Pungguk Yang Merindukan Bulan...

由 AbelJessica

1.2M 148K 9K

Tulisan ini dilindungi oleh UU RI HAK CIPTA. Berdasarkan ketentuan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28... 更多

Rambu-rambu PMB
Prolog
PMB1 : Pungguk, Menyatakan Cinta
PMB 2 : Pungguk, Jatuh Cinta
PMB 3 : Pungguk, Dan Kekasih Bulan
PMB 4 : Pungguk, Dan Cupid Kurang Ajar!
PMB 5 : Pungguk, Dan Randy
PMB 6 : Pungguk, Yang Patah Hati
PMB 7 : Pungguk, Dan Pelajaran Berharga
PMB 8 : Pungguk, Dan Rahasianya
PMB 9 : Pungguk, Yang Terhebat
PMB 10 : Pungguk, Dan Pendatang Baru
PMB 11 : Pungguk, Dan Alasan
PMB 12 : Pungguk, Dan Badai Menghadang
PMB 13 : Pungguk, Dan Statistik atau Raffa?
PMB 14 : Pungguk, Dan Goals? Oh, please!
PMB 15 : Pungguk, Bulan dan Matahari
PMB 16 : Pungguk Egois
PMB 17 : Pungguk, Kompromi & Tantangan
PMB 18 : Pungguk, Dan Definisi Keluarga Dari Dua Sisi
PMB 19 : Pungguk, Dan Perjalanan
PMB 20 : Pungguk, Dan Jalanan Terjal
PMB 21 : Pungguk, Dan Rasa Percaya
PMB 22 : Pungguk, Dan Alana
PMB 23 : Pungguk, Dan Hasil Taruhan
PMB 24 : Pungguk, Berakhir Dengan Patah Hati
PMB 25 : Pungguk, Dan Nathanael
PMB 26 : Pungguk, Dan Nathanel (2)
PMB 27 : Pungguk Menjolok Rembulan
PMB 28 : Pungguk, Dan Perburuan
PMB 29 : Pungguk, Dan Perburuan (2)
PMB 30 : Pungguk Dan Pertikaian
PMB 31 : Pungguk Dan Darah
PMB 32 : Pungguk Dan Darah (2)
PMB 33 : Pungguk Dan Restu
PMB 35 : Pungguk Dan Keluarga
PMB 36 : Pungguk Memanjat Langit
PMB Side Story : Randy Airlangga Putra
Instagram Update
PMB Side Story - Teror? (Part 1)

PMB 34 : Pungguk Merindukan Bulan

28.9K 3.5K 303
由 AbelJessica

       


"Hai."

          Rasty mengutuk dirinya sendiri yang salah tingkah karena diberi sapaan sekaligus senyuman. Sambil menyelipkan rambut ke balik telinga, gadis itu membalas senyuman Raffa dan melambai kikuk, "Udah lama ya nunggunya?"

"Belum terlalu lama. Lagipula ada beberapa adik tingkat yang nyamperin dan nanya-nanya soal kerja, jadi nggak berasa nunggunya."

Rasty mengangguk, "Pulang sekarang?"

"Nggak mau makan dulu?"

          Rasty tidak ingin jadi pusat perhatian, tapi tatapan berharap itu membuatnya tidak tega untuk menolak. Kalau sudah begini ia jadi menyalahkan diri sendiri karena tak sanggup menolak tawaran Raffa untuk menjemputnya pulang dari kampus. Bukannya Rasty tak pernah menolak, tapi Raffa pantang menyerah. Setelah beberapa kali menolak dengan berbagai alasan masuk akal sampai alasan tak bisa dinalar, akhirnya hari ini Rasty menyerah dan membiarkan pria itu menjemputnya.

"Boleh."

          Beiringan keduanya menuju kantin Fakultas Ekonomi yang tak kunjung sepi meski gelap sudah mulai menyapa. Rasty bukannya tak sadar kalau beberapa pasang mata tertuju pada mereka, tapi karena Raffa terlihat cuek dan justru sibuk memesan makanan untuk mereka, jadilah gadis itu ikut-ikutan memasang ekspresi cuek meskipun itu sangat sulit untuk dilakukan.

"Yakin cuma mau pesan roti bakar?" Pertanyaan Raffa menyadarkan Rasty dari ekspresi sok seriusnya, "Nggak mau makan yang lebih berat?"

