It's Always Been You [Selesai...

By AludraSa

128K 9.9K 204

[ Completed - 22 Juli 2017 ] Faine Armajaya menghabiskan satu tahun belakangan menjalin hubungan tanpa status... More

Hai!
Blurb
Prolog
Bab 1 - Sebuah Pertemuan
Bab 2 - Tuan Baik Hati
Bab 3 - Kikuk
Bab 4 - Tertampar Kenyataan
Bab 5 - Patah
Bab 6 - Kejutan
Bab 7 - Rayuan
Bab 8 - Sebuah Kegilaan
Bab 9 - Usaha Tanpa Akhir
Bab 11 - Perlahan
Bab 12 - Tuan Penggoda
Bab 13 - Api
Bab 14 - Penyesalan
Bab 15 - Kekacauan
Giveaway!

Bab 10 - Gerak Cepat

4.9K 620 6
By AludraSa

     Cinta butuh perjuangan, katanya begitu. Demikianlah yang kini tengah dilakukan oleh Arbie. Setelah meninggalkan kantor tepat ketika jam pulang tadi, sampai membuat Tita mengernyitkan kening padanya, Arbie sekarang terdampar di lobi gedung Faine kerja. Jarak kantornya memang tidak begitu jauh, masih di daerah yang sama.

     Rutinitas mengantar-jemput Faine telah dilakukannya selama satu minggu belakangan. Gadis itu awalnya memang sempat menolak, ketika akhirnya motor miliknya telah selesai diperbaiki. Namun, dengan sedikit bantuan Kafin, Arbie berhasil meminta—kalau tidak mau disebut memaksa—agar Faine bersedia duduk manis di sisinya dalam perjalanan menuju kantor.

     Arbie memejamkan mata seusai membalas pesan Faine. Beberapa saat yang lalu gadis itu menghubunginya, mengatakan bahwa masih akan melanjutkan pekerjaan-yang-entah-apa karena diminta bosnya. Salah satu sudut hatinya merasa terganggu dengan fakta bahwa bos yang dimaksud Faine adalah Steve.

     Beban dalam hati Arbie sedikit berkurang ketika lebih dari setengah jam kemudian ia melihat sosok Faine keluar dari dalam lift. Gadis itu melangkah tergesa, meninggalkan Diana yang tampak kebingungan. Di belakangnya, mengekor sosok Steve.

     "Faine!" panggil Arbie. Tungkainya melangkah lebar-lebar mengikis jarak yang ada. Dua manusia tersebut menatapnya dengan pandangan serupa: terkejut. Bedanya, Steve tampak tidak senang.

     "Udah selesai kerjanya? Mau makan dulu atau langsung pulang?" tanya Arbie begitu tiba di depan Faine. Ia beralih menatap Steve. "Oh, maaf," ia memasang wajah terkejut, "saya nggak sopan. Perkenalkan, saya Arbie, calon suaminya Faine." Ia mengulurkan tangan, mengabaikan Faine yang membelalak padanya.

     Arbie tidak mempedulikan kalimatnya yang terkesan sangat-enggak-banget. Mungkin jika Tita mendengarnya, temannya itu akan habis meledeknya sebagai laki-laki yang posesif. Selama bukan Faine yang melabelinya dengan kata itu, Arbie tidak keberatan.

     "Saya Steve—"

     "Atasan aku," sela Faine. "Saya pamit duluan ya, Mas Steve. Permisi." Ia meraih lengan Arbie, kemudian bergegas menarik lelaki itu untuk hengkang dari sana.

     "Aku enggak keberatan sih kalau kamu mau terus ngegandeng tanganku," kata Arbie setelah beberapa saat mengekori Faine.

     Tersadar, Faine menjauhkan tangannya. "Sorry," ucapnya kikuk.

     Sudut-sudut bibir Arbie terangkat. Tangannya terulur. Kini, tautan bukan lagi lengan dengan lengan, tapi antara jari-jemari. "Aku enggak keberatan," ulang Arbie pada Faine yang memandanginya terkejut. "Aku barusan cuma mau bilang, sebelum kita makin jauh, mobilku diparkirnya di arah yang berlawanan."

     Semburat merah perlahan muncul di pipi Faine. Hal tersebut membuat senyum Arbie makin menjadi. Dengan pelan ditariknya Faine agar mengikuti langkahnya. Sesekali ia melirik tautan tangan mereka, serta Faine yang memalingkan wajahnya.

     "Kalau nikahan kita dimajuin, kamu keberatan enggak?"

