Dunia Nadhira (DI HAPUS SEBAG...

By Alnira03

13.7M 181K 13.1K

Bagi Nadhira Azmi, mencari cowok tampan dan mapan dengan status single bagaikan mencari jarum ditumpukan jera... More

Dunia Nadhira - 2
Dunia Nadhira - 3
Dunia Nadhira - 4
Dunia Nadhira - 5
Dunia Nadhira - 6
Dunia Nadhira - 7
Dunia Nadhira - 8
Seru seruan aja
Interview Cast DN dan MH
Dunia Nadhira Special Ramadhan
Sekilas Info
Dunia Nadhira Special Ramadhan 2018
Vote Cover
PO Dunia Nadhira

Dunia Nadhira - 1

326K 11.8K 701
By Alnira03

Dunia Nadhira – 1

"Nadiiiiii bangunnnn!!!! Subuhhh!!! Subuhhh!!!" Siapa sih, malem-malem gini teriak-teriak! kayak kurang kerjaan aja. Mending nyuci pakaian kotor punya aku deh daripada teriak-teriak kurang kerjaan gini. Pikir Nadi yang masih sibuk dengan tidurnya.

"Nadiiii! Astaghfirullah! Bangun! Subuh!!!" Oww ternyata suara nyokap.

"Ibuu berisik banget, Ngantuk nih."

"Kamu itu mau jadi apa sih Nadi! Ini udah subuh, Sholat dulu sana!"

Ibu Nadi ini manusia paling cerewet di dunia. Sepertinya tidak ada yang menandingin kecerewetan Ibunya di dunia ini.
Hiporbolis banget! Tapi kenyataannya memang begitu.

"Nadi lagi nggak sholat Bu." Nadi memang lagi menstruasi, sudah selesai sejak dua hari lalu sih, tapi karena malas jadi Nadi belum sempet mandi wajib. Kebiasan yang tidak berubah sejak dulu.

"Kamu itu mau jadi apa sih Nad. Sholat itu tiang agama, kamu seenaknya aja main tinggal..... Blablablabla....." Rasanya Nadi ingin menutup telinga saja dengan bantal, tapi nanti malah Ibunya semakin marah. Makanya dia hanya berusaha tidak mendengarkan ocehan Ibunya itu. Bagaimana caranya? Sepertinya hanya Nadi yang tau.

Inilah malasnya Nadi kalau pulang ke rumah. Pasti selalu jadi sasaran ocehan Ibunya. Nadi capek loh, baru sampai dua hari lalu dari Jakarta. Tau gini mending lebaran di Jakarta aja. Bodo amat deh sendirian di kosan. Daripada kena omel begini. Gerutunya dalam hati.

"Ya kan orang lagi kotor nggak boleh sholat Bu."

"Kamu itu cuma malas, kebiasaan dari dulu! Heran deh, anak Ibu yang ini kok gini banget. Nadhara nggak kayak kamu! Nurut sama ayah, Ibu... Blablablablabla...." ​Nadi menghitung satu sampai seratus dan memfokuskan pikiran pada angka-angka yang sedang dirapalnya sampai akhirnya Ibunya memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah ocehan panjang itu selesai.

Demi Tuhan Nadi bukannya tidak sayang dengan Ibunya. Anak mana sih yang tidak sayang dengan Ibunya sendiri? Apalagi Ibu dan Ayahnya sudah membesarkannya, menyekolahkannya, Nadi kan bukan anak yang tidak tau terima kasih. Tapi Nadi itu selalu salah di mata Ibunya. Ibunya itu selalu membandingkan Nadi dengan Nadhara – adiknya yang kalem dan penurut.

Setelah memastikan Ibunya benar-benar sudah meninggalkan kamarnya, Nadi  perlahan membuka mata, Lalu duduk di atas ranjang. Masih dalam suasana libur lebaran, yang artinya Nadi seharusnya bisa tidur lebih lama, tapi Ibunya bilang, lebaran itu waktunya buat silaturahim. Menyapa tamu, bukannya leha-leha di kamar. Agh! Orang tau dan pemikirannya.

Tadinya Nadi malas untuk pulang kampung, sudah harus membayar tiket pesawat dengan harga mahal. For God Sake! Nadi sudah membeli dari jauh hari, tapi harganya masih juga mahal. Tiket pulang pergi Jakarta-Palembang yang biasanya dia dapatkan cuma lima ratus sampai enam ratus ribu, berubah jadi satu juta dua ratus. Belum lagi dia harus naik travel sekitar delapan jam untuk sampai di kampung halaman tercinta ini. Tapi yang dia dapat adalah omelan panjang dari Ibunya. Siapa yang tidak kesel?

