bukan?" kata In-nio.

Perempuan tani itu mengatakan tak tahu hanya memang dalam beberapa hari ini terdapat beberapa pasukan yang lewat di situ.

"Apakah bendera mereka?" tanya In-nio.

"Tidak membawa bendera apa-apa. Tetapi menilik pakaiannya seperti orang Han. Ada wanitanya juga."

In-nio heran. Ia tahu tentara negeri belum mempunyai pasukan wanita. Pun induk pasukan yang dipimpin Li Kong-pik telah berjanji pada Sip Hong kira-kira sepuluh hari lagi baru tiba di situ.

"Entah pasukan manakah mereka itu?" kata In-nio.

"Mudah-mudahan bukan tentara negeri. Kalau mereka itu tentara negeri selanjutnya kami tentu lebih menderita lagi," kata perempuan itu. Waktu In-nio menanyakan sebabnya, wanita itu meneranginya lebih lanjut: "Mereka itu lebih tepat disebut perampok. Kemarin waktu lalu di sini, tanaman gandum kami diambil separuh!"

Kini tahulah sebabnya mengapa walaupun belum masanya, tetapi para petani di situ sudah sama menuai gandumnya. Ia hanya dapat menghela napas. Memang anak tentara yang dipimpin oleh lengkong atau ayahnya masih lumayan disiplinnya. Tapi anak tentara dari Tian Seng-su dan para ciat-to-su itu, mungkin lebih ganas dari bangsa perampok.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlarian datang. Petani-petani serempak berteriak gaduh: "Celaka, kawanan perampok itu datang lagi."

"Nona, kau muda dan cantik, lekas ikut aku bersembunyi. Ai, kiranya perampok wanita yang datang itu! Tetapi rasanya lebih baik nona menyingkir saja," kata perempuan tani tadi. Tetapi In-nio menolak. Ia mengatakan hendak bicara dengan mereka. Waktu si perempuan tani hendak menariknya, In-nio sudah loncat ke atas kuda dan mencongklang ke sana. Perempuan tani itu banting-banting kaki. Tapi karena pasukan wanita sudah menerjang ke ladangnya, terpaksa perempuan itu lari.

"Pasukan dari mana ini? Siapa pemimpinmu? Mengapa kalian menginjak-injak ladang rakyat?" tegur In-nio.

Pemimpin mereka tertawa: "Budak perempuan yang bernyali besar, berani mengurusi nyonya besar. Lihat panah!" - Cepat panglima perempuan itu sudah lepaskan anak panahnya.

In-nio gusar sekali. Begitu ia miringkan kepala, ia sambar ekor anak panah itu dengan sepasang jarinya. Waktu ia hendak timpukkan kembali, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring: "Hai, apakah itu bukan nona In-nio?"

Seorang nona yang bermuka jelek dan berambut kuning, hidung besar larikan kudanya menghampiri. In-nio kenal nona itu, serunya: "Hai, Kay toaci, kiranya kaulah. Mengapa kau memimpin pasukan wanita ke Yu-ciu?"

Kiranya nona jelek itu bernama Kay Thian-sian, adik perempuan dari Kay Thian-hau, tangan kanan yang paling dipercaya Se-kiat. Waktu dalam pertandingan memilih pemimpin beng-cu di gunung Kim-ke-nia dulu, Kay Thian-haulah yang mengusulkan supaya Se-kiat diangkat jadi bengcu. Se-kiat banyak mendapat bantuannya. Karena hubungannya dengan Se-kiat, In-nio kenal juga dengan kakak beradik she Kay itu. Kay Thian-sian tahu juga tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio. Ia masih mengira kedua pemuda itu tentu sepasang kekasih, tidak tahu tentang perubahan hubungan mereka sekarang.

Thian-sian artinya bidadari, tapi rupanya lebih buruk daripada siluman. Ia sedang tertawa menganga sampai gigi-giginya yang berwarna kuning kelihatan: "Mengapa kau tanyakan aku? Bukankah kau sendiri datang hendak mencari Bo Se-kiat?"

"Benar, kudengar ia berada di Tho-ko-poh maka aku hendak mencarinya. Apakah kau menerima perintahnya untuk membawa pasukan kemari?" tanya In-nio.

"Kiong-hi, kionghi! Tahukah kau kalau bengcu bakal melakukan gerakan besar? Kalau gerakan itu berhasil, ai, kau tentu bakal menjadi permaisuri. Untuk melaksanakan gerakan itu sudah tentu bengcu memerlukan tenaga kita. Anak buah kakakku, saudara-saudara dari Im-ma-jwan Peh hou-ce, Hek-long-san dan yang biasanya setia kepada bengcu, telah berturut-turut datang. Tapi mereka yang biasanya setia kepada Thiat-mo-lek, terutama dari pihak Kim-ke-nia, tidak mau datang."

In-nio terkesiap hatinya. Ia ingat bahwa adanya dulu Thiat-mo-lek menyerahkan kedudukan bengcu kepada Se-kiat itu, adalah karena hendak menghindari perpecahan. Siapa tahu kini timbul tanda-tanda keretakan di dunia loklim.

Cian-hong atau pemimpin barisan wanita tadi segera menghaturkan maaf, tetapi In-nio tertawa: "Kalian tak bersalah padaku, mengapa meminta maaf? Lebih baik kalian meminta maaf kepada para petani yang rusak ladang gandumnya itu."

Si cian-hong merah padam mukanya tak berani menyahut. Adalah Kay Thian-sian yang menyelutuk: "Ai, cici In, mengapa kau begitu bengis seperti hakim saja? Apa halangannya merusakkan sedikit tanaman gandum itu? Bahkan kita memang perlu merampas tanaman mereka semua."

"Habis mereka disuruh makan apa nanti?" bantak In-nio.

Nona jelek itu kerutkan jidatnya: "Ai, nonaku manis, tahukah kau bahwa daerah ini jarang penduduknya, sukar mencari ransum. Kalau tidak merampas gandum mereka, kita disuruh makan apa?"

"Bagaimanapun kita tentu lebih dapat berusaha daripada rakyat jelata itu. Tidak punya ransum, dapat juga menyembelih kuda untuk bertahan beberapa hari. Apalagi sekarang sudah tiba di Yu-ciu, perlu apa menyusahkan rakyat? Se-kiat dan engkohmu itu hendak bergerak dengan panji-panji 'keadilan', tetapi kalau sekarang hanya menyebabkan rakyat mati kelaparan, apakah itu sesuai disebut adil? Pada hematku, jika mau merampas carilah orang-orang yang berharta," bantah In-nio.

Walaupun Thian-sian itu buruk mukanya, tapi hatinya masih baik. Ia dapat menerima koreksi In-nio: "Ya, memang di sepanjang jalan kami juga merampas orang-orang kaya. Tapi ada kalanya jika tak berhasil mendapat si kaya, si miskin pun kami gasak. Cici In, jangan kira aku ini seorang yang tak kenal adat-kebenaran."

"Jika aku beranggapan demikian, masakan aku berbahasa taci-adik padamu," sahut In-nio.

Thian-sian tertawa girang: "Bagus, demi memandang muka cici In, aku tak mau mengambil sebutirpun gandum mereka. Ayo, semua orang berangkat, nanti di dalam kota kita makan sampai kenyang."

Memang Thian-sian itu selalu mengindahkan dan menurut nasihat In-nio. Ia segera ajak In-nio bersama-sama. Dalam omong-omong, bertanyalah Thian-sian: "Apakah ayahmu meluluskan perkawinan mu? Jika dapat memperoleh bantuan ayahmu, gerakan bengcu tentu dapat berhasil dengan lekas."

In-nio menerangkan bahwa ayahnya belum mengetahui tentang hubungannya dengan Se-kiat.

"Oh, kalau begitu kau ini diam-diam melarikan diri? Jika bengcu mengetahui, alangkah terima kasihnya kepadamu!" seru Thian-sian.

Hati In-nio terasa rawan, namun ia berusaha untuk menahannya. Pikirnya: "Mereka telah bertekad hendak membantu Se-kiat. Jika tahu bahwa ayah menjadi wakil panglima dari tentara kerajaan yang hendak menumpas mereka, bagaimanakah reaksi mereka terhadap diriku? Tetapi aku hendak menjumpai Se-kiat, terpaksa aku harus menyatakan kesediaanku membantunya. Selanjutnya aku dapat menyesuaikan dengan keadaan lagi."

