[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DIT...

By precious_unicorn91

2.3M 100K 5.7K

[CERITA AKAN DITERBITKAN SECARA SELF PUBLISH SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] "Aku akan membahagiak... More

PROLOG
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 13
BAB 14
BAB 15
EPILOG
Bonus Story: When We Grow Older

BAB 12

144K 5.9K 283
By precious_unicorn91

Siang ini ngantuk banget. Ini posting dalam keadaan setengah sadar haha. Silahkan dinikmati!


---


DEMI

Aku melangkah dengan pasti mendekati resepsionis yang berada di bagian depan kantor. Kemudian menarik napas dalam, mempersiapkan hatiku untuk menemui dia yang sudah lama tidak kulihat.

"Permisi, Pak Revan ada?" tanyaku pada security.

Lelaki paruh baya itu menengadahkan kepalanya dan menatapku. Raut tegasnya berubah saat menyadari siapa yang saat ini berdiri dihadapannya. "Oh, Ibu Demi. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum mengembang.

"Baik, Pak," jawabku tersenyum simpul. Aku mengenalnya karena saat bekerja dulu, dia pun menjadi security di lantai yang sama denganku. Bahkan sejak aku belum menikah dengan Revan. "Bapak sendiri bagaimana kabarnya?"

"Sehat, Bu," jawabnya dengan senyum hangat menghiasi wajah tegasnya. "Pak Revan ada kok, Bu. Ibu langsung masuk saja."

"Makasih ya, Pak."

Aku pun melangkah masuk ke dalam kantor Revan. Ruangan luas dengan tema minimalis ini, begitu sepi seperti biasa. Wajar saja mengingat Revan hanya berdua dengan asistennya di lantai ini. Saat semakin mendekati ruangan Devan, kulihat meja asisten yang kosong dengan tumpukan map di atasnya.

Disha rupanya sudah tidak lagi bekerja di sini. Revan pernah mengatakan Disha langsung mengundurkan diri tidak lama setelah kejadian itu. Mungkin malu atau merasa bersalah, dia memilih untuk menghilang dari hadapanku dan Revan. Hal yang bagus karena itu berarti dia punya kesadaran diri.

Langkahku terhenti beberapa meter dari pintu ruangan Revan. Jantungku berdegup semakin cepat saat aku sadar aku akan segera bertemu dengan dia. Tanganku bahkan terasa begitu dingin saat ini, berbanding terbalik dengan wajahku yang terasa begitu panas bahkan hingga ke telinga.

Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam. Meyakinkan diriku bahwa apa yang aku lakukan saat ini adalah tepat. Semua demi anak-anak. Dan juga demi diriku. 

Tujuanku datang hari ini adalah membicarakan pesta ulang tahun Revan yang sudah ribut diminta anak-anak sejak kemarin. Aku tidak mungkin membicarakannya lewat telepon, jadi aku sengaja datang ke sini. Selain itu ada hal lain yang mau kubicarakan dengan Revan.

Aku sudah berpikir masak-masak selama beberapa hari dan memutuskan untuk membatalkan perceraian kami. Aku akan memberikan Revan satu kesempatan memperbaiki kesalahannya. Mungkin tidak akan dengan cepat hubungan kami kembali normal tapi setidaknya kami mengusahakannya terlebih dahulu.

Aku memang belum bisa sepenuhnya memaafkan perselingkuhannya itu, hatiku masih teramat sakit bila mengingatnya, tapi aku sadar hanya karena satu kali dia berbuat seperti itu terlalu cepat bagiku untuk langsung memutuskan bercerai. Kalau kami masih hanya berdua saja mungkin tidak masalah tapi kami sudah memiliki anak-anak. Aku tidak bisa egois. Aku kasihan melihat mereka yang hanya bisa melihat Papanya di saat hari liburan saja. Mereka selalu protes kenapa Papa mereka tidak pernah lagi pulang ke rumah.

Lagipula ucapan Devan waktu itu menyadarkanku, aku seharusnya memberikan Revan satu kesempatan lagi untuk menebus perbuatannya. Kalau dia memang benar mencintaiku dan anak-anak kami, maka dia tidak akan lagi mengulangi perbuatannya. Tapi kalau dia melakukannya lagi, maka tidak akan ada lagi maaf dariku. Walaupun aku sangat mencintainya, tapi aku bukan wanita bodoh yang mau disakiti terus seperti itu.

