Philophobia (JiKook / MinKook)

By BTSShipperFanfiction

107K 7.8K 2.7K

Philophobia Cast : Jeon JungKook, Park Jimin Genre : romance, hurt / comfort, sad Rate : T Length : c... More

Philophobia Part 1 : Jeon Jungkook
Philophobia Part 2 : Park Jimin
Philophobia Part 3 : Jungkook's Hidden Stories
Philophobia Part 4 : Park Jimin's Mask and Heart
Philophobia Part 5 : 'Philophobia'
Philophobia Part 6 : Teach Me, Please..
Philophobia Part 7 : Jungkook, Jimin, and Namjoon
Philophobia Part 8 : The Liar and The Witch
Philophobia Part 9 : Jimin's Secrets
Philophobia Part 10 : Revealed of the secrets and the heart
Philophobia Part 11 : Min Yoongi's Revenges!
Philophobia Part 12 : Beware of The Jealous Min Yoongi
Philophobia Part 13 : Jimin is back!
Philophobia Part 14 : when the lovers reunited and Daegu's Venus
Philophobia Part 15 : He is Kim Namjoon
Philophobia Part 16 : Min Yoongi's ask
Philophobia Part 17: Lee Bo Young's story
Philophobia Part 18: Who's Jeon Jungkook?
Philophobia Part 19: Kookie and Jungie
Philophobia Part 20: The Suprise
Philophobia Part 21: Lust of Love
Philophobia Part 22: Trust and Love
Philophobia Part 23: Jimin's Mom..
Philophobia Part 24: Namjoon's love
Philophobia Part 26 : The Battle of Heart
Philophobia Part 27 : Farewell
Philophobia Part 28 : Heartbreaker
PhilophobiaPart 29 : Fragile
PhilophobiaPart 30 : LOVE is..
Philophobia Part 31 : PJM's and KNJ's
WHAT'S NEW ON BSF??
Philophobia Part 32 : I'm tired..
Philophobia Part 33 : The Wedding pt.1
Philophobia Part 34 : The Wedding pt.2
Philophobia Part 35 : The lost Soul
Philophobia Part 36 : Welcome, Park Jungmin
Philophobia Part 37 : Where's Bo Young?

Philophobia Part 25: Meet the Pass!

2.4K 202 63
By BTSShipperFanfiction

PART 25


Jungkook tengah bersandar manja pada dada bidang sang Kekasih –Jimin- yang tengah bersandar pada kepala ranjangnya. Sejak kemarin Jin sudah memperbolehkannya pulang kala dirasa kondisi kejiwaan Jungkook sudah stabil.

Lelaki manis bergigi kelinci itu memainkan jemari Jimin, sementara sang empu tampak tak keberatan sama sekali, bahkan sesekali tersenyum lembut untuknya seraya mengecup lembut setiap inci bahu dan leher sang Kekasih. Membaui tubuh Jungkook yang memiliki aroma menenangkan baginya.

Kulit tubuh keduanya saling menempel, pasalnya saat ini keduanya tak mengenakan sehelai lembar pakaian pun di tubuh masing-masing. Mereka baru saja menyelesaikan sesi bercinta mereka lima belas menit yang lalu.

"Jim." Panggil Jungkook.

"Heum?" Jimin memainkan surai sang Kekasih.

Jungkook menoleh, agak mendongak untuk bertemu dengan sepasang netra sepekat malam milik sang Kekasih.

"A-Apakah setelah ini aku akan hamil seperti Taetae hyung?" tanya Jungkook lengkap dengan rona merah muda di pipinya. Ia tak bisa mencegah kepakan sayap kupu-kupu di perutnya kala membayangkan di dalam dirinya akan hidup satu makhluk mungil miliknya dan Jimin.

Jimin tersenyum lembut, menyempatkan diri mengecup kecil bibir curvy Jungkook sebelum menjawab pertanyaan sang Kekasih.

"Bisa jadi, Sayang. Dan, semoga kau cepat hamil."

"Lalu.. jika aku hamil, kau ingin anak laki-laki atau perempuan, Jim?"

Jimin tertawa kecil, kemudian mencubit mesra hidung bangir sang Kekasih. "Apapun, anak laki-laki ataupun perempuan sama saja, Sayang."

Jungkook hanya bisa mengangguk-angguk kecil, sebelum tatapannya terlihat ragu. Memainkan jemarinya bak anak kecil, membuat Jimin menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran sang Kekasih.

"Ada apa, eum?" dengan lembut Jimin mengusap kepala sang Kekasih.

Jungkook melepas gigitan kecil di bibir bawahnya, kemudian bertanya ragu. "I-Itu, Jim.. a-apakah.. k-kau, kau tidak akan meninggalkanku dan anak kita, 'kan?"

Jimin menghela nafas, ia menyadari betul ketakutan sang Kekasih. Dan dengan itu ia semakin mengeratkan pelukannya di perut Jungkook, meraih dagu sang Kekasih lembut, membuat kedua pasang netra mereka bersiborok.

"Hei, Baby. Dengarkan aku, mungkin di masa lalu kau mengalami hal yang sulit, melewati itu semua sendirian. Tetapi, sekarang ada aku disini, dan aku akan pastikan kau takkan mengalami hal sulit apapun lagi di masa depan. Aku takkan pernah membiarkanmu dan anak kita sendirian apapun yang terjadi, dan aku akan melindungi kalian dengan nyawaku sendiri. Aku janji." Tutur Jimin lembut, membawa keyakinan dan kedamaian ke dalam palung jiwa dan relung hati Jungkook yang sudah tertegun.