"Cici In, apa yang kau pikirkan?" tiba-tiba Kay Thian-sian menegur demi melihat In-nio berdiam diri.

"Aku tengah memikirkan suatu permainan," jawab In-nio. Karena Thian-sian itu masih seperti kanak-kanak, ia girang sekali mendengar itu dan buru-buru menanyakan.

"Tetapi kau harus membantu aku dulu," kata In-nio. Serentak Thian-sian pun menyatakan kesediaanya.

"Aku hendak menyaru jadi seorang anak buahmu. Sampai nanti masuk ke kota Tho-ko-poh, jangan sampai memberitahukan pada lain orang."

"Kepada beng-cu?"

"Juga tidak perlu!"

Thian-sian kerutkan alis: "Mengapa bengcupun tidak boleh? Ho, tahulah aku."

"Tahu apa?" tanya In-nio.

"Kau kuatir nanti ia direbut oleh gadis suku Ki, maka diam-diam kau akan menyelidikinya, bukan? Jangan kuatir, walaupun gadis-gadis itu memang pandai memikat orang lelaki, tapi mana mereka nempil dengan kau, nona cantik yang pandai ilmu silat? Dan bengcu itu seorang yang selalu menjunjung peri-budi, dia bukan pria yang gampang berubah hatinya."

Hati In-nio pedih namun mulutnya memaksa tertawa: "Jangan menduga yang tidak-tidak! Aku hanya akan membuatnya kaget dengan kedatanganku secara tiba-tiba ini."

Akhirnya tanpa banyak rewel lagi, Thian-sian mengiakan. Demikianlah In-nio segera berganti pakaian sebagai serdadu wanita.

Dua hari kemudian tibalah mereka di Tho-ko-poh. Disebut poh (kota jaman kuno yang berbentuk seperti benteng) memang tepat, karena kota itu dikelilingi oleh gunung. Kotanya dibagi menjadi dua, yang sebelah luar dan sebelah dalam. Su Tiau-gi dan kepala suku Ki berdiam di kota dalam. Melihat keadaan kota Tho-ko-poh yang strategis itu diam-diam In-nio menimang dalam hati: "Jika tak dapat menangkap raja di sini, sukarlah kiranya untuk menyerang kota ini."

Setelah menunggu sebentar di luar pintu kota, akhirnya pintu kota dibuka dan muncullah seorang yang dandanannya mirip dengan opsir. Orang itu berseru nyaring: "Sebentar lagi Tay Yan kongcu akan memeriksa barisan, harap kalian berkemah dulu di kaki bukit Hui-ma-san."
In-nio berdebar hatinya: "Tay Yan kongcu apakah dia bukan Su Tiau-ing si wanita siluman itu? Ah, jangan sampai diriku ketahuan."

Ki-pay-koan atau opsir yang menjabat sebagai ordonan (penyampai berita) itu segera membawa pasukan Kay Thian-sian ke tempat yang dimaksudkan itu. Tempat itu bekas ladang gandum. Rumah-rumah kayu didirikan secara darurat untuk perkemahan tentara. Hanya ada dua buah rumah tembok yang agak baik. Ini untuk tempat tinggal Kay Thian-sian dan senopati pembantunya.

"Mengapa kita tak disuruh tinggal dalam kota?" Kay Thian-sian kerukan dahinya.

"Kota sudah penuh dengan tentara Yan-kok, untuk sementara kalian tinggal saja di sini," jawab opsir itu. "Bahwa nanti Tay Yan kongcu akan datang sendiri menjenguk kalian, itu sudah suatu kehormatan besar.

Kay Thian-sian mendengus dengan kurang senang, pikirnya: "Apa-apaan dengan kongcu (puteri), nio-nio (permaisuri) Toh tidak lain hanya adik perempuannya Su Tiau-gi saja. Sudah melarikan diri di tempat orang, masih orang she Su itu banyak tingkah memakai gelaran agung, huh, sungguh tak tahu diri! Sungguh tak mengerti aku mengapa bengcu mau berserikat dengan dia?"

Tepat pada saat perkemahan selesai didirikan, datanglah sebuah pasukan wanita yang mewartakan bahwa puteri segera akan datang. Kay Thian-sian makin panas hatinya: "Kurang ajar betul, di hadapanku ia masih main agung-agungan!"

Benar juga, datanglah Su Tiau-ing dengan naik sebuah kereta. Mungkin Tiau-ing itu tak mengerti bagaimana bentuk kereta istana itu, maka model keretanya itu tak keruan bentuknya. Dengan menahan kemengkalan hatinya, Kay Thian-sian terpaksa menyongsongnya.

Tetapi ternyata Su Tiau-ing pandai sekali mengambil hati orang. Begitu turun dari keretanya, serta merta ia lantas mengepal tangan Kay Thian-sian seraya berseru dengan ramahnya: "Aduh, menempuh perjalanan yang sedemikian jauh, tentu lelah sekali. Cici Kay, lama sudah kudengar kau ini seorang pendekar wanita yang gagah, sungguh suatu kehormatan kini mau datang kemari!"

Dingin-dingin saja Kay Thian-sian menyahut, memujikan kesehatan orang.

"Ai, mengapa cici begitu merendah kepadaku? Toh engkohmu dan Se-kiat itu sudah seperti saudara saja?" seru Tiau-ing.

Nona jelek rupa itu ternyata puntul otaknya. Pikirnya: "Engkohku baik kepada bengcu itu, ada hubungan apa dengan kau dan aku?"

"Aku juga mempunyai sebuah pasukan kecil serdadu wanita. Kelak kita dapat menggabungkannya menjadi sebuah pasukan wanita tentu tak kalah dengan pasukan orang lelaki. Ha, cici Kay, pasukanmu ini nyata lebih kuat dari pasukanku itu," kata Tiau-ing pula.

Dengan kata-kata ini terang Tiau-ing hendak memeriksa barisan Kay Thian-sian. In-nio sudah gelisah. Syukur si perawan jelek itu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyatakan bahwa anak buahnya yang habis menempuh perjalanan jauh itu tentu letih, maka ia hendak suruh mereka lekas beristirahat saja. Kemudian ia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing yang mengantarkan sekian banyak makanan.

Tiau-ing menyatakan kemenyesalan bahwa ia tak dapat menyediakan tempat yang lebih baik untuk anak buah Kay Thian-sian.

"Kami datang untuk berhamba padamu. Asal mendapat tempat guna berlindung dari hujan dan angin saja, sudahlah cukup. Masakan aku berani mengharap yang tidak-tidak?"

Tiau-ing tertawa. Tiba-tiba ia membisiki Thian-sian: "Harap cici jangan marah. Kesemuanya ini bukan aku yang mengatur. Aku dan Se-kiat juga tak tinggal di dalam kota. Untuk sementara harap cici bersabar dulu, beberapa hari aku tentu dapat menyediakan tempat yang lebih enak untuk cici."

Kiranya kedatangan Se-kiat dan Tiau-ing untuk menggabungkan diri dengan Su Tiau-gi itu, diterima tidak dengan kepercayaan penuh. Hal itu disebabkan karena adanya percekcokan antara Tiau-gi dan Tiau-ing tempo hari. Karena memandang Se-kiat itu seorang bengcu yang luas pengaruhnya, maka Tiau-gi hendak menggunakannya untuk membantu usahanya. Dan dengan sendirinya ia tak dapat meneruskan maksudnya untuk menangkap Tiau-ing. Dengan adanya ketidak-kompakan dalam persekutuan itu, maka masing-masing pihak saling waspada. Itulah sebabnya maka Tiau-gi tak mau menempatkan anak buah Se-kiat di dalam kota. Di samping itu diam-diam iapun melepas mata-mata untuk mengamat-amati gerak-gerik orang-orangnya Se-kiat.

"Oh, jadi kau tidak tinggal bersama engkohmu tetapi bersama bengcu kami?" Kay Thian-sian heran.

"Memang aku senantiasa tinggal dengan Se-kiat."

"Ha, mengapa bengcu tak tampak?" tiba-tiba Kay Thian-sian mengajukan pertanyaan. Tiau-ing mengatakan bahwa kedatangannya itu adalah sebagai wakil Se-kiat. Ia yang datang, artinya sama dengan Se-kiat yang datang.

"Oh, jadi kau dan bengcu itu berarti seorang?" Thian-sian menegas.

