Pangeran Es [End]

By anakumak

95.7K 3.4K 111

[Yoshil Area] = Icil/Idola Cilik Ini tetang kedatangan Ashilla ke kota baru. Mempertemukan dia dengan sepupu... More

Blurb
Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Promo New Story
Part 17
Part 18
Bukan Update
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Epilog
Last and Thanks

Part 12

2.6K 117 4
By anakumak

Pemuda berkaos oblong putih itu berjalan mendekati pintu saat seseorang menekan bel rumahnya. Cowok itu membukakkan pintu jati tinggi yang menampakkan seseorang yang seumuran dengannya.

"Kenapa lo nyuruh gue ke sini?" tanya cowok itu to the point.

Pemuda berkaos oblong itu mendecih dan menyuruh tamunya untuk masuk. Cowok itu melangkah masuk dan berjalan memasuki ruang keluarga lantai dua yang sudah di isi oleh para sahabatnya.

"Woi ,Bro ke sini juga lo," ujar pemuda yang tengah bermain PS sembari mengangkat sebelah tangan.

Pemuda itu berdehem san duduk di sofa. "Kenapa, Yo?"

Pemuda yang di panggil Yo--Rio-- itu menurunkan gelas dan meletakkan ke atas meja." Seharian tadi lo ke mana?"

Alvin mengacak rambutnya. "Jadi lo nyuruh gue ke sini cuma untuk ini?"

"Nggak usah banyak bicara. Lo ke mana?"

Tatapan Rio menajam menembus mata Alvin. Gabriel dan Cakka menelan ludah untuk sekadar membasahi tenggorokan.

"Iel menurut lo bakalan ada perang nggak?" bisik Cakka. Gabriel mengangkat bahu, bertanda tidak tahu. "Ah lo," sungut Cakka mendorong pundak Iel.

"Gue ada kerjaan, kenapa?"

"Nothing."

Rio berlalu meninggalkan ruangan itu, membuat orang yang di tinggalnya mendesah pelan.

"Vin--"

"Bilangin ke Rio kalau gue balik."

Alvin beranjak dari duduk kemudian pergi meninggalkan Gabriel dan Cakka yang saling melirik.

"Gila lo Vin, baru nyampe langsung balik," seru Cakka menggelengkan kepala.

"Udah lah, biarin aja." Gabriel bangkit dari duduknya. "Gue ngantuk, duluan."

Cakka memandang Gabriel yang berjalan menuju kamar yang biasa ia tempati jika menginap di rumah Rio. "Lah, terus gue ngapain?" ujar Cakka. "Woi, Iel tungguin!"

¶Yoshil¶

Bel pulang sekolah baru saja di lantunkan. Semua murid, baik cowok maupun cewek, menyerbu pintu tanpa sabar. Tidak ada yang mau mengalah, seperti cowok yang mestinya mempersilahkan cewek keluar terlebih dahulu atau sebaliknya.

Kebanyakan cewek berpikir jika ia yang mengalah, rasanya tidak etis sehingga karena ego itu jadilah mereka saling dorong melewati pintu kelas.

Mario berjalan santai menuju parkiran dan tidak mengindahkan panggilan teman-temannya. Rio segera menaiki motor ninja merah miliknya kemudian menghidupkan mesin dan memakai helm. Motor itu melaju kencang meninggalkan bangunan megah elit itu.

"Gila itu anak, di panggilin malah pergi. Terus gimana?" Acha angkat bicara seraya melirik teman-temannya.

"Ya." Cakka menggaruk lehernya.

"Gini aja, kalian tetap pergi."

"Lo gimana?" tanya Ify menoleh ke Shilla.

"Gue nggak deh, ada urusan yang lain."

"Kalau lo nggak jadi pergi karena nggak punya tebengan mending gue juga nggak, deh," ujar Via.

Shilla menoleh. "Bukan gitu, Vi. Gue emang ada urusan lain. Kalian pergi aja dan Via tetap pergi, kasihan Alvin nggak ada temannya."