Dan saat ini aku ingin menanyakan apakah dia masih mau memperbaiki pernikahan kami atau tidak. Bisa saja dia sudah tidak mau. Mungkin saja dia sudah memiliki wanita lain atau lelah denganku. Aku tidak tahu tapi aku sudah mempersiapkan diriku dengan apapun jawabannya nanti.

Saat akhirnya aku kembali melangkah dan mendekati ruangan Revan, barulah aku sadari pintunya yang terbuka setengah. Semakin mendekat, aku bisa mendengar suara Revan dengan nada tinggi dari dalam. Tanpa menimbulkan suara, aku pun mencoba melihat ke dalam.

Revan dan Disha.

"Mas, aku cinta kamu," ucap Disha yang membuat kedua kakiku terasa lemas mendadak dan hampir saja aku terjatuh. "Sejak dulu, aku selalu mencintai kamu, Mas Revan."

Pandanganku mengabur dan napasku terasa begitu berat. Aku mundur perlahan menjauhi pintu. Tidak lagi sanggup mendengar pembicaraan keduanya.


***


REVAN

Ketukan di pintu membuatku menoleh dari laptop dihadapanku. Saat orang yang mengetuk menampakkan dirinya dari balik pintu, rahangku pun mengeras diikuti amarah yang menggelegak. Kenapa dia harus muncul kembali?

"Ada apa?" seruku dengan suara yang terdengar begitu dingin dan menusuk. "Bagaimana caranya kamu bisa masuk ke sini?"

"Mas," lirihnya tampak ketakutan. "Boleh aku masuk?"

"Bukannya kamu sudah pindah ke Surabaya?" tanyaku heran.

Disha memang dipindahkan ke cabang perusahaan di Surabaya sebagai Assistant Production Manager di sana. Walaupun dia ingin mengundurkan diri karena merasa bersalah, tapi melihat kemampuan kerjanya yang bagus aku merasa sayang untuk melepaskannya. Sehingga aku menawarkannya posisi baru di Surabaya dan dia pun setuju. Dia sudah pindah sejak 2 bulan yang lalu, terus kenapa dia muncul kembali di sini?

"Aku sedang ada urusan di Jakarta," katanya yang pada akhirnya melangkah masuk ke dalam ruanganku dan kemudian berdiri di sebrangku sambil menatapku sedih. "Mas terlihat tidak sehat."

Sejak aku berpisah dengan Demi aku memang berubah jauh. Aku lebih kurus, pucat, selalu terlihat lelah, dan sangat kelihatan sekali tidak terurus. Permasalahan pernikahanku membuatku kehilangan nafsu makan, keinginan tidur, dan semangat hidup. Aku seperti mayat hidup tiap harinya. Raga ada dan berfungsi namun jiwa hilang entah kemana.

"Mas sehat kan?" tanyanya dengan suara bergetar. Antara menahan takut dengan menahan tangisannya.

"Setidaknya aku masih bisa bernapas," jawabku sekenanya.

"Istrimu?" tanya Disha sedikit ragu dengan suara pelan.

"Kenapa dengannya?" Nada suaraku jadi sedikit tinggi karena dia mengungkit Demi lagi. "Berhenti mengganggu hidupnya! Biarkan dia bahagia!"

"Aku tidak akan melakukan apapun padanya. Aku hanya ingin tahu apakah dia baik-baik saja."

"Dia baik dan sehat," kataku singkat. Sebenarnya apa tujuan Disha ke sini. Dia mau mengabsen keluargaku satu-satu?

"Aku dengar kalian akan bercerai," katanya dengan suara bergetar. Ternyata dia pun sudah tahu. Padahal berita mengenai perceraian kami belum tersebar luas tapi aku menebak dia tahu dari Arjuna. Disha juga dekat dengan Arjuna sejak sekolah dulu. Arjuna yang mengetahui semua yang terjadi padaku, pasti mengatakannya pada Disha.

Aku pun menyandarkan badanku ke sandaran kursi dan memijat pelipisku yang sering sakit belakangan ini. "Memangnya kenapa? Kamu senang kalau kami bercerai?" ketusku.

"Kenapa Mas berpikir begitu? Aku tidak pernah bermaksud membuat kalian seperti ini. Aku-" kalimatnya tertahan saat dia terisak pelan. "Maafkan aku, Mas. Maafkan aku."

Aku menghembuskan napas berat dan mengusap wajahku kasar.

