Tusuk Kundai Pusaka - Liang I...

By JadeLiong

30K 513 16

Lanjutan "Kisah-kisah Bangsa Petualang" Salah satu kisah dari Trilogi Dinasti Tong yang merupakan salah satu... More

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 9
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
Jilid 25
Jilid 26
Jilid 27
Jilid 28
Jilid 29
Jilid 30
Jilid 31
Jilid 32 (TAMAT)

Jilid 8

872 11 1
By JadeLiong

Tiba-tiba Ji tianglo menyeletuk: "Uh-bun Jui, pangcu telah menyerahkan tongkat kekuasaannya padamu, apakah sudah jelas artinya bahwa kau diangkat menjadi penggantinya?"

"Memang beliau telah mengatakan begitu, tapi aku masih begini hijau, kurang pengalaman, jadi tak berani menerimanya," sahut Uh-bun Jui.

Tampak wajah Ma tianglo kurang senang. Dengan nada dingin ia bertanya: "Ji tianglo, apa maksud pertanyaanmu tadi? Tongkat kekuasaan sudah diserahkan kepada Uh-bun Jui, masakah masih diragukan?"

Menjawab tianglo she Ji itu dengan suara keren: "Pengangkatan seorang pangcu itu, bukan urusan sepele. Maaf, aku masih hendak mengajukan sepatah dua patah pertanyaan lagi kepadamu, Uh-bun Jui. Sewaktu pangcu menyerahkan tongkat padamu sebagai tanda mengangkat kau menjadi penggantimya itu, selain kau, masih ada siapa lagi yang hadir?"

Pertanyaan itu terang mengandung arti tak mempercayai keterangan Uh-bun Jui.

Uh-bun Jui pesut air matanya dan berkata: "Kala itu pangcu terluka parah dan akulah yang segera memapahnya pulang. Tapi sebelum tiba di tempat kediaman hiangcu, beliau sudah menarik napas yang penghabisan. Pada detik-detik terakhir ia menyerahkan tongkat kekuasaan ini dan setelah mengucapkan beberapa patah pesanan ia lantas wafat."

"Kalau begitu, tiada lain orang lagi yang berada di situ?" menegas Ji tianglo.

"Yang ada hanyalah orang-orang yang berjalan saja. Orang-orang yang dikirim Wi hiangcu untuk menyambut kita, belum datang," sahut Uh-bun Jui.

Tiba-tiba Ma tianglo berseru keras: "Ji tianglo, pertanyaanmu itu tidakkah kelewat tak menghormat kepada pangcu baru dan tak menghargai kepada lopangcu almarhum. Beliau telah dicelakai orang, bukannya kau buru-buru membalaskan sakit hatinya sebaliknya malah mencurigai pesan almarhum. Apakah artinya sikapmu ini?"

Sahut Ji tianglo: "Jika pangcu benar-benar meninggalkan pesan tersebut, sudah tentu aku patuh. Tapi ternyata pesan almarhum itu belum mempunyai kebenaran yang teguh. Bagaimana kita disuruh menerima keterangan sepihak saja?"

Terang tianglo she Ji itu menuntut saksi lagi. Jika Uh-bun Jui tak dapat membuktikan, terang ia bakal menolak.

Bahwa Uh-bun Jui membantu Ciu Ko mengurus urusan partai, memang sudah berjalan beberapa tahun. Apalagi ia itu adalah murid kesayangan dari Ciu Ko. Meskipun masih kurang pengalaman dan kepandaian, tapi bahwa Ciu Ko menjatuhkan pilihan penggantinya kepada Uh-bun Jui itu, memang sudah pada tempatnya. Tiada seorangpun anak buah Kay-pang yang menyangsikan keterangan Uh-bun Jui itu. Hanya orang she Ji itulah, satu-satunya orang yang berani menyatakan kesangsiannya. Oleh karena dalam partai Ji tianglo itu mempunyai kedudukan yang tinggi, maka setelah ia melahirkan kata-katanya tadi, terpengaruhlah anak buah Kay-pang. Kini mereka mempunyai sedikit kecurigaan terhadap Uh-bun Jui. Dan karena kedudukannya itulah, maka Ma tianglo tak berani menuduh yang bukan-bukan kepada Ji tianglo.

Memang yang mempunyai kecakapan untuk menggantikan kedudukan pangcu, ada beberapa orang. Dalam persidangan itu, segera timbul perbincangan yang tegang. Ada sementara pihak yang menyokong Uh-bun Jui, karena pemuda itu sudah diserahi tongkat kekuasaan oleh pangcu. Tapi lain pihak, cenderung pada alasan yang dikemukakan oleh Ji tianglo. Sebelum Uh-bun Jui dapat mengajukan saksi lain, pemilihan pangcu itu harus diangkat oleh rapat anggota Kay-pang.

Ma tianglo bertepuk tangan tiga kali. Ia berdiri di muka altar dan berseru: "Pada saat pangcu menutup mata, meskipun aku tak berada di sampingnya, tapi sewaktu masih hidup, beliau sudah menetapkan siapa penggantinya kelak. Kepada siapa pilihannya itu dijatuhkan, sudah jelas sekali."

Ciok Tan, orang yang menjabat sebagai Seng-tong-hiang-cu atau kepala bagian hukum, buka suara: "Benar, kuingat pangcu sewaktu mengangkat saudara Uh-bun sebagai pembantu beliau dalam mengurus urusan partai, beliau telah pernah berkata: 'Urusan partai kita kian lama kian banyak kerjaannya. Kedudukan pangcu selayaknya dijabat oleh tenaga muda yang cakap dan tangkas'. Terang kata-kata beliau itu mengandung maksud untuk mengundurkan diri. Dikarenakan saudara Uh-bun masih belum mempunyai pengalaman, maka pangcu hendak menggemblengnya dulu disuruh menjadi pembantunya. Terang gamblang, bahwa memang pangcu menginginkan saudara Uh-bun untuk menjadi penggantinya."

Mendengar itu, maka berdirilah Ji tianglo: "Benar, memang pangcu pernah mengucapkan kata-kata itu. Tapi beliaupun pernah mengatakan lain pernyataan. Pada suatu hari beliau mengajak kami membicarakan tentang tenaga-tenaga yang berbakat dalam kalangan kita. Ia anggap Ciok sutenya itulah yang paling cakap. Sayang tabiat sutenya itu amat keras. Dikarenakan sedikit bentrokan pikiran dengan beliau, sutenya itu pergi ke daerah Kang lam dan sampai sekarang tiada beritanya lagi. Sewaktu membicarakan perihal diri sutenya itu, tampaknya pangcu amat menyesal. Pernah beliau mengatakan, jika sutenya itu kembali, beliau rela menyerahkan kedudukan pangcu kepadanya. Kata-kata pangcu itu disaksikan juga oleh Ma tianglo, Lau tianglo, Ko hiangcu, Ciok hiangcu dan Han hiangcu."

Memang Ciu Ko itu mempunyai seorang sute yang bernama Ciok Ceng-yang. Ciu Ko mempunyai tiga saudara seperguruan. Ciu Ko yang tertua, sedang Ciok Ceng-yang itu yang buncit sendiri. Usia Ciu Ko lebih tua 20-an tahun dari Ciok Ceng-yang. Namun diantara keempat saudara seperguruan itu, Ciok Ceng-yang lah yang paling menonjol sendiri kepandaiannya. Belum lama ia keluar ke dunia kangouw, orang-orang persilatan sudah memberikan julukan sebagai Sin-ciang-kay-hiap atau Pendekar Pengemis Tangan Sakti. Memang Ciok Ceng-yang itu tinggi ilmu silatnya, cerdas otaknya, banyak akal dan pandai memutuskan perkara. Jangankan lain-lain tokoh-tokoh Kay-pang, sedang Ciu Ko sendiri tak nempil padanya.

Mengapa tidak orang she Ciok yang ditetapkan menjadi pangcu? Itulah disebabkan karena sewaktu pangcu yang lama menutup mata, Ciok Ceng-yang yang masih belum dewasa, dan sebab sute kedua dan sute ketiga dari Ciu Ko itu sudah meninggal, maka ditetapkanlah Ciu Ko menjadi pengganti pangcu. Lima tahun lamanya, Ciok Ceng-yang tiada kabar beritanya lagi. Ada orang luar yang mengatakan, bahwa orang she Ciok itu berselisih dengan suhengnya (Ciu Ko), lalu minggat ke daerah Kanglam. Tapi bagaimana tentang perselisihan itu, tiada seorangpun yang mengetahui jelas.

Ma tianglo kerutkan alisnya, katanya: "Ji tianglo, tidakkah kau merasa bahwa kata-katamu itu kosong belaka? Ciok Ceng-yang sudah lama tiada ketahuan rimbanya. Masakan kedudukan pangcu harus terluang begitu lama?"

Sahut Ji tianglo: "Tidak. Memang dahulu Ciok Ceng-yang berselisih dengan suhengnya, tapi jika ia mendengar suhengnya dicelakai orang, ia tentu segera datang kembali. Apalagi anak buah Kay-pang kita tersebar di seluruh pelosok negeri, jika kita instruksikan untuk menyirapi diri Ciok Ceng-yang, masakan tak dapat mencari keterangan."