"Janji?" Jungkook menyodorkan jari kelingkingnya, dan langsung disambut oleh kaitan jari kelingking Jimin.

"Janji." Ucap Jimin mantap.

Dan dengan itu, Jimin menarik dagu Jungkook untuk semakin mendekat padanya, kemudian meraup bibir mungil itu dengan penuh cinta dan kelembutan, membuat sang empu tak mampu berbuat banyak selain memejamkan mata, sesekali mencoba membalas lumatan Kekasihnya itu.

"Ngghh!" pekik Jungkook kaget kala Jimin dengan jahil menggigit bibir bawahnya cukup keras, membuat Jungkook mendorong pelan bahu sang Kekasih, membuat tautan bibir keduanya terlepas.

"Ish!" Jungkook memukul manja lengan atas Jimin kala sang Kekasih sudah menyeringai jahil.

"Hihihi.. mian, Baby. Apakah sakit?" tanya Jimin seraya mengusap bibir bawah Jungkook dengan pad ibu jarinya.

Jungkook mencebik sebal, namun malah kembali menyandarkan kepalanya di dada sang Kekasih.

"Jim." Panggil Jungkook lagi, setelah beberapa menit sebelumnya membiarkan kesepian menyelimuti mereka.

"Ya, Sayang?" Jimin mengusap sayang kepala Jungkook.

"Aku.. takut." Lirih Jungkook, dan Jimin pun tertegun.

Semakin mengeratkan pelukannya, kemudian membubuhkan kecupan ringan di pucuk kepala sang Kekasih.

"Apa yang kau takutkan, heum? Jangan takut, ada aku disini, Sayang."

"Aku takut untuk bertemu dengan.. orang itu."

Jimin menghela nafas berat, ia sudah tahu pasti siapa yang dimaksud sang Kekasih, Jeon Jisung –sang Paman-.

"Tidak apa-apa, Sayang. Tidak perlu takut. Ada aku yang akan menemanimu besok, aku akan melindungimu dari orang itu. Jangan khawatir, ya."

Jungkook menggeleng nanar, "T-Tapi, Jim.. dia.. entah mengapa aku selalu takut padanya. Aku takut melihat wajahnya."

"Ssttt.. tenanglah, Sayang." Jimin mengusap-usap lembut bahu Jungkook yang tanpa sadar bergetar.

"Jika kau begitu takut, kau tidak perlu menemuinya juga tidak apa-apa, Sayang. Aku akan membicarakannya dengan Jin –"

"Tidak, Jim. Aku harus bertemu dengannya. Aku.. harus mengetahui segalanya, segala hal yang berkaitan dengan masa laluku yang membuatku mengidap–" Jungkook membelalak horror. Oh, bagaimana bisa ia hampir kelepasan dan membongkar rahasia 'Philophobia' yang dideritanya pada Jimin?!

Jimin bungkam, tak berniat membahas hal yang bahkan tak ingin dibahas oleh Jungkook. Ia hanya tidak ingin Jungkook tertekan.

"Baiklah, jika itu memang maumu, aku akan menemanimu, duduk di sampingmu saat menemuinya besok." Jimin mengalihkan topik pembicaraan, membuat Jungkook diam-diam menghela nafas lega.

"N-Ne, tolong temani aku, Jim."

"Tentu saja, apapun untukmu, Sayang." Dan Jimin kembali menjatuhkan kecupan sayangnya di pucuk kepalanya, membawakan rasa damai yang menyelinap hingga ke palung jiwa.

Jungkook merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia saat Jimin berada disisinya, melindunginya, menyayanginya, menemaninya. Setidaknya seluruh bebannya terasa bagai menguap entah kemana saat Jimin membisikkan kata penenangnya.

Memeluk perut sang Kekasih dari samping, Jungkook semakin menempelkan wajahnya dengan dada telanjang Jimin.

"Gomawo, Jim. Saranghae, jeongmal neomu saranghae." Bisik Jungkook di dadanya.

Jimin mengembangkan senyum simpulnya, kembali mengecupi puncak kepala Jungkook. "Sama-sama, Sayang. Naega jeongmal neomu neomu saranghae."

Dan, senyuman Jungkook pun mengembang tanpa bisa dicegah kala Jimin merendahkan kepalanya untuk meraih bibir curvy nya, memerangkapnya di belahan bibirnya sebelum melumat, menghisap sisi atas dan bawahnya bergantian.

"Ngghhh.." Jungkook bahkan kini sudah mengalungkan lengannya di leher Jimin saat Lelaki itu sudah berada di atas tubuhnya, memberikan ciuman-ciuman yang entah sejak kapan berubah intens dan 'panas'.

Plop.

Jimin melepaskan bibir Jungkook untuk beralih pada leher sang Kekasih, kembali mengecup serta menjilati bercak-bercak kemerahan hasil karyanya sebelumnya, membuat si Manis melenguh dan mendesah tertahan seraya menekan kepala Jimin agar tidak berhenti membuatnya melayang.

"I love you, Jungie. I love you."

"Ngghh.. I –ah! I love youtoohh.."

Jleb.

"AKH!!"


**


Sejin menghela nafasnya gusar, sama sekali tak bisa menghubungi sang Artis yang sebelumnya sudah berjanji untuk datang ke Perusahaan agensi mereka untuk membahas mengenai beberapa job yang akan dilakukannya.