Aku tahu tidak seharusnya aku menyalahkan Disha sepenuhnya atas kejadian malam itu. Bisa saja malam itu aku yang memaksanya melayani nafsuku. Bisa saja aku yang merayunya hingga dia mau melakukan perbuatan maksiat itu denganku. Karena setahuku, Disha bukan tipe wanita yang akan menyerahkan tubuhnya pada lelaki sembarangan. Kecuali ada alasan kuat dibaliknya.

Dan mungkin saja, alasannya adalah aku.

Namun, aku masih belum mengerti kenapa hal itu bisa terjadi? Apa aku mabuk tanpa sadar? Apa aku berhalusinasi melihat Demi sehingga aku melakukannya dengan Disha? Sama seperti saat aku bercinta dengan Demi waktu itu. Memaksanya berhubungan intim hanya karena nafsu binatangku yang tidak bisa kukendalikan saat kondisi mabuk.

Tetapi, ada yang membedakan. Aku masih bisa mengingat jelas apa saja yang terjadi di malam aku bercinta dengan Demi keesokan harinya. Walaupun tidak jelas, tapi aku bisa mengingatnya. Sedangkan dengan Disha, aku tidak ingat apapun. Sama sekali.

"Mas, aku cinta kamu," kata Disha tiba-tiba yang membuat mataku melebar. "Sejak dulu, aku selalu mencintai kamu, Mas Revan." Ucapnya bersamaan dengan setetes air matanya yang mengalir.

"Bicara apa kamu?" seruku tidak percaya.

"Kamu tidak sadar kan kalau aku mencintaimu sejak dulu hingga sekarang?" tanyanya tanpa mampu kujawab. Aku tidak pernah sadar kalau Disha memiliki perasaan cinta padaku selama ini. Dia terlihat sangat normal terhadapku. Normal selayaknya teman wanita biasa. "Kamu ingat kejadian malam itu?"

Aku diam berusaha mengingat kembali potongan memori malam itu. Namun, seperti sebelumnya, yang aku ingat adalah aku merasakan sakit kepala begitu hebat saat pesta berakhir. Tubuhku terasa begitu panas hingga mengeluarkan banyak keringat. Kepalaku nyeri hebat bagaikan dipukul berulang-ulang kali dengan sebuah tongkat.

Karena kondisiku itu, Disha akhirnya yang membawaku pulang. Karena aku tidak lagi mampu menyetir mobil sendiri. Tapi, entah apa yang terjadi hingga aku berakhir di apartemen dengannya. Bukan di rumah bersama dengan istriku.

"Aku hanya ingat sampai acara pesta berakhir"

Disha kemudian menarik napas dalam dan mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi malam itu.


***


Flashback

Pesta perayaan perusahaan dengan rekanan dari Jepang malam ini berlangsung dengan lancar. Semua berjalan sempurna, mungkin ada kurang di sana sini, tapi semua bisa teratasi dengan baik. Revan harap dengan begini, perlahan perusahaannya bisa mulai bangkit lagi dari krisis yang sudah terjadi selama hampir 3 tahun ini. Walaupun begitu, sedikit harapannya akan keberadaaan Demi disampingnya, untuk berbagi saat bahagia ini.

Tapi Revan maklum dengan kondisi Demi yang tidak sehat belakangan ini. Demi sering mual, pusing dan terlihat selalu lemas. Revan sedikit curiga istrinya itu hamil tapi melihat sikap Demi yang biasa saja, mungkin itu hanya perasaan Revan saja. Mungkin Demi tidak sehat karena belakangan ini dirinya membuat Demi stres dengan sikap tidak acuhnya itu.

Oleh karena itu, Revan sudah bertekad untuk membuat Demi kembali merasakan kebahagiaan dan perlahan hilang dari stresnya dengan kejutan yang telah disiapkannya untuk hari perayaan ulang tahun pernikahan mereka ke-10 esok hari. Semua sudah Revan rencanakan dengan matang-matang sejak beberapa hari lalu. Dia yakin, Demi akan sangat bahagia dan Revan bisa sedikit menebus kesalahannya pada wanita yang dicintainya itu.

"Mas Revan, kenapa senyum-senyum terus dari tadi?" tegur Disha yang berada di samping Revan dan menyadari atasannya itu sejak tadi tersenyum seperti orang kasmaran.

"Tidak apa-apa" kata Revan masih tidak bisa menghilangkan senyuman dari wajahnya. Mengingat Demi selalu membuatnya bahagia.

"Pasti mikirin istrimu ya?"

