OBSESSION

By slay-v

99.7K 10.2K 6K

Bethany Chance dan Aimee Parker. Mereka gadis berusia 17 tahun yang sekilas terlihat seperti remaja pada umum... More

OBSESSION
CAST
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 30 (2)
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 34 (2)
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 36 (2)
Chapter 37
Chapter 37 (2)
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Epilog
Author's Notes
Random Part
Bonus Chapter: Through The Dark
Bonus Chapter
Bonus Chapter: Tough Guys

Bonus Chapter: After

1.4K 113 69
By slay-v

( Bethany Chance's Pov )

Ini hari keduaku berada di rumah sejak kepulanganku dari rumah sakit.

Karena tabrakan beberapa minggu yang lalu, kondisi tubuhku lemah. Jadi aku mendekam di rumah sakit hampir sebulan lamanya.

Hari itu, saat aku menabrakkan diri ke mobil aku tidak berfikir panjang. Perasaan dan fikiranku benar-benar rapuh dan kalut. Saat itu yang kuinginkan adalah segala tekanan yang kurasakan pergi. Well, setidaknya aku memang tidak merasakan seluruh tekanan itu lagi untuk sesaat. Selanjutnya aku merasakan akibatnya; rasa sakit yang terus menerus di seluruh tubuhku.

Menghabiskan waktu lama bagiku untuk benar-benar pulih hingga saat aku pulang, aku merasa asing dengan rumahku sendiri.

"Kau ingin tidur?" Ayah datang dari dapur. Ia duduk di sisiku dan mengusap kepalaku. "Sekarang sudah pukul sepuluh."

Aku mengangguk. Aku hendak berdiri namun Ayah malah berlutut di hadapanku.

"Naik ke punggungku."

"Ayah, aku bisa berjalan sendiri."

"Kau dengar kata dokter. Kau tidak boleh banyak bergerak, sayang."

Padahal hanya berjalan ke lantai dua. Namun dari pada membangkang dan selanjutnya kami berdebat, aku pun mengiyakan. Aku melingkarkan lenganku di leher Ayah dan melingkarkan kakiku di pinggangnya. Ayah langsung berdiri, menggendongku di punggungnya menuju lantai dua. Ia melakukannya dengan mudah seakan aku hanyalah sebuah ransel.

"Aku berat tidak?" aku iseng bertanya.

"Berat atau tidak, yang terpenting kau sehat. Itu yang terpenting bagiku," Ayah menyahut dengan lembut.

Begitu masuk ke kamar, Ia mendudukkanku di atas kasur lalu pergi ke dapur untuk mengambilkanku segelas air. Sambil menunggu Ayah, aku menarik selimut di ujung kasurku. Namun mataku beralih ke dinding di seberangku yang tertutupi berlembar-lembar karton putih, dengan lirik lagu yang tertulis rapi di atasnya.

'Written in these walls are the stories that I can't explain.'

Aku turun dari kasur dan mendekat ke meja belajar. Aku hendak naik namun Ayah datang. Ia langsung berteriak saat melihatku.

"Beth, kau mau apa?"

"Melepas karton-karton itu."

"Biar Ayah saja. Turunlah, Nak."

Aku tidak melawan karena mendengar perintah Ayah. Aku melangkah mundur dan menyaksikan Ayah yang naik ke atas meja belajarku dan melepas satu persatu karton tersebut dengan hati-hati. Hasilnya, tidak ada poster maupun foto di baliknya yang sobek. Poster-poster One Direction masih ada disana. Begitu pun foto-fotoku bersama Greyson dan the lads selama di London.

Namun kini mataku terpusat ke selembar foto James yang kutempel di samping fotoku bersama Liam. Aku diam-diam memotretnya saat di basecamp.

Sudah sebulan lebih sejak James menjengukku di rumah sakit. Sejak itu kami memang masih berkomunikasi melalui pesan singkat dan video call. Tetapi rasanya semua itu tidak cukup karena aku ingin melihat dan mengobrol dengannya secara langsung.

"Kau merindukan James?"

"Tidak," aku menjawabnya dengan cepat sambil berjalan menuju kasur.

"Oh, kau mau berbohong lagi padaku?" Ayah bertanya dengan nada meledek. Tidak perlu malu-malu begitu, Nak."

Bagaimana tidak malu? Aku bisa saja menjawabnya dengan jujur namun aku merasa agak aneh jika mengobrol mengenai hubunganku dengan James bersama Ayah. Ia selalu protektif jika saja aku berhubungan dengan lelaki. Tempo hari, setelah James pulang dan Ibuku sedang menemaniku di rumah sakit, Ibu bercerita kalau saat James datang ke rumah hari itu, Ayah tampak tidak senang. Ia mencengkeram tangan James. Ibu bilang James tidak terlalu menunjukkan ekspresi kesakitan namun Ibu dapat melihat urat tangan dan leher Ayah selama menjabat tangan James.

"Selamat malam, Ayah," aku segera berbaring memunggungi Ayahku.

"Hei, Ayah masih mau berbicara denganmu, tahu?" tanya Ayah. Aku merasakan tangannya yang lebar mengusap rambutku.

Maka aku pun merubah posisiku menjadi terlentang. Ayah duduk di sampingku dan berbicara dengan lembut. "Berjanjilah kalau kau tidak akan menyembunyikan hal apapun dariku dan Ibumu, Nak."

Aku tidak langsung menjawab. Aku memandangi ekspresi Ayah. Ekspresinya biasa saja namun sorot matanya sedih dan gelisah. Ini membuatku menyesali perbuatanku yang ternyata membuat Ayah dan Ibu menderita.

Seharusnya aku tidak melakukan hal itu; menabrakkan diriku ke mobil. Aku sungguh bodoh. Aku tidak tahu apa yang kufikirkan saat itu. Kurasa aku terlalu marah dan sedih karena segala ucapan Winny. Terutama setelah apa saja yang kualami selama di London.

"Maafkan aku," suaraku begitu pelan dan lirih, nyaris seperti bisikan. "Maafkan aku, Ayah."

Ayah tersenyum. Ia mengusap pelipisku, kemudian membungkuk dan menanamkan ciuman panjang di kening. Ia pun keluar dari kamarku tanpa mengatakan apapun lagi.

Sekejap saja rasa kantukku hilang.