Tiau-ing tidak menyahut melainkan tertawa girang. Melihat ke arah matahari, ia berseru: "Ai, hari sudah siang, Se-kiat tentu menanti kedatanganku. Besok kita lanjutkan bicara lagi."

Setolol-tololnya Thian-sian, sedikit-sedikit tahu juga apa arti tingkah laku Tiau-ing itu. Begitu Tiau-ing pergi, Thian-sian hendak mendapatkan In-nio, tapi baru saja masuk ke dalam rumah, tiba-tiba seorang anak buahnya masuk melaporkan bahwa raja Tomulun hendak bertemu.

"Hm, baru seorang puteri pergi, datang lagi seorang raja. Apakah aku harus mengumpulkan pasukan untuk menyambutnya lagi?" Thian-sian muring-muring."

"Tomulun itu agak aneh. Ia datang seorang diri tanpa membawa pengikut. Waktu kami tegur, baru ia mengatakan siapa dirinya. Ia ingin bertemu li-ciangkun (jenderal wanita) karena sudah lama mengagumi nama ciangkun yang termasyhur. Orangnya agak ketolol-tololan," kata serdadu wanita itu.

Kay Thian-sian juga seorang wanita yang ketolol-tololan. Mendengar laporan itu, tiba-tiba timbullah gairahnya, serunya: "Ha, aneh sekali, namaku mengapa termasyhur sampai di daerah ini, sampai raja suku Ki mendengarnya juga. Baik, karena ia begitu tulus, akupun hendak menjumpainya."

Keluar di halaman, ia melihat seorang lelaki tinggi besar tengah mondar-mandir dengan membongkok tangan.

"Hai, apakah kau ini raja daerah sini?" tegur Thian-sian.

Lelaki itu berpaling dan berseru: "Apakah kau ini Kay Thian-sian li-ciangkun?"

Ketika saling berpandangan, keduanya sama-sama berteriak kaget. Kiranya raja Tomulun itu seorang lelaki yang jelek, kulitnya hitam seperti pantat kuali dan matanya menonjol ke atas.

"Ya, aku ini Kay Thian-sian. Perlu apa kau cari aku?" sahut Thian-sian.

Mulut raja itu menguak-uak seperti babi dan kakinya menyurut mundur.

"He, kau ini bagaimana? Kau punya mulut atau tidak, mengapa tak bicara?" kembali si nona 'bidadari' menegurnya.

Sepasang mata Tomulun mendelik. Tiba-tiba ia tertawa keras.

"Kau menertawai apa?" seru Thian-sian.

"Apakah kau ini sungguh Kay Thian-sian?" Tomulun balas bertanya.

"Sejak dilahirkan aku bernama begitu, apakah kau anggap tidak baik?"

"Baik, baik sekali! Meskipun aku tak sekolah bahasa Han, tapi tahu juga aku akan arti nama itu, hi, hi, apakah artinya bukan sangat cantik sekali melebihi dewi Siong-go di rembulan?"

Kay Thian-sian marah sekali. Tidak peduli yang dihadapinya itu raja atau bukan, ia lantas menjiwirnya: "Kau hendak mengatakan bahwa aku bermuka buruk tidak pantas memakai nama itu, bukan? Hm, kau juga tak mau berkaca, apakah kau ini juga bagus rupamu? Tadi aku hampir saja pingsan melihatmu!"

Tomulun mendorongnya, berkata: "Hi, tak kunyana tenagamu besar sekali."

Kena didorong mundur sampai tiga langkah, Kay Thian-sian juga memuji: "Tenagamupun hebat juga." Ia tertawa riang, ujarnya pula: "Tahukah kau bagaimana kepandaianku? Menjadi seorang jenderal, yang penting ialah harus bertenaga kuat, dapat berperang. Apakah kau masih berani menertawai aku?"

Tomulun paling gemar adu kekuatan dengan orang. Mendengar itu, timbullah keinginannya: "Jangan omong besar. Berbicara tentang tenaga ..."

"Apa? Kau kira aku tak dapat menandingi kau?" tukas Thian-sian.

Tomulun garuk-garuk kepala, batinnya: "Ah, jika ia bukan seorang perempuan, tentu kutantang berkelahi. Ha, ada akal ..."

"Baik, kau ini seorang tetamu dari jauh, aku hendak menghaturkan sebuah bingkisan," tiba-tiba ia tertawa. Salah seorang serdadu wanita yang menjaga pintu, mempunyai sebatang tongkat besi, Tomulun menghampiri dan memintanya. Tongkat besi itu lalu diletakkan di atas kepalanya dan dibekuk sehingga menjadi sebuah gelang bundar. "Nona Kay, kuberikan anting-anting ini kepadamu, sukakah kau?"

Ternyata ada kebiasaan suku Ki itu baik perempuan maupun lelaki, semua suka memakai anting-anting. "Anting-anting besar" yang dipersembahkan Tomulun itu bukan dimaksud supaya dipakai Thian-sian, melainkan hanya untuk mengunjuk kehormatan saja, disamping hendak mempamerkan kekuatannya.

Sebaliknya Thian-sian telah salah paham. Ia deliki mata kepada raja hitam itu dan tertawa mengejek: "Kau memberikan anting-anting besar itu, hanya untuk mengolok-olok telingaku yang besar ini! Hm, akupun hendak memberikan tanda mata padamu juga."

Memang telinga nona itu, lebih besar dari telinga kebanyakan orang.

"Huh, mengapa hatimu begitu sempit? Baik, kutunggu bingkisan apa yang hendak kau berikan itu."

Thian-sian menyambuti anting-anting besi tadi, sembari sang tangan menarik, mulutnya menghitung 'satu, dua tiga, empat', dan anting-anting besi lurus kembali menjadi sebatang tongkat lagi. Tiba-tiba Thian-sian berteriak 'putuslah' dan tongkat besi itupun patah menjadi dua lalu diberikan kepada si raja: "Kuberikan bingkisan ini untuk kau buat sumpit makan!"

Tomulun terkesiap, tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak dan ulurkan jempolnya: "Ah, kau menang! Bukankah kau hendak mengejek mulutku yang lebar sekali ini?"

Dengan spontan Thian-sian unjukkan jempol tangannya:"Benar, kau bukannya goblok sekali." Dan tertawalah nona itu sekeras-kerasnya. Tomulun pun ikut tertawa.

"Sudahlah, sudah. Kita ini setali tiga uang, jangan saling mengejek," kata Tomulun.

Thian-sian berjingkrak: "Apa katamu? Kau bilang aku dan kau ini sama-sama jelek rupa?"

"Kukatakan, kau dan aku ini sama kepandaiannya," sahut Tomulun.

"Hm, begitulah baru perkataan manusia," kata Thian-sian.

Tiba-tiba mulut Tomulun meluncur kata-kata lagi: "Yang jelek malah jujur, yang cantik sebaliknya malah plin-plan!"

Mendengar itu Thian-sian berjingkrak lagi, serunya: "Siapa yang buruk dan siapa yang cantik itu?"

"Ai, manisku, aku hanya sembarangan berkata saja. Jangan kau tanyakanlah," sahut Tomulun.

"Tidak, tidak, kau bukan omong sembarangan. Kau ini orang yang tak jujur!"

"Aku ini orang yang kelewat jujur sehingga banyak menelan kerugian. Baik, apakah kau sungguh hendak menanyakan?" seru Tomulun.

"Ya, tapi yang jelek tak usah kau katakan. Bilang saja siapa yang cantik itu!"

Diam-diam serdadu wanita yang menjaga di situ geli tapi terpaksa ditahan.

"Apakah siluman kecil itu belum pernah datang kemari?" tanya Tomulun.

"Siluman kecil siapa?" Thian-sian melongo.

"Siapa lagi kalau bukan budak perempuan she Su itu!"

"Oh, kiranya kau memakinya! Sungguh besar sekali nyalimu berani memaki seorang puteri!"

Tomulun marah sekali, serunya: "Persetan puteri atau bukan! Bukan saja memakinya, pun aku hendak mencakar dan membeset kulit mukanya, agar ia lebih buruk dari wajahmu!"

"Mengapa kau begitu membencinya?" tanya Thian-sian.

Dengan dada berombak keras, Tomulun menggerang. "Mengapa aku tak harus membencinya, ia sudah bersedia suka menjadi isteriku tetapi sekarang ia mau jadi isteri lain orang!"