Ma tianglo tak dapat membantah, tapi ia segera menemukan alasan: "Tindakan membalaskan sakit hati pangcu, tak boleh terlalu lama. Jika tak lekas-lekas mengangkat pangcu baru, kita seperti ular tanpa kepala. Bagaimana kita hendak melaksanakan pembalasan itu?"

Nyi Cin-hiong wakil hiang-cu di Tiang-an, turut menyatakan pendapatnya: "Ucapan Ma tianglo itu amat beralasan. Rencana pembalasan sakit hati itu, tak boleh berlarut keliwat lama. Dan apa yang kuketahui, rasanya saudara Uh-bun kini sudah mempunyai rencana untuk tindakan pembalasan itu."

Ucapan wakil hiangcu Tiang-an itu, menimbulkan reaksi. Segera terdengar orang berseru: "Lekas katakanlah rencana itu!"

Sebaliknya Uh-bun Jui diam saja.

"Meskipun di tempat persidangan ini yang hadir adalah saudara-saudara kita anggota Kay-pang semua, tapi jauh mulut daripada lorong. Sekali rencana itu dikatakan, sukar dijamin takkan bocor keluar. Turut pendapatku, lebih baik kita pilih pangcu dulu, kemudian pangcu itulah yang akan mengadakan rapat dengan para tianglo dan hiangcu guna merundingkan rencana pembalasan sakit hati."

Sekalian anak buah Kay-pang itu, berkobar-kobar hatinya untuk segera menuntut balas. Meskipun ada sementara anak buah Kay-pang yang tak tunduk kepada Uh-bun Jui, namun untuk menghadapi lawan, mereka terpaksa kesampingkan urusan dalam. Dengan cepat Ma tianglo dapat kepercayaan untuk mengangkat Uh-bun Jui sebagai ketua Kay-pang.

Empat tianglo dan delapan hiangcu, segera satu per satu memberi hormat. Kata Uh-bun Jui: "Siautit bodoh dan tak punya pengalaman. Sebenarnya siautit tak berani menerima beban kedudukan pangcu yang sedemikian beratnya itu. Namun karena saudara-saudara sekalian berkeras tekad adakan menuntut balas, untuk tidak mempersukar keadaan partai, terpaksa siautit terima pengangkatan itu untuk sementara waktu. Nanti apabila Ciok susiok sudah pulang, siautit tentu akan menyerahkan kedudukan ini."

"Pangcu adalah pusat harapan dari sekalian saudara, bagaimana bisa dihubungkan dengan urusan pribadi? Jangankan waktu ini Ciok Ceng-yang tak ketahuan rimbanya, taruh kata hari ini ia datang, pun harus menurut perintah pangcu. Dalam hal ini harap pangcu jangan sungkan. Sekarang lebih baik segera rundingkan saja tentang rencana pembalasan sakit hati itu," kata Ma tianglo.

Demikian tokoh-tokoh terkemuka dari partai Kay-pang termasuk keempat tianglo dan kedelapan hiangcunya serta belasan anak murid yang mempunyai tingkat 'karung kuning', naik ke atas altar batu. Mereka duduk mengelilingi Uh-bun Jui. Sedangkan pengemis-pengemis yang tingkatannya 'karung biru' ke bawah, masing-masing sama bubaran. Sebagai tuan rumah bertindak tho-cu (pemimpin cabang) dari Tiang-an, yakni Ma tho-cu (keponakan dari Ma tianglo).

"Cin Siang dan Ut-ti Pak keduanya itu masing-masing menjabat pangkat To-wi, berkuasa besar dalam militer. Jika hanya mengandalkan kekuatan kaum Kay-pang kita sendiri, mungkin sukar untuk menuntut balas. Syukur partai kita mendapat kesanggupan bantuan dari beberapa sahabat, ini berarti suatu kekuatan ...."

"Pangcu, apakah maksudmu hendak minta bantuan dari orang luar?" cepat Ji tianglo menukas kata-kata Uh-bun Jui tersebut.

Baru berkata sampai di situ, tiba-tiba Ma thocu datang melapor kalau kedatangan tetamu. Malah rombongan tetamu yang terdiri dari 6-7 orang itu sudah mengikuti di belakang Ma thocu. Kepala rombongan itu seorang yang berwajah aneh. Mulut lancip muka panjang, tak ubah seperti seekor mawas atau orang hutan.

Kejut Toan Khik-sia bukan main. Kiranya orang itu bukan lain ialah ji-suhengnya yang bernama Ceng-ceng-ji. Dulu Ceng-ceng-ji itu telah murtad (berkhianat) kepada perguruannya, lalu masuk berguru pada lain orang. Gong-gong-ji, toa-suheng dari Toan Khik-sia, mendapat perintah dari subo (sebutan untuk suhu wanita) dalam waktu tiga tahun harus dapat menangkap dan membawa pulang Ceng-ceng-ji. Tapi Gong-gong-ji itu terlalu berat akan tali persaudaraan. Ia enggan untuk melaksanakan perintah subonya. Tiga tahun kemudian, ia memberi alasan kepada subonya kalau belum berhasil mencari tempat persembunyian Ceng-ceng-ji. Subonya terpaksa tak dapat berbuat apa-apa. Tapi pun dalam beberapa tahun itu. Ceng-ceng-ji tak berani muncul. Maka heranlah Toan Khik-sia bahwa mendadak sontak Ceng-ceng-ji itu berani tampakkan diri menjadi tetamu partai Kay-pang.

"Apakah subo sudah meninggal dunia? Ho, ji-suheng itu tiada mempunyai hubungan dengan Kay-pang, mengapa tiba-tiba datang kemari?" pikir Khik-sia. Ia takut kalau ketahuan Ceng-ceng-ji, yang berarti dua-duanya akan mendapat kesulitan, maka buru-buru ia mengumpet di antara kawanan pengemis yang tengah makan minum.

Uh-bun Jui menyambut sendiri kedatangan tetamunya itu.

"Selamat, selamat," Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak: "Saudara Uh-bun seorang pemuda yang berguna, seorang tunas muda yang cemerlang dari partai Kay-pang. Aku sengaja mengajak beberapa kawan untuk memberi selamat padamu. Mari kuperkenalkan, inilah saudara Pok Yang-kay dari Ki-san, ini saudara Liu Bun-siong dari Hun-bong, ini saudara He Ping-tat dari Yu-ciu ...." demikian Ceng-ceng-ji satu persatu memperkenalkan sahabat-sahabatnya kepada Uh-bun Jui. Nyata mereka itu adalah benggolan-benggolan jahat di dunia kangouw.

Ji tianglo tak senang, pikirnya: "Kiranya sebelum menerima jabatan pangcu, Uh-bun Jui sudah lebih dulu mengundang Ceng-ceng-ji. Hm, juga tak ketinggalan dengan beberapa benggolan busuk itu!"

Uh-bun Jui mempersilahkan tetamu-tetamunya itu naik ke altar dan duduk bersama-sama rombongan tianglo dan hiangcu. Nyata mereka itu diperbolehkan ikut dalam rapat itu. Sudah tentu Ji tianglo makin tak puas. Tapi dikarenakan memandang muka pangcunya yang baru, terpaksa ia tinggal diam saja.

Kata Uh-bun Jui: "Tentang nasib malang yang menimpa Ciu pangcu kita, Ceng-ceng cianpwe sudah mengetahui. Nah, kita sedang merundingkan urusan mencari balas, harap Ceng-ceng cianpwe suka memberi petunjuk."

Dengan kegirangan berkatalah Ceng-ceng-ji: "Untuk membalas kelapangan hati pangcu yang sudah menganggap kami sebagai orang sendiri, hanya dapat kami balas dengan kesediaan kami untuk membantu sekuat-kuatnya. Memang siang-siang kau sudah mempunyai sebuah rencana bagus. Ho, nanti bulan muka tanggal 15, adalah hari pembukaan dari Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang. Kita semua datang ke rapat itu.

Di sana kita buka kedok Cin Siang supaya rapatnya menjadi kacau. Apabila mendengar perihal kematian Ciu pangcu, dipercaya semua orang gagah dari berbagai aliran tentu akan murka terhadap Cin Siang. Sebelumnya kita nanti hubungi beberapa orang untuk mempelopori kemarahan itu. Mereka supaya berteriak-teriak membangkitkan kemarahan hadirin. Rasanya aksi mereka itu tentu mendapat sambutan hangat dari hadirin. Nah, walaupun Cin Siang dan Ut-ti Pak mempunyai tiga kepala enam lengan, pun takkan mampu menandingi serbuan sekian banyak orang-orang persilatan."

"Tapi Cin Siang mempunyai 3000 tentara Gi-lim-kun!" seru Ciok Tan, seng-tong-hiang-cu dari Kay-pang.

Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak: "Mengapa jeri terhadap 3000 anak buah Gi-lim-kun? Bukankah anak buah Kay-pang lebih dari jumlah itu?"