Ini sudah kali ke-lima belasnya menelepon sang Artis yang dua jam yang lalu mengiriminya pesan chat bahwa ia tidak bisa datang ke kantor, dengan alasan untuk menemani Jungkook, dan alasan 'hal penting' di belakangnya.

Oh, Sejin kini tak perduli jika ia terus-menerus mengumpati sang Artis –Jimin- dengan kata-kata kasar. Ia hanya terlalu frustasi dan tertekan menghadapi tingkah Jimin dan tekanan dari Boss mereka –sang CEO.

"Sialan kau, Park Jimin! Dimana kau? Angkat teleponku sekarang!" desis Sejin kesal.

Sementara itu, sosok yang tengah diumpati Sejin tengah duduk di salah satu kursi di salah satu ruangan VIP sebuah Restoran di daerah Gangnam-dong. Di sampingnya terlihat Jungkook –sang Kekasih- tengah tertunduk seraya memainkan jemarinya gelisah. Sedangkan di hadapan mereka terlihat sang Paman –Jeon Jisung- tengah diapit oleh pasangan Suami-Istri yang tak lain adalah Kim Seokjin dan Kim Taehyung.

"Maafkan Samchon, Jungkook-ah. Samchon tahu Samchon memang sudah keterlaluan di masa lalu. Perbuatan Samchon terhadapmu sangat bejat, dan kau berhak membunuhku atas semua kesalahanku di masa lalu." Ujar Jisung penuh sesal, bahkan kini air matanya sudah tumpah membasahi kedua pipinya.

"A-Aku tidak tahu apapun, J-Jisung-ssi. Aku.. yang aku tahu hanya aku selalu ketakutan saat melihatmu. Aku takut." Suara Jungkook parau dan bergetar, sementara kepalanya sendiri masih tertunduk, enggan menatap sang Paman.

Jisung tertunduk sesal, "Maafkan aku, Jungkook-ah. Aku.. Pamanmu yang sudah membuatmu seperti ini. Maafkan dosa-dosa Samchon, Kookie-ah."

Jungkook menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesak di dadanya yang entah mengapa semakin menjeratnya.

Ia dibuat sontak menoleh kala sebuah tangan sudah berada di atas miliknya, menggenggamnya lembut. Jungkook dapat melihat Jimin –sang Kekasih- tengah tersenyum tipis, seakan memberikannya kekuatan, membuatnya terenyuh.

"Jungkook-ah, kau –hiks, kau mau 'kan memaafkan Samchon? Kau mau 'kan mengampuni dosa Pamanmu yang bajingan ini? Kumohon, Kookie-ah. Paman mohon, maafkan Paman.. hiks.."

Jungkook memberanikan diri menatap Jisung, kemudian bertanya dengan suaranya yang bergetar.

"Apa? Memangnya apa kesalahanmu sehingga aku harus memaafkanmu, Tuan? Dan, mengapa aku harus memaafkanmu jika kesalahanmu itu memang fatal sehingga membuatku menjadi seperti ini, seperti orang abnormal?"

Jisung tertegun, perlahan mengangkat wajahnya, seketika kehilangan nyali kala maniknya bersiborok dengan sepasang hazel penuh luka Jungkook.

Kembali menundukkan kepalanya dalam, sementara tangannya mencengkram paha celananya, dan hal itu tak luput dari perhatian Jin yang sedari tadi hanya memilih diam dan menjadi seorang pengamat.

"A-Aku.. dosaku tak terampuni padamu, Jungkook-ah. Pamanmu ini.. a-aku.. aku pernah melakukan hal bejat padamu –hiks, maafkan aku.." bahu Jisung bergetar hebat, menahan isakan yang hendak meledak di setiap katanya.

"H-Hal bejat apa yang kau maksud?" tanya Jungkook bergetar, tanpa sadar ia sudah meremat tangan Jimin, seakan melampiaskan ketakutannya untuk mendengar sebuah kisah dan kenyataan dari masa lalu yang sempat dilupakannya.

Jisung menggigit bibir bawahnya, ia merasa tak sanggup untuk mengakui dosanya pada Jungkook. Namun, ia juga tak mau terus-menerus dibayang-bayangi oleh rasa bersalah dan dikejar-kejar dosanya.

"J-Jungkook-ah, aku.. P-Pamanmu ini pernah.. a-aku.."

"Katakan dengan jelas, Jisung-ssi. Akui dosamu, Pengecut!" tandas Jimin dingin. Ia tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa ingin sekali ia menghancurkan rahang Lelaki paruh baya itu yang seakan takut mengakui dosanya pada Jungkook –sang Kekasih.

Jin menatap Jimin penuh peringatan, namun agaknya Aktor tampan itu memilih tak perduli. Yang Jimin perdulikan adalah keadaan mental sang Kekasih saat ini.

Jisung mengangguk kecil, seakan memberikan keberanian lebih pada dirinya sendiri untuk mengakhiri masanya menyimpan aib dan dosa besarnya pada Keponakannya sendiri.

"Sebelumnya aku ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya padamu, Jungkook-ah. Paman minta maaf atas semua yang telah Paman lakukan padamu dulu, saat kau masih kecil."

Jisung menghela nafas panjang, sebelum memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Jungkook yang masih menatapnya gelisah.

"Jungkook-ah, a-aku.. aku dan Istriku –Bibi Sookyung sering menganiayamu sejak kecil." Aku Jisung, menatap Jungkook penuh sesal.