"Nggak, roti bakar aja."

          Raffa tak melanjutkan pertanyaannya dan mengajak Rasty menuju kursi kosong yang terletak di tengah-tengah kantin. Dengan cepat Rasty menahan tangan pria itu dan berbisik, "Nggak mau duduk di situ."

"Kenapa?"

Ekspresi Rasty terlihat tak nyaman ketika memberitahu, "Terlalu di tengah, jadi pusat perhatian. Duduk di pinggir aja."

Raffa memutar pandangan dan menunjuk kursi-kursi panjang yang terletak di bagian sudut kantin, "Yang di pinggir ruangan kan kursi panjang semua. Nggak papa kalau nanti ada mahasiswa lain yang gabung?"

Rasty sempat ragu, namun akhirnya mengangguk, "Nggak papa."

"Ya udah, ayo."

          Rasty mulai mempertanyakan kecerdasan Raffa karena pria itu menggenggam tangannya selagi berjalan. Untuk apa mereka mengambil tempat tersudut kalau Raffa justru menambah panas suasana dengan tingkahnya saat ini? Rasty bahkan sudah tidak sanggup melepaskan tangannya dari genggaman pria itu dan memilih untuk menunduk sampai Raffa menghentikan langkah di tempat tujuan mereka.

"Kak Raffa nyebelin!"

Rasty langsung tahu kalau Raffa sengaja menggandeng tangannya begitu pria itu tertawa, "Udah setahun jadi Miss Universitas, Ras. Masa makan di tengah kantin aja nggak berani?"

"Aku kan jadi Miss Universitas untuk menunjukkan prestasiku, bukan untuk jadi bahan gosip."

Raffa memikirkan kalimat itu dan berkomentar, "Selama aku kuliah di sini, kamu memang Miss Universitas yang paling sepi dari skandal percintaan."

"Memang," Rasty langsung mengangkat dagunya tinggi-tinggi, "Randy juga bilang gitu."

"Paling sepi loh Ras, bukan nggak ada sama sekali."

Rasty menjilat bibirnya dengan gugup ketika berkomentar, "Aku nggak ngerti Kakak lagi ngomong apa."

"Kamu nggak berpikir kalau gosip dengan asisten dosen itu nggak sampai ke telingaku kan?"

"Itu gosip! Cuma gosip!" Rasty bahkan tak tahu kenapa ia harus menekankan penjelasannya sedemikian rupa, "Aku nggak pacaran dengan dia kok."

"Tapi ditembak pas lagi kelas ya?"

"Nggak tahu ah. Bete."

          Raffa tersenyum saja menanggapi rajukan pria itu. Keduanya tak melanjutkan obrolan karena seorang pelayan datang mengantarkan makanan sekaligus tagihan. Setelah Raffa membayar makanan mereka dan pelayan berlalu, barulah pria itu kembali bersuara, "Yakin nggak mau pesan makanan lain?"

Rasty melirik mangkuk kuah sup yang mengepulkan uap panas dan mengangguk, "Yakin kok."

"Oke," Raffa menyahuti sambil menggenggam sendok di kedua tangannya, "Aku cuma mau memastikan, karena sup tulang di Fakultas kita yang paling enak."

          Rasty tahu! Sewaktu masih kuliah, Randy sering bertandang ke kantin FE hanya untuk menikmati sup tulang. Selain rasanya yang enak, harganya juga cukup bersahabat untuk kantung Mahasiswa yang sering jebol sebelum waktunya. Tidak heran kalau pecinta sup seperti Randy rela bertandang ke kantin Fakultas lain, meskipun kantin di Fakultasnya sendiri cukup memadai.

"Malam Minggu ada rencana?"

Pertanyaan Raffa membuat Rasty mengalihkan pandangan dari mangkuk pria itu dan menjawab, "Bang Sabda ngajak keluar. Katanya quality time sebelum dia pulang ke Kalimantan."

"Quality time?" Tanya Raffa tertarik, "Biasanya ngapain aja?"

Rasty berpikir sejenak dan mengangkat bahu, "Belanja, nonton dan makan."

"Berdua?"

"Bertiga," Rasty memutar bola mata karena pertanyaan itu, "Bang Sabda itu bukan penderita sister complex, melainkan twinnie complex. Dia bisa kalang kabut kalau salah satu adik kembarnya menghilang dari acara quality time."

