BAB 14

75.2K 5.2K 232
                                    

REVAN

Aku terduduk lemas di sofa menatap kosong ke monitor TV yang tidak menyala. Sudah sejam berlalu sejak anak-anak dan Demi pulang. Suara tawa dan celoteh yang memenuhi rumah ini tadi, sekarang hilang tak bersisa. Rumah ini kembali sepi seperti sebelumnya. Sepi tanpa ada suara-suara yang menandakan ada orang yang hidup di dalamnya.

Mulai sekarang, aku harus membiasakan diri hidup seperti ini. Sendiri tanpa siapapun.

Ucapan Demi, mengenai kemungkinan diriku akan mencari wanita lain setelah resmi bercerai, kembali terlintas. Mungkin dia ada benarnya. Tidak mungkin aku bisa hidup sendirian terus seperti ini sampai aku mati nanti. Hanya beberapa bulan saja aku rasanya mau gila. Pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, tanpa ada suara tawa dan ocehan anak-anak, tanpa ada istri yang memeluk dan melayaniku. Mungkin aku tidak akan kuat.

Tapi apa bisa aku mencintai wanita lain seperti aku mencintai Demi? Apa ada wanita di luar sana yang bisa sesempurna Demi? Apa ada wanita di luar sana yang bisa mencintaiku sebesar cinta yang diberikan Demi padaku? Aku rasa tidak ada.

Jadi intinya, aku memang akan hidup sendiri. Seperti dulu, saat aku masih melajang. Dulu aku bisa hidup tanpa siapapun. Tapi kenapa sekarang rasanya sangat berat?

Aku kemudian bangun dari sofa, berjalan menuju dapur untuk mengambil air dingin. Tenggorokanku terasa begitu kering dan aku butuh air apapun saat ini. Saat aku membuka kulkas, makanan sudah memenuhi kulkas. Padahal tadi tidak ada satu bahan makanan pun di dalam kecuali botol air mineral. Aku memang jarang memasak di sini. Karena biasanya makan di luar.

Demi rupanya mengisi lengkap segala bahan makanan ke dalam kulkas. Bahkan dia membelikanku beberapa kotak susu dan jus, soda, buah-buah potong dan puding. Dia menyiapkan segala macam makanan ringan yang aku sukai. Kenapa dia masih juga memperhatikan kebutuhanku saat kami sudah diambang perceraian? Seharusnya dia biarkan saja aku mati kelaparan.

Aku ambil sekaleng soda dan kue ulang tahunku yang masih tersisa cukup banyak. Aku lapar karena sejak tadi belum makan. Terakhir kalinya tadi siang saat makan bersama anak-anak. Aku mengambil garpu dan membawa semuanya ke ruang TV. Kuletakkan kue di atas meja, di samping kado yang diberikan anak-anak yang belum sempat aku buka.

Setelah meneguk setengah kaleng soda tanpa jeda, aku membuka satu persatu kado dari anak-anak. Kalau Demi tahu aku minum soda sebelum makan, dia pasti akan mengamuk. Tapi sekarang tidak akan ada lagi yang menegur atau mengingatkanku. Tidak akan ada lagi yang memperhatikanku. Karena aku hanya sendiri.

Kado pertama dari Livie. Dia memberikan syal buatannya sendiri. Di umurnya yang semuda itu, Livie sudah begitu pandai membuat kerajinan seperti ini. Kado dari Rion adalah kartu namaku dengan tulisan tangannya yang lucu. Sedangkan Devan dan Dee membelikanku tas kerja yang sudah lama aku inginkan, aku yakin dengan Demi menambah kekurangannya.

Aku sangat senang dengan hadiah-hadiah pemberian mereka. Sebelum menikah dengan Demi, aku tidak pernah merayakan ulang tahun atau menerima kado. Bagiku ulang tahun sama saja dengan hari lainnya. Makanya saat ini aku merasa sangat bahagia karena keluargaku merayakannya untukku. Belum lagi anak-anak yang memberikanku hadiah yang dilimpahi cinta mereka.

Tuhan sangat berbaik hati padaku dan Demi hingga memberikan empat anak luar biasa pada kami berdua. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang memiliki hati mulia dan budi pekerti luhur. Walaupun mereka tidak selalu sempurna tapi bagiku dan Demi, mereka anak terbaik yang kami miliki dan kami sangat bersyukur memiliki kesempatan menjadi orang tua mereka.

Perutku yang mulai bergemuruh membuatku meraih garpu dan memotong asal kue yang sejak tadi ada di hadapanku. Kuenya sudah mulai lembek karena terlalu lama di luar, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin mengganjal perut sementara. Lagipula rasanya tetap saja enak seperti biasa.

[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now