DEG

Jungkook terbelalak. J-Jadi, sejak kecil ia selalu dianiaya oleh Lelaki paruh baya ini!? Tidak heran jika sekarang ia merasa takut melihat Lelaki yang mengaku sebagai Pamannya itu tanpa pernah tahu alasan konkrit dibalik rasa takutnya itu.

"Semua bermula sejak kematian Kakakku satu-satunya, Jeon Jungsoo yang tak lain adalah mendiang Ayahmu, Kookie. Mungkin kau tak mengingatnya, tapi kalian mengalami kecelakaan saat kau masih berusia tiga tahun. Mobil yang dikendarai Ayahmu menabrak sebuah truck besar, dan menyebabkan Ayah dan Ibumu tewas ditempat kejadian. Sejak itu, hak asuh atas dirimu diberikan kepadaku dan Istriku –Sookyung."

"Selama kau tinggal bersama kami, kami selalu.. memperlakukanmu seperti budak –pembantu kami. Kami selalu menyuruhmu melakukan pekerjaan-pekerjaan orang dewasa, seperti mencuci pakaian, mencuci piring, membersihkan seluruh rumah sampai pekarangan, sampai.. bekerja di pasar ikan."

Pegangan Jungkook pada Jimin mengerat, sementara pupilnya mulai bergerak gelisah. Jadi, sejak kecil dirinya tak pernah merasakan kebahagiaan? Alih-alih bahagia, dan bermain dengan teman sebaya, dirinya yang masih kecil malah diperlakukan seperti budak.

"L-Lalu.. a-aku.. kadang kala aku kalap melihatmu tak berpakaian saat hendak mandi. D-Dan.. a-aku menyetubuhimu dengan paksa, ter-terkadang aku memukulmu saat kau menjerit dan menolak."

DEG

Kedua bola mata Jungkook membelalak tak percaya mendengar pengakuan Jisung. Pupilnya semakin bergetar, begitu pula dengan tangan dalam genggaman Jimin. Alhasil, Lelaki bermata kecil itu sontak menatapnya cemas.

Tiba-tiba kepalanya terasa sakit, beberapa scene random berisi tangisan dan jeritan seorang anak kecil memenuhi kepalanya, suara jerit pilu itu seakan memekakkan telinganya sehingga Jungkook spontan memegangi telinganya, seakan menghambat suara-suara kesakitan pilu itu masuk ke dalam sana.

Jin, Taehyung, dan Jimin pun panik melihat sang Adik, dan Kekasih mereka sudah memejamkan mata erat dengan kedua tangan memegangi telinganya.

"J-Jungie-ah!" panggil Taehyung cemas pada sang Adik.

"Jungkook-ah, gwaenchana? Jungkook-ah, tenanglah. Tarik nafas yang dalam, lalu buang perlahan. Jungkook, kau mendengarku, 'kan?" Jin mulai sibuk memberikan intruksi pada sang Adik ipar.

"B-Baby –H-hei, Sayang? Tenanglah, ada aku disini."

Jungkook menggeleng kuat, "Tidak! Jangan ganggu aku!!" jeritnya kala Jimin berusaha menyentuh lengannya.

"Jungie, Hei.. buka matamu, Sayang. Ini aku, Jimin." Bujuk Jimin lembut.

Jungkook kembali menggelengkan kepalanya kuat, "Tidak! Pergi! Pergilah!! Jangan sentuh aku!! Aku takut –hiks.."

Jimin tertegun ketika mendengar isakan Jungkook, dan saat ia merendahkan wajahnya ia melihat air mata sudah mengalir deras di kedua pipi sang Kekasih.

"Hiks.. takut.. sakit.. hiks.. E-Eomma.."

Jisung tertegun, semakin disudutkan oleh rasa bersalah kala menyadari bahwa sang Keponakan mengalami semacam trauma hebat akibat perlakuannya di masa lalu.

"K-Kookie-ah, maafkan Samchon.. Samchon mohon, Kookie.. hiks.."

"Hiks.. Eommaaaaaa.." Jungkook menjerit tertahan seraya menjambak kasar surainya sendiri, membuat Jimin, Jin, dan Taehyung semakin panik dan kelimpungan untuk menenangkan si Manis.

"Jungie-ah, jangan seperti ini, Sayang. Jangan sakiti dirimu." Jimin kembali mencoba menarik tangan Jungkook dari kepalanya, namun sang empu semakin histeris menolak dan menjerit.

"Seokie, eotteokhaji?" panik Taehyung seraya mencengkram bahu sang Suami, meminta pertolongan untuk sang Adik.

"A-Aku sedang berpikir mencari solusi, Sayang."

"Jimin, tolong kau coba tahan tubuh Jungkook dari belakang, Jisung-ssi, coba kau pegangi kedua tangan Jungkook." Komando Jin sebelum meraih tas Taehyung. Ia sudah mempersiapkan sesuatu di dalam sana sebelum mereka berangkat untuk mempertemukan Jungkook dan Jisung.

"S-Seokie, apa yang akan kau lakukan dengan itu?" Taehyung menatap horror sebuah injektor kecil di tangan sang Suami yang sudah diisikan dengan sebuah serum –entah apa.

"Aku terpaksa menyuntikkan obat penenang untuk Jungkook, Sayang. Sebab kalau tidak, ia akan menyakiti dirinya sendiri. Ia merasa bahwa dirinya kotor dan tak berguna, jadi –"

"Cepat suntikkan saja, Hyung sialan!" umpat Jimin kalap. Kini ia tengah kesulitan memegangi tubuh Jungkook yang terus meronta-meronta dari belakang, begitupun dengan Jisung yang sudah berhasil melepaskan cengkraman tangan sang Keponakan dari kepalanya.

