Shadow Kiss [Completed]

By Faradisme

5.7M 420K 22.9K

(Proses Penerbitan) Alicia tidak pernah mengira jika mimpi aneh yang sering mendatanginya berarti sesuatu. M... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 32
Part 34
Part 35
PRE ORDER NOVEL SHADOW

Part 31

115K 8.2K 538
By Faradisme

"Apakah hanya perasaanku saja atau memang kau menjadi diam sekarang?"

Tidak ada jawaban dari orang yang tengah menuntunku berjalan melewati rumput ilalang setinggi pinggangku. Ini adalah jalan yang tempo hari kami lalui menggunakan kuda. Tetapi sekarang aku hanya melihat ilalang yang menusuk-nusuk kulitku.

Sebuah lubang yang luput dari pengawasan mata menahan langkah kakiku. Ujung sepatuku tersangkut oleh ilalang kering dan membuatnya bertambah buruk. Damian berhenti lalu menoleh. Ia menunduk dan menatap kakiku yang terbelit.

Aku bisa melihat sudut bibirnya tertarik. Damian kemudian bersimpuh di depanku dan melepaskan belitan ilalang kering itu dengan telaten.

"Kau belum menjawab pertanyaanku." Pancingku kembali. Aku menyelipkan rambut yang menutupi pandanganku ketika menunduk.

Perubahan suasana hatinya yang luar biasa cepat sangat menggangguku sekarang. Aku sangat ingin mengetahui apa isi kepalanya saat ini.

"Aku tidak diam. Aku hanya sedang berpikir."

"Apa yang kau pikirkan?" Dilepaskannya sepatuku dengan kakiku bersangga di pahanya. Ilalang kering yang membelit itu rupanya juga membawa tanah kering dan membuat sepatuku terlihat mengerikan.

"Apa yang kau pikirkan, Damian?" tanyaku kembali. Yang membuat Damian mendongakkan wajahnya kearahku.

"Memangnya apa lagi kalau bukan kau."

Dengan senyum terkulum aku kembali bertanya. "Apa yang kau pikirkan tentangku?"

"Segalanya."

"Dimulai dari mana 'segala' yang kau maksud itu."

Damian sudah memasangkan kembali sepatu dan menarik tangannku untuk menghindari lubang yang baru saja kubuat. "Segalanya. Tentangmu. Tentang kita,"

Kalimatnya terhenti dengan nada tidak yakin. Oh, aku tidak menyukai ini.

"Mungkin kita bisa membicarakannya," ucapku ketika sudah berjalan bersisian dengannya lagi. Damian menoleh kearahku sebentar kemudian mengembalikan pandangannya ke depan.

Aku tahu aku akan menyesali ini. Tapi mulutku gatal dan tak bisa berhenti disaat kepalaku bersikeras untuk diam.

"Bagaimana jika Raja Kegelapan mengetahui tentang ini? Tentang hubungan kita?"

Langkah Damian berhenti. Menjadikanku berada dua langkah di depannya yang juga ikut berhenti karena tanganku masih terkait dengannya.

Seketika terpaan angin yang meniup ilalang di aekeling kami terasa begitu kencang. Atau bisa jadi karena diam diantara kami meringankan segala emosi yang terbawa angin. Aku tidak tau persis yang mana, namun melihat wajah Damian, aku yakin ia sedang sibuk mencari jawaban untukku.

"Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya." Damian kembali melangkah dan tetap membawa tanganku di dalam genggamannya. Membuatku kembali tertinggal di belakangnya.

"Tidak ada saat yang tepat jika kau selalu menghindarinya. Kau selalu menyimpan segalanya sendirian. Seakan aku tak pantas untuk tahu. Sekarang setelah semua yang terjadi, kau masih memberi jarak diantara kita."

"Aku tidak memberi jarak."

"Kau baru saja melakukannya." Gumamku pelan.

Tidak ada sahutan. Meski aku yakin dengan sangat jika ia mendengarku. Damian terus berjalan di depanku hingga sampai di puncak bukit. Disini sangat jelas terlihat matahari yang mulai terbit menyinsing semakin tinggi.