Raffa jadi terkekeh karena ucapan itu, "Keluarga kamu seru ya."

"Lumayan," Cengir Rasty sambil melirik mangkuk pria itu untuk kesekian kalinya.

"Mau Ras?"

"Hah?"

"Kita bisa sharing kalau kamu terlalu kenyang untuk menghabiskan satu porsi sendirian," Raffa mengatakan itu dengan senyum geli.

"Nggak kok!" Rasty gengsi.

"Yakin?"

"Ya.. Yakin!" Gadis itu kemudian langsung mengalihkan percakapan, "Kenapa Kak Raffa tanya-tanya soal malam Minggu?"

"Tadinya mau ngajak kamu keluar, tapi karena kamu ada acara, mungkin lain kali aja," Raffa mengatakan itu sambil mengerat daging dengan menggunakan sendok garpunya, "Aaaah?"

"Apanya yang aaah?"

"Buka mulut."

"Nggak mau!"

"Nanti anak kita ngiler, Ras."

"Siapa juga yang lagi hamil?"

"Berarti kamu yang hampir ngiler."

"Ngg... nggak kok!"

"Oh, mau main pesawat-pesawatan?" Raffa memasang ekspresi jahil, "Pesawat meluncur dari ketinggian 2000 kaki dan sekarang tengah menuju..."

          Tawa cekikikan di sekitar mereka membuat Rasty tak tahan lagi. Dengan menahan malu ia menangkap tangan Raffa dan menelan daging di ujung sendok pria itu, kemudian menggeram, "Awas nanti di mobil!"

          Raffa tertawa saja mendengar ancaman itu. Siapa suruh Rasty terlalu banyak menyimpan rasa gengsi?

*

Pungguk Merindukan Bulan – JessJessica

*

"Beras?" Sapaan itu membuat Rasty menoleh dan langsung tersenyum begitu melihat keberadaan Sabda. Dalam sekejap kedua tangannya sudah melingkari punggung besar Abangnya itu, sehingga Sabda kebingungan, "Kenapa adeknya Abang? Lagi sedih?"

Rasty menggeleng, "Kangen. Abang kan sebentar lagi pergi ke Kalimantan."

"Ikut dengan Abang aja yuk ke Kalimantan?" Sabda mengusulkan sambil membalas pelukan itu.

"Keran juga ikut?"

"Eeerr harus?"

"Kami kan kembar."

"Nanti Beras kembaran dengan Abang aja di Kalimantan."

          Rasty mendengus. Kadang-kadang ia meragukan kecerdasan kedua saudara laki-lakinya. Di atas kertas, keduanya merupakan bibit-bibit unggul dengan nilai yang tidak pernah mengecewakan, berbeda dengan Rasty yang harus terjatuh, terjungkal dan terjerembab hanya untuk mengejar IPK 3,00. Tapi kadang-kadang Sabda dan Randy bisa menjadi orang paling bodoh dan naif sedunia ketika berhadapan dengannya. Atau kebodohannya menulari kedua saudaranya ya?

"Beras kenapa belum tidur?" Sabda bertanya karena merasa kalau Rasty tidak tertarik menjadi saudara kembarnya, "Lagi ada masalah? Mau curhat?"

Rasty mengangguk ragu-ragu, "Tapi Abang jangan marah ya?"

"Kenapa Abang harus marah?" Sabda jadi bingung, "Jangan bilang kalau Beras mecahin mangkuk kesayangan Ibu?" Tambahnya sambil berbisik penuh rahasia.

Rasty menghela napas, berusaha menyabarkan dirinya sendiri ketika bertanya, "Kok mangkuk sih Bang? Abangnya orang lain pasti udah nuduh Beras make narkoba atau hamil. Kenapa Abang malah nuduh Beras mecahin mangkuknya Ibu?"

"Memangnya Beras tahu bentuk narkoba kayak gimana?" Sabda balas bertanya, "Beras tahu kenapa perempuan bisa hamil?"

"Tahulah!" Rasty tak terima dituduh dungu, "Waktu masih jadi Miss Universitas kan Beras mengadakan penyuluhan anti narkoba. Beras juga ngasih pelatihan untuk anak-anak putus sekolah karena hamil di luar menikah."