***

     Menghembuskan napas dengan berat, Faine menatap kembali pada cermin di depannya. Seketika itu juga bidang pandangnya dipenuhi oleh seorang gadis yang mengenakan gaun warna putih. Lekuk tubuh bagian atas gadis dalam cermin tersebut tercetak jelas. Kedua lengannya dibalut bahan brokat yang memanjang hingga pergelangan. Leher jenjangnya sedikit tertutupi oleh kerah tegak dari bahan yang sama. Dada hingga pinggangnya ditutupi oleh kain satin. Bahan yang sama dijadikan rok yang memanjang hingga menutupi ujung kakinya.

     Faine menghela napas. Kontras dengan gaunnya yang memikat, wajahnya tampak kuyu. Matanya menyorot hampa pantulan dirinya di cermin.

     Harusnya, setelah beberapa kali berurusan dengan Arbie, Faine paham bahwa lelaki itu tidak pernah main-main dengan kalimatnya. Entah bagaimana, pernikahan mereka yang seharusnya digelar enam bulan lagi, mendadak dipangkas jadi seperempatnya. Faine yang sejak awal menyerahkan semuanya pada Arbie, benar-benar tidak paham bagaimana lelaki itu melakukannya.

     Kini, tanpa terasa waktu tersebut berlalu. Hanya dalam hitungan jam, statusnya akan berganti dari 'single' menjadi 'married'.

     "Anak Mama cantik banget!"

     Pandangan Faine beralih ke Mama yang berdiri di sebelah kanannya. Wanita yang telah melahirkannya itu menatapnya dengan penuh haru. Antusiasme Mama akan rencana pernikahan Faine-Arbie tidak berkurang barang sedikit pun. Bahkan rasanya, semakin bertambah setiap harinya.

     "Tante di dandanin dulu ya di sebelah sana." Diana yang sejak tadi juga berada di kamar ganti tersebut, mengarahkan Mama menjauh dari Faine. Setelah memastikan wanita tersebut disibukkan dengan penata rias, ia kembali lagi ke Faine.

     "Kalau gue kabur sekarang, kira-kira bakal gimana ya, Di?"

     "Jangan aneh-aneh!" omel Diana. "Ijab kabul udah di depan mata, Fai." Ia berkacak pinggang. Netranya menatap Faine tak habis pikir. Meskipun ini bukan kali pertama temannya itu berkata demikian, Diana masih gagal paham.

     Selain Kafin, Diana adalah saksi hidup yang melihat hubungan Faine-Arbie jalan di tempat. Bukannya Arbie tidak berusaha, tapi Faine yang terus berulah. Ibarat kata, Arbie mengambil satu langkah mendekat, Faine mundur dua langkah menjauh. Selalu begitu.

     Setengah jam kemudian Faine pasrah diiringi Diana menuju aula gedung yang menjadi tempat akad sekaligus resepsi pernikahannya. Di tengah, Arbie menunggu dengan seulas senyum.

     Sayangnya, senyum tersebut sama sekali tidak menular pada Faine.

***

     Setelah seharian disibukkan dengan urusan pernikahan, Faine-Arbie kembali ke kediaman orang tua Faine. Dibandingkan rumah Arbie, jarak rumah orang tua Faine lebih dekat dengan gedung acara.

     "Kamarmu beda banget sama Kafin, ya," komentar Arbie. Ia sudah berulang kali bertandang ke kamar Kafin yang terletak berhadap-hadapan dengan kamar Faine. Selama itu pula, ia tidak pernah menyangka bahwa akan tiba masanya ia bisa bertandang ke kamar Faine. Bukan hanya melihat isinya, tapi juga jadi penghuni barunya.

     Kamar tidur Faine sama besarnya dengan milik Kafin. Nuansanya saja yang berbeda. Jika kamar Kafin didominasi oleh warna cokelat, kamar Faine berkisar putih-abu-hitam. Hanya seprai yang membungkus kasurnya saja yang menyuguhkan warna lain, merah muda.

     Hanya saja, Faine yakin betul bukan hal-hal tersebut yang dikomentari Arbie. Lelaki itu pasti merujuk pada benda tipis warna merah yang diatur hingga membentuk hati di tengah ranjang. Kelopak mawar tersebut juga ditabur di beberapa tempat. Selain itu lilin-lilin elektrik diletakkan di beberapa tempat—lantai, meja, rak buku.

     "Ini ulah Diana," ujar Faine cepat sebelum dijadikan tersangka. Ia beranjak, hendak membersihkan kekacauan tersebut.

     "Biar aku aja yang beresin. Kamu mandi sana."

     Sebelum Faine sempat protes, Arbie telah lebih dahulu menggapai lilin serta kelopak mawar. Tidak punya pilihan lain, akhirnya Faine menurut. Menyingsing gaun yang dikenakannya, ia menyelinap ke balik pintu kamar mandi.