Aku memikirkan segala tindakanku hingga sekarang, yang tanpa kusadari membuat kedua orang tuaku sedih dan menderita.

Kenapa aku tidak menyadarinya sejak awal?

Walaupun aku kehilangan banyak sahabat, setidaknya aku masih memiliki Ayah dan Ibu disini. Juga Greyson, James dan the lads. Walaupun mereka berenam jauh dariku, aku tahu suatu saat nanti kami akan bertemu lagi.

Aku merubah posisi tidurku lagi menjadi miring. Mataku terpaku ke ponsel yang kuletakkan di atas meja kecil di samping ranjangku. Layarnya menyala. Begitu aku tahu tertera nama 'James' di layarnya, aku langsung menyambar benda tersebut dan menggeser lockscreen. Wajahnya langsung memenuhi layar ponselku.

"Kau mau tidur?" ia langsung bertanya sebelum aku menyapanya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Oh, okay. Dia sedang bertelanjang dada. "Kurasa aku akan meneleponmu besok—"

"Tidak! Tidak apa-apa," tanpa sadar aku berseru, mencegahnya memutuskan sambungan telepon. "Aku senang kau meneleponku."

James diam selama beberapa detik sebelum menunjukkan cengirannya yang lucu. "Dimana Beth yang gengsi dan selalu menutupi perasaannya dariku?"

Gadis batinku langsung melotot. "Bagaimana jika kau memutuskan sambungan sekarang? Karena aku tiba-tiba mengantuk," aku bersungut sebal sambil menarik selimut hingga ke kepalaku.

Aku mendengar James tertawa. Aku pun mengintip dari balik selimut, mendapati ekspresi orang itu ketika sedang tergelak.

Melihatnya sekarang membuatku berfikir kenapa pria dewasa sepertinya mau berpacaran dengan remaja labil sepertiku. Karena kuberitahu satu hal; dia benar-benar tampan.

"Beth, aku serius. Kalau kau lelah, aku akan menelepon saat kau bangun nanti," ujar James santai.

"Tidak mau," aku menggeleng. "Oh, ya. Kenapa kau tidak meneleponku kemarin?"

"Pekerjaan," ia menjawabnya dengan cepat. "Kemarin aku ada tugas ke luar kota. Maafkan aku."

"Tidak masalah. Tetapi kau baik-baik saja, bukan?"

"Tentu saja. Tugasnya lancaroh, ya, Beth. Aku dan Ibumu sempat berbincang dan katanya kau menolak untuk pindah dari Cheyenne," baik ekspresi dan suara James berubah serius. "Tolong beritahu padaku satu alasan bagus kenapa kau tidak mau pindah dari sekolah yang telah membuatmu nyaris kehilangan nyawa."

"Oke, pertama, soal kehilangan nyawa itu adalah sepenuhnya salahku. Perbuatanku bodoh, aku tidak berfikiran panjang."

"Bee, aku tahu apa saja yang kau alami bersama Aimee dan Greyson jauh sebelum hari dimana kau nyaris meninggal. Kalian selalu ditindas. Kau tidak bisa menyalahkan dirimu seperti itu! Ucapan Willy—"

"Winny."

"Masa bodoh dengan namanya. Ucapan si Wonka itu menurutku tidak dapat dimaafkan. Tahu apa dia mengenai hubunganmu dengan Greyson, Louis dan yang lainnya? Kau tahu tidak. Begitu tahu kau tertabrak karena ucapan Wonka, aku mencari tahu mengenai dirinya dan—"

Aku memijat keningku, merasa malas sekaligus kesal karena James mulai mengomel panjang lebar mengenai Winny dan keluarganya yang bahkan tidak kuketahui. Entah bagaimana caranya ia tahu rahasia gelap perusahaan Ayah Winny yang menurut James seharusnya sudah ditutup karena terlalu banyak melakukan korupsi dan penipuan.

"Oke, stop. Kenapa kita malah membicarakan Winny? Dan bagaimana bisa kau tahu tentang Ayahnya yang menggelapkan uang lima ratus juta dolar?"

"Karena dia kurang ajar? Dan apa kau lupa pacarmu ini seorang agent MI6 yang memiliki akses luas? Jawaban apa yang kau harapkan?"

"James, aku sudah sehat. Kau lihat sendiri, bukan? Aku baik-baik saja. Dan mengenai alasan kenapa aku tidak mau pindah sekolah, karena aku murid senior. Kurang lebih enam bulan lagi pun aku akan lulus. Aku tidak mau pindah sekolah dan beradaptasi."

James tidak langsung menjawab. Namun ekspresinya mengatakan segalanya; ia tidak menyukai keputusanku.

"Well, yang terpenting kau sebentar lagi pergi dari sana," James mengatakannya sambil mengusap hidungnya. "Kapan kau mulai sekolah?"

"Besok."

"Apa? Langsung?"

"Ya. Karena sebentar lagi ada ujian besar jadi aku tidak bisa melewatkan kelas tambahan dan pelajaran penting lainnya."

"Lalu rencanamu setelah lulus apa?"

Aku menatap James, namun tidak mengatakan apapun.

"Rencana kita setelah lulus ..." Aimee melingkarkan sebuah kalimat yang kutulis di bucket list kami menggunakan spidol merah. "Kuliah di London. Kau masih ingat pilihan universitas kita disana, Beth?"

"Nomor satu Oxford, tentu saja. Dan yang kedua, Cambridge. Kemudian King's College," aku menepuk tanganku dengan semangat. "Aku bahkan tidak bisa membayangkan kita benar-benar kuliah di London, Aimee! Bagaimana jika kita bertemu the lads disana?!"

Aimee menertawai ucapanku. Seraya menutup buku bucket list kami, dia menatapku, "besar kemungkinannya. Tetapi, kau tahu. Aku tidak mau banyak berharap," ia mengatakannya sambil mengangkat kedua pundaknya.

"Hei, sejak kapan kau jadi seseorang yang pesimis seperti itu?" aku bersungut sebal. "Tentu saja kita akan bertemu dengannya, Aimee. Oh, pasti itu akan menjadi saat-saat terhebat dalam hidup kita. Kujamin itu."

Aimee tersenyum. "Semoga."

"Bethany? Sayang?"