Setelah dulu ia mengajakku mengarak sunset bersama, saat ini kami tengah menyingsing fajar pula berdua.

"Kau tahu Damian. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi nantinya," aku merasakan Damian menoleh menatapku. Namun aku menjaga pandanganku tetap kedepan.

"Asalkan aku bisa terus bersamamu, tidak peduli jika kehidupankulah sebagai taruhannya."

Pemadangan Indah di depanku tiba-tiba tertutupi dan tergantikan oleh dada bidang seorang Damian.

"Aku tidak mengerti. Apa yang kau lihat dariku. Aku sama sekali tidak pantas untuk ditukar dengan kehidupan berhargamu, Alicia."

"Aku juga tidak mengerti. Sejak kapan kehidupanku tidak lagi berarti jika tidak ada kau di dalamnya," Aku mengambil tangan Damian. Menggenggamnya dan membawanya mendekat ke dadaku, tepat diatas jantungku yang berdetak cepat mengiringi.

"Berjanjilah padaku, Damian. Jangan pernah tinggalkan aku. Aku bersungguh-sungguh kali ini."

Aku pernah memintanya berjanji untuk hal yang sama sebelumnya. Dan jawabannya waktu itu membuat seluruh tubuhku seperti tersayat perlahan karena sakitnya.

Tapi dengan keyakinan penuh yang kumiliki sekarang. Aku merasa begitu kuat untuk menahannya di aisiku. Bahkan aku merasa percaya diri memaksa Damian untuk tinggal.

"Aku mungkin tidak memiliki kekuatan untuk melawan Raja Kegelapan atau menolak takdir. Aku cuma manusia biasa yang kebetulan tidak bisa hidup tanpamu. Tapi karena itu jugalah, kemauanku begitu besar untuk bisa terus bersamamu.

Kemanapun kau pergi. Apapun takdir yang kau dapatkan nanti, bisakah kau membawaku bersamamu?"

Damian membeku. Ia menatapku tak berkedip. Bahkan telapak tangannya yang menekan denyut jantungku bergetar. Aku tahu seberapa naif permintaan itu dan sekonyol apa akibatnya nanti. Tapi, hanya itu yang ada di kepalaku sejak bangun tadi pagi.

"Bisakah aku ikut denganmu?" Tanyaku kembali. Mencari di kedalaman biru matanya yang membesar. Mencari jika keinginan terpancar sama disana.

"Tidak, Alicia." Damian menggeleng.

Jawabannya memberi efek yang sama saat terakhir kali ia mengatakan jika aku dan dirinya tidak bisa bersama. Tidak jauh berbeda sakitnya. Aku hanya lebih bisa mengendalikan diri hingga aku tak perlu meraung menangis di atas tanah.

"Kenapa? Apa karena aku manusia?" Tanyaku bodoh.

Sebelah tangan Damian terangkat dan mengusap pipiku.

"Karena seberapa kuat pun mencoba, takdir tidak pernah bisa untuk dipatahkan. Aku berbeda, berbeda jelas denganmu,"

"Tapi kita sudah bersatu." Potongku. Tidak membiarkan Damian melanjutkan kenyataan yang tidak ingin kudengar. "Aku bisa mengingat setiap detik waktu yang mengiringi sentuhanmu tadi malam. Kau membalas setiap ciumanku dengan sama. Aku merasakan dirimu. Apa kau tak merasakan hal yang sama sepertiku?"

Damian menangkup wajahku dan menyatukan dahi kami. "Aku merasakannya. Keseluruhan dari dirimu." Ia mengecup dahiku dengan penuh kesungguhan. Kesungguhan akan kalimatnya. "Tapi mungkin aku sudah mengambil terlalu banyak darimu."

"Apa?" Aku mendorong dadanya, menjauhkan wajah dan memandangnya penuh dengan kejutan. Menjatuhkan tangannya yang menangkup pipiku. "Apa sebenarnya yang berusaha ingin kau katakan?"

"Mungkin tidak seharusnya kita... melakukannya."

