It's Always Been You [Selesai...

By AludraSa

128K 9.9K 204

[ Completed - 22 Juli 2017 ] Faine Armajaya menghabiskan satu tahun belakangan menjalin hubungan tanpa status... More

Hai!
Blurb
Prolog
Bab 1 - Sebuah Pertemuan
Bab 2 - Tuan Baik Hati
Bab 3 - Kikuk
Bab 4 - Tertampar Kenyataan
Bab 5 - Patah
Bab 6 - Kejutan
Bab 7 - Rayuan
Bab 9 - Usaha Tanpa Akhir
Bab 10 - Gerak Cepat
Bab 11 - Perlahan
Bab 12 - Tuan Penggoda
Bab 13 - Api
Bab 14 - Penyesalan
Bab 15 - Kekacauan
Giveaway!

Bab 8 - Sebuah Kegilaan

5.5K 688 10
By AludraSa

     Kabar pernikahan Faine menyebar begitu saja. Bahkan bukan hanya manusia di bagian keuangan saja yang tahu. Kemungkinan pelakunya hanya ada dua: Diana atau Steve. Tersangka yang jadi pilihan Faine jelas Diana. Ia tidak mungkin segila itu mendatangi Steve dan marah-marah ke bosnya itu, tanpa membawa bukti nyata. Bisa-bisa sumber pundi-pundi kehidupannya lenyap dalam sekejap.

     "Dinding kantor punya kuping, Fai. Lo enggak tau ya?" kilah Diana ngaco ketika Faine mengonfrontasinya. Faktanya, memang dia biang keroknya. Sengaja, supaya Faine tidak maju-mundur tidak jelas. Sekalian juga, supaya Steve tidak mengusik Faine lagi.

     Gosip yang melibatkan Faine semakin diperparah dengan kemunculan Arbie di dekat pintu gedung kantor, setiap hari, saat jam makan siang. Sosok lelaki itu langsung dikaitkan dengan Faine. Dengan cepat, tanpa perlu repot-repot mengumumkan, orang-orang satu kantornya tahu lelaki mana yang jadi 'calon suami Faine'.

     Telanjur basah, Faine hanya bisa mengikuti kekonyolan yang ia perbuat. Ia manut saja mengekori Arbie ke tempat pilihan lelaki itu untuk makan siang. Setiap kali itu pula, Diana mengekor. Bukannya membantu Faine untuk menyelesaikan kekacauan, temannya itu justru membuat Faine makin resah.

     "Besok udah weekend, Di. Gue harus gimana dong?" bisik Faine begitu Arbie meninggalkan meja mereka untuk memesan makanan.

     "Gue penasaran deh, Fai. Sebenernya yang bikin lo ketar-ketir tuh karena kaget Arbie buru-buru, atau karena masih nyimpen ... Steve?"

     Faine mengerjap cepat. Lidahnya mendadak kelu, hingga hanya bisa membisu selama beberapa saat. Ketika akhirnya kembali menemukan suaranya, Faine berujar, "Dia udah punya bini, Di. Jangan dibahas lagi." Dan gue harusnya udah move on dari dia, sesal Faine dalam hati

     "Nah, ya udah, lo sama Arbie aja."

     Dari sekian banyak orang, Diana yang paling kompor. Rasanya Faine ingin mengunci temannya itu di dalam lemari supaya tidak berisik.

     "Tuh lihat, di mana lagi lo bisa nemuin laki macam Arbie? Sopan, sweet, tajir, ganteng, plus body-nya—"

     "Stop!" sela Faine.

     "Akuin aja, doi superhot begitu."

     Untuk yang satu itu, Faine terpaksa mengakuinya. Dibandingkan Steve yang cenderung kurus dan mengkhawatirkan jika diterpa angin, tubuh Arbie memang terlihat lebih tahan banting. Sender-able banget.

     "Coba bayangin kalau lo jadi istrinya. Puas lo tiap hari melukin tuh badan, enggak perlu guling lagi!"

     "Diana!" Faine menoyor Diana, malu mendengarnya. "Kayaknya yang harus nikah duluan lo deh. Udah ngebet banget gitu," ejek Faine.

     Diana manyun. "Sayangnya cowok gue belum mau tuh."