"Bagus, rencana bagus!" teriak Uh-bun Jui sembari bertepuk tangan, "sekarang harap sekalian hiangcu memberitahukan kepada anak buah masing-masing supaya pada waktu itu menyelundup ke dalam kota Tiang-an. Kita akan mengadakan gerakan 'Kay-pang mengacau kota raja Tiang-an!'"

Ada beberapa hiangcu tua, diam-diam menganggap rencana itu kurang baik. Mereka sama memandang ke arah Ji tianglo. Maksudnya minta tianglo itu buka suara. Dan memang Ji tianglo sendiri juga tak kuat menahan luapan hatinya lagi. Serentak berbangkitlah dia dan berseru: "Pangcu, sakit hati memang harus kita tuntut. Tapi perlukah kita harus mengadakan gerakan secara besar-besaran begitu?"

"Ji tianglo mempunyai rencana apa yang lebih baik?" sahut Uh-bun Jui dengan dingin.
Jawab Ji tianglo: "Penasaran ada biang keladinya, hutang ada penanggungnya. Musuh dari pangcu adalah Cin Siang dan Ut-ti Pak. Jika menuntut peraturan kangouw, haruslah mencari balas kepada kedua orang itu. Tapi jika kita menyelesaikan hal itu di dalam rapat Eng-hiong-tay-hwe, tentulah anak buah Kay-pang akan bertempur melawan Gi-lim-kun. Ini berarti suatu pemberontakan. Dan lagi pergaulan Cin Siang itu cukup luas. Tokoh-tokoh yang hadir dalam Eng-hiong-tay-hwe itu, kebanyakan tentulah sahabat-sahabatnya, masakan mereka tak mau membantu Cin Siang? Dengan begitu kawanan orang gagah akan berbaku hantam sendiri. Demi urusan partai Kay-pang, perlukah mengorbankan sekian banyak jiwa. Apakah kita merasa enak hati? Bagaimanapun, lebih baik kita gunakan siasat lain."

"Baiklah, jika kita melakukan pembalasan sesuai dengan peraturan kangouw maka kita minta kau suka menyampaikan tantangan kepada Cin Siang dan Ut-ti Pak. Sedangkan mendiang Ciu pangcu saja terbinasa di tangan Ut-ti Pak, apalagi Cin Siang yang lebih lihay dari Ut-ti Pak. Taruh kata kau, Ji tianglo, lebih lihay setingkat dari kepandaianmu sekarang, rasanya masih belum tentu dapat menandingi Cin Siang dan Ut-ti Pak," Ma tianglo menyelutuk.

Mendengar hinaan itu, gemetarlah tubuh Ji tianglo. Sahutnya dengan murka: "Benar, memang aku bukan tandingan mereka. Tapi masakan di dalam partai Kay-pang tiada orangnya lagi? Wi Gwat dan Hong-hu Ko kedua lo-cianpwe toh masih ada. Ciu pangcu adalah sutit dari Wi lo-cianpwe. Entah apakah Uh-bun Jui pangcu sudah pernah memberitahukan kematian Ciu pangcu kepada kedua cianpwe itu?"

Uh-bun Jui menyahut dingin: "Kalau sudah memberitahukan bagaimana? Kalau belum bagaimana?"

Dengan wajah bersungguh, Ji tianglo menjawab: "Jika belum silahkan lekas memberitahukan. Jika sudah mengirim orang memberitahukan, kita harus tunggu kedatangan kedua lo-cianpwe itu dulu, baru nanti kita rundingkan siasat lagi."

Wajah Ceng-ceng-ji berubah seketika. Ia tertawa dingin: "Kalau begitu, kedatangan kami untuk membantu ini, percuma saja! Karena Kay-pang ternyata mempunyai orang sendiri, kini tak perlu pada kita lagi! Uh-bun pangcu, kau telah mengirim surat undangan kepada alamat yang salah. Nah, kami hendak minta diri!"

Tongkat kekuasaan, cepat digentakkan Uh-bun Jui: "Ji tianglo, kutahu kau tak senang dengan pengangkatanku sebagai pangcu ini. Memang sebenarnya aku juga tak berani menjabat kedudukan pangcu. Tapi aku tak dapat menolak tuntutan sekalian saudara. Terpaksa aku menerimanya. Karena saat ini aku menjabat pangcu, maka akulah yang memegang peraturan partai. Jika kau tetap omong sembarangan, apakah bukan berarti memandang rendah padaku?"

Memang partai Kay-pang mempunyai disiplin yang keras. Meskipun pangcu itu pimpinan tertinggi dari partai namun Ji tianglo itu termasuk angkatan yang lebih tua. Dituding Uh-bun Jui di hadapan orang banyak itu hati Ji tianglo murka sekali. Namun ia masih berusaha mengendalikan diri, tanyanya: 'Pangcu, kesalahan omong apakah aku tadi? Maafkan diriku yang sudah tua, tentu agak limbung. Karena sukar untuk mengetahui kesalahanku sendiri, mohonlah pangcu memberi koreksi."

Kata Uh-bun Jui: "Ciu pangcu adalah suhuku yang berbudi, masakan aku tak ingin melakukan pembalasan? Wi lo-cianpwe itu sukar diduga tempat tinggalnya. Sementara Hong-hu Ko locianpwe itu tinggal menyepi di gunung Hoa-san. Untuk memberitahukan padanya, pergi pulang juga memerlukan waktu. Jika harus menunggu kedatangan mereka, kita akan kehilangan kans baik. Selalu kau menekankan perlunya bermusyawarah, tapi pada hakekatnya kulihat kau memangnya mau merintangi kita."

Wajah Ji tianglo berubah membesi, serunya: "Uh-bun pangcu, apakah ucapanmu itu tidak kelewatan? Aku dengan suhumu sudah seperti kaki dengan tangan, kau, kau, kau ...."

"Tutup mulut! Kau telah berlaku kurang hormat kepada tetamu yang kuundang. Apakah kau tidak lekas-lekas menghaturkan maaf!" bentah Uh-bun Jui.

Saking murkanya, tubuh Ji tianglo sampai gemetar. Ia mendamprat: "Sejak beratus tahun lamanya, dalam partai Kay-pang tak pernah ada pangcu yang memerintahkan tianglo untuk menghaturkan maaf kepada orang luar! Pangcu, hukum mati saja aku ini. Aku tiada bersalah, matipun aku tak mau tunduk! Tetamu-tetamu itu adalah kau yang mengundang, jika mau menghaturkan maaf, kau sendirilah yang menghaturkan maaf!"

Sekalian anak buah Kay-pang saling pandang satu sama lain. Ketika Lau tinglo, Ko hiangcu dan beberapa pemimpin Kay-pang hendak melerai, tiba-tiba Ceng-ceng-ji sudah kedengaran tertawa dingin: "Mana aku berani menerima permintaan maaf Ji tianglo. Ji tianglo adalah soko guru dari Kay-pang, sudah lama aku mengagumi namanya. Nah, baiklah kita berdampingan dekat-dekat!"

Jarak antara Ceng-ceng-ji dengan Ji tianglo itu hanya terpisah oleh beberapa orang saja. Masih nada suaranya bergema, beberapa orang itu sudah merasa tersambar angin keras. Ternyata dengan gunakan ilmu ....h-sing-hoan-wi, Ceng-ceng-ji sudah menyelinap di samping orang-orang itu. Sekali ulurkan tangan, ia sudah mencengkeram tangan Ji tianglo.

Tapi Ji tianglo juga bukan seorang lemah. Di kala mendengar Ceng-ceng-ji mengatakan hendak 'berdekatan' tadi, ia sudah tahu kalau orang akan bermaksud jahat. Kaki kirinya ditendangkan dalam gerak gue-sing-thi-lou, sementara tangan kirinya menyodok dalam jurus poan-ciu-cak-ce. Kaki menendang pinggang melengkung, tangan dicekakkan ke iga. Itu adalah sebuah jurus yang terlihat dari ilmu pukulanKay-pang yang disebut kin-liong-hok-hou-kun atau ilmu silat harimau mendekam menangkap naga.

Tapi ternyata Ceng-ceng-ji lebih cepat lagi. Sekali dapat mencengkeram lengan orang, ia lantas gunakan ilmu memelintir tulang hun-kin-jo-kut. Dua buah urat lengan Ji tianglo menjadi putus, seketika tubuh tianglo itu menjadi kesemutan. Sekalipun tendangannya kaki kiri tadi mengenai Ceng-ceng-ji, tapi sama sekali tiada bertenaga.

Tapi Ji tianglo itu seorang lelaki jantan. Walaupun kesakitan sampai mengucurkan keringat, namun ia tetap tahan sakit, sedikitpun tak mengerang.

Ceng-ceng-ji tertawa terbahak-bahak: "Uh-bun pangcu, bagaimana kau hendak menjatuhkan hukuman kepada orang tua ini, terserah kepadamulah!"

Ada beberapa hiangcu yang tidak terima. Tapi demi melihat Ji tianglo yang berkepandaian tinggi pun dapat dibikin tak berdaya oleh Ceng-ceng-ji, terpaksa mereka menelan kemarahannya, tak berani bercuwit.