Aku mengedip, dan aku langsung merasakan air mataku mengalir ke pipiku. Ekspresi James pun berubah. Ia terlihat khawatir.

"Kenapa kau menangis?"

Aku mengusap pipiku dan terkekeh. "Maaf," aku bergumam pelan.

"Sayang, ada apa?"

Aku menatap James. Aku malah semakin menangis. "A—aku teringat perbincanganku dengan Aimee," ungkapku dengan lirih. "Kami membuat bucket list yang akan kami lakukan bersama ... dan rencana kami selulusnya SMA adalah pergi ke universitas yang sama ..."

James tidak berkomentar.

Di saat seperti inilah aku merasa membutuhkan kehadiran James disini. Aku ingin berada di dekatnya. Berada di pelukannya yang membuatku hangat dan nyaman.

"Bee," ia menyebut namaku. Dengan suaranya yang begitu rendah dan lembut.

"Ya?" aku menatapnya sambil mengusap mataku yang terus mengeluarkan air mata.

"Kau tidak sendirian. Aku ingin kau ingat itu," kata James. "Kau memiliki kedua orang tuamu yang mencintaimu. Kau memiliki Greyson, Harry, Louis, Niall dan Liam."

James diam selama beberapa saat sebelum melanjutkan, "kau memilikiku. Okay?"

Secara spontan aku tersenyum namun di saat yang sama air mataku kembali turun. "Aku ingin kau disini."

"Suatu saat nanti," James tersenyum. "Suatu saat nanti aku akan ada di depanmu. Aku bersedia menerima pelukan darimu, kapanpun kau mau."

Aku bisa saja merespons ucapan manis James dengan gengsi, seperti biasanya. Namun kali ini tidak. Aku dapat melihat James benar-benar tulus mengatakannya. Dan jauh di lubuk hatiku, aku berharap James pun merasakan hal yang sama denganku. Bahwa dia merindukanku.

***

Jika kemarin aku merasa yakin untuk kembali bersekolah, kini semangatku lenyap seketika.

Karena aku sekarang telah menjadi pusat perhatian murid-murid Cheyenne. Bahkan aku belum keluar dari mobil. Kurasa mereka dapat melihatku dari luar. Sayang sekali kali ini Ayah mengantarku menggunakan mobil sedan Ibu yang kaca jendelanya tidak gelap. Hingga siapapun dari luar dapat melihatku dan Ayah di dalam mobil.

"Kau tahu, Beth. Kalau kau ragu, kita bisa pulang," kata Ayah.

"Aku juga memikirkan itu, tapi ..." aku menghela nafas. "Aku tidak bisa bolos sekolah setelah cuti cukup lama."

Ayah menggapai tanganku, mencium punggung tanganku dan menatapku sambil tersenyum. "Kau tinggal menelepon Ayah jika suatu hal terjadi selama di sekolah. Oke?" tanya Ayah lembut.

Aku mengangguk. Aku mencium pipi Ayah sebelum turun dari mobil.

Kini semua murid Cheyenne di sekitarku menatapku. Mereka tidak memberi sorotan mata maupun ekspresi hina seperti biasanya. Namun tetap saja ini membuatku tidak nyaman.

Aku tetap berjalan menuju pintu masuk utama menuju gedung sekolah. Aku mencoba tidak memedulikan tatapan setiap murid di sekitarku. Tak sedikit dari mereka yang berbisik-bisik mengenai peristiwa yang kualami di London, dan pastinya mengenai tabrakan yang kualami tempo hari.

Aku sudah memasuki lorong namun gerakanku melambat karena mendengar deringan ponselku di dalam tas. Aku terus berjalan seraya mengambil ponselku. Aku agak kaget karena membaca nama yang tertera di layarnya.

Horton

Maka aku pun menerima teleponnya. "Harry?" aku memanggil namanya dengan pelan, tidak mau membuat orang di sekitarku semakin gencar untuk memerhatikanku bahkan menguping pembicaraanku.

"Oke, pertama. Kau kejam sekali. Kau baru mengangkat teleponku berminggu-minggu setelah kau tertabrak?! What the fuck—"

Aku menghela nafas ketika Harry mengomel tanpa jeda. Samar-samar aku pun mendengar suara Louis, Liam dan Niall. Mereka berdebat sebelum akhirnya Liam yang berbicara.

"Maafkan Harry. Dia terlalu sensitif akhir-akhir ini," Liam terdengar pasrah. "Kami tidak marah, Bee. Tenang saja. Kami tahu apa yang kau alami dari James. Dia sudah menceritakan semuanya."

"Aku tetap merasa bersalah," aku mendesah sedih. "Aku tahu seharusnya tidak menghindar dan menyembunyikan masalah ini dari kalian. Maafkan aku, Liam."

"Kau masih berkabung, Bee. Kami memahami itu. Mungkin, kecuali Harry. Kau tahu dia mengalami PTSD sepertimu. Kini ia jauh lebih emosional dari biasanya."

Well, terkadang aku pun seperti itu. "Liam ... aku sudah menonton video kalian di YouTube," aku berhenti melangkah. Aku berdiri di tengah lorong, di antara murid-murid yang berlalu lalang tak tentu arah.

"Oh, kau sudah menontonnya?"

"Ya. Dan ... aku benar-benar bahagia mendengar segala ucapan kalian. Terima kasih ... untuk semuanya. Terima kasih telah menghiburku dan melindungiku selama aku di London."

Untuk kali ini aku mendengar suara Louis. "Apa yang kita alami memang buruk, namun aku menghargai setiap waktu yang kita alami bersama."

"Aaw," aku tertawa haru. "Aku pun menghargainya, Lou."

"Tunggu. Harry ingin berbicara denganmu. Dia keras kepala sekali—hei!" terdengar suara teriakan selama beberapa saat kemudian suara Harry. "Jadi, bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Um ... baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"

"Entah. Seperti ucapan Louis; aku menjadi sangat emosional. Mimpi buruk setiap malam. Namun setidaknya aku tahu aku tidak sendirian. Dan kau pun harus tahu itu."

"Maafkan aku."

"Aku pun mengatakan 'maaf' setiap saat kepada Niall, Liam dan Louis sejak aku pingsan di atas panggung beberapa minggu yang lalu. Aku tahu ini terdengar aneh Bee. Namun ketika tahu kau juga mengalami PTSD, aku tidak merasa sendirian."