     Tawa geli Faine kontan meluncur. Kisah percintaannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan milik Diana. Mantan yang dimiliki temannya itu cukup untuk membuat kesebelasan sepak bola, lengkap dengan pemain cadangannya. Sayangnya, tidak ada satu pun yang berakhir bahagia. Ada saja alasan yang diterima Diana tiap kali pacarnya minta bubar jalan.

     Beberapa saat kemudian Arbie kembali dengan satu nampan. Di atasnya terdapat piring-piring berisi batagor, siomay, dan ketoprak. Kedatangannya membuat obrolan Faine dan Diana terputus.

     "Seru banget sih ngobrolnya? Ini makanannya udah datang," katanya seraya meletakkan batagor di depan Diana, siomay di hadapan Faine dan ketoprak untuknya sendiri. Nampan ia letakkan begitu saja di bawah kursi, kemudian ia mendudukkan diri. "Ngobrolin apa?" tanyanya sambil mengaduk makan siangnya agar bumbu kacang tercampur rata.

     "Ngobrolin lo. Tepatnya, Faine ngeliatin lo mulu," ujar Diana tanpa dosa. Diabaikannya Faine yang membelalak mendengar ucapannya barusan. Ia mulai menyantap makan siang gratisnya. "Katanya Faine udah enggak sabar dilamar sama lo," ujarnya bohong di sela kunyahan.

     Faine menginjak kuat-kuat kaki Diana. "Sembarangan!"

     Diana meringis. Susah payah ia menelan makanan dalam mulutnya tanpa membuat diri sendiri tersedak. "Kalem dong, Fai, calon suami lo ngeliatin tuh," katanya, tidak kapok sama sekali.

     Makan siang itu kemudian didominasi oleh celotehan yang lebih banyak berisi godaan dari Diana. Faine sendiri memilih tidak menghiraukan godaan-godaan tersebut. Ia sudah cukup kesulitan mengunyah makanan di antara rasa panas yang merambati pipinya. Malu!

***

     Menghempaskan tubuhnya ke kasur, Faine memejamkan mata seraya memijit pelipis. Hari Sabtu yang biasanya ia gunakan untuk malas-malasan jadi terganggu karena sibuk memikirkan hari esok.

     Getaran ponsel membuat Faine mengerang kesal. Masih dengan mata tertutup, Faine mengulurkan tangan ke sumber suara. Tanpa memperhatikan nama penelepon, ia mengusap layar di bagian gambar gagang telepon warna hijau.

     "Halo?"

     "Fai? Bisa ketemu sebentar nanti malam?"

     Terduduk cepat, Faine menatap layar ponselnya. Nama Arbie tertera di layar. "Enggak bisa lewat telepon aja?" tanyanya kemudian.

     "Enggak."

     Faine mati kutu. Satu-satunya makhluk yang paling ia hindari justru menghubunginya dan meminta untuk bertemu.

     "Aku mau ambil jaketku nanti malam. Kamu nggak ke mana-mana juga, kan?"

     Faine lupa sama sekali tentang jaket milik Arbie yang kini mengendap di dalam lemarinya. Sudah bersih dan harum setelah dicuci. Rencana mengembalikan jaket itu hilang begitu saja dari ingatannya, tergantikan segala kegilaan laki-laki itu yang menyatakan ingin menikahinya.

     Menghembuskan napas kuat-kuat, Faine mengalah. "Oke. Di mana?"

***

     Faine baru bisa bernapas lega ketika berhasil mengendap keluar rumah tanpa sepengetahuan Mama. Ia merapatkan jaket warna krem yang digunakannya, berusaha menghalau angin malam. Tudungnya menutupi puncak kepala, mengurangi terpaan angin agar tidak mengacak rambut yang lupa ia ikat.

     Terpaut beberapa meter dari rumah, Faine bisa melihat mobil putih milik Arbie. Di sisi kemudi, sosok Arbie berdiri menyandar. Lelaki itu mendongak, menatap langit malam yang sama sekali tidak berbintang.

     Ketika tinggal beberapa langkah lagi Faine tiba, Arbie menoleh. Wajahnya tanpa ekspresi. Entah mengapa, melihatnya Faine jadi gugup sendiri. Faine menelan ludah, dalam hati berharap Arbie telah berubah pikiran dan membatalkan niat gilanya untuk datang besok.