Aku bergetar. Kali ini karena emosi.

"Benarkah? Benarkah kau baru saja mengatakan jika kau menyesali perbuatanmu?" Aku seperti bisa mendengar dadaku berdegup hingga ke telinga. Jadi sekarang dia menyesal?

Yang benar saja.

Melihat emosi di dalam mataku, Damian berusaha meraih kembali wajahku namun lebih dulu bisa kutepis.

"Aku tidak percaya kau mengatakannya."

"Alicia,"

"Tadi malam adalah hal paling menakjubkan yang terjadi padaku. Aku semakin yakin jika aku tak bisa hidup tanpamu, Damian. Aku tidak peduli pada segalanya. Tapi sekarang, hanya dalam hitungan menit kau justru menjadi pesimis dan menyesali itu semua?"

"Alicia, dengarkan aku dulu,"

"Mendengarkanmu apa? Mendengarkanmu jika selamanya kau dan aku tidak akan memiliki harapan untuk bersama. Jika kenyataan tidak bisa diubah. Jika aku dan kau dua makhluk yang berbeda. Jika apa yang terjadi tadi malam hanya sebatas permainanmu untuk bersenang-senang. Apa hanya sampai disitu cerita ini akan berakhir?"

"Astaga. Alicia berhenti," Damian berteriak."Dengarkan aku." ia mencoba meraih bahuku namun gagal karena aku yang melangkah mundur.

"Kau terlalu pengecut." Desisku. Aku yakin ia mendengarnya, karena wajahnya yang menegang dan kepalan tangannya menguat. Ia boleh marah karena tuduhanku, karena aku sudah lebih dulu marah sekarang.

"Kau tidak tahu apa yang kau katakan." Balasnya tak kalah sengit.

Aku melipat tangan di depan dada. Seolah memproteksi diriku sendiri dari kesedihan dan keinginan kuat untuk menangis. "Jadi hanya sampai disitu saja perjuanganmu, Damian. Apa mungkin kau juga terpaksa meniduriku hanya untuk mengunci mulutku untuk diam?"

"Alicia!" Kali ini, Damian benar-benar berteriak. Maksudku meneriakiku hingga aku tidak menyadari jika kakiku melangkah mundur.

"Apa yang tengah kau bicarakan. Kau mendengar apa yang kau sendiri katakan?!" Tanyanya dalam dan penuh penekanan atas emosi yang juga menguasainya.

"Memangnya apalagi."

"Aku tidak menidurimu!" Damian melangkah maju. Berhasil mendekat dan mencengkram bahuku dengan kuat. Kesungguhan terpancar dimatanya. "Aku. Bercinta. Denganmu." ucapnya sengan penekanan disetiap suku katanya.

Setelahnya aroma Damian menghantam penciumanku karena wajahnya mendekat dan membungkam mulutku. Bibirnya bergerak dengan keras dan juga cepat. Hal yang tak bisa kutolak karena dengan insting sama aku mengalungkan lenganku dilehernya.

Sebut saja aku telah takluk akan segala rasa di dalam diri seorang Damian. Menutup ruang logika di dalam sudut hampaku hingga aku memilih putus asa sebagai satu-satunya jalan yang kutapaki.

"Apa yang kulakukan padamu adalah karena aku menginginkannya. Aku menginginkanmu bukan seperti apa yang kau pikirkan. Aku menginginkanmu melebihi takdir yang sedang kuperjuangkan." Kalimat itu membelai bibirku yang basah setelah ia kecup kecil. Kedua tangan besarnya menangkup kedua sisi wajahku, menolak mataku melarikan diri dari warna terang yang matanya pancarkan.

"Kita akan mendapatkan cara untuk melewati semua ini. Tidak sekarang, tapi nanti jika tiba saat dimana aku menghadapi takdir, akan kupastikan jika bersamamulah takdir yang kuimpikan."

***

Aku dan Damian berjalan bersisian melewati lorong yang lumayan sepi. Meski beberapa pasang mata tetap mengikuti aku berusaha untuk tidak peduli.