Aku tertawa kecil. "Apa kau keberatan jika aku tanya seberapa parah PTSD-mu?"

"Well, sebut saja PTSD-ku akut. Hal sekecil apapun membuatku panik, histeris bahkan kehilangan kesadaran. Sebenarnya Dokter pun menyuruhku untuk berhenti konser, menjauh dari publik bahkan dari Louis, Niall dan Liam—seperti yang doktermu katakan kepadamu. Percayalah, Bee. Aku sempat melakukannya. Aku kabur ke rumah Ibuku dan tidak mengangkat telepon dari mereka bertiga semalaman. Tahu-tahu, saat aku bangun aku mendapati mereka tidur di lantai kamarku."

Mendengar ucapannya membuatku tenang. "Mereka tidak akan membiarkanmu menjauh, bukan begitu?"

"Oh Tuhan, percayalah. Namun aku senang dengan usaha mereka untuk tetap berada di dekatku. Dan Bee, dengar ini; walaupun kami jauh darimu, kami tetap mendukungmu. Kami tetap sahabatmu. Kami tetap keluargamu. Oke?"

Batinku membeku mendengarnya. Sahabat? Keluarga?

Bel sekolah berdering nyaring, dan seketika murid-murid di sekitarku berlarian ke kelasnya masing-masing.

"Maaf, Harry. Kuhubungi lagi nanti. Aku harus masuk ke kelas sekarang."

"APA?!" secara spontan aku menjauhkan ponsel dari telinga ketika mendengar teriakan Louis, Liam, Niall dan Harry. "James tidak bilang kalau kau kembali ke sekolah! What the fuck?! Keluar dari sekolah terkutuk itu!"

Niall terus mengomel. Aku tahu dia tidak akan berhenti melakukannya jadi aku membiarkan telepon masih tersambung saat memasukkan ponselku ke dalam tas. Dan selama berjalan menuju kelas, samar-samar aku masih mendengar suara Louis, Liam, Niall dan Harry dari ponselku.

***

Tidak ada yang berbicara padaku hingga waktu jam makan siang selesai. Namun sungguh, aku tak keberatan. Namun aku merasa terganggu karena tatapan dan bisikan mereka padaku setiap aku berjalan melewati lorong maupun saat aku sedang duduk sendirian di salah satu meja di kafetaria sekarang.

"Kau tahu tidak kalau Winny diskors?" seorang perempuan yang duduk di meja di dekatku berbicara kepada temannya.

"Kenapa bisa?"

"Kenapa? Kau tahu bukan apa saja yang ia katakan kepada Beth? Bahkan ia sampai menabrakkan dirinya ke mobil."

"Pft. Entah. Aku merasa Bethany terlalu berlebihan menghadapi ucapan Winny."

Aku tidak akan berdiri, mendekat kepada orang itu dan membalas ucapannya. Sia-sia saja. Orang bodoh sepertinya tidak akan peduli dengan segala ucapanku.

Sekolah ini benar-benar membuatku muak. Kenapa kehidupan sekolahku tidak seindah High School Musical?

"Bethany."

Aku menoleh saat melihat seseorang mendekat ke mejaku dan duduk di sebelahku.

Orang ini Zara. Kami sebenarnya berteman. Itu pun sampai peristiwa dimana Jonathan jatuh dari atap dan ia ikut terhasut ucapan Winny bahwa aku, Aimee dan Greyson penyebabnya. Ia menjauhiku, menghinaku bahkan pernah menampar, menjambak rambut dan memukuliku. Aku tahu semua yang ia lakukan semata-mata untuk masuk ke clique Winny (layaknya Regina George dalam Mean Girls).

"Aku ... aku ingin meminta maaf setelah apa yang kulakukan padamu ..." ia berkata dengan tenang. Aku mendapati ia akan menggapai tanganku namun secara cepat aku mendekap tanganku. "Bethany."

"Aku tidak mau berurusan denganmu lagi, Zara."

"Ayolah, Bethany. Kenapa kau tidak mau memaafkanku?"

Aku menatapnya kaget dan menertawai ucapannya yang konyol. "Apa kau dengar pertanyaanmu, Zara?" aku menahan diri untuk tidak mendorongnya pergi. "Kenapa aku tidak mau memaafkanmu? Mungkin karena kau teman terburuk yang pernah ada? Kau menekanku, Aimee dan Greyson? Menganggap bahwa melihat kami bertiga tersiksa adalah menyenangkan bagimu dan clique-mu?"

"Beth, itu masa lalu!" ia berseru dengan ekspresi menyesal.

"Tidak bagiku," aku menatap Zara tajam. "Aku tidak akan bersikap baik hati seperti bayanganmu, Zara. Karena aku tidak pernah akan memaafkan seseorang yang telah melukai sahabatku sendiri. Dan yang membuatku marah adalah kau baru meminta maaf saat salah seorang dari mereka meninggal dan kecelakaan. Kau seakan melakukan permintaan maaf ini agar aku tidak memberitahu seluruh tindakanmu ke guru BK."

Zara langsung menunduk, terlihat resah.

Jackpot. Ternyata memang itu tujuannya.

"Kau bahkan tidak akan meminta maaf jika aku tidak tertabrak hari itu, bukan?" aku tersenyum sinis. Aku bangkit dari kursi sambil menggandeng ranselku. "Aku minta satu hal; menjauhlah dariku. Aku tidak perlu teman munafik sepertimu."

Saat aku berjalan pergi, aku menyadari bahwa banyak orang memerhatikanku dan Zara saat kami sedang berbincang tadi. Namun aku tidak peduli dan terus berjalan menuju lapangan football. Disana anggota club football sedang berolahraga bersama Mr.Lee, guru olahraga kami. Tanpa buang waktu aku berjalan cepat menuju bagian bangku penonton dan duduk disana. Dulu, aku, Greyson dan Aimee sering berada disini untuk menghabiskan waktu jam makan siang. Lebih baik disini dari pada di kafetaria.

Aku meletakkan tas di sampingku dan membukanya untuk mengambil buku catatan. Aku meletakkan buku itu di pangkuanku lalu membukanya, dan ternyata ada buku catatan kecil di dalamnya. Buku dengan cover biru langit dan tulisan 'Our Bucket List'.