Dan, Jin pun langsung sigap membenamkan jarum suntiknya di lipatan lengan kiri Jungkook. Perlahan rontaan Jungkook melemah, hingga akhirnya sepasang kelopaknya tertutup. Jimin pun langsung sigap menahan tubuh Jungkook yang tak sadarkan diri.

Jimin melirik Jin dan Taehyung yang menatap sang Kekasih cemas, kemudian menghela nafas berat.

"Aku akan bawa Jungie pulang, Hyung. Pembicaraannya dilanjutkan nanti setelah keadaan Jungie membaik."

"A-Ah, ne, Jim. Tolong jaga Jungkook dengan baik." Sahut Jin masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Tolong jaga Jungie ya, Jimin." Mohon Taehyung, masih menatap sang Adik cemas.

"Eum, aku akan menjaganya dengan baik. Kami pulang."

Dan setelah menyelesaikan kalimatnya, Jimin pun mengangkat tubuh Jungkook 'ala Bridal style, membawanya keluar ruangan VIP itu, kemudian menuju mobilnya. Beruntung suasana Restoran mewah itu tengah lenggang-sepi, sehingga ia tak perlu memusingkan beberapa fans yang mungkin akan mengenalinya, dan menyebarkan fotonya di dunia maya. Ia takut Jungkook akan tertekan saat dirinya mulai muncul di berbagai media massa.

Jimin melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah Jungkook, namun diperjalanan ia mendengar ponselnya berdering nyaring. Oh, ternyata sedari tadi ponselnya tertinggal di dalam mobil.

Memasang ear bluetooth nya, kemudian menggeser ikon dialnya.

"Yobo–"

"Yah! Bocah gila! Kemana saja kau, hah!?" sembur Sejin di ujung line, membuat Jimin mengernyitkan keningnya kala merasakan dengung di telinganya.

"Hyung, bisakah kau tunda marah-marahmu? Aku harus mengantar Jungkook pulang, dia pingsan."

"Hhh.. memangnya Jungkook kenapa lagi, Jim?" tanya Sejin penuh penekanan. Ia heran juga pada Kekasih dari Aktornya itu. Mengapa bisa sesering itu tak sadarkan diri?! Cibirnya dalam hati.

"Entahlah, Hyung. Hyung, nanti aku telepon lagi."

"Ya! Tunggu sebentar!" seru Sejin kala Jimin hendak memutuskan panggilannya sepihak.

"Apa lagi, Hyung? Aku sedang terburu-buru." Gemas Jimin.

"Hari ini kau disuruh ke Perusahaan, sampai tengah malam pun Boss akan menunggumu. Dia memintaku menyampaikan seperti itu."

"Hhhh.. arraseo, lihat saja nanti."

Beep.

Dengan itu Jimin benar-benar memutuskan panggilannya begitu saja, membiarkan Sejin mengumpatinya dengan kata-kata 'Bocah kurang ajar' nya.

Jimin kembali melirik Jungkook yang masih belum membuka matanya. Wajah cantik itu tampak pucat, lengkap dengan jejak air mata yang telah mengering.

Ia dapat merasakan nyata hatinya tersengat melihat pemandangan Kekasihnya seperti itu, seakan ikut merasakan kesakitan yang dirasakan Jungkook.

Ini kali keduanya Jimin melihat sisi rapuh seorang Jeon Jungkook, dan itu semakin membuatnya bertekad untuk melindungi Lelaki manis itu dengan segenap jiwanya. Memastikan bahwa tidak ada setetes pun air matanya yang akan terbuang sia-sia kini sudah menjadi kewajiban Jimin. Ya, ia bertekad untuk membahagiakan Kekasihnya itu.

"Jungie-ah.. Baby, kumohon bukalah matamu, Cantik." Ujar Jimin lemah.

Kemudian Jimin menginjak kasar pedal gasnya, membuat mobilnya melaju dengan pesat, membelah angin, memecah hiruk-pikuk jalanan kota Seoul. Hingga hanya butuh waktu dua puluh menit untuknya sampai di rumah kecil Jungkook.

Jimin menggendong tubuh lemah Jungkook ke dalam rumah, setelah sebelumnya mengambil kunci yang ia simpan di saku celana jeans nya sebelum mereka berangkat ke Restoran pagi tadi.

Merebahkan tubuh itu di atas ranjang single bednya, kemudian menyelimutinya hingga sebatas dagu. Jimin mendudukkan dirinya di lantai, tepat di samping ranjang Jungkook, menatap sendu Lelakinya yang masih enggan membuka matanya, pengaruh obat penenang.

Diangkatnya sebelah tangannya untuk mengusap sayang kepala Lelaki manis itu, membelai wajahnya lembut sebelum menjatuhkan kecupan di kening dan pipi kanan sang Kekasih.

"Maafkan aku, Jungie. Aku sudah membiarkanmu terluka, aku sudah membiarkanmu seperti ini. Maafkan aku, Sayang." Bisik Jimin lemah sebelum mengecup pucuk kepala Jungkook lama.

Jimin bangkit, berniat membuatkan kompres untuk mata Jungkook yang terlihat membengkak, mungkin efek kurang tidur dan menangis terlalu banyak.