"Karena itu Abang yakin kalau Beras nggak akan make narkoba dan hamil di luar nikah," Sabda mengatakan itu sambil mengacak-acak rambut adiknya.

Rasty jadi malu karena tak segera mengerti arah pembicaraan Abangnya. Wajahnya tenggelam di dada Sabda ketika memberitahu, "Kak Raffael minta Beras jadi pacarnya."

"Raffael siapa?" Sabda bertanya sambil memutar ingatan, "Maksud kamu si Kabel?!"

Rasty mengangguk, "Iya."

"Kamu masih berhubungan dengan dia? Bahkan meskipun dia punya tunangan?"

"Dia udah nggak tunangan lagi," Rasty mencoba menjelaskan, "Udah tiga tahun sejak pertunangannya dibatalkan."

"Kenapa?"

"Karena tunangannya lebih memilih Bang Nathan."

"Dan siapakah Nathan ini gerangan?"

"Err, Abang tirinya Kak Raffael."

Sabda langsung mendengus, "Satu keluarga sama aja kelakuannya."

"Abang nggak ngerti masalahnya. Kak Raffael bukannya..,"

"Kalau kamu memang mau pacaran dengan dia, silakan. Abang nggak mau di masa depan nanti kamu berpikir kalau Abang menghalangi kebahagiaan kamu."

          Kedua mata Rasty nanar menyadari kalau selain memotong ucapannya, Sabda juga melepaskan pelukannya. Randy mungkin sering mengajaknya bertengkar, tapi Sabda tidak pernah melakukan hal yang sama. Abangnya itu justru selalu mencari kesempatan untuk memeluknya, dan sering memaksanya untuk menceritakan kegiatan sehari-hari. Rasty baru tahu kalau penolakan Sabda bisa membuatnya patah hati, karena itulah yang ia rasakan sekarang.

"Abang tidur duluan ya, ngantuk. Kamu juga jangan begadang, nanti sakit."

          Sabda berlalu tanpa senyuman, apalagi pelukan. Rasty hanya bisa menatap punggung lebar itu menjauh, sementara benaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Dulu ia harus mundur demi Raffa dan Alana, apa kali ini ia harus mundur lagi demi kedua saudaranya? Kenapa jatuh cinta sesulit ini untuknya? Kenapa ia dan Raffa tidak bisa saling bersama saja, padahal mereka saling menyayangi?

          Rasty tidak akan sadar dirinya menangis kalau bukan karena guncangan pada bahunya. Pandangannya terpaku pada Randy yang berdiri dengan piyama dan rambut berantakan, tanda saudaranya itu terbangun dari tidurnya, "Kenapa nangis?"

"Aku..,"

"Raffael! Iya kan?" Randy langsung menuduh, "Bajingan tengik itu!"

"Bukan! Ini bukan karena Kak Raffael!"

"Jadi siapa? Bang Sabda?!" Randy gelap mata karena Rasty masih saja membela Raffa yang pantas untuk ditenggelamkan ke dalam rawa, "Dia orang terakhir yang pengin ngelihat kamu nangis."

          Isakan itu membuat Randy tersadar kalau Rasty benar-benar menangis karena Sabda. Dengan panik pemuda itu memutar tubuh Kakaknya dan bertanya, "Diapain sama Bang Sabda? Rambut kamu dibotakin lagi kayak dulu?"

"Bukan..,"

"Kamar kamu dicoret-coret sama dia?" Randy kembali menuduh, "Kurang ajar! Tunggu di sini, biar ku hajar dia! Makin lama kelakuan Bang Sabda makin nggak lucu!" Sambungnya dengan gusar.

"Bang Sabda marah karena aku minta izin untuk pacaran Kak Raffael."

Langkah Randy terhenti. Rasty bisa melihat pemuda itu memijat kening sebelum berbalik menghadapnya, "Apa dia sepenting itu untuk kamu?"

"Aku sayang Kak Raffa, Ran. Dari dulu sampai sekarang."

"Dia nggak baik untuk kamu," Randy mencoba memberitahu, "Dia pernah selingkuh Ras. Walaupun kalian nggak pernah jadian, tapi kita tahu kalau dia ngasih hatinya untuk kamu, padahal dia punya tunangan. Siapa yang bisa menjamin kalau di masa depan dia nggak akan melakukan hal yang sama?" Sambung pemuda itu menghancurkan hati Rasty, "Aku dan Bang Sabda peduli sama kamu. Kita sayang sama kamu, karena itu kita pengin kamu baik-baik aja."