Begitu Ceng-ceng-ji lepaskan cengkeramannya dan Ji tianglo terhuyung-huyung beberapa tindak. Dingin-dingin saja Uh-bun Jui berkata: "Kau adalah tianglo dari partai kita. Aku tak mau menghukummu. Coba kau sendiri yang menimbang, bagaimana harus bertindak."

Dada Ji tianglo berombak keras karena kemurkaan. Tanpa menjawab apa-apa, ia lantas cabut belatinya dan tusukkan ke tenggorokannya. Tiba-tiba terdengar suara logam berdering. Belati Ji tianglo terpental jatuh ke tanah. Menyusul terdengar suara kering dari seorang tua: "Ji Hui, ada urusan hebat apa kau sampai hendak menggorok lehermu?"

Seorang pengemis berambut putih yang memanggul sebuah buli-buli (tempat arak) merah, dengan menyeret sepatunya yang berbunyi berkelotekan, tengah berjalan menghampiri datang. Munculnya pengemis itu begitu mendadak, hingga sekalian orang tak tahu dari mana tadi datangnya.

Pengemis tua itu bukan lain ternyata adalah Hong-kay Wi Wat. Sudah lama kaum Kay-pang mengharap-harap kedatangannya, tapi mereka tak menyangka sama sekali kalau dia bakal datang secara begitu tiba-tiba.

"Bluk!" 

Ji tianglo cepat jatuhkan diri berlutut dan berseru: "Su-siok, sudilah mengatasi keadaan ini."

Hong-kay Wi Wat tak menghiraukan sekalian orang. Ia langsung menuju kepada Ceng-ceng-ji. Dengan sipitkan mata ia memandang orang itu, ujarnya: "Hai, monyet kecil, sejak kapan kau menyelundup ke dalam partai kami? Siapakah suhumu? Apakah dia tak memberitahukan kepadamu tentang peraturan Kay-pang? Aku adalah kakek gurumu, ayo, berlutut!"

Murkalah Ceng-ceng-ji: "kau benar-benar Hong (gila) atau pura-pura Hong saja? Siapakah yang kau panggil anak murid partaimu? Bukalah matamu lebar-lebar aku ini siapa?"

Kiranya pada waktu 10 tahun berselang, Gong-gong-ji pernah berkelahi dengan Wi Wat. Kala itu Ceng-ceng-ji pun menyaksikan.

Wi Wat mendengus, serunya: "Apa? Kau bukan anak murid Kay-pang? Bagus, mengapa kau berani memukul tianglo Kay-pang? Apakah Kay-pang mandah dihina orang luar?"

Sebenarnya dalam peraturan yang lazim berlaku di dunia kangouw, seorang anak murid yang bertingkat wan-pwe (tingkatan muda) dapat menghukum seorang cian-pwe (angkatan tua) jika mendapat perintah dari pangcunya. Tapi rupanya Wi Wat pura-pura tak tahu akan peraturan itu. Dengan mengajukan pertanyaannya tadi, sekaligus ia mendamprat Ceng-ceng-ji dan Uh-bun Jui.

Ma tianglo buru-buru memberi hormat: "Wi susiok, Ciu pangcu telah dicelakai orang. Saudara Uh-bun Jui sekarang yang mengganti jadi pangcu."

Sementara Uh-bun Jui sendiri dengan muka merah padam, mengangsurkan tongkat kekuasaan dengan sepasang tangannya ke atas (ini tanda penghormat bila pangcu bertemu dengan seorang cianpwe). Ujarnya: "Susiok-co, Ceng-ceng cian-pwe ini adalah tecu yang mengundangnya."

"Ho, jadi tetamu yang kau undang? Bagus, biarlah kuhaturkan arak kepadanya!"

Ia membuka sumbat buli-bulinya, meneguknya lalu ngangakan mulut. Serangkum air arak meluncur ke arah Ceng-ceng-ji. Betapapun lihay gin-kang Ceng-ceng-ji yang dengan cepat menghindar, namun tak urung mukanya kena kejatuhan beberapa percik arak. Sakitnya bukan kepalang.

Sudah tentu Ceng-ceng-ji marah. Cepat ia cabut pedangnya dan terus hendak menyerang, tapi buru-buru dicegah oleh kawannya yang bernama Pok Yang-kau: "Kay-pang ada pangcunya, jangan sampai orang mengatakan kita tak tahu adat."

Dengan perkataan itu, Pok Yang-kau hendak mendesak Uh-bun Jui supaya bertindak. Tapi Wi Wat itu dua tingkat keturunan lebih atas dari Uh-bun Jui. Apalagi perangainya kegila-gilaan.

Itulah sebabnya maka ia dijuluki sebagai Hong-kay atau Pengemis Gila. Siapakah yang berani cari perkara kepadanya? Sedang kaisarpun ia tak ambil peduli, apalagi hanya seorang anak kemarin sore macam Uh-bun Jui. Dan Uh-bun Jui sendiri, meskipun sudah menjadi pangcu, tapi tak berani berbuat apa-apa terhadap susiok-cou atau paman kakek-gurunya itu.

"Pangcu, kau harus berani bertindak untuk mengatasi keadaan," bisik Ma tianglo yang berada di samping Uh-bun Jui.

Apa boleh buat Uh-bun Jui terpaksa memberanikan diri juga. Diangkatnya tongkat kekuasaan itu ke atas, lalu menghadang di tengah-tengah Wi Wat dan Ceng-ceng-ji. Ujarnya: "Susiok-co, mohon sudi mendengarkan laporanku. Suhu tecu, mendiang Ciu pangcu, telah dicelakai orang. Musuh itu adalah pemimpin serta wakil pemimpin Gi-lim-kun yakni Cin Siang dan Ut-ti Pak. Cemas tak dapat membalaskan sakit hati suhu, maka tecu mengundang beberapa sahabat bulim membantu kita. Ceng-ceng cianpwe ini, adalah salah seorang dari tetamu-tetamu yang tecu undang itu. Hal ini tecu ambil, karena selama ini susiok-co tak ketahuan beritanya, maka tecu tak sempat memberitahukan kepada susiok-co. Harap mohon dimaafkan."

Wi Gwat mendengus: "Hm, hal ini mencurigakan!"

Wajah Uh-bun Jui berubah, ujarnya: "Tentang in-su dicelakai itu, tecu menyaksikan sendiri!"

Sepasang biji mata pengemis gila itu mendelik, katanya: "Baik, taruh kata Ciu Ko benar-benar dicelakai oleh Cin Siang, masakan Kay-pang benar-benar tiada mempunyai kekuatan, toh di dunia ini banyak sekali orang gagah yang suka memberi bantuan. Mengapa harus mengundang makhluk yang menyerupai kunyuk begitu?"

Ceng-ceng-ji berseru marah: "Baik, karena partaimu mengundang sampai beberapa kali, barulah aku terpaksa datang. Kau tua bangka yang masih temaha hidup, mengapa selalu berkata-kata menyakiti hati orang?"

"Susiok-co, sudilah kiranya memandang muka partai kita keseluruhannya. Sudilah berlaku sedikit sungkan terhadap tetamu," kata Uh-bun Jui.

"Kau berani menasehati aku, bagus, kau benar-benar seorang pangcu yang jempol!" bentak Wi Wat.

Bentakan itu sedemikian kerasnya sampai nyali Uh-bun Jui serasa pecah dan tersurut mundur sampai tiga langkah.

Waktu Wi Wat hendak bertindak lebih lanjut, tiba-tiba di kalangan anak buah Kay-pang terbit kegaduhan. Seorang penunggang kuda lari masuk ke dalam lembah situ.

"Hai, apakah itu bukan Ciok hiangcu!" teriak salah seorang pengemis.

Sekalian orang sama menyingkir untuk memberi jalan. Dalam sekejap mata, penunggang kuda sudah tiba di dekat altar batu dan turun dari kudanya. Setelah mengawasi dengan seksama, barulah sekalian anak buah Kay-pang itu mengetahui, bahwa yang datang itu adalah Ciok Ceng-yang yang sudah menghilang selama lima tahun.

"Wi susiok, kau juga datang, itulah bagus! Apakah 'batunya sudah menonjol ditimpah air'?"

"Apanya yang menonjol?" sahut Wi Wat.

'Batu menonjol tertimpah air', adalah suatu kiasan yang artinya duduk perkara yang sebenarnya sudah ketahuan.

"Tentang kematian dari Ciu suheng!" balas Ciok Ceng-yang.

"Apakah kau mempunyai bukti?" tanya Wi Wat.

"Bagaimana kata Uh-bun Jui?" Ceng-yang balas bertanya pula.

"Dia bilang, Cin Siang dan Ut-ti Pak yang menganiaya," jawab Wi Wat.

"Mencurigakan!" dengan tegas Ceng-yang memberi pernyataan.

"Ya, benar, memang aku sendiri merasa curiga. Ceng-yang, kau tentu telah menyelidiki beritanya," kata Wi Wat.