Ia kembali dari dapur kecil Jungkook dengan sebuah wadah kecil berisikan air hangat, dan sebuah handuk kecil tersampir di sisi wadah. Mendudukkan dirinya di tepi ranjang, kemudian mulai membasuh wajah Jungkook sebelum mengompres mata sang Kekasih.

Jimin terus melakukan itu sampai air dalam wadahnya mendingin, kemudian ia memutuskan untuk pergi ke dapur, membuatkan sup atau bubur yang hangat untuk Jungkook-nya.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Jimin sudah menyelesaikan masakannya sejak dua jam yang lalu, bubur kerang buatannya pun kini telah mencair dan tentunya dingin. Namun, Jungkook belum juga membuka matanya, membuat Jimin menatapnya cemas.

Berdecak kesal saat ponselnya kembali berdering –entah untuk yang ke-berapa kalinya-, dan satu-satunya peneleponnya adalah Sejin –sang Manager.

Ia sengaja mengabaikan panggilan dari sang Manager, ia hanya ingin fokus merawat Jungkook, menantinya sampai sang Kekasih terjaga dari tidurnya.

Jimin melirik jam dinding yang menggantung di atas sana, kemudian kembali menatap sendu Jungkook. Hingga sebuah keajaiban muncul, Jungkook membuka matanya perlahan kala dirinya masih memperhatikan lekat wajah Kekasihnya itu.

"J-Jimhh.." panggil Jungkook lemah kala sepasang netra mereka saling bersiborok.

Jimin dengan sigap menempatkan dirinya di sisi kanan Jungkook, menggenggam lembut jemarinya sebelum mengecupinya seraya terus mengucap syukur.

"Ya, Sayang? Aku disini. Syukurlah, syukurlah kau sudah bangun. Hhh.. tidurmu membuatku takut."

Jungkook melempar pandang ke setiap sudut kamarnya, kemudian menghela nafas panjang.

"Kita sudah di rumah, ya? Bagaimana yang lain? Uh, pasti aku mengacaukan semuanya lagi." Ujar Jungkook lemah, terselip nada kecewa dan penyesalan dalam kalimatnya.

Jimin mengembangkan senyum simpulnya sebelum menggeleng kecil, "Tidak, Sayang. Tidak ada yang kau kacaukan. Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik, heum? Atau merasa ada yang sakit? Beritahukan padaku, Sayang." Jimin mengusap sayang kepala Jungkook.

Kini giliran Jungkook yang tersenyum tipis, menangkap tangan Jimin di kepalanya sebelum menempatkannya di pipinya, menggosok pipinya dengan tangan Jimin.

"Jim,apakah sedari tadi kau menungguku?"

Jimin tersenyum simpul, kemudian mengecup sayang hidung bangir Jungkook. "Ne, aku menunggumu. Waeyo, Baby?"

"Kau pasti bosan menungguku." Jungkook kini sudah memainkan jemari Jimin, gesture kekanakan untuk seorang Pria berusia dua puluh lima tahun.

Jimin tertawa kecil, kemudian mencubit kecil hidung sang Kekasih. "Tidak juga, aku bisa menunggumu sampai seribu tahun jika kau minta. Ah, tidak, tanpa kau minta pun aku akan menunggumu selama apapun itu."

Jungkook mencebik, "Uh, cheesy!" cibirnya, menghasilkan kekehan geli dari Jimin.

"Memang terdengar receh sekali, sih."

Keduanya berpadu dalam tawa kecil namun mampu membawa kehangatan, hingga tawa Jungkook berubah menjadi isakan dan air mata mengalir dari kedua matanya.

"Hiks, aku.. aku.. aku tidak menyangka bahwa selama ini hidupku tidak pernah –hiks, bahagia.."

"Hiks, aku merindukan Eomma-ku, bahkan aku lupa seperti apa rupanya, Jim. Hiks, aku anak yang buruk.. hiks.."

Jimin menghela nafasnya panjang sebelum meraih Jungkook ke dalam pelukannya, mengusap punggung dan kepala belakangnya dengan sayang.

"Hiks.. aku bahkan.. aku bahkan sudah hina sejak aku masih kecil. Hiks.. apa yang harus ku lakukan, Jim? Kau pasti jijik padaku –hiks, kau pasti akan meninggalkanku.. hiks.. apa yang harus kulakukan?"

"Ssssttt.. tenanglah, Sayang.. aku disini, dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu karena alasan apapun. Percaya padaku, Sayang.. ssstt.. jangan menangis.."

Jungkook mengggeleng nanar dalam pelukannya, "Hiks, tidak, Jim.. kau pantas meninggalkanku. Aku –hiks, aku kotor.. hiks.. aku.. hiks, aku takut, Jim.." Jungkook tanpa sadar meremas punggung kemeja Jimin, sementara air matanya sudah membasahi bahu kemeja sang Kekasih.

"Tidak, Sayang.. kau tidak kotor. Tidak ada yang hina dan kotor disini, jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri seperti ini, karena kau memang tidak salah, Sayang. Kau hanya korban disini. Jangan menangis lagi, ya. Kau membuat hatiku hancur melihatmu menangis seperti ini."

"Hiks, aku.. –hiks, mengapa Tuhan tak pernah adil padaku!? Apa dosaku!? Mengapa Tuhan membuat hidupku serumit ini!? Mengapa!? Hiks.."

Jimin mengecup lama kepala Jungkook, tangannya terus mengusap-usap lembut punggung mungil itu.

"Sssstt.. jangan berkata seperti itu, Sayang.. ada aku disini. Aku akan selalu bersamamu, jadi jangan menyalahkan Tuhan seperti itu."