"Jadi isteri siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan si budak busuk Bo Se-kiat itu!"

Saking kejutnya Thian-sian sampai loncat berjingkrak: "Sungguhkah itu?"

"Sedikitpun tidak salah! Bo Se-kiat si jahanam itu ...."

Belum Tomulun menghabiskan makiannya, Thian-sian sudah menyolok hidung raja itu dan membentaknya: "Kurang ajar! Mengapa kau sembarangan memaki orang?"

"Heh, aku kan hanya memaki Bo Se-kiat, apa sangkut-pautnya dengan kau? Oh, mengertilah aku. Se-kiat budak itu berparas cakap, jangan-jangan ...."

Thian-sian mencengkeram raja itu dan membentaknya: "Jangan ngaco belo! Bo Se-kiat adalah bengcu kami, tahukah kau?"

Sambil menghindar cenkeraman si nona, Tomulun tetap marah-marah: "Peduli apa dengan bengcu! Aku tetap hendak memakinya, jahanam itu ...."

Kay Thian-sian loncat menghampiri hendak menyerangnya. Tetapi Tomulun menolak: "Seorang lelaki jantan tak mau berkelahi dengan seorang perempuan. Akupun tak mau berkelahi padamu. Baiklah, anggap saja aku telah menyalahi kau. Tidak boleh memaki, ya sudah." Habis berkata ia lantas berputar hendak berlalu.

"Tidak malu, menyebut diri lelaki jantan," Thian-sian menggerutu terus enjot tubuhnya loncat melampaui kepala raja itu dan menghadangnya: "Berhenti!"

"Aku sudah tak memaki, masih hendak mengapa kau ini? Apakah benar-benar hendak menantang aku berkelahi?" seru Tomulun.

"Karena kau belum menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana kau tahu bengcu kami itu hendak mengambil isteri si wanita siluman she Su? Apakah bukan dugaanmu sendiri? Atau apakah bengcu pernah mengatakan padamu?"

"Kau hanya berpendirian hendak membantu bengcu-mu saja, maka perlu apa aku banyak bicara padamu?" sahut Tomulun.

"Asal kau jangan sembarangan memaki, sudah tentu aku tak marah padamu. Baiklah, biar aku haturkan maaf padamu, bilanglah!"

"Tunggu saja nanti tentu akan menerima undangan dari bengcumu. Surat undangannya sudah diedarkan. Karena kau sudah datang, tentu akan dikirimi juga," kata Tomulun.

Thian-sian terkejut, serunya: "Apa? Hari pernikahannya sudah ditetapkan?"

"Benar, besok lusa!"

Tiba-tiba mata Thian-sian melotot dan mulutnyapun memaki: "Jahanam, benar-benar jahanam....."

"Siapa yang kau maki itu?" tegur Tomulun.

"Aku bukan memaki kau, aku ....." tiba-tiba Thian-sian tak dapat bicara, wajahnya merah padam. Kiranya adanya tadi hendak memukul Tomulun, bukan karena Tomulun telah memaki Se-kiat, tetapi karena ia tengah marah-marah namun tak dapat melampiaskan kemarahannya itu. Siapa yang sedikit saja menyalahi, tentu akan ditimpahi kemarahannya itu. Waktu mendengar Se-kiat telah menetapkan hari pernikahannya dengan Tiau-ing, tanpa dapat dicegah lagi Thian-sian lantas menirunya Tomulun, memaki 'jahanam' pada Se-kiat.

"Hola, kau juga memaki jahanam itu? Bagus, tepat sekali makianmu itu!" Tomulun tertawa gelak-gelak.

"Hari akan turun hujan, si nona akan menikah dengan orang, apa guna memakinya? Ai ....," kata Thian-sian yang lantas berpikir hendak mengajak berunding Tomulun tapi tak tahu bagaimana harus memulaikannya.

Tomulun tampak kecewa dan mengulangi kata-kata Thian-sian: "Ya, memang benar. Hari akan turun hujan, si nona pun hendak menikah dengan orang!" - Ia berputar diri lantas angkat kaki. Thian-sian pun tak mau mencegahnya lagi.

Ah, ternyata Tomulun itu dirasuk asmara sepihak. Kunjungannya ke perkemahan Kay Thian-sian itu sebenarnya mengharap dapat berjumpa dengan Tiau-ing. Kalau dapat, ia akan berusaha untuk merebut hati nona itu. Tapi kalau tidak dapat, ia hendak puaskan hati memakinya habis-habisan. Di samping itu, ia ketarik juga dengan nama "Thian-sian" (bidadari). Menilik namanya orangnya tentu cantik juga. Maka ingin sekali ia melihat, cantik manakah 'bidadari' itu dengan Tiau-ing.

Walaupun kepergiannya dari perkemahan Thian-sian itu, hati Tomulun berduka (karena ditinggal kawin Tiau-ing), tapi kesesakan napasnya sudah berkurang banyak. Pikirnya: "Meski Thian-sian itu jelek rupa, tapi lebih menarik daripada si ular cantik Su Tiau-ing."

Pun sekembalinya ke kamar, Thian-sian juga terlongong-longong beberapa saat. Makin memikir, makin mendongkol. Tiba-tiba ia berseru memanggil orangnya suruh menyiapkan kuda dan seorang penunjuk jalan orang Ki. Baru ia berseru, seorang serdadu wanita menerobos masuk.

Thian-sian tertegun, serunya: "Hai, cici In, kau? Baiklah, urusan ini tak dapat ditutup lagi, nantinya akupun memang hendak mencari kau."

"Tadi akulah yang menyuruh anak buahmu itu pergi menyiapkan kuda. Tapi perlu apa kau menyuruh begitu?" tanya In-nio.

"Aku hendak mencari, mencari Se-kiat untuk memprotesnya!"

"Jangan, cici, jangan ...."

"Apakah kau sudah mengetahui tentang Se-kiat?"

"Apa yang kau bicarakan dengan raja Ki tadi, kudengar semua. Lusa Se-kiat akan menjadi pengantin!" kata In-nio.

"Benar, mengapa kau tak bingung? Mengapa kau tak memperbolehkan aku mencari Se-kiat?" teriak Thian-sian.

In-nio tertawa rawan: "Urusan Se-kiat dengan wanita siluman itu, aku tahu lebih banyak dari kau. Cici, terhadap orang yang kau cintai, kau harus memintanya supaya sungguh mencintai kau. Jika dia berubah hatinya, apa artinya lagi? Apakah kau hendak meminta-minta kasihannya, supaya mencintai kau?"

Thian-sian menepuk pahanya berseru: "Benar! Gagah sekali ucapanmu. Kita kaum wanita jangan mau dipermainkan lelaki!"

Tapi lewat beberapa jenak kemudian, kembali nona kasar itu marah-marah lagi: "Namun cara begitu saja kau lepaskan Se-kiat? Kau rela, tapi kau tak terima! Cici In dari ribuan li kau datang kemari apakah kau berpeluk tangan saja melihat mereka menikah?"

"Siapa bilang aku berpeluk tangan saja?" sahut In-nio.

"Bagus, bagus! Ambillah pedang dan carilah Se-kiat sana. Jika kau kewalahan, biar kubantu melabraknya. Kalau putus hubungan biar putus sama sekali," teriak si buruk.

In-nio geli dan mendongkol dibuatnya, namun ia berlaku setenang mungkin: "Tidak, aku tak mau berkelahi padanya!"

"Oh, apakah kau masih suka padanya?" tanya Thian-sian.

"Tidak, karena ia sudah berbalik hati, akupun tak suka padanya."

Lagi-lagi Thian-sian menampar pahanya sendiri: "Ini, aku tak mengerti. Kau tak mau melabraknya, juga tak suka lagi padanya, habis bagaimana kau hendak menyelesaikan?"

"Aku tak suka padanya, tetapi karena aku pernah bersahabat maka aku tak suka ia kawin dengan wanita siluman itu. Kupikir hendak bicara secara persahabatan dengan dia, menunaikan kewajiban seorang sahabat untuk memberi nasehat. Sekali-kali aku tak mau gunakan kekerasan. Cici, apakah kau suka membantu aku?"

"Kau maksudkan supaya aku memberitahukan bengcu agar kau dapat menemuinya?" tanya Thian-sian.

"Bukan. Siluman wanita itu tinggal bersama Se-kiat. Belum tentu kau dapat menemui bengcu-mu, sebaliknya malah 'menjagakan ular tidur' nanti."