     Faine merasa cukup beruntung karena gaun yang dikenakannya mudah untuk dilepas. Setidaknya ia tidak harus merepotkan Arbie untuk dimintai tolong. Lagi pula, membayangkannya saja Faine sudah bergidik ngeri.

     Kegiatan bersih-bersih Faine memakan waktu lebih lama dari biasanya. Bukan karena sibuk luluran, melainkan sibuk menenangkan hati. Netranya tidak lepas dari pintu. Di balik pembatas tersebut, ada sosok Arbie. Faine sudah lebih dari cukup umur untuk mengerti bahwa setelah pernikahan ada hak dan kewajiban.

     Tapi ia tidak siap. Sama sekali.

***

     Kursi di meja makan pagi itu sudah penuh ketika Faine dan Arbie bergabung untuk sarapan. Tiga pasang mata yang ada—Mama, Kafin, Ravina—kompak memandangi mereka. Faine berusaha mengalihkan pandangannya ke berbagai hidangan yang ada.

     "Nanti berangkat jam berapa ke Bali?"

     Tangan Faine yang hendak meraih sendok nasi, berhenti bergerak begitu saja. Dalam hati ia merutuk karena lupa sama sekali tentang keberangkatannya ke Bali nanti. Rencana untuk bulan madu. Awalnya Faine sempat menolak. Namun, Arbie telanjur mengambil cuti dari jauh-jauh hari. Jadi, mau tak mau Faine melakukan hal serupa.

     "Penerbangannya jam setengah sepuluh, Ma," sahut Arbie. "Tapi mungkin nanti kita berangkat lebih cepat, soalnya aku perlu mampir ke kantor sebentar."

     "Asli, workaholic banget lo ya, Ar. Lo ke Bali buat honeymoon, bukan business trip."

     Sebagai respon atas kalimat Kafin barusan, Arbie hanya terkekeh. Kalau berjalan sesuai rencana, harusnya ia dan Faine akan menghabiskan total tiga hari di Bali. Hanya berdua, jauh dari siapa-siapa.

     Membayangkan berada di Bali hanya bersama dengan Arbie lantas membuat Faine panas dingin duluan. Meskipun selama ini Arbie sudah pelan-pelan melakukan pendekatan—baik berupa perhatian maupun sentuhan fisik seperti pegangan tangan—sebelum mereka menikah, Faine tetap belum terbiasa. Bongkah besar bernama canggung masih mendominasi Faine tiap kali berada di dekat Arbie.

     Malam tadi Faine cukup beruntung karena begitu keluar dari kamar mandi, Arbie tidak bicara apa-apa. Ia juga kemudian terlelap begitu saja di atas ranjang. Kemudian tahu-tahu saja pagi tadi dibangunkan oleh Arbie.

     Masalahnya, Faine tidak yakin hal yang sama akan terjadi di Bali. Ada cukup banyak waktu. Tanpa gangguan, tanpa halangan.

     "Kalian hati-hati ya di Bali," kata Mama ketika akhirnya sarapan usai.

     "Iya, Ma. Nanti kami kabarin kalau udah sampai di sana."

     Barusan itu yang menjawab adalah Arbie. Laki-laki itu sama sekali tidak terlihat canggung. Faine tidak paham sebenarnya, apakah karena pembawaan Arbie yang mudah beradaptasi, atau karena ada konspirasi.

     Faine menggeleng, menepis pikirannya yang mulai ngawur. Ia hendak mengangkuti piring kotor bekas makan ke dapur, namun Ravina telanjur mendahuluinya.

     "Kamu siapin baju buat ke Bali aja. Biar ini aku yang cuci," kata Ravina mengulas senyum pengertian.

     Sejak beberapa minggu yang lalu, Kafin dan Ravina kembali tinggal di rumah. Karena Faine akan ikut Arbie setelah resmi menikah dengan lelaki itu, maka Kafin-Ravina-lah yang akan menemani Mama di rumah.

     Faine menyeret kakinya menuju kamar. Beberapa langkah di depannya ada sosok Arbie. Mendadak komentar Diana mengenai tubuh suaminya itu terngiang.

     "Kenapa bengong aja di situ?" Arbie yang hendak membuka pintu kamar, menangkap sosok Faine yang menatapnya tanpa berkedip. Dihampirinya gadis itu, kemudian tanpa permisi ditangkupnya wajah Faine. "Aku enggak gigit, Faine, jadi enggak perlu takut pergi ke Bali berdua aja sama aku."

     Faine meringis, serba salah jadinya.

- - -

Continue Reading

You'll Also Like

1M 1.9K 17
WARNING!!! Cerita ini akan berisi penuh dengan adegan panas berupa oneshoot, twoshoot atau bahkan lebih. Untuk yang merasa belum cukup umur, dimohon...
339K 26.5K 57
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...
364K 19.6K 28
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
1M 44.2K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...