Alvin mendengkus memasukkan ke dua tanggan ke dalam saku celana. Via yang melihat reaksi Alvin, mendesah pelan.

"Kayaknya gue pulang aja deh, capek."

"Loh, kok pada pulang ,sih? Pokoknya nggak ada pulang-pulang, kita udah janji."

"Iya, tapi Cak-"

"Udah. Kalian pergi aja, Via bareng Alvin, Ify-Iel dan Acha sama Cakka. Sorry gue nggak bisa. Bener-bener ada sesuatu yang harus gue urus." Shilla melirik Alvin sekilas. "Have Fun ya, guys!" ujar Shilla berlalu pergi.

"Yah, Shilla ikutan pergi," lirih Acha.

"Jadi atau nggak?" tanya Alvin menaiki motornya.

"Jadi dong," jawab Cakka semangat sembari menaiki motornya.

¶Yoshil¶

Motor ninja itu berhenti di parkiran rumah sakit Citra Buana. Rio membuka helm dan segera turun dari motor, melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Melewati berbagai ruang rawat untuk sampai di tempat tujuannya. Rio tersenyum hangat melihat seorang gadis tengah memunggungi-nya. Rio mendekati Aya dan memeluknya dari belakang.

"Uncle," ujar gadis itu.

"Hai, Sayang. Uncel kangen banget sama kamu." Rio mencium pipi gadis itu, Aya tertawa.

"Aya juga kangen uncle, kanget banget." Aya memeluk erat Rio.

"Sudah makan?"

"Sudah uncle. Tadi Aya makan banyak soalnya ada kakak cantik yang nyuapin Aya."

Rio mengernyit. "Kakak cantik?" Aya mengangguk.

'Apa orang yang sama dengan membawakan Aya balon?'

"Uncle." Aya menangkup wajah Rio dengan ke dua tangannya.

"Ya, Sayang. Ah, Uncle masih ada urusan. Kamu istirahat ya, jangan bandel," ujar Rio menggendong Aya ke tempat tidurnya.

"Aya nggak pernah bandel, Uncle."

"Bagus. Berarti Aya anak pintar." Rio mencium lembut puncak kepala gadis kecil itu.

"Nanti Uncle ke sini lagi." Aya mengangguk.

Rio menutup pintu kamar rawat itu, seketika matanya menangkap seorang suster yang biasa merawat Aya, berjalan mendekat.

"Permisi Sus." Rio menghalang jalan suster itu.

"Iya, ada apa Mas Mario?"

"Apa Anda tahu siapa orang yang sering mengunjungi Aya selain saya?"

Suster itu mengangguk. "Ya, sudah hampir seminggu ini ada seorang wanita yang seumuran dengan Mas Rio datang mengunjungi Aya."

"Siapa?"

"Ah, maaf, saya belum sempat menanyakan namanya Mas, tapi Aya sering memanggilnya 'kakak cantik' seperti orangnya cantik dan baik. Mas tidak usah khawatir, gadis itu baik dan saya lihat dia sangat menyukai Aya." Rio mengangguk. "Saya permisi dulu Mas," pamit suster itu.

"Siapa wanita itu?" desis Rio.

¶Yoshil¶

SHILLA tersenyum lebar saat melihat anak-anak kecil berlari ke sana kemari. Di taman ini ia mengenal Aya, gadis kecil yang telah mencuri perhatiannya dalam sekejap waktu.

"Aya," gumam Shilla.

Shilla mengerutkan dahi saat tidak menemukan satu pun anak-anak yang berlarian di depannya tadi. Kemana mereka, pikirnya bingung.

Tik

Shilla merasakan sesuatu membasahi wajahnya dan tak lama rintikan hujan mulai membasahi taman rumah sakit yang membuat Shilla berlarian mencari tempat berteduh. Shilla berlindung di sebuah paviliun rumah sakit dan menggerai-geraikan rambutnya tanpa tahu seseorang tengah memperhatikannya dari tadi.