"Lalu aku disuruh membantu apa?"

"Cukup asal kau suka menyelidiki dan memberi tahu aku di mana tempat tinggalnya. Meskipun siluman wanita itu tinggal bersama, tapi belum tentu tinggal sekamar. Setelah tahu tempat tinggalnya, aku dapat berusaha menemuinya sendiri."

Thian-sian menepuk tangan: "Benar, gingkang-mu lihay, malam hari dapat secara diam-diam menemuinya. Ini mudah saja, besok pagi aku tentu dapat menanyakan tempat tinggalnya dan besok malam, ialah malam pertama pernikahannya, kau dapat mendahului ...."

"Ngaco belo! Apa kata-kata itu pantas diucapkan seorang anak perempuan?" bentak In-nio.

"Ya, memang aku ini seorang anak perempuan liar," dengan tertawa cekikikan Thian-sian lantas keluar untuk memberi perintah pada anak buahnya.

Keesokan harinya, Thian-sian mencari keterangan tentang tempat tinggal Se-kiat, yakni berkemah di luar kota sebelah timur. Dengan masih menyaru sebagai serdadu wanita, In-nio naik kuda untuk mengenal jalanan dulu. Dalam perjalanan itu ia mengambil putusan jika Se-kiat sampai tak mau sadar, ia terpaksa akan membantu ayahnya untuk memukul kota Tho-ko-poh itu.

Tho-ko-poh didirikan di antara gunung-gunung. Anak buah Se-kiat berkemah di pinggiran kota sebelah dalam. Untuk kesana harus melewati sebuah cekungan gunung. Ketika kuda In-nio masuk ke selat lembah, tiba-tiba di cekung gunung itu muncul seorang hoan-ceng (paderi) yang tanpa bicara apa-apa sudah lantas lemparkan tali lasso menjirat kaki kuda In-nio. Kejut In-nio bukan kepalang. Tapi karena ia sudah banyak pengalaman berkelana di dunia persilatan, meskipun gugup tapi tak sampai ia turut jatuh bersama kudanya. Begitu kuda rubuh, ia lantas gunakan ginkangnya melayang ke arah si paderi.

"Hai, aku inginkan hidup, jangan sampai ia terluka berat!" tiba-tiba terdengar lengking suara wanita.

Ketika In-nio mendongak, diam-diam ia mengeluh. Di lereng gunung tampak berdiri seorang wanita. Dia adalah Su Tiau-ing.

"Jangan kuatir, kongcu. Aku cukup berhati-hati. Ha, ha, gagal menangkap Sip Hong, menangkap puterinyapun lumayan juga!" hoan-ceng itu tertawa gelak-gelak.

In-nio segera mengenali paderi itu sebagai paderi jubah merah yang pernah dijumpainya di hotel tempo hari. Dan memang paderi itu bukan lain ialah mata-mata yang dikirim Su Tiau-gi ke perkemahan Sip Hong, tapi dapat dipergoki. Dua orang sutenya kena dirobohkan Bik-hu, tapi ia masih berhasil melarikan diri.

Dalam marahnya In-nio lantas menusuk dengan pedangnya. Padri itu menanggalkan jubahnya dipakai sebagai senjata. Dimainkan si paderi, jubah itu berubah seperti segumpal awan merah. In-nio gunakan jurus toa-bok-ko-yan untuk menyerang dengan gencar. Tapi bukannya dapat menghancurkan jubah lawan, sebaliknya pedangnya malah kena ditelungkupi jubah dan hendak ditariknya.

Tahu lwekangnya kalah, In-nio cepat menarik pulang pedangnya dan berganti mainkan ilmu pedang Hui-ho-poh-tiap. Sret, sret, sret, ia lancarkan tiga buah tusukan dari tiga jurusan yang berlainan. Ia hendak mencari lubang yang tak dijaga jubah si paderi.

Gagal merebut pedang sebaliknya malah diserang begitu gencar, diam-diam paderi itu terkejut dan memuji kelihayan si nona. Ia lebih lihay dari ayahnya.

Ia putar jubahnya bagai angin lesus sehingga In-nio tak dapat mencari kesempatan. Dan karena tak berani adu lwekang, terpaksa In-nio pun gunakan cara berkelahi dengan berputar-putar.

Dua puluh jurus kemudian, Tiau-ing tampak turun dari bukit dan tertawa: "Nona In, kemarin aku sudah mengetahui kedatanganmu. Karena di hadapan barisan terpaksa aku tak dapat mengundang. Sungguh kebenaran sekali kau suka datang sendiri. Seharusnya kita berhadapan sebagai kakak beradik. Beradu tajamnya golok dan pedang, adalah kurang pantas."

Tiau-ing memang cerdik. Ia sudah memperhitungkan bahwa In-nio tentu akan menyelidiki jalanan. Maka sebelumnya ia mengajak si paderi jubah merah untuk menunggu di cekung gunung itu.

"Seorang perempuan siluman bersilat lidah, tak punya malu. Siapakah yang sudi berakuan kakak-adik denganmu?" damprat In-nio.

Tiau-ing tertawa mengejek: "Dari ribuan li mencari seorang pria, apakah 'tahu malu' namanya?"

In-nio sebenarnya tenang dan tak mudah marah. Tapi demi mendengar ejekan itu, marahnya berkobar: "Dari mulut anjing tak nanti keluar gadingnya. Lihat pedang!" - Ia mengisar dan kiblatkan pedangnya menabas Tiau-ing. Tetapi si paderi ternyata lebih gesit. Dari bertahan tiba-tiba ia menyerang. Ia tebarkan jubahnya ke tengah mereka. Pedang In-nio hampir saja kena dilibat.

Tiau-ing masih tetap membongkok tangan dan tertawa seenaknya: "Apakah kata-kataku salah? Bukankah kau hendak mencari Bo Se-kiat? Sebagai tetamu, kau sudah kuhormati dengan membiarkan kau berlaku kurang adat padaku. Sebagai tuan rumah sebaliknya aku tak dapat berbuat kurang ajar kepadamu. Kau mau menemui Se-kiat, itu mudah. Mari kuantarkan ke sana?"

In-nio hendak memaki lagi tapi tiba-tiba hidungnya mencium bau wangi sampai tenggorokannya terasa manis. Dan matanya agak gelap. "Celaka, aku terkena jerat mereka!" diam-diam ia mengeluh dan buru-buru salurkan lwekang untuk menolak bau beracun itu.

Memang Tiau-ing sengaja bikin panas hati In-nio. Sekali In-nio marah, pikiran kacau dan darah meluap. Saat itulah si paderi segera tebarkan semacam bi-hiang (dupa wangi). Hanya digunakan bi-hiang untuk membuat orang pingsan, dan tidak menggunakan racun yang lebih keras, adalah karena Tiau-ing menghendaki supaya In-nio dapat ditawan hidup-hidup.

"Rebahlah!" tiba-tiba si paderi berteriak sembari kebutkan jubahnya. Seketika itu In-nio rasakan kepala berputar-putar, pedangnya terlepas dan orangnyapun rubuh. Bagaikan orang bermimpi buruk, tiba-tiba In-nio rasakan tenggorokannya dicekik oleh tangan dingin dan menjeritlah ia.

Ketika membuka mata tahu-tahu ia mendengar suara Tiau-ing tertawa: "Kau seorang pendekar wanita ternama, masakan punya rasa takut? Jangan takut, akulah. Mengunjukkan kasih sayangku saja belum sempat, mengapa aku harus mencelakaimu?"

Setelah menenangkan pikirannya, barulah In-nio mengetahui dirinya berbaring di sebuah ranjang. Dari hiasan kamar ia duga kamar itu tentu milik Tiau-ing sendiri. Dan dari jendela dapatlah ia mengetahui bahwa saat itu sudah petang hari. Ia hendak menolak Tiau-ing tapi tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Kini sadarlah ia kalau menjadi tawanan. Untuk melampiaskan kemarahannya In-nio menggigit tangan Tiau-ing.

Tiau-ing menarik tangannya dan tertawa: "Hebat, sungguh hebat, benar-benar nona cantik laksana bidadari! Kalau aku saja merasa suka, apalagi Se-kiat!"

In-nio makin gusar: "Aku sudah jatuh ke tanganmu, bunuhlah!"