Ini buku bucket list milikku dan Aimee. Kami mengisinya sejak SMP dengan beragam pencapaian yang ingin kami lakukan hingga kami dewasa (namun banyak daftar konyol dan aneh yang kami tulis di dalamnya). Daftar yang kutulis bersama Aimee begitu banyak hingga nyaris mencapai halaman terakhir. Tetapi tidak banyak yang berhasil kami lakukan.

Walaupun ragu, aku membukanya. Di halaman pertama adalah fotoku dan Aimee bersama Greyson yang terlelap dengan mulut menganga lebar. Lalu aku membuka halaman kedua. List di halaman pertama sudah terisi.

Membuat Greyson kembali bermusik (berhasil)

Membeli keempat album One Direction (yippie!)  (berhasil)

Menyelesaikan satu semester tanpa ditensi  (berhasil)

Tidak menghajar Winny selama seminggu (REKOR)  (berhasil)

Tidak menghajar Zara selama sebulan  (berhasil)

Mendapat nilai A dalam Matematika (maybe someday)

Menonton Up All Night Tour tanpa menangis (berhasil)(Aimee berhasil melakukannya)

Menonton Where We Are DVD Tour tanpa fangirling (ini tidak akan pernah terjadi but well)

Mendapat solo DM Harry

Mendapat solo DM Louis

Mendapat solo DM Liam

Mendapat solo DM Niall

Mendapat solo DM Zayn

Aku tersenyum membaca lima daftar terakhir. Kurasa aku akan mencoretnya dari buku ini karena jika aku ingin mengobrol dengan mereka (kecuali Zayn) aku tinggal mencari nomor telepon mereka di ponselku atau video call via skype.

Jadi aku mencoret lima daftar tersebut dengan pulpen. Kemudian aku membuka halaman selanjutnya.

Bertemu dengan One Direction

Memeluk the lads

Berfoto dengan the lads

Datang ke konser One Direction

Dengan cepat aku menulis kata 'berhasil' di samping daftar tersebut lalu beralih ke daftar selanjutnya.

Kuliah di London

Ujung pulpenku menempel di kertas tanpa memberi coretan apapun disana.

Apa aku harus mengisi bucket list ini juga?

Perhatianku teralihkan karena deringan ponselku. Aku segera mengambilnya. Ternyata telepon dari Johana.

"Hai Jo."

"Beth! Bagaimana keadaanmu?"

"Huh? Apa maksudmu?"

"Jangan berpura-pura! Aku tahu kau mengalami kecelakaan beberapa minggu yang lalu! Sejak lama aku mencoba meneleponmu namun kau tidak mengangkatnya."

Aku menghela nafas. "Jadi bagaimana kau tahu?"

"Aku memiliki solo DM Louis, ingat? Aku memborbardir DM-nya dengan banyak pertanyaan mengenai keadaanmu."

"Dia membalasnya?"

"Hei, aku juga terkejut. Aku menjerit selama beberapa saat sebelum membaca DM-nya dengan tenang."

"Apa yang Louis katakan?"

"Well, pertama dia bilang kalau dia tahu tentangku. Dia tahu kalau aku sahabatmu dari Indonesia dan dia langsung menjelaskan semuanya. Aku saling mengirim DM dengannya selama semalaman. Oh, Beth. Kukira aku mati."

Aku tertawa. "Lalu?"

"Lalu apa maksudmu?! Aku menangis, Bodoh. Apa yang kau harap?! Aimee, Carly dan Olivia pergi lalu kau?! Aku kira kau pun akan meninggalkanku!" suara Johana terdengar getir. "Berjanjilah padaku kau tidak akan melakukan hal semacam itu lagi."

"Aku berjanji," aku langsung menyahut. "Aku tidak akan melakukannya lagi."

Johana tidak langsung menjawab. Aku mendengar suara deru nafasnya selama beberapa saat. "Sekarang kau benar-benar sehat, bukan?"

"Ya," aku menutup buku bucket list-ku dan memasukkannya ke dalam tas.

"Dan ... aku mendengar dari Louis bahwa kau sudah berpacaran dengan James? Kau tidak akan menceritakannya padaku?"

Aku menunduk, menggigit bibirku. "Setidaknya kau sudah tahu."

"Aku ingin mendengarnya langsung darimu," Johana terdengar penasaran. "Jadi ... bagaimana rasanya memiliki pacar?"

"Uh ... entahlah, Jo," aku tersenyum malu. "Lagi pula kami berhubungan jarak jauh. Rasanya berbeda seperti saat aku dan James bertemu secara langsung."

"Aw. Lihat siapa yang baru mendapat pacar pertamanya."

"Diam kau."

"Kau malu! Hahaha! Tidak heran. Aku tahu sejak SMP kau dikelilingi pria brengsek. Betapa beruntungnya kau, Beth. Pertama kali berpacaran dan mendapat seseorang seperti James. Kuharap hubunganmu dengannya langgeng."

"Aku berharap yang sama," aku mendongak, memandangi langit siang yang cerah. "Kau tahu, Jo? Aku masih heran kenapa dia memilihku. Dia seperti pria sempurna di film-film. Kenapa dia mau bersamaku yang hanya remaja nyentrik dengan masalah psikologis yang buruk?"

"Hei, kau baik-baik saja. Jangan merendahkan dirimu sendiri," tegur Johana. "Lagi pula, kenapa kau tidak bertanya padanya?"

"Sebenarnya sudah. Itulah yang membuatku tak percaya padanya. Dia bilang menyukaiku karena tekad apiku."

"Wow. Itu jarang. Biasanya lelaki menyukai seorang wanita karena tubuhnya."

"Dia berbeda. Bahkan dia kesal ketika aku menyebutnya 'boy'."

Johana terkekeh geli. "Lalu bagaimana rasanya?"

Dahiku berkerut. "Rasanya ...?"

"Berciuman dengan James?"

Aku tercengang. "Itu privasi!"

"Berarti kau sudah berciuman dengan James! Aku tahu itu! Hahaha! Louis mengatakannya padaku!"

"What?!" aku berharap besar kalau hari itu—ketika aku dan James berada di kamar—Louis dan yang lainnya tidak menguping. "Bisakah kita membicarakan hal lain?"

"Tidak. Aku ingin tahu tanggapanmu. Itu ciuman pertamamu, bukan? Bagaimana rasanya?"