"Mereka semua –hiks, jahat padaku.. mengapa mereka tega melakukan semua ini kepadaku!? Kepada keluargaku!? Hiks, aku rindu Eomma dan Appa-ku, Jim.. hiks, aku ingin bertemu dengan mereka, biarkan aku menyusul mereka, Jim."

Jimin menggeleng kuat, "Tidak, Sayang. Jika kau berniat menyusul mereka dan meninggalkanku, maka kau yang jahat padaku, dan kau akan melihatku mengakhiri hidupku saat itu juga."

Jungkook mengeratkan pelukannya, "Jangan, Jim. Jangan lakukan itu –hiks. Kau membuatku takut.. hiks.."

"Hhhh.. maka dari itu, jangan pernah mengatakan hal-hal seperti itu lagi ya, Sayang. Janji?"

Jungkook hanya mengangguk kecil di bahu Jimin. "Aku hanya memilikimu, Jim. Hiks, jangan tinggalkan aku.. hiks.."

"Tidak akan pernah, Sayang.. bukankah aku sudah mengatakannya berulang kali bahwa aku tidak akan pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi. Percayalah padaku."

"Hiks, ne.. aku percaya padamu, Jim."

Jimin tersenyum tipis, kemudian perlahan meregangkan pelukan mereka untuk menghapus tetes demi tetes air mata yang jatuh di pipi Kekasih cantiknya.

"Uh, air mata tidak pernah cocok untukmu, Sayang. Jadi, jangan pernah menangis lagi, ya. Janji?" Jimin menyodorkan jari kelingkingnya.

Jungkook tersenyum simpul seraya menatap haru Kekasihnya. Mengaitkan jemari kelingking mereka sebelum akhirnya Jungkook menempelkan bibir curvy nya di bibir plum Jimin, mengecupnya lama.

"Saranghae, Park Jimin." Bisiknya lembut lengkap dengan semburat merah mudanya setelah melepaskan kecupannya.

Jimin tersenyum lebar, "Nado saranghae, Park Jungkook." Balasnya sebelum memiringkan kepalanya untuk meraih bibir Jungkook, melumatnya lembut.

Pagutan lembut itu berlangsung selama dua menit, setelahnya mereka memilih untuk menghabiskan waktu dengan saling menatap dan menangkup wajah satu sama lain.

"Mengapa kau semakin cantik saja, Baby?" bisik Jimin, sukses membuat Jungkook merona lebih parah dari sebelumnya.

"Ish.. you ruined the moment, Jim." Keluhnya seraya memukul manja bahu sang Kekasih, menghasilkan kekehan kecil dari mulut Jimin.

"Aku mengatakan hal yang sebenarnya, Sayang. Sungguh."

"Tsk, ya-ya, aku memang cantik dan menawan, dan kau takkan pernah bisa lepas dari pesonaku. Benar, 'kan?"

Jimin menyeringai tipis, "Point 100 untukmu, Cantik." Bisiknya sebelum kembali mempertemukan bibir mereka, mengajak Jungkook untuk berpadu dalam lumatan-lumatan lembut memabukkan.

Jungkook kini sudah mengalungkan kedua lengannya di leher sang Kekasih, sementara Jimin semakin merengkuh erat pinggang Jungkook. Entah sejak kapan Jimin sudah berada di ranjang sang Kekasih, sementara Jungkook berada dalam pangkuan Jimin.

Ciuman keduanya pun semakin intens dan dalam, melibatkan lidah masing-masing, hingga mengakibatkan tetes saliva mengalir lembut dari sudut bibir Jungkook.

Jimin kini sudah menyusupkan tangannya ke dalam kemeja Jungkook, mengusap punggung Jungkook dengan lembut, membuat sang empu mengerang kecil merasakan geli namun nyaman di saat yang bersamaan.

Plop.

Jimin melepaskan pagutannya, membuat Jungkook dapat menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

Mendapatkan pemandangan Jungkook yang terengah ditambah dengan aliran saliva di sudut bibirnya membuat Jimin tanpa sadar menelan salivanya lamat-lamat. Oh, sial! Jungkook terlihat beribu kali lebih seksi dari biasanya, batinnya berkecamuk.

Dibawanya ibu jarinya untuk mengusap sensual sudut bibir Jungkook sebelum membelai bibir bawah favoritnya itu dengan lembut, membuat sang empu hanya bisa pasrah dengan wajah semerah tomat.

Manik mereka saling bertemu, kemudian Jimin bertutur lembut.

"Kau sangat indah, Baby Jungie. Aku beruntung bisa memilikimu."

Jungkook tertegun, ruang dadanya seketika menghangat, dan detik itu pula ia kembali memeluk Jimin, menyembunyikan warna merah di kedua pipinya.

"Uh, Jim. Mulutmu itu berbahaya, kau tahu?"

Jimin menaikkan satu alisnya jenaka disela kesibukannya membaui surai sang Kekasih. "Kenapa kau berkata seperti itu, Baby?"

"Karena.. hanya dengan kata-kata yang keluar dari mulutmu itu, jantungku seakan hendak melompat dari tempatnya."

"Kekeke~ benarkah?"

"Tsk!" Jungkook memukul punggung Jimin main-main. "Kau terdengar sangat bangga, huh?"

"Hahaha.. yang paling membuatku bangga adalah menjadi Kekasihmu, Sayang. Percayalah."

"Uh, dasar Aktor bermulut manis."