"Menurut kamu sekarang aku baik-baik aja?" Rasty bertanya dengan putus asa, "Tiga tahun terakhir aku baik-baik aja?"

          Randy memejamkan mata karena tahu kalau Rasty tidak baik-baik saja. Pintu penghubung yang tak pernah terkunci lagi selama tiga tahun terakhir sudah menjelaskan segalanya. Saudarinya itu hampir setiap malam menginap di kamarnya karena tidak ingin tidur sendiri. Orang lain mungkin tidak tahu alasannya, tapi Randy tahu. Rasty berlari kepadanya karena kesakitan, seperti ia yang selalu mencari gadis itu tiap kali merasa sedih.

"Gimana kalau kita bikin perjanjian?"

"Perjanjian?"

"Kamu akan mengizinkan aku untuk membunuh Raffa kalau dia berani selingkuh dari kamu. Deal?"

"Nggak!" Rasty menjerit histeris, "Bukan karena aku ragu pada Kak Raffa, tapi karena aku bahkan nggak mau memikirkan kamu sebagai seorang pembunuh."

"Bagaimana kalau kakinya aja?" Randy menawar dengan ekspresi bengis, "Aku akan mematahkan kakinya kalau dia berani selingkuh, dan aku akan membuatnya terlihat seperti kecelakaan, jadi nggak ada orang lain yang tahu."

"Deal!"

"Deal!" Randy menjabat tangan Rasty dengan ekspresi puas, "Kalau gitu kamu ku izinkan pacaran dengan Raffa. Abaikan aja Bang Sabda, dia kan bukan saudara kembar kita."

"Tapi dia Abang kita."

Randy mendengus, namun akhirnya tersenyum juga, "Besok aku akan coba bicara dengan Bang Sabda."

"Janji?"

"Janji."

"Twinnie promise?"

Untuk kesekian kalinya Randy mendengus, namun tetap mengulurkan jari kelingkingnya, "Twinnie promise. Tidur sana, udah malam."

"Boleh nginap?"

"Nginap lagi? Terus kapan aku bisa phone sex dengan Lala?!"

"Ih, Keran mesum!!!"

"Twinnie! Besok aja bertengkarnya, sekarang udah malam!"

**

"Kak Raffa marah ya?"

Raffa yang sedang menatap jalanan, jadi menoleh karena pertanyaan itu, "Kok kamu mikir gitu?"

"Mungkin aja Kak Raffa ada acara, tapi jadi terganggu karena aku ngajak keluar?"

Raffa tertawa, "Justru aku senang karena kamu menyelamatkan aku dari perang keluarga."

"Perang keluarga?"

Raffa mengangguk, "Mama dan Papa sedang rapat dengan keluarganya Alana. Mereka udah setuju kalau pertunangan Bang Nathan dan Alana diadakan kecil-kecilan, tapi sekarang mereka ribut sendiri menentukan gaun, tux, katering dan lain-lain. Aku hampir gila mendengarkan mereka, tapi nggak punya alasan untuk kabur sampai kamu ngajak keluar."

"Kenapa Kakak nggak ngajak aku keluar?"

"Kan kamu sendiri yang bilang kalau malam Minggu ada acara dengan Bang Sabda dan Randy?"

"Eh? Iya sih."

"Kenapa nggak jadi keluar dengan mereka? Ada urusan mendadak?"

Rasty menggeleng, ekspresinya berubah jadi keruh, "Bang Sabda marah sama aku."

"Kenapa?"

"Karena aku minta izin buat pacaran dengan Kak Raffa."

          Pernyataan polos itu hampir membuat Raffa menabrak kendaraan di depannya karena tak sengaja menambah tekanan pada gas di kakinya. Kendaraan di belakang mereka ikut latah menambah kecepatan dan sekarang menekan klakson berkali-kali karena kesal melihat Raffa mengemudi dengan ugal-ugalan. Raffa cepat-cepat menepikan kendaraannya ke tempat aman, kemudian berpaling pada Rasty yang masih memasang ekspresi terkejut, "Tadi kamu ngomong apa?"

"Kak Raffa apa-apaan sih?! Kita hampir tabrakan!"