Revan hanya bisa terkekeh pelan. "Siapa lagi" jawabnya tanpa malu. "Aku ingin cepat pulang dan tidur sambil memeluk istriku"

"Ew, Mas tidak perlu menceritakan apa yang sedang kau pikirkan mengenai istrimu padaku. Aku tidak ingin mendengarnya" kata Disha sambil memberikan ekspresi geli.

"Kamu akan mengerti saat menikah nanti"

Disha terdiam sebentar sebelum akhirnya kembali bersuara. "Kamu bahagia?"

"Ya?" Revan tidak mengerti dengan pertanyaan Disha. Dia menatap Disha yang memandang Revan dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti. Seperti sedih dan juga terluka.

"Kamu bahagia dengan istrimu? Bukannya kamu dijodohkan?"

"Oh, kamu dengarnya begitu ya?" Revan tersenyum kecil mengingat masa lalunya. "Aku bahagia. Aku menemukan wanita yang bisa menerimaku apa adanya. Walaupun dia tahu seperti apa diriku di masa lalu"

"Dia tidak masalah dengan masa lalumu? Walaupun kamu uhm lelaki tidak benar dulunya?"

"Jauh sebelum kami menikah dia sudah tahu, bahkan tanpa aku memberitahukannya dia sudah bisa menebaknya. Aku sendiri tidak percaya saat dia bilang kalau dia tidak masalah dengan itu, karena yang terpenting baginya adalah bagaimana diriku saat ini"

"Atau istrimu dulu juga cewe seperti kamu?"

"Demi cewe playgirl?" Revan mendengus geli membayangkannya. "dia itu wanita polos yang tidak akan mungkin memikirkan hal seperti itu. Dia sangat polos seperti selembar kertas putih bersih, sebelum menikah denganku" Revan tertawa sendiri mengingat bagaimana liarnya Demi setelah menjadi istrinya. Sepertinya Revan berhasil membuka jati diri Demi sebenarnya yang selama ini terpendam di dalam dirinya. Untung saja itu semua terjadi saat mereka sudah menikah.

"Berarti kamu beruntung dong dapat cewe seperti itu menjadi istrimu?"

"Ya, aku sangat beruntung" kata Revan sambil tersenyum lebar. Disha tersenyum masam dan mengalihkan pandangannya ke depan lagi. "Ada apa? Kenapa kamu bertanya begitu? Kamu sedang menyukai seseorang?"

"Uhm, tidak. Aku tidak menyukai siapapun saat ini. Tidak lagi kurasa" jawabnya Disha menutupi perasaannya saat ini. Dia tidak berani menatap Revan karena takut air matanya mengalir dan Revan melihatnya. Melihat kebahagiaan di wajah Revan, Disha merasa tidak rela. Dia merasa marah dan juga terluka melihat rona bahagia yang terpancar dari wajah Revan sejak dia berbaikan dengan istrinya.

Walaupun Revan tidak pernah menceritakan mengenai rumah tangganya, tapi Disha yang mengenal Revan lama tahu kalau beberapa minggu yang lalu, Revan dan istrinya sedang ada masalah. Revan terlihat selalu menghindari topik mengenai istrinya dan sering melamun saat tidak ada orang di sekitarnya. Walaupun tidak diperlihatkan, dalam hatinya, Disha puas melihat Revan tidak bahagia dengan pernikahannya. Disha berpikir kalau Revan memang tidak pernah mencintai istrinya sama sekali. Karena mereka dijodohkan.

Tapi seminggu yang lalu, tiba-tiba dia muncul dengan wajah sangat bahagia yang terlihat konyol bagi Disha. Revan bahkan tidak bisa berhenti memuji atau sekedar membicarakan istri tercintanya itu. Dan malam ini, Disha sudah muak akan hal itu. Dalam kepalanya, sudah ada rencana jahat untuk membuat Revan kehilangan kebahagiaannya. Membuatnya sama menderita dengan dirinya.

"Mas, mau minum? Aku haus"

"Biar aku ambilkan, kamu mau apa?"

"Tidak apa, biar aku saja. Aku bosan berdiri di sini"

"Hahaha kamu bosan mendengarku ya?"

"Yah, itu juga"

"Aku mau soda saja"

"Oke, bos". Disha kemudian pergi mencari minuman, sedangkan Revan masih berdiri di tempat yang sama memperhatikan jalannya acara malam ini. Revan tidak tahu bahwa Disha memasukkan sesuatu di dalam minumannya saat itu. Saat Disha kembali menghampiri Revan, dia memasang senyum terbaiknya agar Revan tidak curiga.