"Ok, aku terima panggilan itu. Dan kau, Kelinci cantik berbibir manis."

Blush.

"Jimin!!" jerit Jungkook tertahan. Uh, Jimin itu benar-benar! Membuatnya malu saja!

"Hehehe.." kekeh Jimin riang, kemudian meregangkan pelukan mereka, membuat Jungkook menatapnya lekat.

"Besok aku akan membawa Eomma ke rumah ini. Kau benar-benar tidak masalah dengan itu, Baby?"

Senyum Jungkook mengembang bak autopilot begitu mendengar kabar dari sang Kekasih. Kedua maniknya berbinar antusias.

"Benarkah, Jim? Wah, aku sungguh sudah tidak sabar! Dan, berhenti menanyakan hal itu, Jim. Uh, kau seperti Pak tua yang sudah pikun." Jungkook mencubit gemas hidung Jimin, membuat Lelaki bermata kecil itu terkekeh geli.

"Baiklah, baiklah, Anak muda yang memiliki Kekasih seorang Pak tua." Jimin membalas cubitan gemas Jungkook di hidung bangir si Manis.

Jungkook tersenyum cerah, tanpa sadar ia sudah memeluk leher Jimin erat. "Jim, besok menu apa yang harus kumasak untuk menyambut kepulangan Eomma? Apa makanan kesukaan Eomma, Jim? Atau, adakah makanan yang sangat ingin kau makan besok?' tanya Jungkook antusias.

Jimin tersenyum simpul, menghadiahkan kecupan kecil di pipi kanan sang Kekasih.

"Tidak perlu memasak, Baby. Aku tidak ingin kau kelelahan. Lebih baik kita pesan saja, bagaimana?"

Jungkook memicing menatap Jimin, kemudian beralih melipat kedua lengannya di depan dada.

"Hei, tuan Park. Apa kau sedang meragukan kemampuan memasakku, eoh!? Oh, baiklah. Masakanku memang tidak enak, aku tidak bisa memasak. Mungkin aku jauh lebih buruk dari Min Yo–"

"Ssstt.. jangan menyebut namanya, oke? Hanya mendengar namanya sudah mampu membuatku sakit kepala, Sayang." Jimin meletakkan jemari telunjuknya di bibir sang Kekasih.

Jujur saja Jimin sedikit heran, pasalnya sudah beberapa hari terakhir ini Jungkook-nya menjadi begitu sensitive. Mungkin lantaran terlalu banyak masalah dan tekanan, batinnya.

Jungkook sudah mengerucutkan bibirnya lucu dengan wajah tertekuk dan tangan terlipat di depan dada. Matanya masih memicing tajam menatap sang Kekasih, dan itu membuat Jimin gemas bukan main.

Chu~

Jimin sukses mencuri satu kecupan kilat di bibir yang mengerucut itu, membuat sang empu merona.

"Ya! Aku sedang marah padamu, Jim! Jangan mencuri kesempatan dalam kesempitan!!" seru Jungkook sebal, namun Jimin hanya terkekeh gemas menanggapinya.

"Jangan marah, Sayang. Aku hanya tidak ingin kau terlalu lelah. Tapi, jika kau memaksa, yah.. apa boleh buat. Masaklah apapun yang ingin kau masak kalau begitu. Aku dan Eomma bukan picky eater, kok. Dan, kami menyukai hampir semua masakan Korea."

Wajah Jungkook seketika berubah menjadi secerah mentari pagi kembali, "Baiklah, aku akan memasak Bulgogi yang banyak, Samgyetang, Kimchi Jjigae, Chapjae, dan Kimbap. Eotte?"

Jimin hampir memekik dengan tidak elitnya, namun dengan cepat ia menguasai dirinya dan memasang senyum terbaik seraya mengusak gemas pucuk kepala sang Kekasih.

"Aku akan membantumu kalau begitu."

"Oke!"

"Kekeke~aigoo, kyeopta.." Jimin mencubitgemas kedua pipi sang Kekasih, menghasilkan erangan sebal dari bibir Jungkook.



*****TBC*****


huaaaiii!!~ saya datang lagi!!~ dururururu~

ada yang kangen ga? /GA/ /Pundung di ketek Mphii/

maaf banget, ya.. akhir-akhir ini VJin -huft- ga punya banyak waktu luang.. kerjaan banyak banget seiring naik pangkat >< #eaaakk #curcol

bahkan untuk lanjut ngetik FF aja tuh sampe susah banget, kudu nyuri-nyuri waktu, semenit-dua menit disela-sela kerjaan yang setumpuk ><

jadi, mohon maklum, ya *deep bow* /nangis gelindingan/


oh, iya.. semoga kalian ga lupa atau bosen (JANGAN!!) sama FF gaje ini, ya >< kalo lupa kemarin chap terakhir bahas apaan, silahkan dilongok lagi ><


duuuhh.. sekali lagi VJin minta maaf atas ke'molor'an update nya, ya /nangis gelindingan/ :"

#SalamOTP


semoga masih berkenan buat vote sama comment :"


VJin




Continue Reading

You'll Also Like

286K 22.2K 102
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
761K 72.4K 42
𝑫𝒊𝒕𝒆𝒓𝒃𝒊𝒕𝒌𝒂𝒏 J. Alexander Jaehyun Aleron, seorang Jenderal muda usia 24 tahun, kelahiran 1914. Jenderal angkatan darat yang jatuh cinta ke...
33.7K 5K 32
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...
47.8K 5.3K 20
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...