Shilla menyadari kalau ia tidak sendirian di sana dan menoleh kemhdian terbelalak. Cowok itu mengalihkan pandangannya dan melangkah meninggalkan tempat itu, tapi sebelum pergi, Shilla terlebih dahulu menahan tangannya.

"Rio," seru Shilla. Rio pemuda itu berhenti." Hujannya lebat."

Rio menepis tangan Shilla dan tetap pergi menempuh hujan lebat itu, sedangkan Shilla tak habis pikir dengan pemikiran Rio.

"Cari sakit?" desis Shilla, lalu mengejar Rio dan menyamakan langkahnya.

"Rio kamu mau sakit?"

Diam. Rio terus berjalan dan tidak menghiraukan keberadaan Shilla. Shilla menggeleng kesal lalu menarik tangan Rio untuk mencari tempat berteduh. Rio berkali-kali menepis tangan Shilla dan begitu pun Shilla berkali-kali menarik tangan Rio. Ia yakin dan mampu untuk membuat es yang ada di diri pemuda itu mencair, seperti tekadnya kemarin siang.

"Mau apa?" tanya Rio dingin.

Shilla menelan salivanya untuk sekadar membasahi tenggorokan. "Kamu bodoh? Mau sakit? Sekarang hujan dan kamu malah nerobosnya."

"Bukan urusan lo!" Rio menatap tajam gadis di depannya itu.

"Memang bukan urusan aku, tapi kenapa kamu ngelakuin ini di depan aku? Kalau kamu ingin ngelakuinnya, jangan di depan aku."

Rio bersandar di pilar paviliun rumah sakit itu. Shilla mengelap wajahnya yang basah dengan tangan seraya melirik pemuda itu sekilas.

Shilla mengerjap kemudian menggosok-gosokan ke dua tangannya di depan wajah menahan dingin. Rio sebenarnya tahu bahwa gadis itu menggigil, tapi pura-pura tidak tahu. Rio sebenanya ingin memberikan jeketnya untuk menutupi tubuh gadis itu, tapi egonya menyuruhnya diam. Ia tidak ingin berhubungan dengan gadis itu, cukup hari-hari lalu.

Shilla merogoh ponselnya dalam tas. "Yah, mati," desis nya saat melihat benda tersebut tidak menyala. Shilla menoleh pada Rio yang kini menatap lurus ke depan.

Shilla menggigit pipi dalamnya. "Ri ... o," panggil Shilla. Rio tetap bergeming.

Shilla menghembus napasnya. Sungguh sial menurutnya jika terjebak dalam hujan dengan pemuda di sampingnya itu. Pemuda yang tidak punya hati dan perasaan. Mungkin jika ia terjebak bersama Alvin, Shilla akan mendapatkan kehangatan dengan di pinjamkan jaket mungkin, tapi pemuda ini, ah, rasanya Shilla ingin menjambak rambut Rio.

Setengah jam lebih Shilla dan Rio menunggu hujan reda, setengah jam lebih pula Shilla dan Rio saling diam. Sejak tadi hanya suara gemercik hujan dan kodok yang saling bersaut. Tak ada yang lalu lalang, baik itu kendaraan maupun pejalan kaki.

Rio melirik jam tangannya sekelias sebelum menoleh ke arah Shilla. Melihat Shilla tak menoleh padanya, Rio memilih untuk meninggalkan Shilla sendirian di sana. Shilla terbelalak ketika melihat Rio meninggalkannya dan memilih berjalan di bawah gerimis hujan itu.

"Dasar cowok brengsek, nggak punya hati. Di mana hatinya? Masa iya ninggalin seorang cewek di sini sendirian. Memang nggak punya hati itu orang. Gimana bisa aku selalu deg-degan di dekat dia!" dumel Shilla menghentakkan kaki kesal.