Cepat Ma tianglo menyeletuk: "Ciok Ceng-yang, sayang kau datang terlambat. Kedudukan pangcu sudah diserahkan kepada sutitmu. Meskipun kau tergolong cianpwe, juga harus tunduk pada peraturan partai. Apakah kau tak mau lekas-lekas menghadap kepada pangcu?"

Ma tianglo dengan Ciok Ceng-yang itu sebaya dan setingkat golongannya. Jadi ia tak takut menyalahi orang. Tapi pada hakekatnya, ucapannya itu hanya untuk pelabi saja guna mendamprat Wi Wat. Keruan Wi Wat kerutkan alisnya, tapi tak berbuat apa-apa.

Dingin-dingin saja Ciok Ceng-yang membalas: "Aku datang kemari bukan hendak berebut kedudukan pangcu!"

Bukannya ia menurut perintah Ma tianglo untuk menghadap pangcu, sebaliknya lantas loncat ke altar batu dan berseru nyaring: "Urusan ini penting sekali, segala adat peraturan baiklah kelak disusulkan. Aku baru saja datang dari Tiang-an. Aku berjumpa dengan Cin Siang."

Kawanan pengemis yang memencar diri di beberapa tempat itu, cepat-cepat berkerumun lagi.

"Cin Siang telah membicarakan padaku tentang suatu hal yang aneh. Ia bilang kalau Ciu pangcu mengirim sepucuk surat kepadanya untuk mengundangnya bertemu di suatu tempat. Pada hari yang dijanjikan itu, ia tak melihat Ciu pangcu muncul. Sejak itupun Ciu pangcu tak pernah kelihatan lagi!"

Sekalian anak buah Kay-pang gempar mendengar berita itu. Seketika suasana menjadi hiruk-pikuk. Ada yang berkata: "Apakah Uh-bun Jui bohong?" - Ada pula yang berkata: "Jika bukan Uh-bun Jui yang berbohong, tentulah Ciok Ceng-yang berdusta."

"Cin Siang lah yang membunuh Ciu pangcu, masakan kita mau percaya omongannya?" tiba-tiba Ma tianglo berseru keras. "Ho, Ceng-yang, apa maksudmu menemui Cin Siang itu?"

Tak kurang kerasnya, Ciok Ceng-yang berseru: "Tak lain tak bukan akan menyelidiki kematian Ciu suheng itu sampai jelas, agar murid murtad jangan bersimaharajalela! Kau katakan omongan Cin Siang itu tak boleh dipercaya? Baiklah, hendak kukatakan lagi sebuah hal lain. Hal ini telah kuselidiki kebenarannya, bukan hanya dari pendengaran saja."

Berkata sampai disitu, tiba-tiba Ceng-yang menuding ke arah hadirin, serunya: "Hai, Thio Kam-lok, keluarlah ke muka! Mengapa kau mencelakai Wi hiangcu?"

Sekalian anak buah Kay-pang makin bergelora. Sekalian mata ditujukan pada orang yang bernama Thio Kam-lok itu. Orang itu bukan lain adalah wakil hiangcu partai Kay-pang daerah Tiang-an. Yang menyahut pertanyaan Ji tianglo tadi serta yang melaporkan bahwa Wi hiangcu dari Tiang-an, hilang lenyap adalah orang she Thio itu juga.

Muka Thio Kam-lok berubah pucat dan dengan suara tergagap-gagap menyahut: "Hal ini, ini darimana sumbernya? Tidak, tidak ada hal semacam itu."

Ciok Ceng-yang deliki mata: "Tidak ada kejadian begitu? Jika tak ingin diketahui orang, janganlah berbuat! Pada tanggal 17 bulan 3 malam, kau telah mengundang Wi hiangcu minum arak. Di dalam arak kau campuri racun. Sebelum racun bekerja, Wi hiangcu telah menghantammu. Kau terluka di rusuk kirimu. Karena jaraknya dengan sekarang sudah ada setengah bulanan, mungkin lukamu itu baik. Kalau dipijat sedikit saja, kau tentu kesakitan, bukan? Apakah kau berani dipijat oleh Wi susiok?"

Kiranya Wi hiangcu itu adalah salah seorang jago kim-kong-ci-lat atau ilmu jari malaekat dari Kay-pang. Dengan kekuatan jarinya, ia dapat menerobos jalan darah dan melukai perkakas dalam tubuh orang. Memang luka dalam itu, lain orang tak mengetahui. Tapi bagi kaum persilatan, asal meraba di bagian yang terluka itu, tentulah segera mengetahui tentang luka akibat ilmu kim-kong-ci-lat.

"Baik, Thio Kam-lok, kemarilah!" teriak Wi Wat.

Baru Wi Wat berkata begitu, tiba-tiba terdengar jeritan nyaring dan rubuhlah Thio Kam-lok ke tanah. Sebat sekali Wi Wat loncat menghampiri dan mengangkat tubuh Thio Kam-lok. Dilihatnya sekujur badan orang she Thio itu penuh dengan bintik-bintik hitam, di belakang batok kepalanya tertancap sebatang gin-ciam atau jarum perak. Pangkal jarum itu masih kelihatan sedikit. Teranglah kalau Thio Kam-lok dibunuh orang. Orang itu kuatir kalau Thio Kam-lok sampai buka rahasia. Dan karena yang hadir sekian banyak jumlahnya, jadi sukarlah untuk mencari tahu siapa pembunuhnya itu.

"Ciok Ceng-yang, mengapa belum kau tanya jelas lantas kau bunuh dia!" teriak Ma tianglo.

Marah Ceng-yang bukan main: "Kurang ajar! Terang di dalam partai kita ada pengkhianat yang hendak 'menutup mulut' saksi, sebaliknya kau malah menuduh aku. Apa maksudmu?"

Sahut Ma tianglo: "Secara diam-diam kau menemui musuh kita, kemudian kau merangkai tuduhan palsu tentang terbunuhnya Wi hiangcu. Sedemikian rupa kau karang ceriteramu itu supaya orang dapat mempercayai. Setelah itu dapatlah kau selundupkan komplotanmu untuk membunuh Thio Kam-lok. Hm, hm, ganas betul siasatmu itu!"

"Ringkus Ma tianglo, aku hendak menanyainya!" teriak Wi Wat.

"Tangkap Ciok Ceng-yang, aku hendak mengadilinya!" bersamaan saat itu Uh-bun Jui pun berseru.

Dua tokoh Kay-pang sama mengeluarkan perintah. Seketika gegerlah anak buah Kay-pang.
Ciok Ceng-yang maju merangsang Ma tianglo, tapi tianglo yang mahir ilmu silat Tiang-kun itu, begitu mengisar kaki lantas menjotos. Ceng-yang cepat lingkarkan sepasang tangannya dan masukkan tinju Ma tianglo ke dalamnya, terus dijepitnya. Tapi kuda-kuda kaki Ma tianglo amat kokoh. Meskipun tangannya kena dijepit, tapi tubuh tianglo itu tetap tak bergeming laksana terpaku di tanah.

"Ciok Ceng-yang, kau berani menentang perintah pangcu dan malah hendak memberontak?" teriak Uh-bun Jui seraya hantamkan tongkat kekuasaan ke muka orang.

Ciok Ceng-yang adalah murid angkatan kedua partai Kay-pang. Dalam hal ilmu silat, suhu Uh-bun Jui, Ciu Ko itu saja masih tak menang, apalagi Uh-bun Jui. Tetapi dikarenakan Uh-bun Jui mencekal tongkat kekuasaan, Ceng-yang tak berani merampasnya. Ia terpaksa hanya menghindar saja. Kesempatan itu telah digunakan oleh Ma tianglo untuk mengirim tendangan. Dengan begitu, Ceng-yang terserang dari dua jurusan. Plak, tendangan Ceng-yang termakan hantaman tongkat Uh-bun Jui.

Wi Wat gusar sekali. Ia segera semburkan arak dari mulutnya. Kenal gelagat, Ma tianglo buru-buru menghindar. Celaka adalah Uh-bun Jui. Tahu ia melihat ada gumpalan sinar putih melayang kepadanya. Waktu ia hendak menyingkir, tiba-tiba pergelangan tangannya terasa sakit, seperti tertusuk jarum. Kiranya Wi Wat telah gunakan ilmu lwekang tinggi untuk merubah air arak menjadi semacam rantai putih yang dengan tepat menghantam jalan darah kwan-gwan-hiat tangan Uh-bun Jui. Karena tangannya lemas lunglai, tongkat kekuasaan yang dicekal Uh-bun Jui itupun jatuh ke tanah.

"Uh-bun Jui, kau telah melanggar peraturan partai kita. Mengundang komplotan buaya untuk menghina tianglo kita. Apakah kau masih mimpikan kedudukan pangcu?" teriak Wi Wat sembari mencongkel dengan ujung kakinya. Begitu tongkat mencelat ke udara, terus ia sambuti. Tapi baru ia hendak loncat ke altar batu untuk membuka persidangan membatalkan pengangkatan pangcu itu, tiba-tiba Ceng-ceng-ji sudah menyerangnya.