"Ai, macam apa ucapanmu itu? Mengapa aku membunuhmu? Adalah karena kau tak mau damai dengan aku maka terpaksa kugunakan cara begini. Sekarang apakah kau sudah tak marah dan suka bercakap-cakap dengan aku?"

"Mau apa kau? Apakah kau belum cukup menghina aku?" sahut In-nio.

"Cici, aku bersungguh hati hendak bersahabat, janganlah kau mempunyai rasa bermusuhan. Kau adalah sahabatnya Se-kiat dan biji mestika dari In tay-ciangkun, masa aku berani kurang adat?" Tiau-ing bersikap sungguh-sungguh."

"Tak usah bermain sandiwara. Bilanglah terus terang apa maksudmu?"

Tiau-ing tersenyum: "Kabarnya ayahmu telah menerima tugas pemerintah diangkat menjadi wakil panglima untuk menyerang daerah ini dan beberapa hari lagi akan segera tiba. Biarlah kuberitahukan sebuah rahasia padamu. Walaupun engkohku itu namanya saja kaisar Tay Yan, tapi pada hakekatnya dia sudah tak punya kekuasaan lagi. Setiap waktu kukehendaki ia jatuh, semudah orang membalikkan telapak tangan. Sekarang ini dia hanya tak lebih seperti bonekanya Se-kiat. Tetapi mungkin ia belum tahu hal itu."

"Kau sungguh pintar sekali, tepat menjadi pembantu Se-kiat. Tetapi mengapa kau memberitahukan hal itu kepadaku?"

"Masakan kau tak ingin Se-kiat menjadi raja? Sekarang ayahmu datang hendak menumpas pemberontak, apakah bukan serupa hendak menumpas Se-kiat?" seru In-nio.

"Akan mengundang bantuanmu," Tiau-ing tertawa.

"Bagaimana caranya?"

"Harap dengan memandang muka Se-kiat, kau sudi menulis sepucuk surat kepada ayahmu."

"Isinya?"

"Ah, cici, kau toh pintar, masakan perlu kujelaskan," kata Tiau-ing.

"Aku kepingin mendengar pendapatmu," kata In-nio.

"Paling bagus ialah datang mengundang ayahmu menggabung pada Se-kiat, bersama-sama melaksanakan gerakan besar. Jalan kedua ialah saling membantu. Ayahmu dapat menggunakan tentara untuk berdikari sebagai raja. Jalan lain, jika ia tak mau berkhianat pada kerajaan Tong, baiklah gunakan siasat 'ngulur kambang' saja, jangan jual jiwa sungguh-sungguh untuk memerangi Se-kiat. Sebagai puteri yang mengenal jelas pribadi ayahnya, cici tentu mengerti jalan mana yang terbaik untuk menasihati ayahmu."

"Emoh semuanya!" In-nio menolak dengan tegas.

"Aku tak percaya ayahmu sungguh-sungguh setia kepada kerajaan. Sekalipun andaikata ia benar-benar hendak menjadi menteri setia, toh ia harus memikirkan bahwa ia hanya mempunyai seorang puteri tunggal kau ini!" kata Tiau-ing yang secara halus memberi ancaman.

"Ayah tak nanti menurut anjuran itu dan akupun takkan menulis surat semacam itu!" teriak In-nio.

Wajah Tiau-ing mengerut marah: "Ha, kiranya kau yang tak mau menulis!" 

Tiba-tiba ia tertawa mengikik: "Urusan kita mudah dirunding. Bila Se-kiat menjadi kaisar, ia tentu memerlukan dua tiga istana. Aku rela menyerahkan kedudukan Ceng-kiong-nio-nio kepadamu."

"Kau kira setiap orang tak punya malu seperti kau, temaha harta silau kedudukan?" In-nio menyahut enggan tapi jelas bernada mendamprat.

Tiau-ing kewalahan dan tertawa mengejek: "Nona In jangan lupa, kau sekarang bukan berada di perkemahan tentara ayahmu, tetapi di tangan Su Tiau-ing."

"Oh, kiranya yang kau katakan 'bersahabat' itu begitu maksudnya! Jika aku bukan anaknya Sip Hong tentu sudah kau bunuh, bukan?"

"Asal sudah mengerti, sudah cukup. Sekarang tiba giliranmu, kau bersedia menulis surat itu atau tidak?"

"Telah kukatakan tadi, tak perlu diulangi lagi. Meskipun aku benar anaknya Sip Hong tapi tak ada gunanya bagi kepentingan kalian. Tak usah kau membuat rencana pada diriku!"

Tiau-ing marah benar. Seketika ia hendak membunuh nona itu saja tapi pada lain kilas, ia masih mengharapkan perubahan sikap In-nio. Tiba-tiba ia tertawa dingin: "Kedatanganmu kemari, apa bukan karena Se-kiat?"

"Kau bebas menerka dan itu urusanmu sendiri," tukas In-nio. Dalam hati ia menandaskan bahwa sekalipun benar ia hendak menemui Se-kiat, tapi sekali-kali bukan bermaksud hendak merebut suami.

Tiau-ing yang cerdas tahu apa isi hati In-nio. Maka tertawalah ia: "Kau salah kira. Aku bukannya kuatir kau hendak merebut Se-kiat. Tetapi karena kau kemari hendak menemui Se-kiat, janganlah kau putuskan hubunganmu dengan dia secara begitu getas!"

"Tutup mulutmu!" bentak In-nio.

"Silahkan memaki sepuas-puasmu, aku merasa simpati padamu. Tak mudah mengharap kedatanganmu kemari. Se-kiat tentu gembira sekali melihatmu. Jangan menuduh aku seorang wanita berhati sempit. Tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini?"

"Siapa sudi membuang waktu menerka pikiranmu!"

"Aku tengah memikir untuk mengundang Se-kiat kemari agar kalian dapat bertemu. Aku tahu apa yang kukatan tentu kau terima dengan purbasangka yang jelek. Sedikitpun kau tak mau memberi kesempatan padaku. Maka biarlah Se-kiat yang mengatakan padamu. Coba lihat saja apakah ucapannya itu sama dengan aku atau tidak! Dan hendak kupertunjukkan padamu, apakah aku yang merayu Se-kiat atau Se-kiat yang membutuhkan aku!"

Baru Tiau-ing hendak memanggil seorang bujang, tiba-tiba di luar terdengar orang mendatangi. Tertawalah Tiau-ing: "Ha, itu dia sudah datang, tak usah diundang lagi. Cici In, kau ingin bertemu sekarang atau tidak?"

Memang In-nio mendengar derap kaki itu. Hatinya berdebar keras. Ia palingkan muka tak mau menghiraukan lagi. Tiau-ing tertawa dan membisikinya: "Eh, lebih baik kau sembunyi dulu, biar kubilang padanya agar jangan kelewat mengagetkannya." Tiau-ing menutup kelambu dan tepat pada saat itu Se-kiat pun masuk.

"Apa kau baru bangun? Mengapa kelihatan begitu girang?" tegur Se-kiat.

"Aku mendapat sebuah berita penting yang perlu kubicarakan dengan kau," kata Tiau-ing.

Atas pertanyaan Se-kiat, Tiau-ing menerangkan: "Kerajaan telah mengirim seorang jenderal besar membawa lima puluh ribu tentara menggabungkan diri dengan Li Kong-pik untuk menyerang kemari. Kira-kira dalam 10-an hari tentu datang. Coba terka siapakah jenderal itu?"

"Kalau menjadi pembantunya Li Kong-pik, terang bukan Kwe Cu-gi. Asal bukan Kwe Cu-gi, takut apa?" kata Se-kiat.

"Masakan pihak kerajaan selain Kwe Cu-gi tiada lain panglima yang lihay lagi? Jangan kelewat meremehkan kekuatan lawan!"

"Apa Cin Siang? Tetapi ia menjabat kepala Gi-lim-kun, mana raja mengijinkan dia tinggalkan kotaraja?"

"Coba tebak lagi!" seru Tiau-ing. Tetap Se-kiat meminta nona itu lekas memberitahukan saja.

Tiau-ing tertawa: "Cari sana sini mengapa kau tak teringat akan seseorang yang hampir saja bakal menjadi mertuamu?"

"Oh, Sip Hong?"

Tiau-ing mengiakan: "Benar, Sip Hong. Seharusnya kau bergirang, bukan?"

"Ah, kau menduga yang bukan-bukan lagi. Sip Hong membawa tentara kemari, itulah musuh. Apanya yang kau girangkan?"