¶Yoshil¶

Gelak tawa memenuhi salah satu meja di cafetaria bagian pojok. Meja yang di penuhi enam remaja yang memakai seragam sama. Mereka tak menghiraukan orang di sekitar, yang mereka rasakan adalah kehidupan yang ada di meja itu.

"Dengerin gue, Guys. Siapa yang tau jawab, ya," ujar Cakka di sela tawanya. "Kenapa bayi yang baru lahir ngeluarin suara owek-owek, kenapa dia nggak manggil mama atau papa?"

Semua orang di meja kecuali Acha dan Ify memutar matanya malas. Acha yang tampak berpikir dan Ify yang tengah menerima telepon.

Gabriel menoyor kepala Cakka." Emang lo lahir manggil mama papa, Cak?"

"Nggak."

"Lo aja nggak manggil mama papa, ya, begitu juga yang lain," ujar Gabriel malas. Cakka cengengesan.

"Garing lo, Cak," timpal Via.

"Gue nggak tau. Emang kenapa, Cak?" tanya Acha polos.

"ACHA!" gumam Via gemas.

Acha menoleh ke arah Via. "Apa?"

Via menyenderkan punggungnya. "Tau ah, gelap."

Acha mengerutkan keningnya."Perasaan terang deh, Vi. Nggak gelap."

"Acha!"

"Ih, apa, sih."

Alvin dan yang lain memilih untuk diam dan melanjutkan makan yang sempat tertunda karena teka-teki Cakka yang garing dari pada menanggapi sikap lemot Acha yang akan membuat mereka kesal.

¶Yoshil¶

Rio melajui motornya mengitari rumah sakit yang besar di bawah gerimis hujan dan melewati jalan kecil yang membawanya ke sebuah paviliun. Dari kejauhan menampakkan seorang gadis tengah berdiri di balik pilar tinggi yang menutupi sebagian tubuhnya. Rio menepikan motor dan membuka kaca helm.

"Naik!" ujar Rio. Gadis itu bergeming di tempatnya. "Lo nggak mau? Ya udah, gue tinggal." Rio kembali menghidupkan mesin motor dan menurunkan kaca helmnya. 

Shilla yang melihat itu mengangguk dan mendekati Rio.

"Naik yang benar," ujar Rio pelan sangat pelan mungkin hanya gerimis yang mendengar.

Shilla berpegangan di bahu Rio, membuat Rio berdecak kesal.

"Lo pikir gue tukang ojek? Turunin tangan lo!"

Shilla mencibir lalu menurunkan tangannya dari pundak Rio.

"Terus aku pegangan di mana?" tanya Shilla polos.

Shilla ragu kepada Rio antara terdengar atau tidak apa yang di ucapkannya tadi, tapi Shilla juga tidak mengulanginya. Ia sudah kedinginan dan Rio malah mempermasalahkan letak pegangannya.

Saat di persimpangan Rio tiba-tiba melakukan rem mendadak hingga tubuh Shilla terdorong ke depan, menekan punggung cowok itu yang tegap dan jangkung.

Shilla bersungut-sungut kesal melihat Rio yang membawa motor sesuka hati. 'Dia pikir ini jalan milik nenek moyang nya apa?'

Rio melirik kaca spion kanan, melihat Shilla misuh-misuh sendiri tanpa sadar melukiskan sebuah senyuman tipis di wajahnya.

"Di sini aja," ujar Shilla seketika itu juga Rio memberhentikan motornya. Membuat Shilla semakin jengkel. Gila, aku di suruh jalan nih, ceritanya?

"Turun!"

"Eh?" Shilla tersentak kaget, tersadar sesuatu. "Masih di depan Rio." Rio memandang jalan di depannya.

"Lo cuma butuh jalan sepuluh langkah lagi, turun!"

Shilla mengerucut kan bibir dan turun dari motor Rio.

"Ngapain itu mulut?" tanya Rio datar."Lo yang minta di sini." Setelah mengucapkan itu, Rio memutar motornya dan melajukan dengan kecepatan tinggi meninggalkan area kompleks perumahan Shilla tanpa sedikit pun ucapan pamktan.