Bukan itu yang penting saat ini.

Tepat ketika dibelokan lorong aku berpapasan dengan Sheila. Dari bagaimana terkejutnya ia melihatku, aku bisa menyadari jika penampilanku saat inilah yang berusaha ia pahami.

Aku tersenyum. Dengan tangan yang masih bebas aku melambaikannnya didepan wajah Sheila. Meminta fokusnya.

"Hei.. sadarlah." Candaku.

Sheila mengerjap. Ia memindahkan tatapannya kearah Damian kemudian kearah tanganku dan Damian. Sebelum mengambil nafas dan mulai kembali menatapku.

"Aku senang kau sudah jauh lebih baik dari terakhir yang kuingat." Ucap Sheila dengan mata tertuju pada rambutku. Aku bisa mengerti arti kebingungan dimatanya. Untuk sekarang aku hanya bisa membalas semua itu dengan senyum diujung bibirku.

Mengingat kejadian kemarin di lorong lain gedung ini sukses membuatku bergidik. Meski saat ini aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku, namun suara potongan rambut masih terngiang jelas.

"Kau masih mengingat janjiku?" Sela Sheila. Ia membenarkan letak tas dibahunya dan melemparkan rambut panjangnya kebelakang bahu dengan anggun. "Aku akan membalas Anggela atas perbuatannya."

"Aku masih ingat. Aku hanya tidak tau jika kau masih berminat melakukannya." Aku dan Sheila berjalan bersisian, sedangkan Damian mengikuti langkah kami dibelakang tanpa suara.

"Oh tentu saja. Kapan lagi aku memiliki alasan yang tepat untuk menjambak nenek sihir itu."

"Kau pasti tau jika aku tidak ingin kau melakukannya.."

"Kau tentu juga tau aku tidak peduli. Dia harus mendapat ganjarannya kali ini."

Aku mencoba menggandeng tangan Sheila. Lebih kepada perasaan terharu yang tidak pada tempatnya. Mengingat sebagian dari diriku turut menyetujui apa yang dikatakan Sheila.

Sheila menepis sentuhanku dengan cepat. Ia berdiri didepanku. Membuatku berhenti mendadak dikakiku. Damian bahkan menahan pinggangku karena berhenti secara tiba-tiba.

Sesaat Sheila memperhatikanku dan juga Damian yang berada tepat dibelakang tubuhku dengan gelisah. Entah pancaran apa yang kulihat dimatanya, namun dapat kuartikan jika itu sebuah kebingungan. Aku menjadi penasaran kenapa dia menjadi sering memperhatikanku saat ini. Sama seperti pertama kali kami bertemu dilorong tadi. Apakah penampilanku seaneh itu?

"Aku rasa kita harus berpisah disini. Kelasku sudah akan dimulai. Bisakah nanti kita bertemu kembali saat makan siang?"

Aku menggangguk. "Tentu. Aku akan menunggumu dilorong loker."

"Tidak." Cegahnya cepat. "Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu. Dan ini.." Sheila melirik kearah laki-laki dibelakangku. "Ini sedikit pribadi. Kau tau. Masalah wanita. Aku pikir aku hanya ingin membicarakannya berdua denganmu."

"Tentu saja." Aku mengerti yang Sheila maksudkan. Setelah melambaikan tangan dengan senyum tertahan ia berbalik dan menuju arah yang berlawanan denganku. Aku berbalik dan menghadap laki-laki yang sedari tadi memegangi pinggangku.

"Tidak." Ucapnya bahkan sebelum aku bicara. Matanya menyorot tajam seolah ia tidak bisa dibantah.

"Memangnya aku akan mengatakan apa?"

"Aku cukup mengenal bagaimana kepala kecilmu itu bekerja. Kau ingin aku meninggalkanmu berdua dengan Sheila untuk membicarakan apa itu yang ia inginkan tadi." Damian membawa rambutku kedepan dengan satu tangannya. "Dan jawabanku adalah, tidak."

"Oh ayolah. Kau mulai bertindak berlebihan lagi. Aku hanya ingin bicara dengan temanku, bukan menjelajahi hutan."