The heck. Kenapa Johana menanyakan ini?

"A—aku lupa."

"Lupa?! Itu ciuman pertamamu, demi tuhan."

"Apa yang kau harapkan, Jo?" aku menepuk dahiku frustasi. "Saat itu aku benar-benar panik. Rasanya aku ingin kabur. Namun di sisi lain, aku ingin tetap berada disana hingga ia benar-benar melakukannya."

"Shit! Kau membuatku girang."

"Kau aneh."

"Aku tahu. Lalu bagaimana? Tenang saja. Aku tidak akan memberitahu siapapun—lagi pula, ke siapa?"

Aku terdiam.

Memoriku berputar di hari itu, ketika James berbicara padaku mengenai perasaan dukanya atas kepergian sahabatku (Olivia dan Carly). Lalu berlanjut ketika ia mengajakku makan malam (yang pada akhirnya batal) hingga ... ciuman itu.

Maka tanpa sadar, aku menceritakannya pada Jo. "Kau tahu tidak ketika kita menonton adegan ciuman? Bagiku terlihat menjijikkan. Apalagi dengan suaranya—ew."

"Ugh, same."

"Lalu ketika kau membaca fanfiction dimana ada adegan yang sama. Si penulis menceritakannya dengan rinci hingga tidak terlihat terlalu menjijikkan. Malah ... well, membuat kita penasaran bagaimana rasanya."

"Betul sekali."

"Tetapi ternyata ..." pipiku perlahan menghangat karena mengingat hal ini. "Yang kurasakan lebih baik dari itu semua."

Kini aku membayangkan saat James menatapku dan tersenyum. Ugh. Aku semakin merindukannya. Perasaan ini tidak salah, bukan?

"Beth, kau membuatku ingin merasakannya juga."

Aku terbahak. "Lalu kenapa tidak?"

"Kau bercanda?! Aku dikelilingi orang-orang brengsek!"

Tak khayal aku semakin tertawa. "Suatu hari nanti, Jo," aku tersenyum. "Suatu hari nanti."

***

"Bethany," Ibu masuk ke kamarku sambil membawa sepiring cemilan dan segelas susu di atas nampan. Ia meletakkannya di atas meja, di samping buku-buku pelajaran yang terbuka. "Bagaimana hari ini? Tidak ada masalah, bukan?"

"Well, Zara datang padaku dan ia meminta maaf atas perbuatannya," aku bercerita tanpa menatap Ibu.

"Oh?" Ibu menyenderkan pinggangnya ke meja belajarku. "Lalu?"

"Aku menolaknya," aku mendongak pada Ibu. Ia tidak terlihat terkejut. "Aku marah padanya karena dia baru meminta maaf atas semua perbuatannya padaku, Aimee dan Greyson setelah semua yang terjadi."

"Well, Aku tidak dapat menyalahkanmu. Karena aku pun akan melakukan hal yang sama."

Aku mengangguk, lalu kembali mengerjakan essay yang diberikan oleh Mr.Leo—guru pelajaran budaya—di jam pelajaran ke enam tadi. Tetapi Ibu tidak meninggalkan kamar. Justru Ia membalikkan tubuhnya dan memandangi poster-poster serta foto-foto yang tertempel di dinding.

"Aku masih tidak percaya kau bertemu dengan One Direction dan berteman dengan mereka," ungkap Ibu. "Walaupun kalian mengalami hal buruk ... namun setidaknya semua itu telah berakhir, bukan?"

"Ya," aku meletakkan pulpenku. Kutatap Ibu yang sedang memerhatikan satu persatu foto di dinding. "Kenapa, Ibu?"

"Hm ..." senyum ibu muncul. Ia menunjuk foto James yang kutempel disana. "Aku akui; dia memang tampan."

Aku harus meresponsnya dengan apa?

"Kau sudah resmi berpacaran dengannya, Beth?"

Aku menelan ludah, merasa gugup. Percaya atau tidak; ini kali pertama aku berbicara dengan Ibu mengenai lelaki. Karena Ibu tahu sendiri aku tidak suka membicarakannya karena betapa brengseknya para lelaki di sekolahku.

"Iya," aku melirik Ibu dengan malu. "Tidak masalah, bukan?"

"Tentu saja tidak," Ibu tersenyum. "Aku malah senang karena akhirnya kau mencoba berhubungan dengan laki-laki—selain Greyson tentunya."

"Walaupun usia James cukup jauh dariku?" aku bertanya lagi.

"Bukankah kita sudah membahas ini, Nak?" Ibu menatapku serius. "Bagiku usia tidak terlalu penting. Well, beda ceritanya jika beda usianya hingga sepuluh tahun lebih. Tetapi enam tahun? Bagiku tidak masalah. Lagi pula Ibu sudah bertemu James secara langsung dan aku  tahu dia seseorang yang baik untukmu."

Aku tersenyum. "Terima kasih, Ibu."

"Sama-sama, sayang," Ibu menunduk dan mencium keningku. "Jangan belajar terlalu malam, oke? Aku dan Ayahmu ada di bawah jika kau menginginkan sesuatu."

Aku mengangguk. Aku memandangi punggung Ibu. Ia nyaris keluar kamar namun aku teringat oleh sesuatu yang kufikirkan sejak di sekolah tadi.

"Ibu," aku nyaris berseru. Ia pun berbalik padaku. "A—apa ibu ingat bucket list yang pernah kubuat bersama Aimee?"

"Oh, buku kecil bersampul biru itu?" tanya Ibu. "Tentu saja aku ingat. Kalian langsung melempar buku itu keluar jendela saat aku bersikeras untuk melihatnya. Serahasia apa daftar kalian sebenarnya?"

"Um, isi daftarnya cukup konyol," aku menertawai diriku sendiri. Kukeluarkan buku tersebut dari dalam laci. Aku berdiri dari kursi dan duduk di atas lantai, menyender pada ranjang. Ibuku pun turut duduk di sebelahku. "Jangan menertawaiku, tolong."

"Oh, ayolah. Kalian berdua masih remaja aku akan paham," Ibu tampak cuek. Ia membuka halaman pertama dan tertawa melihat fotoku bersama Aimee dan Greyson. Kemudian, halaman selanjutnya. Raut wajahnya berubah tenang saat membaca satu persatu daftar disana. "Seminggu tidak menghajar Winny? Nak, aku bangga padamu. Sungguh."