"Bagus, pengemis tua hendak menggebah kawanan buaya, baru nanti mengadakan pembersihan dalam tubuh Kay-pang!" teriak Wi Wat sembari balas menghantam.

Ceng-ceng-ji miringkan tubuh lalu menyusup ke bawah ketiak orang, terus menusuk dengan jurus sun-cui-thui-co atau menurutkan aliran air mendorong perahu. Tapi mana Wi Wat kena disengkelit secara begitu mudah. Siku tangan kirinya disodokkan ke belakang. Jika tak lekas menyingkir, batok kepala Ceng-ceng-ji pasti akan remuk.

Ceng-ceng-ji gunakan langkah ih-sing-hoan-wi untuk menyelinap ke belakang lalu menusuk jalan darah hong-hu-hiat di punggung orang. Kala itu Wi Wat sudah dapat mencekal tongkat kekuasaan. Dan punggungnya seperti bermata, ia hantamkan tongkat itu ke belakang. Tongkat kekuasaan dari partai Kay-pang itu juga sebuah benda mustika, terbuat dari logam emas yang kokoh. Pedang Ceng-ceng-ji tak mampu memapas tongkat itu, sebaliknya malah terhantam sampai terpental. Demikianlah kedua jago itu bertempur dengan serunya. Yang satu lihay ilmu gin-kangnya, yang satu hebat ilmu silatnya.

"Ciok Ceng-yang mempunyai dendam permusuhan dengan Ciu pangcu almarhum. Saudara-saudara sekalian tentu mengetahui. Jika sekarang ia berkomplot dengan musuh dan berusaha merebut kedudukan pangcu, itulah sudah sewajarnya. Pengkhianat semacam itu, harus dihukum menurut peraturan partai!" teriak Ma tianglo.

Ma tianglo adalah pemimpin dari keempat tianglo partai Kay-pang. Selain berpengaruh iapun mempunyai banyak pengikut di dalam partai. Ucapannya tadi telah mendapat sambutan hangat dari pengikut-pengikutnya. Mereka sama berteriak: "Benar, harus dihukum!"

"Kentut! Kamu berani melawan orang atasan, bersekongkol dengan kaum buaya serta berani bermusuhan dengan Wi lo-cianpwe. Apakah hukumannya?" teriak Ji tianglo.

Wajah Uh-bun Jui berubah membesi. Begitu ia memberi tanda, Seng-tong hiangcu Ciok Tan, Lwe-tong hiangcu serta Siang-tong hiangcu Han Ciat segera maju akan meringkus Ji tianglo.

Karena tulang lengan kanan dari Ji tianglo sudah dipatahkan oleh Ceng-ceng-ji, maka Ji tianglo hanya dapat melawan dengan tangan kirinya. Keadaannya berbahaya sekali. Melihat itu berteriaklah Ciok Ceng-yang: "hai, Ciok Tan dan Han Ciat, kalian berani melawan orang atasanmu. Jangan sesalkan aku berlaku kejam, ya!"

Kedua hiangcu cukup kenal kelihayan Ceng-yang. Buru keduanya mundur lagi.

"Wi lo-cianpwe angot limbungnya. Lebih dulu ringkus Ciok Ceng-yang dan periksa persekongkolannya itu, tentulah nanti Wi lo-cianpwe dapat dibikin mengerti," demikian teriak Ma tianglo.

"Ma-hun, kau sudah gila atau pura-pura gila?" dengan murkanya Wi Wat menghardik. Ma-hun artinya tahi kuda. Huruf Ma dari Ma tianglo itu, dalam arti sebenarnya, memang artinya: kuda.

Wi Wat kembali semburkan arak dari mulutnya. Wut, sekonyong-konyong dari samping Ma tianglo melesat keluar seseorang yang terus lontarkan pukulannya ke arah arak Wi Wat itu.

Orang itu bukan lain ialah Pok Yang-kau, tokoh kedua dari Ki-san-sam-mo atau Tiga Iblis dari gunung Ki-san.

Memang Ma tianglo dan Uh-bun Jui itu banyak pengikutnya di dalam partai. Tapi Wi Wat adalah tetua yang paling tinggi kedudukannya dalam Kay-pang. Meskipun Uh-bun Jui itu menjabat sebagai pangcu, tapi perbuatannya itu berarti melawan terhadap orang atasan. Banyak juga di antara anak buah Kay-pang yang tak setuju dengan perbuatannya itu. Dan masih ada sebagian anak buah Kay-pang yang menyokong Ciok Ceng-yang. Dengan demikian kaum Kay-pang terpecah menjadi dua golongan. Kedua golongan ini, jumlahnya meliputi separuh dari jumlah anggota Kay-pang. Sedang separuh lainnya, hanya melongo saja, tidak berpihak siapa-siapa alias netral.

Pok Yang-kau bersama Ceng-ceng-ji mengerubuti Wi Wat. Pok Yang-kau adalah tokoh kelas satu dari apa yang disebut golongan Sia-pay (jahat). Ilmu kepandaiannya tidak di sebelah bawah Ceng-ceng-ji. Ia melangkah maju untuk menghantam dada Wi Wat.

Kemarahan Wi Wat makin menyala, serunya: "Jika saat ini buaya-buaya kangouw macam kalian tak dibasmi, aku tiada muka untuk bertemu dengan para cosu Kay-pang!"

Ia balas menangkis pukulan Pok Yang-kau. Seketika orang she Pok itu rasakan dadanya seperti dihantam palu besi. Ceng-ceng-ji menyelinap ke belakang Wi Wat untuk menusuknya, tapi tanpa menoleh lagi, Wi Wat sabatkan tongkatnya ke belakang. Seperti bermain, tongkat itu dengan telak menghantam terpental pedang Ceng-ceng-ji. Tanpa berhenti, Wi Wat memburu Pok Yang-kau untuk menyusuli sebuah hantaman lagi. Pok Yang-kau berulang-ulang mundur dengan tubuh terhuyung-huyung. Wi Wat masih mencecernya lagi dengan pukulan yang ketiga. Kali ini Pok Yang-kau terpaksa menangkis dengan kedua tangannya. Tapi puluhan jago Kay-pang itu dahsyatnya bagai gunung roboh lautan bergelombang. Makin kuat Pok Yang-kau menangkis, makin celaka dia. Dadanya serasa sesak dan mulutnya muntahkan darah segar. Tapi Wi Wat tak kurang herannya tiga kali hantaman hanya membikin lawannya itu muntah darah, tidak sampai rubuh.

Kawan Ceng-ceng-ji yang satunya lagi, yakni Hun-bong jin-yan (Manusia siluman dari awan impian) Liu Bun-siong, cepat menghunus pedang maju membantu. Jagoan ini adalah buaya 'tukang petik bunga' (mengganggu wanita baik-baik). Wajahnya 'cantik' macam wanita, tetapi ilmu pedangnya ganas sekali. Dalam ilmu gin-kang ia di bawah Ceng-ceng-ji, tapi lebih atas dari Pok Yang-kau. Dengan berlincahan kian kemari. Wi Wat tak berhasil merebut pedangnya. Ini dikarenakan Ceng-ceng-ji selalu mengancamnya.

Dengan siasat berlincahan itu, dalam beberapa kejap saja, Liu Bun-siong telah lancarkan 7-8 kali serangan pedang. Sudah tentu Wi Wat seperti orang kebakaran jenggot. Sekonyong-konyong ia berputar ke belakang dan sekali jari tengahnya maju, tring .... dengan cepat pedang Liu Bun-siong kena tertutuk sampai mencelat ke udara. Tapi berbareng saat itupun kedengaran suara "pruk". Ternyata buli-buli arak milik Wi Wat pun kena ditusuk pecah oleh pedang Ceng-ceng-ji.

Ternyata hal itu memang sudah diperhitungkan oleh Wi Wat. Setelah menaksir posisi lawan, barulah ia berani berbuat melancarkan tutukannya ke arah pedang Liu Bun-siong. Tapi dengan berbuat begitu ia terpaksa harus mengorbankan buli-buli arak kesayangannya. Diam-diam ia merasa gegetun juga. Untuk melampiaskan kemendongkolannya, kini ia menyerang Ceng-ceng-ji dengan gencar. Betapa hebat ilmu gin-kang Ceng-ceng-ji, namun tak urung ia merasa kesakitan juga tersambar angin pukulan Wi Wat yang laksana badai mengamuk itu.

Ternyata daya tempur Pok Yang-kau itu cukup tinggi. Walaupun menerima tiga buah serangan Wi Wat dan terluka dalam, tapi ia masih kuat bertahan. Pun Liu Bun-siong itu juga jagoan yang keras kepala. Sekalipun tangan kanannya kesakitan, tapi ia tetap pantang mundur. Kini ia ganti mainkan pedang dengan tangan kiri. Demikianlah ketiga benggolan itu, kini maju mengeroyok Wi Wat. Karena ketiga benggolan itu masing-masing mempunyai kepandaian istimewa sendiri-sendiri, maka dapatlah mereka bertanding seri dengan Wi Wat.

