BAB 12

144K 5.9K 283
                                    

Siang ini ngantuk banget. Ini posting dalam keadaan setengah sadar haha. Silahkan dinikmati!


---


DEMI

Aku melangkah dengan pasti mendekati resepsionis yang berada di bagian depan kantor. Kemudian menarik napas dalam, mempersiapkan hatiku untuk menemui dia yang sudah lama tidak kulihat.

"Permisi, Pak Revan ada?" tanyaku pada security.

Lelaki paruh baya itu menengadahkan kepalanya dan menatapku. Raut tegasnya berubah saat menyadari siapa yang saat ini berdiri dihadapannya. "Oh, Ibu Demi. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum mengembang.

"Baik, Pak," jawabku tersenyum simpul. Aku mengenalnya karena saat bekerja dulu, dia pun menjadi security di lantai yang sama denganku. Bahkan sejak aku belum menikah dengan Revan. "Bapak sendiri bagaimana kabarnya?"

"Sehat, Bu," jawabnya dengan senyum hangat menghiasi wajah tegasnya. "Pak Revan ada kok, Bu. Ibu langsung masuk saja."

"Makasih ya, Pak."

Aku pun melangkah masuk ke dalam kantor Revan. Ruangan luas dengan tema minimalis ini, begitu sepi seperti biasa. Wajar saja mengingat Revan hanya berdua dengan asistennya di lantai ini. Saat semakin mendekati ruangan Devan, kulihat meja asisten yang kosong dengan tumpukan map di atasnya.

Disha rupanya sudah tidak lagi bekerja di sini. Revan pernah mengatakan Disha langsung mengundurkan diri tidak lama setelah kejadian itu. Mungkin malu atau merasa bersalah, dia memilih untuk menghilang dari hadapanku dan Revan. Hal yang bagus karena itu berarti dia punya kesadaran diri.

Langkahku terhenti beberapa meter dari pintu ruangan Revan. Jantungku berdegup semakin cepat saat aku sadar aku akan segera bertemu dengan dia. Tanganku bahkan terasa begitu dingin saat ini, berbanding terbalik dengan wajahku yang terasa begitu panas bahkan hingga ke telinga.

Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam. Meyakinkan diriku bahwa apa yang aku lakukan saat ini adalah tepat. Semua demi anak-anak. Dan juga demi diriku. 

Tujuanku datang hari ini adalah membicarakan pesta ulang tahun Revan yang sudah ribut diminta anak-anak sejak kemarin. Aku tidak mungkin membicarakannya lewat telepon, jadi aku sengaja datang ke sini. Selain itu ada hal lain yang mau kubicarakan dengan Revan.

Aku sudah berpikir masak-masak selama beberapa hari dan memutuskan untuk membatalkan perceraian kami. Aku akan memberikan Revan satu kesempatan memperbaiki kesalahannya. Mungkin tidak akan dengan cepat hubungan kami kembali normal tapi setidaknya kami mengusahakannya terlebih dahulu.

Aku memang belum bisa sepenuhnya memaafkan perselingkuhannya itu, hatiku masih teramat sakit bila mengingatnya, tapi aku sadar hanya karena satu kali dia berbuat seperti itu terlalu cepat bagiku untuk langsung memutuskan bercerai. Kalau kami masih hanya berdua saja mungkin tidak masalah tapi kami sudah memiliki anak-anak. Aku tidak bisa egois. Aku kasihan melihat mereka yang hanya bisa melihat Papanya di saat hari liburan saja. Mereka selalu protes kenapa Papa mereka tidak pernah lagi pulang ke rumah.

Lagipula ucapan Devan waktu itu menyadarkanku, aku seharusnya memberikan Revan satu kesempatan lagi untuk menebus perbuatannya. Kalau dia memang benar mencintaiku dan anak-anak kami, maka dia tidak akan lagi mengulangi perbuatannya. Tapi kalau dia melakukannya lagi, maka tidak akan ada lagi maaf dariku. Walaupun aku sangat mencintainya, tapi aku bukan wanita bodoh yang mau disakiti terus seperti itu.

Dan saat ini aku ingin menanyakan apakah dia masih mau memperbaiki pernikahan kami atau tidak. Bisa saja dia sudah tidak mau. Mungkin saja dia sudah memiliki wanita lain atau lelah denganku. Aku tidak tahu tapi aku sudah mempersiapkan diriku dengan apapun jawabannya nanti.

[2] Baby, Dont Cry [SUDAH DITERBITKAN]Where stories live. Discover now