Shilla menghentakkan kaki berjalan mendekati pagar rumahnya. Shilla melangkah masuk ke dalam rumah dan tiba-tiba suara yang sangat ia kenal itu membuatnya terlonjak kaget.

"Ya ampun, Sayang. Kamu dari mana aja, ini kenapa basah kuyup?" Wanita paruh baya itu menghampiri putrinya.

Shilla menganga. "Mama kapan pulang?"

"Tadi. Kamu mandi sana, habis itu turun." Shilla mengangguk.

Tak butuh waktu lama untuk membersihkan badannya, Shilla kini menghampiri ke dua orang tuanya di ruang keluarga.

"Shilla sini Sayang," ujar mama Shilla menepuk sofa di sebelahnya. Shilla mengangguk dan mendekat.

"Gimana sekolah kamu?" tanya papa Shilla saat melihat Shilla telah duduk.

"Baik, Pa. Hasyim." Shilla terbersin.

"Sayang kamu sakit? Makanya jangan hujan-hujanan, tunggu di sini. Mama ambil obat dulu." Shilla terus terbersin sampai mamanya kembali membawa obat.

"Ini minum obatnya dulu." Shilla mengambil obat itu dan meminumnya.

"Kamu istirahat sana, jangan hujan-hujanan lagi."

Shilla mengangguk. "Ya udah Pa, Ma, Shilla ke kamar dulu," ujar Shilla beranjak dari duduknya.

"Iya, tidur yang nyenyak, ya."

Shilla terduduk di balkon kamar, memandang langit gelap yang dari tadi tidak ada hentinya menangis. Shilla melirik gawai yang bergetar, Alvin? Shilla meraih ponselnya dan menggeser tombol hijau di layarnya.

"Hallo? "

"Lagi apa lo?"

Shilla mengernyit. " Nggak lagi ngapa-ngapain. Lagian, lo ngapain nelpon?"

Pemuda di seberang sana terkekeh. "Emang nggak boleh gue nelpon?"

"Nggak!"

"Pelit lo! Eh, lo sakit?"

"Enggak."

"Nggak usah bohong, suara lo serak."

"Emang setiap orang yang suaranya serak itu sakit?"

"Aish lo ya, terserah deh. Gue lagi nggak mau debat. Kalau lo sakit, jangan lupa minum obat. Ya udah, tidur sana udah jam 10."

Shilla mengangguk."Iya, bawel lo, ah."

"Siapa yang bawel?"

"Lo!"

"Enak aja. Lo kali yang bawel."

"Lah, kok gue!" Shilla mengepalkan tangan di atas paha.

"Ya, jelas lo lah."

"Terserah lo, Vin. Terserah. MATI AJA LO SONO!"

Tut ....

Panggilan itu terputus secara sepihak. Shilla masih saja enggan beranjak dari balkon. Pikirannya saat ini di penuhi oleh seorang pemuda yang menurutnya impossible untuk di dekati.

Shilla mengacak rambutnya. "RIO, KAMU JADI ORANG DINGIN BANGET SIH, ARGH." teriak Shilla. Ia bersyukur hujan turun lebat malam ini sehingga tak satu pun yang mendengar teriakannya.

¶Yoshil¶

©2015 - 2021

25 Jan 21

Au

Continue Reading

You'll Also Like

171K 8.4K 28
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
6.1K 529 17
Mungkin kita pernah sedekat mata kiri dan mata kanan, hanya saja tak pernah saling menatap. -Dheira Ravinza
1.2K 141 12
SUMPAH DEMI APA gw jadi istri si kulkas yang nyebelinnya minta ampun kalo ngomong irit banget, kalo ngetik juga irit udh kaya jempolnya cantengan "ag...
4.2K 151 35
Kumpulan Quotes ,motivasi dari wattpad dan novel Langsung baca aja please vote and comment guys