"Ayuk*, di panggil Ibu tuh." Adiknya yang selalu jadi kebanggaan di keluarga ini berdiri di depan kamar Nadi.
"Iya! Iya! Mau mandi dulu." Nadi bangkit dari kasur sambil menenteng handuk yang tadi malam disampirkannya di handel lemari, terlalu malas untuk menjemur di tempat yang seharusnya.

Setelah mandi Nadi ikut bergabung bersama Ayah, Ibu dan Nadhara. Ibunya melihat Nadi sambil memutar bola mata, sedangkan Ayah menepuk tempat di sebelahnya. Kalau Ibunya cerewet, Ayah Nadi pendiam. Tuhan maha adil dan Nadi bersyukur karena itu.

Nadi mengambil potongan ketupat yang ada di mangkuk besar dan memindahkannya ke piring. Mengambil rendang, dan juga kuah ketupat serta sayur buncis. Makan pagi dengan porsi besar!

"Nadi, Dara sudah dilamar sama dokter Irfan. Mereka nikah enam bulan lagi." Ibu Nadi mulai bersuara.

"Oh ya? Bagus dong." Kata Nadi sambil memasukkan potongan ketupat ke mulutnya.

"Ayuk nggak papa Dara langkahin?" Nadi menggeleng.

"Nggak papa, artinya jodoh kamu lebih cepet datengnya."

"Kamu kapan Nad?" Oww jangan ini lagi! Sudah cukup temen-temanku dan juga orang satu kantor yang menanyakan hal ini! Risiko wanita berusia di atas 25 tahun, selalu saja mendapat pertanyaan yang sama, kapan menikah? Rasanya telinga Nadi berasap mendengarnya.

"Nunggu jodohnya dateng bu."

"Kamu pikir jodoh dateng sendiri? Kalau nggak dicari ya nggak akan ketemu Nad!" Oh jadi jodoh itu kayak pokemon ya musti dicari. Batinnya.

"Ya kan jodoh pasti bertemu dan bertamu bu, tunggu aja."

"Yah, liat tuh anak kamu, kalau diajak ngomong serius pasti begitu jawabannya."

"Udalah bu, mungkin Nadi masih butuh waktu." See? Bagaimana Nadi tidak mencintai ayahnya? Semua hal rumit yang diperkarakan Ibunya, pasti akan menjadi mudah jika sudah dihadapkan dengan ayahnya ini.

****

"Ini Nadi, wah udah gede ya. Dulu bicik* ke sini masih SMP."

Nadi menyunggingkan senyum pada wanita paruh baya di depannya ini. Nadi lupa nama Ibu ini, seperti yang Ibu itu bilang, terakhir mereka bertemu saat Nadi masih SMP, dan selama itu Nadi sudah sangat banyak bertemu dengan orang lain, ingatannya memang payah kalau mengingat orang.

"Kerja di mana Nadi?"

"Di Bank Utama Cik."

"Oh, dulu katanya sempet kerja di Bank Negara ya?" Nadi mengangguk. Dulu Nadi kerja di bank BUMN. Bukan di banknya sih, tapi bagian Asuransi, Bancassurance istilahnya, Asuransi yang menggaet bank sebagai partner pendistribusian produknya. Tapi Ibunya selalu bilang kalau Nadi kerjanya di bank, bukan di perusahaan asuransinya. Katanya jualan asuransi itu tidak keren. Padahal Nadi sudah menjelaskan, kalau bukan karena kerja di asuransi dia tidak akan bisa ke London, Osaka sama Manila secara gratis, pake fasilitas bintang lima pula.

"Terus kenapa pindah?" Balik lagi ke bibi kepo di depan Nadi ini. Menurut sebagian orang bank swasta itu tidak sebanding dengan bank plat merah, padahal bank tempat Nadi bekerja sekarang lebih ramai dari bank plat merah. Coba kalau misalnya Nadi bilang kerjanya di Kejaksaan Tinggi, atau di Pemprov. Pasti langsung dipuji.

"Dapet tawaran yang lebih bagus cik, sayang kalau ditolak." Nadi tidak bohong soal kerja di asuransi itu asik. Satu bulan bisa dapet puluhan juta dari hasil komisinya. Tapi di sana masa depannya belum terjamin. Istilahnya itu PDLA*, petugas dinas luar angkasa kalau diplesetkan. Kerjanya tidak ingat waktu, malem haripun nasabahnya dikejar. Terus kalau tidak mencapai target bisa terminate, dan di pecat by system. Serem abis.

"Oh memangnya di bagian apa Nadi kerjanya?"

"Customer Service." Bibi Nadi ini ngangguk-angguk.