"Kau pikir itu bisa membuat jawabanku berubah."

"Aku hanya akan mengobrol. Aku yakin Sheila sedang dalam masalah. Kau lihat bagaimana dia tadi tampak gelisah?"

"Aku tidak peduli." sahut Damian tak berperasaan. Aku memukul lengannya. Tak berefek banyak karena ia hanya menyipitkan matanya padaku.

"Dia temanku. Jangan bicara seperti itu. Kau tau dia yang membelaku didepan Anggela. Dia melindungiku. Lalu, saat dia hanya ingin bicara padaku, mana mungkin aku menolak."

"Aku yang akan menolaknya untukmu."

Aku memutar mataku. "Kau harus menghentikan sikap protektifmu ini sekarang juga."

"Dengar. Terakhir kali kau menang memaksaku untuk meninggalkanmu, seseorang berhasil memotong rambutmu. Apa kali ini kau berniat untuk mencelakai dirimu lagi?"

"Demi Tuhan, aku hanya ingin bicara dengan temanku. Kau membuatnya terlihat aku akan terjun bebas dari gedung ini." Damian tampak tidak tergerak oleh perlawananku. Bagaimana bisa ia begitu keras kepala melebihiku?

"Percuma Alicia. Aku akan tetap berada disana. Aku tidak akan mengganggu apapun yang kalian bicarakan. Aku hanya perlu melihatmu."

Dan lagi, Damian bertindak curang dengan mengatakan hal manis memakai wajah tampannya itu.

Benar juga. Aku harus mencoba taktik lainnya.

Melihat lorong yang semakin sepi, aku menarik Damian ketepi dimana sebuah pilar dan rak piagam menyekat sisinya sehingga menciptakan sebuah ruang kecil. Ruang itu menutupi tubuhku untuk menekan Damian kedinding.

"Kau akan mengijinkanku bukan?" Tanyaku. Kali ini ujung sepatuku menginjak kakinya. Aku tidak tau apakah itu sakit namun kekehan geli Damian kuartikan jika ia baik-baik saja. Aku menemukan diriku menyukai permainan ini.

"Kau mengancamku? Dengan kaki kecilmu itu?" Ucap Damian meremehkan. Kedua tangannya menahan pinggulku dan meremasnya. Membuatku memasang wajah tidak terima.

"Jaga tanganmu. Aku hanya akan meminta ini sekali lagi. Kau akan mengijinkanku mendapatkan privasiku sendiri bukan?" Kukalungkan kedua tanganku dileher Damian. Kedua kakiku menginjak kakinya. Wajah kami hanya berjarak sepanjang hidung.

"Apa yang tengah kau lakukan?" Selidiknya.

"Apa yang kulakukan?" Balasku bertanya dengan wajah tak bersalah. Didetik itu juga kuselipkan kakiku ditengah kakinya. Membuat Damian mengerutkan ujung alisnya dengan ekspresi paling mendebarkan.

Astaga, aku semakin menyukai ini.

"Kau berusaha menggodaku untuk merubah jawabanku."

"Aku tidak menggodamu." Lagi. Kurapatkan tubuhku padanya dan memastikan jika Damian benar-benar terpengaruh.

Dengan senyum disudut bibirnya, Damian merunduk. Menyempitkan jarak antara nafasku dan dia. Sebelum bibirnya dapat menyentuhku, dengan cepat kutarik tubuhku menjauh sebanyak tiga langkah.

Memberikan Damian alasan untuk melotot sempurna padaku.

"Aku akan membiarkanmu menciumku asalkan kau memberikanku privasi bersama Sheila."

Kali ini Damian mengacak rambutnya namun wajahnya berbinar. "Kita sama sama tau jika kau tak bisa lari dariku. Untuk apa kau menjauh?" Damian mengangkat tangannya kearahku. Memutar telapak tangannya menghadap keatas. Ketika ujung jarinya bergerak, sontak tubuhku juga bergerak mengikuti jarinya tanpa diminta.