Tiau-ing mengikik, ujarnya: "Jika sebelumnya hatimu tak luka, mengapa perih? Padahal kau merasa gembira, itulah sudah sewajarnya. Meskipun Sip Hong sekarang menjadi musuh, puterinya dahulu adalah kawan baikmu!"

"Urusan yang lampau, mengapa dibangkitkan?" mulut Se-kiat mengatakan begitu tetapi hati tak urung berdebar juga.

Tetapi Tiau-ing yang tajam mata, dapat meneropong isi hati Se-kiat. Kembali ia tersenyum: "Baiklah, tak usah mengungkat hal lama, hal yang baru saja. Dalam memimpin pasukannya itu, puteri Sip Hong ternyata ikut serta. Apakah kau tidak mengharapkan dapat berjumpa dengan kawan baikmu itu?"

Se-kiat menatap wajah Tiau-ing dan berkata dengan berbisik: "Masih ingat apa yang kukatakan dahulu?"

"Yang mana?"

"Kita adalah dua ekor belalang yang terikat pada seutas tali, senasib dan sependeritaan, tak boleh meninggalkan kawan. Apakah kau masih kuatir?"

"Kukuatir begitu berjumpa puteri Sip tayciang, kau lantas melupakan aku."

"Jangan memikirkan yang tidak-tidak! Dan lagi belum tentu ia ikut ayahnya seperti yang kau kira itu."

"Kalau benar seperti yang kukira, bagaimana reaksimu berjumpa padanya?"

"Jika kukatakan akan kubunuhnya, kau tentu tak percaya," sahut Se-kiat.

"Kuingin mendengar apa yang terkandung dalam hatimu."

Se-kiat merenung sejenak dan berkata: "Karena kenal, aku pernah mempunyai perhatian padanya. Tetapi kini, dalam keadaan sebagai musuh, akupun tak mau bergoyah hati. Dan lagi apabila aku benar-benar meningkatkan perhatian kepadanya, toh tak perlu tunggu sampai sekarang."

"Dalam hal paras dan perangai, ia jauh lebih baik dari aku. Dalam ilmu sastra dan ilmu silatpun lebih tinggi dari aku. Mengapa kau tak suka padanya?"

Se-kiat tertawa gelak-gelak dan memeluknya: "Ini, mengapa kau masih pura-pura bertanya lagi. Sekalipun ia mempunyai seratus macam kelebihan, tapi tak punya cita-cita tinggi. Mana dapat dibandingkan dengan kau puteri cantik yang berpambek jantan?"

Tiau-ing lepaskan diri dan tertawa: "Kau suka padaku karena aku dapat membantu usahamu menguasai negeri. Tetapi katakanlah sejujurnya. Apakah dalam hatimu kau tak mengenangkannya?"

"Kau sudah tahu aku selalu memikirkan perjuangan, mana aku mempunyai waktu mengenangkannya?" Se-kiat balas bertanya.

Tampaknya Tiau-ing puas dan tertawalah ia: "Kau dan aku satu hati. Sebenarnya aku tak cemburu dan gembira kau hendak menjumpainya."

"Oh, kau merencanakan pada dirinya, merencanakan, merencanakan siasat mengundurkan musuh. Ai, masakan ada hal yang begitu kebetulan sekali!"

"Benarkah? Maka kukatakan kalau kau sebenarnya hendak menemuinya. Se-kiat, setiap kali kau hendak memikirkan apa aku tentu dapat menjalankan untukmu lebih dahulu. Kali ini juga tak terkecuali. Aku telah mengundang nona Sip kemari."

Se-kiat berjingkrak kaget: "Kau mau berolok-olok?"

"Silahkan menyingkap kelambu, siapakah yang berbaring di situ? Ai, orang telah menunggumu sekian lamanya! Agar kalian bebas mengadakan pertemuan empat mata, baiklah aku menyingkir dari sini," dengan tertawa cekikikan Tiau-ing benar-benar berlalu.

In-nio mendongkol sekali sampai mulutnya serasa terkancing. Pun ketika mendengar papan ranjang berbunyi keretakan, dengan penuh keheranan Se-kiat menghampiri dan menyingkap kelambu ....

Saat itu terasa tegang sekali. In-nio dan Se-kiat termangu seperti patung. Beberapa saat kemudian baru dapat menenangkan pikiran, ujarnya: "In-nio, bagaimana kau datang kemari?"

"Tanyakan pengantinmu!" sahut In-nio dengan getas.

Pada saat itu Se-kiatpun mengetahui bahwa In-nio telah terkena obat bius pelemas tulang sehingga tak punya tenaga. Tentu Tiau-ing yang membuatnya, maka pertanyaannya tadipun tolol sekali. "Ah, dengan menempuh bahaya ia datang kemari ini, apakah bukan karena aku," pikirnya. Diam-diam ia menyesal. Memang sebenarnya perhatian Se-kiat kepada In-nio bukannya sama sekali sudah lenyap. Adalah karena ia dihadapi dengan dua pilihan, terpaksa ia memilih Tiau-ing.

Malam itu adalah malam widodari dari pernikahannya. Pada saat-saat begitu di dalam kamar mempelai perempuan, bertemu dengan bekas kekasihnya, telah menimbulkan perasaan yang tidak-tidak di dalam kalbu Se-kiat.

Beberapa jenak kemudian, Se-kiat baru berani dongakkan muka namun tetap menghindari sorot mata In-nio. Katanya dengan pelahan: "Terima kasih atas kunjunganmu menengok aku. Apa yang hendak kau katakan kepadaku?"

Bahwa ia bakal bertemu dengan Se-kiat di tempat dan dalam keadaan seperti itu, kata-kata lembut yang sedianya hendak dikatakan kepada Se-kiat, dibuang lenyap dan diganti dengan kata-kata yang dingin: "Urusan sudah sampai sekian, apa yang perlu dikatakan. Sekarang aku menjadi tawananmu, aku hanya bertanya, bagaimana kau hendak menghukum aku?"

Se-kiat telah keliru menangkap kata-kata In-nio. Ia kira nona itu masih mengandung setitik kasih kepadanya. Ini membuatnya terkenang juga. Tiba-tiba ia tersenyum: "In-nio, aku bercita-cita tinggi, kau tentu sudah memaklumi. Karenanya kau tentu dapat mengerti kesulitanku dan suka mensukseskan cita-citaku itu. Kuharap kau dapat hidup rukun dengan nona Su, tak nanti aku menelantarkan dirimu."

Kasarnya, kata-kata itu berarti suatu permintaan agar In-nio suka membagi cintanya kepada Tiau-ing atau lebih jelas lagi, In-nio dan Tiau-ing itu akan diperisteri Se-kiat.

Saking gusarnya In-nio hampir pingsan. "Se-kiat, sekarang aku baru benar-benar mengenal kau, tutup mulutmu!" dampratnya.

Se-kiat terkejut sampai menyurut selangkah. Tetapi ia masih mengira In-nio itu cemburu, tak mau membagi cintanya kepada Tiau-ing. Setelah tertegun beberapa saat, ia menghampiri lagi maksudnya hendak mengangkat In-nio duduk. Tapi In-nio sudah berusaha sendiri menggeliat duduk. Sambil bersandar pada tepi ranjang, ia mengancam: "Jika kau sampai berani menyentuh tubuhku, aku tentu bunuh diri di hadapanmu. Aku dapat membuktikan ancamanku itu dengan cara menggigit putus lidahku."

Se-kiat hampir tak dapat menguasai diri. Ia memang masih mencintai In-nio. Tapi pada lain kejab, hatinya berontak: "Aku justeru membutuhkan bantuan Tiau-ing. Tak boleh karena perasaanku terhadap In-nio, aku lantas meninggalkan Tiau-ing!"

Ia gelengkan kepala tertawa getir: 'In-nio, kita pernah bergaul dengan akrab, sayang baru sekarang aku tahu isi hatimu. Kau, kau tak dapat menderita sedikit untuk membantu aku?"

In-nio tertawa dingin: "Aku hanya seorang anak perempuan yang tak punya cita-cita tinggi, bagaimana dapat dibandingkan dengan seorang ratu pendekar yang perwira? Kau salah alamat hendak mencari bantuanku!"