Aku nyengir.

"Lalu ... bertemu One Direction? Ayolah kau bahkan tinggal bersama mereka dalam waktu cukup lama," Ibu mencibir. "Kau harus tahu ekspresi Ayahmu saat dia tahu kalau kau tinggal bersama mereka."

"Mendengar suaranya dari telepon saja aku takut, Bu," aku memutar kedua bola mataku.

"Mereka tidak berbuat aneh, bukan?"

"Aneh dalam hal apa?"

Ibu menatapku dan tergelak. "Kuanggap itu sebagai tidak," ia kembali beralih pada bucket list-ku dan Aimee.

"Memang tidak. Mereka sangat baik. Bahkan Niall bersedia membelikanku pembalut. Dia pun bertanya apa aku menginginkan pembalut yang memiliki sayap atau tidak."

Tawa Ibu langsung meledak. "Dia tahu soal itu?"

"Aku pun kaget, Bu."

Ibu tersenyum geli sambil menggelengkan kepalanya. Senyumnya sedikit memudar ketika membaca daftar terakhir.

"Tentang daftar itu ..." aku menghela nafas. "Sepertinya akan kucoret."

Ibu langsung menoleh padaku. "Kenapa?"

"Kenapa?" aku menatap Ibu heran. "Ayah dan Ibu masih mengizinkanku pergi kesana setelah semua yang terjadi?"

Ibu memandangiku dalam diam. Ia membaca bucket list-ku lagi.

"Lagi pula, semua daftar sebelumnya kulakukan bersama Aimee," aku menunduk. "Daftar itu kami buat untuk kami lakukan bersama-sama. Bukan seorang diri saja."

"Aku rasa dia akan kesal jika tahu kau tidak melakukan daftar terakhir itu, Beth," kata Ibu.

"Kenapa?"

Ibu menatapku. Tanpa senyuman, ia melanjutkan ucapannya, "walaupun kalian buat daftar itu bersama, bukan berarti semua daftar itu harus dilakukan bersama juga," ujar Ibu. "Kalian sudah hampir memenuhi semua daftar ini."

"Hampir?" suaraku bergetar. Aku mengambil buku itu dari Ibu dan membuka halaman-halaman selanjutnya. "Hanya tiga halaman yang berhasil kami lakukan. Masih banyak daftar selanjutnya, Bu."

Kuliah dengan kurun waktu 3,5-4 tahun

Wisuda

Mendapat pekerjaan mapan

Travelling; Bali, Singapura, Roma, Brazil (Rio de Janerio)

Bertemu seseorang yang tepat

Mengadakan acara pernikahan yang sederhana dan indah!

Beth menjadi bridesmaid di acara pernikahanku (Aimee)

Aimee menjadi bridesmaid di acara pernikahanku (Beth)

Tatapan Ibu berubah sedih. Suaranya terdengar agak parau, "mungkin beberapa daftar di halaman ini tidak bisa kau capai," ia merangkul pundakku hingga kepalaku menyender di pundak Ibu. "Namun kurasa Aimee tidak akan senang jika kau mengabaikan bucket list yang telah kalian buat bersama-sama. Aku yakin dia akan bangga padamu jika satu persatu daftar ini kau penuhi walaupun hanya melakukannya sendirian tanpa dirinya."

Sialnya, aku menangis.

Ibu tersenyum tipis dan mengusap air mata di pipiku dengan ibu jarinya. "Dia masih sahabatmu. Bukan begitu?"

"Tentu saja," aku memeluk Ibu. "Walaupun dia telah jauh dariku dia tetaplah sahabatku."

"Kalau begitu, kenapa ragu untuk mengisi daftar ini?" Ibu mengusap kepalaku. "Beberapa daftar ini mungkin tidak bisa kau lakukan sendirian, namun kau bisa melakukannya bersama Ayah dan Ibu. Atau ... bersama Greyson dan boyband itu, bukan? Atau bersama James," kata Ibu lembut. "Bethany, banyak sahabatmu pergi. Namun kau mendapatkan banyak sahabat baru yang selalu memerhatikanmu dan menyayangimu. Kau seharusnya merasa beruntung."

Aku menatap Ibu. "Tetapi jika aku benar-benar pergi kuliah ke Inggris ..." aku mengulum bibirku. "Bagaimana dengan Ayah dan Ibu?"

"Nak, tentu saja kami akan baik-baik saja. Kami masih muda, tidak setua yang kau fikirkan," ucap Ibu.

"Ta—tapi kalian tidak marah?"

"Kenapa kami marah?" Ayah tiba-tiba datang. Ia berdiri di pintu kamarku.

"Kukira kalian akan menolak jika aku kuliah di Inggris. Setelah apa saja yang kualami disana."

Ayah mendekat dan berlutut di depanku. "Awalnya aku memang ragu. Tetapi ... kuliah ke London? Aku tahu itu impianmu sejak SD," kata Ayah. "Kau tahu, Nak? Kau itu seorang petualang. Kau selalu ingin mencari petualangan baru. Baik Ayah dan Ibu bangga dengan keputusanmu itu karena kau memang bukanlah seseorang yang pasrah, seakan membiarkan hidupmu mengalir layaknya air. Kau terus melewati semua tantangan yang ada di depan matamu tanpa mundur sekalipun. Ketika kau jatuh, walaupun berat kau selalu bangkit lagi. Dan kami berdua sangat bangga atas itu."

Aku tersenyum pada Ayah.

"Lagi pula aku dan Ibumu memiliki rencana," Ayah mengangkat kedua pundaknya. "Tahun depan adalah pemilihan presiden baru dan tentu Ayah akan memiliki jam kerja yang lebih padat. Kalau Ayah terus pulang pergi dari Washington ke Oklahoma, bagi Ibu hanya memboros uang. Kami berencana selulusnya kau SMA, kami akan pindah ke Washington."

Aku melotot, menatap Ayah dan Ibu bergiliran. "Sungguh?"

"Ya. Karena kami pun tahu kau pasti memiliki rencana-rencana hebat selulusnya dari SMA terkutuk itu, bukan?"

"Logan," Ibu menegur ucapan Ayah dengan lirikan mata.