"Siapa suruh kamu mengatakan hal-hal mengejutkan tanpa peringatan?" Raffa balas menyalahkan gadis itu, "Kamu serius minta izin pacaran dengan Bang Sabda dan Randy?"

"Memangnya Kak Raffa nggak serius waktu minta aku jadi pacar?" Rasty memasang ekspresi ngeri.

"Aku serius! Serius!" Raffa langsung ngotot, "Kamu mau? Jadi pacarku?"

"Dengan syarat Bang Sabda dan Randy setuju," Balas Rasty pelan, "Mungkin Kak Raffa berpikir kalau ini terlalu kekanakan, tapi pendapat mereka penting untukku. Mereka yang babak belur mendukungku selama tiga tahun terakhir, jadi aku nggak bisa membuat mereka kecewa."

Raffa tersenyum dan menautkan tangannya dengan tangan Rasty, "Batal aja nontonnya. Kita ke rumah kamu sekarang."

"Hah? Ngapain?"

"Minta restu!" Sambar Raffa percaya diri, "Aku mau ketemu dengan Abang-abang kamu."

"Pertama, aku cuma punya satu Abang karena Randy itu adikku!" Rasty menjelaskan penuh harga diri, "Kedua, Bang Sabda butuh waktu untuk berpikir. Aku nggak mau mendesak dia."

"Tapi Ras...,"

"Lagipula, ini pertama kalinya kita nonton berdua kan?" Rasty memasang ekspresi memelas untuk mengubah pendirian pria itu.

          Raffa membuang tatapan ke arah jalanan, karena wajah merah padam Rasty membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih. Pria itu menimbang sejenak dan tersadar kalau Sabda memang butuh waktu untuk menerima mereka. Dengan berat hati pria itu mengambil keputusan, "Oke, tapi besok aku mau ketemu dengan Bang Sabda."

"Tapi Kak..,"

"Nggak ya Ras!" Bantah Raffa dengan tegas, "Aku mau kita punya hubungan jelas, karena aku nggak mau kamu ditikung orang. Kamu pikir aku percaya kalau asisten dosen itu satu-satunya? Jangan pikir aku nggak tahu tentang seniornya Randy yang sering main ke rumah kamu itu. Ngakunya ada urusan dengan Randy, tapi ujung-ujungnya ngobrol dengan kamu. Modus basi!"

"Kok Kak Raffa tahu?!"

"Pokoknya besok aku ketemu dengan Bang Sabda."

Meskipun cemberut, pada akhirnya Rasty mengangguk juga, "Oke."

Hening sejenak, kemudian Raffa bertanya, "Berarti kita udah pacaran kan?"

"Belum!" Rasty tega mematahkan hati pemuda di sampingnya, "Kan Bang Sabda belum setuju."

Raffa mengangkat tautan tangan mereka dan mengecup punggung tangan Rasty dengan senang "Udah."

"Belum!"

"Udah."

"Belum ih!"

"Udah."

"Bang Sabda belum setuju!"

"Tapi kamu mau kan?"

"Iya, tapi..,"

"Berarti udah."

"Kalau gitu aku nggak ma...,"

          Jangan macam-macam dengan Raffa. Ia punya banyak cara untuk membungkam penolakan terhadap perasaannya. Menunggu selama tiga tahun saja Raffa sabar, apalagi membekap seorang gadis yang jelas-jelas sudah menerima perasaannya. Kecil!

"........"

"........."

"Sekali lagi ya?"

"Aaarrrggghhh! Kak Raffa mesum!!"

          Yang seperti itu masih mengaku belum pacaran?

**

Jess Note :

Tebak Raffa ngapain? Huehehehe.

Salam Tebak-tebakan, Jejejejejejejejes.

繼續閱讀

You'll Also Like

972K 94.1K 52
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
1.9M 70.9K 16
Cerita sudah diunpublish sebagian. Link ebook di playstore : https://play.google.com/store/books/details?id=KwdQDwAAQBAJ Dua orang gila yang bertemu...
645 62 23
Apa yang akan terjadi jika dalam hidup ini kau harus menyembunyikan kehidupan mu, namun ketika lembar baru dibuka orang yang sangat mencintaimu, oran...
243K 30.3K 20
Dua alasan sederhana mengapa menjadi pengasuh anak teman Mama (ternyata) merupakan pekerjaan terkutuk: 1. Anak yang kuasuh (ternyata) adalah bocah pa...