Di partai sana, Ciok Ceng-yang pun diserang oleh salah seorang konconya Ceng-ceng-ji yang bernama He Ping-tat. Ping-tat itu mahir dalam ilmu pelintir tulang hun-kin-jo-kut. Benar kepandaiannya tak menyamai Ceng-yang, tapi begitu Ceng-yang merangsek mendekat, dengan gunakan ilmu hun-kin-jo-kut, dapatlah Ping-tat memaksanya mundur.

Demikianlah dua buah partai telah bertempur dengan seru. Dinilai dari ilmu kepandaiannya, Wi Watlah yang nomor wahid. Tapi pihak Ceng-ceng-ji menang jumlah. Dengan main keroyok itu, dapatlah mereka menang angin.

Menyaksikan pertandingan itu, Khik-sia kebat-kebit hatinya. "Wi Wat adalah seorang cianpwe yang bersahabat baik dengan mendiang ayahku. Pun Kay-pang ini rapat sekali hubungannya dengan Thiat toako. Apakah aku tak mau memberi bantuan?" - "Tapi, ah, ini urusan dalam partai Kay-pang, apakah aku leluasa turut campur?" - "Ceng-ceng-ji meskipun sudah masuk ke dalam perguruan lain, tapi dahulu ia adalah suhengku. Pernah toa-suheng (Gong-gong-ji) mengatakan padaku, supaya aku berlaku sungkan kepadanya. Jika kini aku membantu Kay-pang untuk menangkapnya, apakah hal itu tak menusuk perasaan toa-suheng?"

Memang sejak usia sewindu, Khik-sia sudah diambil oleh Gong-gong-ji. Bermula dua tahun lamanya Gong-gong-ji lah yang memberi pelajaran silat, setelah itu baru gurunya. Oleh karena itu, hubungan Khik-sia dengan Gong-gong-ji itu sangat baik sekali.

Perangai Gong-gong-ji itu suka menurutkan kemauannya sendiri saja. Dan dia sering dipengaruhi oleh konco-sistem atau famili sistem. Sudah terang Ceng-ceng-ji itu jahat, tapi ia tetap suka melindungi.

Teringat akan pesan toa-suhengnya itu, Khik-sia pun tak mau ikut campur dalam urusan Kay-pang. Baru ia mengambil putusan begitu, tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan sekonyong-konyong dari balik hutan menerobos keluar sepasukan .... wanita berbaju merah!

Sebenarnya sewaktu Kay-pang mengadakan rapat itu, walaupun tidak dijaga keras, tapi dalam keliling lima li luasnya, terdapat petugas-petugas yang akan memberi pertandaan, bilamana ada orang luar masuk. Tetapi ternyata pasukan wanita baju merah itu dapat menerobos dengan tiba-tiba. Entah bagaimana cara mereka lolos daripenjagaan anak buah Kay-pang. Semua anak buah Kay-pang menjadi kesima.

Pemimpin pasukan wanita itu adalah seorang gadis. Dengan gesit nona itu loncat turun dari kudanya, terus lari menuju ke tempat Wi Wat.

"Hai, pengemis gila, kau sungguh gila! Sudah begitu tua bangka, masih merampas barang kepunyaan anak muda. Lekas kembalikan!" seru nona itu.

Wi Wat terkesiap, serunya: "Apa katamu?" - Ia anggap budak perempuan itu lebih limbung dari dirinya.

Cepat sekali datangnya nona itu. Hampir berbareng dengan suaranya, orangnya pun sudah tiba. Dengan tangan kosong, nona itu lantas menyeruduk ke dada Wi Wat. Sudah tentu yang tersebut belakangan ini menjadi kaget. Meskipun ia luas pengalaman, tapi juga tak mengerti apa maksud gerakan gadis itu. Walaupun bergelar Hong-kay atau Pengemis Gila, tapi sebenarnya Wi Wat itu bukan gila sesungguhnya. Jika ia mau menghantam, terang nona itu tentu remuk. Tapi Wi Wat sadar akan kedudukannya sebagai Chit-lo atau Tujuh Orang Tua di dunia persilatan. Bagaimana ia mau rendahkan derajatnya untuk melukai seorang budak perempuan? Pula ia tak kenal serta tak mengerti bagaimana maksud gadis itu. Dan karena ia berpikiran begitu, maka ia sedikit berayal. Akibatnya ia rasakan pil pahit.

Tiba-tiba nona itu balikkan tangan. Justeru pada saat itu Ceng-ceng-ji tengah menusuk dari samping. Wi Wat menangkis serangan Ceng-ceng-ji dengan tongkatnya, berbareng itu ia harus menghindar dari benturan si gadis. Mau tak mau gerakannya agak sedikit terlambat. Ketika ia miringkan tubuh hendak menyingkir ke samping, ujung jari nona itu sudah mengenai siku lengannya. Seketika Wi Wat rasakan tangannya kesakitan dan tahu-tahu tongkat kekuasaan yang dipegangnya sudah pindah ke tangan si nona. Marah si Pengemis Gila bukan alang kepalang. Ia menghantam mundur Ceng-ceng-ji, kemudian mencengkeram punggung si nona. Tapi gesit laksana burung walet, nona itu sudah meluncur jauh.

Kiranya nona itu memakai gelang jari atau semacam krakkeling yang bentuknya aneh seperti tutup pit (pena) yang runcing. Gelang itu menutupi jari, ujungnya dipasangi jarum bwe-hoa-ciam yang halusnya sukar dilihat dengan mata. Sebenarnya Wi Wat siang-siang sudah siap menutup seluruh jalan darah di tubuhnya. Tapi ditusuk oleh ujung jarum itu, tak urung ia merasa kesakitan juga. Begitulah dengan memakai akal itu, dapatlah si nona merebut tongkat dari tokoh yang jauh lebih lihay dari dirinya. Tapi memang nona itu juga memiliki gerakan tangan yang luar biasa indah serta tangkasnya. Tepat dan cepat ia berhasil merampas tongkat orang. Kepandaiannya itu jarang dipunyai oleh orang persilatan umumnya.

Habis melarikan tongkat, nona itu lalu berputar tubuh dan melesat ke muka Uh-bun Jui, ujarnya: "Kuhaturkan selamat atas pengangkatanmu sebagai pangcu. Tongkat kekuasaan ini bagi seorang pangcu adalah sama seperti cap kebesaran dari seorang pembesar negeri. Selaanjutnya harus dijaga hati-hati supaya jangan direbut orang lagi."

Dengan berseri Uh-bun Jui menyambuti, katanya: "Terima kasih nona Su, seluruh anggota Kay-pang selanjutnya akan menurut perintah nonalah!"

"Membantu orang harus membantu sampai selesai, ibarat mengantar Buddha harus tiba di Se-thian (barat). Biarlah kubantumu menghukum kawanan pemberontak," sahut gadis itu. Ia lambaikan tangan dan pasukan wanita baju merah yang dipimpinnya itu segera menyerbu ke gelanggang pertempuran.

Sebenarnya kekuatan kedua pihak yang bertempur tadi berimbang. Tapi begitu pasukan wanita baju merah itu masuk, pihak Uh-bun Jui - Ma tianglo tambah kekuatan, sedang pihak Ciok Ceng-yang dan Wi Wat menjadi keteter. Dalam beberapa saat saja, pasukan wanita merah itu sudah dapat meringkus berpuluh orang, kemudian diringkus dengan tali.

Kehilangan tongkat dan terluka tangannya itu, telah membuat tenaga dalam Wi Wat banyak berkurang. Dengan tangan kosong, ia lanjutkan perlawanannya terhadap ketiga benggolan. Situasinya kini berubah. Kalau tadi Wi Wat yang memegang inisiatif pertempuran, kini ia berbalik menjadi pihak yang bertahan. Sama sekali ia tak dapat membuat serangan balasan.

Sepintas pandang, pihak yang menentang Uh-bun Jui bakal menderita kekalahan. Tapi sekonyong-konyong di dalam rombongan para pengemis itu, ada sesosok tubuh melayang melalui kepala orang. Sebelum orang-orang sempat melihat jelas, tahu-tahu orang itu sudah meluncur turun di samping altar batu, tepat di sebelah Ceng-ceng-ji. Kini barulah orang-orang mengetahui bahwa dia hanya seorang pengemis muda yang mukanya penuh berlumuran kotoran hitam.

"Hai, di dalam partai kita ternyata ada seorang anak yang begitu lihay!" sekalian pengemis sama berseru heran.

Walaupun bertempur, tapi Ceng-ceng-ji tetap waspada terhadap setiap gerak yang terjadi di sekelilingnya. Begitu di belakangnya ada angin menyambar, ia lantas tusukkan pedangnya ke belakang. Ia pun memandang ringan kepada pengemis kecil itu. Siapa tahu dengan suatu gerak ke samping, pengemis kecil itu dapat menghindari tusukan Ceng-ceng-ji. Kejut Ceng-ceng-ji bukan kepalang. Gerak permainannya pedang itu penuh dengan perubahan-perubahan yang sukar diduga. Jago-jago yang lihay, pun belum tentu dapat semudah itu menghindarinya.