Aku pikir aku akan menabrak loker saat Damian justru menangkap lenganku, memutar tubuhku merapat pada dinding hingga kini aku yang berada dalam kurungan tubuhnya.

"Oh..dan soal privasimu," Damian membelai pipiku yang berakhir diujung dagu. "Akan kupikirkan nanti setelah aku selesai denganmu."

***

Rooftop masih terlihat sama sejak terakhir kali aku datang kesini. Masih berantakan dengan atmosfer dingin dari semen putih yang kubas di bawah kakiku.

Lapangan luas di depan mata dipenuhi oleh kumpulan manusia berukuran kecil yang menyebar layaknya semut. Aku menoleh pada gadis di sebelahku yang masih saja diam.

"Kau menyukai rotinya? Aku memilihkanmu roti isi daging dengan extra saus. Kau masih menyukai menu itu bukan?"

Sheila memperhatikan roti ditanganya. Lalu mengangguk dan menggigit ujungnya. Aku semakin yakin jika ada sesuatu yang terjadi pada Sheila.

"Dimana Damian?" Tanyanya. Masih menunduk. Aku tidak mengira jika pertanyaan itu yang pertama ia lontarkan.

"Dia ada di balik pintu. Setidaknya ia sudah berjanji tidak akan mengganggu kita selama sepuluh menit."

Sheila tersenyum. Ia menghabiskan rotinya dalam diam, yang kutiru tanpa sengaja.

"Apa terjadi sesuatu yang buruk?" tanyaku pelan. Berusaha untuk tidak memaksanya. Sikap diamnya lama-lama membuatku takut.

"Aku iri padamu." Sheila meletakkan rotinya begitu saja. Seperti nafsu makannya telah hilang entah kemana. "Aku iri kau memiliki Damian."

Dengan susah payah aku menelan roti. Meminum seteguk air dan memfokuskan diri pada sheila. Apa yang tadi ia katakan?

"Kenapa kau bisa mendapatkan seluruh perhatian Damian. Kenapa hanya kau yang bisa berada begitu dekat dengannya. Bukankah itu tidak adil."

"Sheila, aku benar-benar tidak mengerti perkataanmu. Kenapa tiba-tiba kau ..."

"Kau tidak mengerti?" Sela Sheila menatapku tanpa ekspresi. Hal yang membuatku merasakan aliran dingin di tengkukku. "Akan kubantu kau untuk memahaminya, Alicia."

Sheila tersenyum. Tiba-tiba saja senyum itu menjadi menakutkan. Kedua tangannya menarik lenganku berdiri. Aku tergopoh mengikutinya yang menyeretku menuju tepi.

"Aku akan memperbaiki keadaan. Seharusnya kau tak perlu ada. Dengan begitu, aku akan bersama dengan Damian."

Aku menggenggam tangan Sheila yang mencengkram bahuku. Selangkah demi selangkah ia maju yang membuatku mengambil langkah mundur menuju tepian gedung.

"Sheila.. Sheila apa yang terjadi padamu. Sheila.. berhenti."

Angin seperti menghempas keras punggungku. Sebagian telapak kakiku masih bertumpu pada tepi dan sebagian lagi merasakan udara bertiup di bawahnya.

Aku masih bisa melihat lenganku menggapai ke arah Sheila. Namun kalah cepat dengan dorongan yang ia berikan di bahuku. Membuat pijakanku menghilang dan tubuhku melayang turun.

***
Tbc

Aku syaang kalian cemua.. muah

Faradita
Penulis pemalas amatir

Continue Reading

You'll Also Like

800K 116K 37
RAIN ELKANA GANENDRA. Di SMA Skyline, tidak ada yang tidak kenal cowok itu. Bukan hanya karena Orang tuanya adalah pemilik yayasan sekolah yang masuk...
2.5M 268K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
4.8M 177K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
9.3M 489K 32
[ tanpa edit ] Aidan Alexander playboy, bertindak semau sendiri, dan tidak suka ucapannya dibantah. Angelina Arfina. lemah lembut, penyabar, selalu...