"Ini minumanmu" kata Disha menyodorkan segelas soda.

"Thanks"

Dalam hatinya Disha tersenyum puas melihat Revan yang meminum habis seluruh isi gelas yang diberikannya. Hanya menunggu waktu hingga obat itu pun mulai beraksi.

***

"Mas, pucat sekali" kata Disha cemas sambil melihat Revan

Acara sudah selesai dan mereka baru saja mengantarkan ke depan tamu terakhir yang hadir. Sejak tadi Revan memijit pelan pelipisnya untuk menghilangkan sakit kepala yang sejak sejam lalu melanda. Sakit kepala yang sama yang biasa dia rasakan setelah mabuk semalaman. Revan duduk di kursi dan memejamkan matanya mencoba menghilangkan pusing yang semakin hebat. Disha melihat kondisi Revan dengan cemas, seharusnya bukan seperti ini efek obat yang dia berikan. Seharusnya obat itu membuat Revan mabuk seperti mengkonsumsi alcohol. Tapi ternyata di tubuh Revan efeknya berbeda.

"Kepalaku pusing. Rasanya ruangan berputar"

"Mau kuantar ke rumah sakit?"

"Tidak usah. Carikan aku taxi saja. Aku akan pulang ke rumah dan beristirahat"

"Jangan, Mas. Bahaya naik taxi saat kamu lemah begini. Lebih baik aku mengantarmu"

"Sudah malam. Aku tidak ingin kamu terlalu malam pulang"

"Tidak apa-apa. Aku tidak tenang kalau Mas sendirian pulang, lagian nanti kalau Demi bertanya kenapa aku meninggalkanmu, aku harus jawab apa?"

"Oke" kata Revan akhirnya. Dia sudah tidak bisa berdebat karena sudah kesakitan.

Karena Disha tidak tahu dimana rumah Revan, akhirnya dia membawanya ke apartemen. Disha bahkan harus memapahnya ke dalam apartemen karena Revan tidak bisa berdiri dengan tegak lagi karena terlalu pusing. Disha membawanya ke kamar tidur Revan dan dengan cepat mencari obat penghilang sakit di dapur.

"Mas, ini minum obatnya"

Revan mengambil tablet kecil dari tangan Disha dan menelannya tanpa air. Revan kembali berbaring dan memejamkan matanya namun dia teringat Demi yang menunggunya pulang.

"Dis, aku belum bilang Demi kalau menginap di sini"

"Nanti aku yang telepon. Mas tidur saja sekarang"

"Jangan lupa kasih tahu dia. Dia gampang panik soalnya"

"Oke"

Tidak lama Revan pun terlelap. Disha tidak bisa pulang begitu saja karena takut terjadi apa-apa pada Revan. Dia bahkan menelepon orang yang memberikannya obat tersebut dan menceritakan kondisi Revan saat ini. Saat mengetahui kalau Revan akan mengalami demam tinggi tidak lama setelah itu, Disha memutuskan untuk tetap berada di sisi Revan menjaganya.

Seperti yang sudah di perkirakan, sekitar tengah malam suhu tubuh Revan pun mulai meninggi. Dia mulai tidak tenang dalam tidurnya dan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Disha perlahan membuka kemeja yang masih melekat di tubuh Revan yang sudah dibasahi keringatnya, begitu pula dengan celana panjangnya. Disha hanya meninggalkan boxernya.

Dengan telaten Disha merawat Revan. Ini semua salahnya hingga Revan bisa menjadi sakit seperti ini. Selain itu, Disha pun tidak tega melihat Revan kesakitan. Saat demamnya semakin tinggi, Revan pun mulai mengigau tidak jelas.

"Mas, apa kita ke dokter saja?" tanya Disha semakin cemas. Dia takut obat itu memberikan efek berbahaya bagi tubuh Revan. Dia tidak ingin Revan kenapa-napa atau bahkan meninggal karenanya.

"Uh ... Mi"

"Apa? Kamu mau minum?"

Disha langsung melesat ke dapur dan mengambil segelas air putih. Dia pun mencoba menegakkan badan Revan sedikit agar bisa meminum air di gelas yang dibawanya. Setelah itu Revan kembali berbaring kesakitan. Wajahnya terus menerus meringis dan panasnya semakin tinggi. Dia sangat tersiksa saat ini.