Siapakah gerangan pengemis kecil itu? Dia bukan lain ialah Toan Khik-sia sendiri. Kepandaian Khik-sia sekarang, sudah melampaui Ceng-ceng-ji. Apalagi permainan pedang yang digunakan Ceng-ceng-ji itu berasal dari perguruannya, sudah tentu dengan mudah sekali ia dapat menghindarinya. Dan malah gerakan menghindar dari Khik-sia itu disusuli pula dengan sebuah tepukan pelahan ke bahu Ceng-ceng-ji. Tepukan itu sebagai isyarat supaya Ceng-ceng-ji menyingkir.

Kini kejut Ceng-ceng-ji itu berubah menjadi rasa keheranan. Jelas ia mengetahui gerakan pengemis muda itu, juga berasal dari perguruannya. Buru-buru ia loncat tiga tindak dan berseru: "Kau, kau ...."

Khik-sia membayangi di belakangnya dan dengan berbisik-bisik berkata: "Toa-suheng segera akan datang. Lebih baik kau lekas tinggalkan tempat inilah!"

Ceng-ceng-ji mengerti juga bahwa Gong-gong-ji telah diperintah oleh subonya untuk menangkap dirinya. Walaupun ia tahu bahwa toa-suhengnya itu diam-diam menaruh kasihan padanya, tapi kalau kebentrok di hadapan orang banyak, toa-suhengnya itu tentu sungkan untuk tidak mengapa-apakan dirinya. Itulah sebabnya maka dalam beberapa tahun yang lalu itu, Ceng-ceng-ji selalu menyembunyikan diri.

Gertakan Khik-sia tadi, telah membuat Ceng-ceng-ji ketakutan setengah mati. Tanpa memberitahukan kepada konco-konconya lagi, ia lantas terbirit-birit melarikan diri. Khik-sia hanya tersenyum saja. Saat itu ada lima orang anggota pasukan wanita menghampiri datang.

"Hai, pengemis kecil, kau menertawakan apa?" bentak salah seorang wanita itu.
Khik-sia makin tertawa geli, sahutnya: "Kulihat tangan kalian itu halus-halus semua, lebih baik menyulam di rumah saja, jangan main-main dengan pedang, itu tidak sesuai."

Mulutnya berkata begitu, tangannya pun tak tinggal diam. Dengan gunakan ilmu tangan kosong merampas senjata atau gong-chiu-jip-peh-jim, ia sudah merebut senjata kelima anggota pasukan wanita itu.

Baru Khik-sia menerobos keluar dari kepungan kelima wanita itu, ia sudah disambut oleh sepasang tangan dari seorang lelaki yang hendak mencengkeramnya. Karena tak menduga, hampir saja bahu Khik-sia kena.

Kiranya orang itu adalah He Ping-tat, jago ilmu pelintir tulang hun-kin-jo-kut yang termasyhur. Melihat kepandaian 'pengemis kecil' itu amat hebat, ia tinggalkan Ciok Ceng-yang terus menerjang Khik-sia.

"Ha, kepandaianmu hun-kin-jo-kut hanya begitu saja, sayang belum kau yakinkan dengan sempurna!" Khik-sia tertawa mengejek.

Ping-tat itu seorang yang sombong. Sudah tentu ia menjadi merah telinganya.

"Cara bagaimana baru dikata mahir? Hm, bocah kemarin sore tahu apa!" Bentaknya sembari lingkarkan lengan kirinya dan tangan kanannya melalui lingkaran itu menjulur keluar untuk mencengkeram pergelangan tangan Khik-sia. Itulah jurus yang paling lihay dari ilmu hun-kin-jo-kut. Nyata ia bernafsu sekali akan memelintir tangan Khik-sia sampai putus.

Di luar dugaan, Khik-sia tak mau menghindar. Ia biarkan saja tangannya dicengkeram, tapi diam-diam ia salurkan lwekang. Seketika lengannya itu berubah seperti besi kerasnya. Ping-tat terbeliak kaget. Tapi sudah kasip.

"Paling tidak harus setingkat begini baru boleh dianggap sempurna!" seru Khik-sia sambil tertawa. Sekali tangan kirinya ditekuk, lengan Ping-tat malah kena dibekuk. Krek .... patahlah lengan jago yang suka memelintir itu.

Ini bukan dikarenakan gerakan Khik-sia lebih jempol dari Ping-tat, melainkan karena Khik-sia dapat menggunakan lwekang tepat pada waktunya. Saking marahnya Ping-tat sampai muntah darah dan terus rubuh pingsan.

Habis meremukkan lengan Ping-tat, Khik-sia bersuit panjang. Sekali enjot, tubuhnya melayang ke atas altar batu.

"Hai, siapakah suhumu? Mengerti tidak kau akan peraturan? Di sini bukan tempatmu, turunlah!" cepat Uh-bun Jui membentaknya.

Ternyata Uh-bun Jui juga tak kenal akan Khik-sia. Dikiranya ia itu salah seorang anak buah Kay-pang. Altar batu itu hanya diperuntukkan tempat duduk para pangcu, hiang-cu dan tianglo. Bahwa seorang murid kecil berani menginjak tempat itu, merupakan pelanggaran besar.

Dengan menanyakan siapa suhu Khik-sia tadi, maksud Uh-bun Jui telah hendak menyuruh suhunya itu mengatasi anak muridnya.

Khik-sia hanya tertawa menyahut: "Kau sudah menjadi pangcu atau bukan, itu aku tak mengerti. Tapi yang kuketahui hanyalah bahwa Wi lo-cianpwe itu adalah susiok-comu. Kau berani menghina pada angkatan yang lebih tua, itu suatu dosa yang tak berampun!"

"Pemberontak!" teriak Uh-bun Jui seraya tusukkan tongkatnya ke jalan darah tubuh Khik-sia.

Khik-sia hendak sambar tongkat lawan, tapi tak terduga Uh-bun Jui itu lihay juga. Benar ia murid dari CiuKo, tapi mempunyai bakat yang bagus sekali. Dalam usianya itu, ia tak kalah dengan suhunya di waktu muda. Ilmu permainan tongkat Hang-liong-ciang-hwat, termasuk suatu ilmu sakti di dunia kangouw. Bermula Khik-sia tak memandang mata pada Uh-bun Jui. Baru jarinya menyentuh batang tongkat lawan, tiba-tiba dirasanya tongkat itu bergetar dan tahu-tahu sudah lolos dari cengkeramannya. Terpaksa Khik-sia gunakan siasat lain. Ia buru-buru miringkan tubuh dan menjentik dengan dua buah jarinya. Tongkat itu terpental dan tangan Uh-bun Jui kesakitan sekali.

Khik-sia maju merapat untuk menghadapi permainan tongkat Hang-liong-ciang-hwat dari Uh-bun Jui. Meskipun Uh-bun Jui lihay juga, namun tetap bukan tandingannya Khik-sia. Dalam sepuluh jurus saja, ia sudah gelagapan. Dan ketika pada lain saat Khik-sia membentak 'lepaskan', dengan tutukan jari tengahnya yang membikin Uh-bun Jui meringis, tongkatnyapun terlepas mencelat ke udara.

Tapi pada waktu Khik-sia hendak menyambuti, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar punggungnya.

"Permainan golok yang luar biasa cepatnya!" diam-diam ia memuji sembari balikkan tangan ke belakang untuk menghalaunya. Waktu ia berpaling, kiranya yang menyerang itu adalah seorang nona muda yang mencekal sepasang Liu-yang-siang-to atau sepasang golok setipis daun Liu. Malah dalam sekejap itu, si nona itu sudah lancarkan delapan kali gerakan bacok.

Kiranya nona lihay itu adalah nona yang disebut sebagai nona Su oleh Uh-bun Jui tadi. Sekilas teringatlah segera Khik-sia pada Su Yak-bwe. Dan karena pikirannya berayal itu, hampir saja mukanya kena terpapas rata oleh golok si nona.

Ilmu golok Hui-hoan-to-hwat si nona yang terdiri dari 64 jurus itu, penuh dengan perubahan yang hebat. Gerakannya amat cepat sekali. Tapi meski sudah melancarkan sampai delapan belas kali serangan tetap ia tak dapat melukai Khik-sia. Diam-diam nona itu terperanjat juga.

Continue Reading

You'll Also Like

166K 3.7K 121
Di dalam cerita THPH, ada tiga orang jago pedang yang mewarisi ilmu dari Chang Man-tian - salah satu tokoh dalam Pedang Sakti Langit Hijau, karya per...
3.6K 323 85
Novel translate by google translate Author : Er Gen Apa yang saya inginkan, Surga tidak akan kekurangan! Apa yang tidak saya inginkan, lebih baik tid...
49.2K 770 13
Diam-diam Lie Bun tersenyum. Ah, julukan ini tidak lebih buruk dari pada Si Topeng Setan, yakni julukan yang dulu kakaknya memberinya. Kemudian ia pe...
80.1K 1K 22
Lanjutan "Bayangan Berdarah" Dalam cerita "Bayangan Berdarah" dikisahkan bahwa Siauw Ling telah turun ke bawah tebing untuk mencari jamur batu berusi...