     "Aku bakal datang sekitar jam sembilan pagi besok," ujar Arbie mantap begitu mereka sudah berdiri berhadap-hadapan.

     "Kenapa sih kamu mau nikah sama aku?" tanya Faine tak habis pikir. "Dengar ya, kalau kamu ngelakuin semua ini cuma karena kasihan denganku—tentang Steve—atau karena permintaan Kafin yang intinya kasihan dengan kondisiku, aku minta dengan sangat kamu berhenti."

     "Aku enggak pernah bilang begitu."

     "Kafin pasti bilang sesuatu sama kamu, kan? Jangan dengerin Kafin. Cukup, enggak usah repot-repot ngurusin aku. Kenapa sih semua orang repot ngurusin hidupku?" Tidak Diana, tidak Kafin, dan sekarang Arbie, gerutu Faine dalam hati.

     Arbie hanya diam mendengarkan ledakan Faine. Mati-matian ia menekan keinginan untuk membeberkan semua mengenai perasaannya. Ia tidak mau hal tersebut justru membuat Faine melarikan diri. Jangankan Faine yang sedang patah hati, orang normal pasti juga akan menganggapnya aneh. Yang benar saja, jatuh cinta sejak bertahun lalu?

     "Bisa kamu kembalikan jaketku?" pinta Arbie. Cara paling aman berkelit dari pertanyaan Faine adalah dengan mengubah topik. Sejak awal ia meminta bertemu dengan menggunakan modus 'ingin mengambil kembali jaket yang dipinjamkan'. Strategi Arbie tepat karena gadis itu mau keluar dari rumah.

     "Jangan datang besok," kata Faine seraya menyodorkan tas kertas di tangannya. Sedikit mendongak, ditatapnya laki-laki yang lebih tinggi darinya itu, tepat di manik mata. "Cukup main-mainnya. Besok, jangan datang ke rumahku. Aku udah peringati kamu."

     Arbie menangkap lengan Faine sebelum gadis itu berlalu meninggalkannya. Sang pemilik lengan menoleh kaget, bersiap memaki namun malah dibuat bungkam dengan raut wajah dan intonasi serius Arbie.

     "Aku akan datang besok," kata Arbie, tidak dapat diganggu gugat.

***

     Tepat pukul sembilan pagi, kediaman keluarga Faine kedatangan keluarga Arbie yang terdiri atas ayah, ibu, dan kedua adik kembarnya. Atmosfernya benar-benar serius dan formal, membuat Faine sama sekali tidak bisa berkutik. Bahkan sejak tadi, Faine merasa sudah berubah jadi patung. Tidak bisa bicara maupun bergerak.

     "Faine bagaimana?"

     Suara Kafin terasa bagai petir siang bolong yang menyambar Faine. Setelah serangkaian kalimat yang intinya Arbie datang untuk melamar Faine, kini giliran gadis itu yang harus menjawab. Semua mata di ruangan itu tertuju padanya, membuatnya dilanda panik.

     Mama yang duduk di sebelah Faine meremas pelan tangan Faine yang berkeringat dingin. Wanita yang melahirkannya itu tampak sangat bahagia, dan Faine tidak tega merenggut kebahagiaan itu dari mamanya. Tapi ... pernikahan itu bukan hal yang main-main, bukan?

     "Faine Armajaya, maukah kamu menikah denganku?"

     Kalau biasanya Faine hanya mendengar kalimat sejenis ini dari roman picisan yang ia tonton bersama Diana, kini ia mendengarnya secara langsung. Tak hanya itu, kalimat itu bahkan ditujukan padanya. Di depan Mama, Kafin, dan—mungkin—calon ayah, ibu, dan adik iparnya.

     Faine tidak pernah menyangka rasanya akan se-nano-nano ini.

     Sekali lagi, Faine menoleh pada Mama. Pandangan harap itu masih sama. Beralih pada Arbie, laki-laki itu tampak sungguh-sungguh.

     Entah mendapat dorongan dari mana, Faine menganggukkan kepalanya pelan. Ia memejamkan mata, bersiap menyambut konsekuensi apa yang akan ia terima dari keputusan gilanya.

- - -

Continue Reading

You'll Also Like

794K 50.4K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
2.5M 38.1K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
889K 81.2K 52
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
7.2M 352K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...