"Argh" geram Revan kesekian kalinya dengan napas pendek-pendek.

"Sakit ya, Mas? Maafin aku ya. Aku ga bermaksud bikin kamu begini" kata Disha sambil melap keringat dengan handuk di dahi Revan dan menggenggam tangannya yang terkepal kencang.

Revan tidak membuka matanya sejak tadi, dia hanya meringis dan mengerang kesakitan. Ini bukan lah demam biasa. Dia seperti merasa kepanasan saat ini.

"Demi" panggil Revan lirih di sela erangannya. "Badanku sakit sekali, Sayang" desisnya pelan.

Tubuh Disha menegang mendengar Revan yang lagi-lagi menyebut nama istrinya. Bahkan di saat dirinya lah yang berada di samping Revan saat ini. Bagi Revan, hanya Demi yang selalu diingatnya. Kabut hitam yang tadinya sudah hilang dari dalam pikirannya muncul kembali. Disha kembali merasakan perih akibat sikap Revan.

Revan terus menerus memanggil nama istrinya dengan lirih. Dada Disha terasa semakin sesak mendengar nama itu terus menerus keluar dari mulut Revan. Ekspresinya yang tadinya cemas dan merasa bersalah berubah menjadi dingin dan penuh dengan kebencian. Perlahan dia melepaskan gaun yang menutupi tubuhnya sejak tadi, meninggalkan lingerie hitam yang membuatnya terlihat seksi. Tapi Revan tidak melihat itu semua, karena dia masih berjuang melawan sakit di tubuhnya. Disha kemudian duduk di sebelah Revan di tempat tidur dan mengelus wajah Revan yang dipenuhi peluh dengan lembut. Jemarinya menelusuri pipi, rahang, dan akhirnya bibir Revan, yang selalu membuatnya penasaran untuk mencicipinya.

"Yang mana yang terasa sakit, Yang?" katanya berusaha keras terdengar seperti Demi, walaupun dia tidak tahu persis seperti apa suara Demi saat sedang berbicara dengan Revan. Karena mereka baru bertemu dua kali selama ini.

"Se-semuanya" jawab Revan terengah.

Disha menatap Revan yang masih kesakitan dan mendekatkan tubuhnya ke Revan. Tubuhnya terasa merinding ketika bersentuhan dengan kulit Revan walaupun hanya sedikit. Jari-jarinya yang tadinya mengelus bibir Revan lembut, perlahan turun ke dada Revan yang bidang dan kemudian perutnya yang rata. Disha berusaha memberikan Revan rangsangan di tubuhnya yang masih merasakan kesakitan itu.

"Di sini?"

Revan tidak menjawab karena dia mengerang keras karena merasakan panas yang semakin membakar tubuhnya. Disha meletakkan tangan kirinya di atas perut Revan dan mengelus-elus perutnya dengan lembut. Tangan kanannya menopang tubuhnya yang membungkuk di atas Revan.

Disha menundukkan wajahnya semakin dekat ke Revan. Menatap wajah tampannya yang tidak dimakan usia walaupun sudah bertahun-tahun sejak dia melihatnya terakhir kali dulu. Tidak berubah sedikit pun ketampanan itu, bahkan dia terlihat semakin menarik dengan kedewasaannya sekarang.

"Atau ... di sini?" kata Disha mulai menggerakkan tanggannya memasuki boxer Revan. Berusaha menyentuh daerah pribadi Revan yang selama ini hanya istrinya yang bisa melihat dan menyentuhnya. Bibir Disha hampir saja menyentuh bibir Revan dan tangannya sudah setengah masuk ke dalam, tapi tiba-tiba Revan membuka matanya dan tangan kanannya mencekal tangan Disha yang berada di dalam boxernya.

"Kamu ... bukan Demi" kata Revan dengan napas terputus-putus dan wajah memerah. Revan mendorong pelan tubuh Disha dari atasnya dan menarik tangan Disha, kemudian meletakkannya di sisi tubuhnya. "Jangan menyentuhku" desisnya sebelum kembali memejamkan matanya.

Tidak lama Revan tidak sadarkan diri. Walaupun badannya masih sangat panas tapi dia sudah tidak kesakitan seperti tadi tapi saat ini, Disha lah yang merasakan kesakitan luar biasa di hatinya. Dia sakit dengan penolakan Revan. Disha pun bersumpah akan membuat Revan menderita dan merasakan sakit yang dirasakannya saat ini.