Kata-kata itu adalah ucapan Se-kiat untuk menyanjung Tiau-ing tadi. Sudah tentu Se-kiat merah padam dan tundukkan kepala. Walaupun suara hatinya berontak, tetapi ia seorang pemuda yang kuat batin tinggi cita-cita. Ia lebih mementingkan usahanya dari segala apa. Untuk merebut Tiong-goan, ia harus berani menghadapi segala apa. Diam-diam ia ambil ketetapan. Ujarnya: "In-nio, kau adalah seorang puteri panglima yang gagah dan pandai. Akupun tak meminta pengorbananmu lagi. Meskipun membuatmu menderita. Jangan kuatir, aku tentu akan mengambil obat penawar. Kemudian terserah padamu, mau tinggal di sini atau mau pulang. Tetapi maukah kau ulurkan bantuan padaku?"

In-nio tertawa mengejek: "Sekarang aku menjadi tawananmu. Menurut peraturan kaum Hek-to (jahat), tentu harus menyerahkan tebusan. Baik, sekarang kau mau minta tebusan apa padaku?"

Kembali muka Se-kiat merah padam. Buru-buru ia berkata: "In-nio, jangan berkata begitulah! Dalam kedudukan sebagai seorang kawan aku hendak meminta bantuanmu. Jika kau menolak juga tak apa."

"Secara membantu juga boleh, secara memberi tebusan juga boleh. Meskipun hanya soal enak didengar atau tidak, tapi pada hakekatnya artinya sama. Baiklah, Bo bengcu, kau akan meminta bantuan apa kepadaku, silahkan bilang!"

"Kau seorang nona yang pintar, tentu dapat menduganya. Kabarnya ayahmu memimpin tentara kerajaan dan akan tiba di sini dalam beberapa hari lagi?"

"Oh, kiranya kau hendak menggunakan diriku untuk melakukan rencana mengundurkan musuh?" seru In-nio.

Kembali In-nio menirukan apa yang dibicarakan Se-kiat dengan Tiau-ing tadi. Untuk kesekian kalinya, Se-kiat harus menelan malu. Ia kuatir jangan-jangan noan itu akan menghamburkan sindiran-sindiran yang lebih tajam lagi.

"Tentang rencana mengundurkan musuh itu, akupun sudah memikirkan lebih dulu. Aku mempunyai tiga macam rencana yang hendak kurundingkan padamu," tiba-tiba In-nio membuka suara.

"Bagaimana ketiga macam rencana itu, harap hian-moay suka memberi petunjuk," sudah tentu Se-kiat girang bukan kepalang. Dan malah untuk merayu hati In-nio, ia memanggilnya dengan sebutan "hianmoay" atau dinda yang bijak.

"Pertama, ialah menasihati supaya ayahku suka menggabungkan diri menjadi pembantumu mendirikan kerajaan baru."

"Ah, dikuatirkan ayahmu menolak," kata Se-kiat.

"Dia tak mau toh aku masih punya dua rencana lagi. Rencana kedua, ialah menganjurkan supaya ia berdikari mengangkat diri jadi raja, mengadakan perjanjian ko-eksistensi (hidup bersama dengan rukun) dengan kau. Setelah dapat merebut negara, siapa yang bakal menjadi kaisar, pada saatnya baru dibicarakan lagi. Jika ayah enggan mengkhianati kerajaan Tong, masih ada rencana yang ketiga. Ialah menasihatinya supaya netral, jangan bersungguh-sungguh membantu pihak kerajaan memerangi kau!"

Se-kiat berteriak girang: "In-nio, kau benar-benar cemerlang. Apa yang kau katakan itu tepat sekali dengan rencana yang kurancang! Ai, kukira kau tak mau membantu aku, kiranya siang-siang kau sudah memikirkan kepentinganmu."

Berhenti sejenak, Se-kiat berkata pula: "Kurasa rencana kedua itu yang banyak harapannya dapat diterima ayahmu. Harap kau gunakan rencana yang itu untuk menasihatinyalah!"
Tiba-tiba In-nio tertawa mengejek, nadanya bercampur amarah dan kedukaan. Se-kiat tercengang, tanyanya: "Apa yang kau tertawakan?"

"Yang cerdas cemerlang itu bukan aku, melainkan pengantinmu. Ketiga rencana itu dialah yang memikirkan. Aku hanya mengulangi mengatakan saja. Hm,k alian berdua benar-benar sepaham dan sehati. B0 Se-kiat, sekarang baru aku dapat meneropong dirimu!" In-nio tertawa hina.

Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar orang tertawa gelak-gelak. Tiau-ing muncul lagi. Dengan berhias senyum simpul, Tiau-ing melirik In-nio: "Benar, benar, memang akulah yang membuat ketiga rencana itu. Dengan pikiran Se-kiat, ternyata senapas! Nona Sip, sekarang biarlah kau mengetahui. Apa yang kukatakan kepadamu tadi, adalah serupa dengan apa yang hendak diucapkan Se-kiat kepadamu. Kau enggan melihat paderi sebab ia memandang Buddha, apanya yang berbeda?"

Dengan tindakan yang dilakukan itu, Tiau-ing telah membuat tiga macam perhitungan atau sekali tepuk tiga lalat. Jika Se-kiat berhasil menasihati In-nio supaya menurut, itulah yang terbaik. Apabila Sip Hong sudah meninggalkan pihak kerajaan, mudahlah besok dibereskan berikut In-nio juga. Tapi Tiau-ing telah memperhitungkan, In-nio tentu membandel. Maka sengaja ia hendak memperlihatkan kepada nona itu bahwa ia (Tiau-ing) dan Se-kiat itu sudah sehati-senyawa. Jangan harap orang ketiga dapat menyela di tengah mereka. Di samping itu, apabila In-nio sampai marah dan bentrok dengan Se-kiat, Se-kiat tentu putus sama sekali hubungannya dengan In-nio. Tampaknya Tiau-ing terbuka tangan menyuruh mereka bertemu empat mata, tapi sebenarnya ia telah mengatur segala-galanya.

Tahu gelagat tak baik, masih Se-kiat berusaha untuk menolong In-nio. Katanya dengan lemah lembut: "Sebenarnya ketiga rencana yang dibuat Tiau-ing itu, adalah untuk kepentinganmu dan ayahmu. Pemerintah kerajaan sudah bertindak sewenang-wenang, para panglima di daerah sama berebut wilayah. Umur kerajaan Tong rasanya takkan panjang lagi. Misalnya seperti ayahmu sendiri. Sudah berkali-kali ia membuat jasa, tapi toh sampai sekarang belum diangkat menjadi Ciat-to-su. Mengapa nasib suka mati-matian mengabdi kepada kerajaan? Daripada hanya menjadi wakil panglima, kan lebih baik berdiri menjadi raja sendiri? Apalagi dengan begitu hubungan kita tetap terpelihara. Untuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi, kedua-duanya dapat terlaksana dengan baik. Bagaimana kehendakmu?"

"Kehendakku, telah kukatakan kepada pengantinmu tadi. Apakah masih suruh aku bicara lagi?" sahut In-nio.

"Nona Sip menyayang cinta lebih daripada emas. Ia tak mau menulis surat itu. Ai, ciciku In yang baik, kau bersikap getas kepadaku, tak apa. Tetapi mengapa kau tak punya budi dan kecintaan kepada Se-kiat?" Tiau-ing menyeletuk.

"Tutup mulutmu!" bentak In-nio. Sepasang matanya berkilat-kilat membuat orang gentar juga. Kemudian berkata pula: "Se-kiat, kedatanganku ini memang untuk Budi dan Kecintaan!"  

Continue Reading

You'll Also Like

12.9K 212 6
Siok Lan teringat dan wajahnya berseri. Ia tidak merasa malu lagi setelah mendengar Tan Hong bicara kepadanya. Ia lalu mengangkat muka memandang kepa...
128K 2.5K 89
Lanjutan Pendekar Baja Sim Long. Puncak karir Khu Lung yang melegenda. Setara dengan novel - novel peraih Nobel. Li Sun Huan merupakan salah satu kar...
61.7K 7.1K 11
• Chuuya × Silent!Reader • Kata-kata bukanlah segalanya, oleh karena itu dia memilih untuk tidak banyak berbicara. Namun, tiap kata yang diucapkannya...
89.3K 1.2K 30
Lanjutan "Rahasia Kunci Wasiat" Itulah anggota Pet Toa Hiat Im atau delapan orang sukma bayangan berdarah yang diciptakan Toa Cungcu tak kusangka dar...