"Eh ada Dara, dokter ini cantik banget, mau nikah ya katanya." Nadi mendengus saat wanita di depannya ini langsung menarik tangan Dara dan mendudukkan Dara di antara Nadi dan dirinya sendiri, yang tadinya adalah tempat Nadi. Otomatis Nadi langsung bergeser memberi ruang pada adiknya. Nadi mendengar Dara mulai menceritakan pekerjaannya sebagai dokter intership di Pangkal Pinang. Sedangkan Nadi kembali dianggap sebagai angin lalu.
Kamu mau ngarepin apa sih Nad! Biar katanya masuk Bank Utama itu susah minta ampun. Tetep aja kamu nggak akan menang lawan dokter muda kayak adik kamu itu!

****

Nadi membolak balik tubuhnya di atas ranjang, sejak pertemuannya siang tadi dengan bicik yang dia tidak tau namanya itu. Nadi malas untuk keluar kamar lagi. Malas menghadap mereka yang selalu menganggap Nadi ini tidak lebih baik dari Dara. Jujur Nadi sayang sekali dengan adiknya itu. Nadi tau Dara lebih pintar darinya, makanya Nadi mengalah dengan tidak membebani Ayah untuk membayar kuliahnya. Karena Nadi tau biaya masuk kuliah kedokteran itu mahal, walaupun ayahnya dijuluki sebagai juragan kopi dan teh di sini, tapi tetap saja Nadi tidak tega kalau Ayah juga harus membiayai kuliahnya, Nadi tidak pinter seperti Dara, menguliahkannya hanya menghabiskan uang. Tamat SMA Nadi memutuskan merantau dari Kampung halaman ke Palembang, ikut berbagai test supaya bisa kerja. Tinggal di rumah adik ayahnya sampai sudah bisa kos sendiri.

Di Palembang, Nadi diterima bekerja di sebuah pabrik roti dengan gaji harian yang tidak layak, tapi harus dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan. Sambil kuliah juga, karena Ayah dan Ibunya memaksa Nadi untuk kuliah. Nadi menjalani saja, daripada dia tidak ada pekerjaan dan terus mendekam di rumah bibinya. Nadi ingat sekali dulu banyak orang yang menyepelehkan pekerjaannya. Padahal apa yang salah dari kerja sebagai buruh pabrik? Toh penghasilannya halal, dari pada para pejabat yang duduk duduk korupsi!

Sampai akhirnya Nadi dapet tawaran buat kerja di asuransi, dari gaji duapuluh ribu perhari jadi tiga juta sebulan, naik lagi jadi sepuluh juta bahkan saat sedang ada festival berhadiah gajinya bisa menembus tiga puluh juta. Di tambah bonus per tiga bulan yang bikin ngences dan juga reward jalan-jalan keluar negeri. Tiga tahun Nadi bekerja di sana, Nadi sudah bisa membeli mobil, dia ingin kredit rumah tapi takut tidak bisa membayar iuran bulanannya, karena bekerja di asuransi kan belum punya kejelasan. Jadi uangnya ditabung saja di bank.

Tapi lagi-lagi Nadi dibilang kerja tidak benar, gosipnya mulai dari jadi simpanan om-om sampai jadi simpanan pejabat. Padahal selama kerja di asuransi Nadi profesional, tidak ada tuh istilahnya tanda tangan di atas perut, istilah yang dipakai teman-temannya dulu kalau ada yang bisa closing besar tanpa menjelaskan produk dengan benar.

Lagian gaya Nadi tidak seperti sosialita gitulah, Nadi masih pake barang yang standar di jual di Mall. Sepatu sama Tas masih pake Charles and Keith, Pedro, Hush Puppies atau Staccato. Paling mahal juga pake tas Bonia, itu juga beli yang diskon waktu jalan ke Kuala Lumpur atau Singapura. Make up masih pake NYX belum pake Chanel. Parfum masih setia sama Chloe. Jam tangan masih pake Alexander Christie, Guess sama Fosil. Pakaian dalam juga masih sekelas Wacoal. Coba jelasin darimananya Nadi jadi simpenan Om-om?

****

*Ayuk = sebutan untuk kakak perempuan
*Bicik = Sebutan untuk bibi/tante
*PDLA = Pekerja Dinas Luar Asuransi

Continue Reading

You'll Also Like

124K 10.3K 22
Karina Mentari senang banget waktu Arsel mengajaknya mendaki Gunung Rinjani. Bagi Karina, nggak ada perjalanan seromantis itu sejak pertama kali meng...
1.6M 17.8K 7
SUDAH DITERBITKAN. TERSEDIA DI GRAMEDIA TERDEKAT Daisy El Vanisha, designer mungil yang boleh dikatakan buta soal cinta. Ia tidak pernah mengenal law...
86.5K 9.8K 35
Status: COMPLETED, buku I seri kembar Melisma Forsythia Len--kembar ketiga "Omong-omong... Aku pernah dengar dari temanku kalau anak-anak Corona itu...
1.6M 23.3K 41
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...