Flashback end


"Kenapa?" tanyaku tidak mengerti. "Kenapa kamu begitu ingin menjebakku, Disha?"

"Aku ingin Mas tersiksa karena berpikir telah melakukan hubungan intim denganku dan mengkhianati istrimu. Aku ingin kamu menderita karena perasaan bersalah. Karena aku yakin kamu tidak akan mengatakan kejadian itu pada istrimu." Matanya perlahan berkaca saat menatapku. "Karena aku tahu, Mas tidak akan mau kehilangan dia. Sehingga dengan Mas menutupi semuanya, Mas akan menderita hingga akhir hayatmu. "

Aku sudah akan bertanya saat dia bersuara kembali.

"Tapi aku tidak menyangka kalau istrimu muncul dan melihat kita. Itu di luar perkiraanku sama sekali." Disha terlihat sangat menyesal saat bicara mengenai Demi. "Aku tidak pernah bermaksud membuatnya tersakiti. Aku hanya ingin kamu yang menderita, bukan orang lain."

"Aku tidak mengerti. Kenapa kamu begitu ingin melihatku menderita?" Kenapa orang yang aku anggap teman selama ini, ingin membuat hidupku sengsara?

"Aku terobsesi padamu sejak masuk SMA." Mataku langsung melebar mendengarnya. Sudah selama itu dia menaruh hati padaku? Kenapa aku tidak pernah sadar? "Berharap suatu hari nanti, kamu menyadari keberadaanku dan jatuh cinta padaku. Tapi nyatanya bagimu aku tidak cukup menarik untuk dijadikan pacar bahkan sekedar wanita pemuas nafsumu. Kamu hanya menganggapku teman. Hanya teman." Ku lihat air mata mulai menggenang di ujung matanya. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air matanya.

"Itu karena kamu terlalu berharga untuk itu, Dis. Kamu wanita baik-baik dan aku tidak mau merusak dirimu. Karena aku lelaki brengsek. Kamu tahu seperti apa aku dulu."

"Kalau aku memang lebih baik, kenapa Mas tetap memilih wanita lain?" serunya dengan wajah yang memerah. "Seberapa keras pun aku berusaha untuk menjadi wanita yang lebih baik agar kamu bisa melihatku, semua tidak pernah berarti. Kamu lebih tertarik dengan wanita bodoh yang hanya mengandalkan tubuh dan kecantikan."

"Karena aku tidak pernah tertarik menjalin hubungan serius. Setidaknya saat itu. Karena itu aku memilih wanita seperti itu. Karena aku yang brengsek dulu, bisa dengan mudah mencampakkan mereka. Hal yang tidak akan pernah mungkin aku lakukan padamu."

Disha menghapus air matanya yang mengalir dan menarik napas dalam.

"Itu karena aku bukan lah wanita yang bisa membuatmu jatuh cinta. Aku bukan lah wanita yang istimewa hingga mampu menyentuh hatimu, Mas," ucapnya terdengar begitu kecewa. "Aku terus bersabar berada disisimu, menunggu kamu berpaling padaku. Tapi tidak ada yang terjadi sampai akhirnya kamu lulus dan menghilang begitu saja. Kamu bahkan tidak pernah menghubungiku lagi. Seperti yang aku duga, aku memang tidak ada artinya bagimu."

Aku memang terlalu egois dulu. Aku selalu berpikir, diriku lah yang paling penting. Bahkan keluargaku hanya nomor sekian dalam daftar prioritasku. Apalagi teman-temanku.

"Sepeninggalanmu aku seperti hilang arah, aku tidak tahu lagi apa yang mau aku kejar. Karena selama ini semua yang kulakukan adalah untuk kamu. Agar kamu bisa mencintaiku. Di usiaku yang ke 35 tahun, aku tidak punya siapapun yang mencintaiku. Aku menutup hatiku untuk merasakan cinta yang baru karena aku takut. Aku takut tersakiti lagi, seperti bagaimana kamu menyakiti aku dulu, Mas."

Disha menghela napasnya dan menatapku dengan mata sendunya yang basah dan merah.

"Saat aku tahu Mas sudah menikah dan bahagia dengan istrimu, saat itu amarahku muncul. Aku tidak terima karena Mas yang dulunya selalu mempermainkan hati wanita bisa mendapatkan kebahagiaan. Mas yang dulunya menolak mentah-mentah cinta yang aku berikan, bisa mencintai seorang wanita begitu dalamnya."