"Hei, itu benar," Ayah tidak peduli. Ia kembali berpaling padaku. "Kalau kau memang benar-benar ingin ke London, aku tidak akan melarangmu. Kau seseorang yang cerdas. Aku tahu kau kelak akan terdaftar sebagai mahasiswa dari salah satu kampus-kampus elit di sana. Dan mengenai peristiwa lalu ... itu semua telah berakhir. Ayah yakin peristiwa macam itu tidak akan terjadi untuk kedua kalinya padamu, Greyson dan sahabat-sahabatmu itu."

Ibu membuka bucket list-ku, menunjuk daftar terakhir di halaman ketiga; kuliah di London.

"Dan ibu yakin Aimee akan sama bangganya dengan kami berdua jika kau benar-benar pergi dan kuliah disana," ucap Ibu.

Aku menatap Ibu. Air mataku turun lagi, namun ia dengan lekas mengusapnya.

"Kau dikelilingi orang yang mencintaimu dan selalu mendukungmu," kata Ibu. "Jadi jangan pernah menyerah, oke? Karena kami pasti akan membantumu."

Aku tak mampu berkata-kata. Aku maju, memeluk Ayah dan Ibu sekaligus. Aku ingin mengatakan terima kasih. Aku ingin mengatakan bahwa aku begitu mencintai mereka berdua dan betapa beruntungnya aku memiliki orang tua seperti mereka. Namun perasaan sedih, haru dan bahagia di dalam diriku begitu meluap-luap, membuat tangisanku semakin deras dan aku tak mampu mengucapkan satu kata pun.

***

Tetapi, biar kuberitahu satu hal mengenai perasaanku pada James.

Sejujurnya, saat aku memutuskan untuk membagi perasaanku padanya, aku merasa takut. Aku takut kalau dia akan meninggalkanku. Aku takut dia akan berpaling dariku demi seseorang yang lebih sempurna dariku.

Namun aku akhirnya sadar. Jika aku selalu merasa takut, bagaimana aku dapat merasakan hal ini; menyukai seseorang hingga jatuh cinta padanya?

Dan, apa salahnya mencoba? James adalah pacar pertamaku. Dia yang membuatku tahu lebih banyak tentang arti cinta yang sebelumnya tidak terlalu kupahami.

Ini menakutkan, namun aku memberanikan diri untuk mencoba. Karena kurasa, tidak ada salahnya, bukan?

"Maaf, Miss," seorang pramugari menyodorkan buku catatan bersampul biru milikku. Maka aku meletakkan tas jinjing yang baru saja kukeluarkan dari loker atas. "Buku ini tadi terjatuh dari tas Anda."

"Oh," aku mengambil buku itu darinya dan tersenyum. "Terima kasih banyak."

"Sama-sama, Miss."

Pramugari itu pergi dan membantu penumpang lainnya yang masih berada di dalam pesawat. Aku membuka buku catatan biru tersebut. Di dalamnya telah kutempel beberapa lembar foto. Baik fotoku bersama Greyson, the lads dan foto James. Aku terus membukanya hingga mencapai satu halaman yang kucari.

Melewatkan satu semester terakhir tanpa ditensi  (berhasil)

Mengikuti terapi tanpa membolos  (berhasil)

Mengikuti terapi batin dengan tenang  (berhasil)

Senyumku muncul.

Salahkah jika aku merasa bangga pada diriku sendiri?

Mengikuti ujian kelulusan  (berhasil)

Lulus dari Cheyenne High  (berhasil)

Aku menyadari penumpang yang lainnya telah keluar hingga akulah satu-satunya yang masih berada di kabin pesawat. Maka aku menggandeng sling bag-ku dan membawa tas jinjing di tanganku. Aku berjalan menuju pintu keluar sambil membaca daftar selanjutnya.

Mengikuti ujian masuk Oxford gagal

Mengikuti ujian masuk Cambridge gagal

Mengikuti ujian masuk King's College lolos!

Mahasiswi Jurusan Psikologi King's College  (berhasil)

"Terima kasih telah bergabung dengan maskapai kami," seorang pramugari dan pramugara di pintu keluar pesawat tersenyum begitu ramah padaku.

"Terima kasih—" aku tersenyum dan berbelok menuju pintu keluar. Aku menunduk, memerhatikan langkahku saat menginjak tangga untuk turun ke landasan. Aku pernah nyaris terpeleset dan harus kuakui kejadian itu benar-benar memalukan.

Aku pun menuruni tangga dengan hati-hati. Saat aku mendongak, aku bengong, merasa terkejut.

Kau tahu. Tidak ada yang berubah darinya.

Dia masih cheesy seperti dulu. Berdiri di samping mobilnya yang terparkir di seberang pesawat, dan tersenyum padaku.

Aku terlalu speechless. Begitu menuruni anak tangga terakhir, aku menjatuhkan tas jinjingku di atas landasan. Dan tanpa perasaan canggung dan malu sedikitpun, aku berlari kecil untuk mendekat padanya. Perasaanku semakin meluap saat aku melompat padanya dan ia mendekapku begitu erat.

"Tunggu," Ia mundur, namun kedua lengannya masih melingkar di pinggangku. Ia memandangku dengan dahi berkerut selama beberapa saat. "Kau tampak berbeda."

Aku mencibir. "Kita tidak bertemu hanya delapan bulan. Tidak ada yang berubah dariku," aku menatap James yang tersenyum. "Hai, by the way."

"Hm ..." James menatapku lekat. "Sudah kubilang bukan? Kalau—"

"Suatu saat nanti ...

... suatu saat nanti aku akan ada di depanmu. Aku bersedia menerima pelukan darimu, kapanpun kau mau."

Aku tersenyum dan mengangguk.

Oh, ini membuatku teringat.

Hei, Aimee.

Apa ini saatnya aku mencoret daftar seseorang yang tepat?

Karena kurasa, James memang seseorang yang tepat bagiku.

***

Yup. Dengan bonus chapter ini ... spin-off Obsession: 'SOMETHING GREAT' aku publish! Cek ceritanya di work list aku ya x

Continue Reading

You'll Also Like

1M 84.1K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
431K 4.5K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
2.3K 627 45
Aku mungkin mencintainya, sejenak. Saat kami berada setahun di gedung yang sama menuntut ilmu layaknya remaja usia belasan. Itu masa SMA yang kujalan...
127K 10K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...