Air mata lagi-lagi mengalir dari kedua matanya.

"Sedangkan aku, seumur hidupku tidak pernah ada yang bisa mencintaiku tulus. Tidak pernah ada. Apa salahku? Kenapa nasibku seperti ini? Memikirkan itu, aku pun bermaksud menghancurkan kebahagiaan Mas. Aku ingin Mas juga menderita sepertiku. Aku ingin Mas juga merasakan sakit yang aku rasakan selama ini. Sakit karena penolakan dan juga karena putus asa."

Disha pada akhirnya menangis tersedu. Perasaan bersalah semakin menggerogoti diriku. Aku membuat banyak orang menderita karena diriku. Aku menganggap perhatian dan kebaikan Disha dulu karena dia menganggapku teman. Aku tidak pernah berpikir lebih dari itu. Aku tidak menyadari bahwa ada wanita yang benar-benar mencintaiku.

Namun, satu yang aku yakini. Seandainya pun aku menyadari perasaannya, aku tidak akan pernah bisa melihatnya lebih dari seorang saudara. Karena bagiku, Demi lah satu-satunya wanita yang ditakdirkan Tuhan sebagai pendamping hidupku. Hanya dia. Tidak ada wanita lainnya.

"Aku minta maaf karena tidak pernah menyadari perasaan kamu. Aku selalu bersandar dan berkeluh kesah padamu tanpa tahu kamu memendam perasaan padaku. Maafkan aku, Disha."

"Nggak, Mas. Aku yang salah. Amarah menutup mata hatiku, membuatku melakukan hal yang tidak seharusnya. Padahal Mas selalu baik padaku sejak dulu dan tidak pernah berubah. Aku hanya iri padamu. Iri pada kebahagiaanmu. Maafkan aku, Mas."

"Disha, kamu wanita yang memiliki banyak daya tarik dan hati yang baik. Banyak lelaki yang pasti ingin memiliki cintamu, hanya saja kamu harus lebih percaya diri. Karena kebahagiaan tidak akan datang begitu saja. Kita sendiri lah yang menentukan apakah kita ingin bahagia atau tidak." Aku tersenyum masam sambil menatap pigura berisikan foto Demi. "Saat mengenal istriku aku memilih untuk hidup bahagia bersamanya dan sejak itu pula aku berusaha agar menjadi lelaki yang lebih baik bagi dirinya. Lelaki yang pantas untuknya."

Walaupun pada akhirnya aku gagal.

"Aku baru menyadarinya sekarang. Setelah semua ini terjadi. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk memperbaiki hubungan kalian. Aku sudah berusaha berbicara dengan istrimu tapi dia tidak pernah mau mendengarku. Apa yang bisa kulakukan untukmu, Mas?"

"Tidak ada. Tapi terima kasih karena kamu sudah berusaha, Dis."

"Tapi-"

"Terima kasih sudah jujur padaku dan berbahagialah. Kamu berhak untuk itu."

Dia tersenyum tipis terakhir kalinya sebelum pergi dari ruanganku tidak lama setelah itu.

Satu kenyataan yang akhirnya aku tahu, tidak ada yang terjadi malam itu. Aku sangat lega mendengarnya, tapi tetap saja hal itu tidak akan membuat Demi percaya begitu saja. Dia pasti menganggapku dan Disha bersekongkol. Karena Demi sudah terlalu benci padaku.

Aku hanya bisa berharap Tuhan membuka sedikit saja pintu hati Demi agar mau menerima penjelasanku dan permintaan maafku. Sehingga dia mau menerimaku kembali.


TBC

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 37.8K 19
[SEBAGIAN PART DALAM MODE PRIVATE] "Kalau memang itu yang harus saya lakukan, secepatnya saya akan urus perceraian saya-" Kaki Anjani melemas...
3.6M 561K 59
Alana dan Elang sudah saling kenal sejak keduanya masih sangat kecil. Terbelenggu pada label persahabatan yang mereka sematkan satu sama lain sedari...
3.1K 353 12
Di pagi yang cerah, bunga sakura tumbuh dengan subur. Satu persatu bunga sakura gugur tertiup dan terhempas angin. Tercium wangi musim semi, awal dar...
133K 12.1K 15
(Romantic Comedy) #4 HelloExUniverse Santa Koeswoyo adalah perempuan ceroboh yang tidak pernah bisa move on dari sosok Blue Soedarjo, si badboy gadun...