To Be With You (Slow Update)

By FefeFanixiamo

549K 44.6K 1.8K

Yuvanka Maharani adalah seorang mahasiswi semester lima yang juga seorang foto model. Niat terbesarnya melaku... More

To Be With You
Prolog
Part 1. Hari Sial?
2. Pemotretan untuk Katalog Why High
3. Semakin Mesra-Semakin Sakit
4. Bruno
5. Model Baru
6. Unexpected Moment-1
7. Unexpected Moment-2
8. Nge-date?
9. Gosip
10. Ternyata
11. Manwhore
Pemberitahuan
12. Penolakan
13. Tuhan... Aku butuh dispensasi!
14 A. April Hilang
Part 14 b
15. Langkah Pemulihan
16. Hati Sekuat Baja
17. Apa Kalian Punya Hati?
Cecuap
18. Haruskah Percaya?
19. Dari yang Lain
Sekilas tentang Bab Selanjutnya
20. Di Balik Lensa
21. Akhir untuk Menuju Awal (Bag. 1)
22. Dia Kembali
23. Akhir untuk Menuju Awal (2)
24. Berita Buruk
25. Rahasia
26. Ingin Mencoba
27. Mendekat
28 A. Interogasi
28 B. Interogasi
29. Konferensi Pers
31. Titik Terang
32. Teror
33 A. Terkuak
33B. Terkuak
34. Berakhir
Cast
35. Pertemuan Kembali
Epilog
LDR (Chat)
Dirty Chat
Hello
KELANA

30. Cemburu

9K 859 65
By FefeFanixiamo

30. Cemburu

Ps. Bantu saya kumpulin typo, kejanggalan, dan sejenisnya ya. Suatu saat di masa depan pasti akan saya benerin kok. :)

Happy reading!

Begitu turun dari taksi, aku mendapati Bruno yang berdiri di depan gerbang kosku. Keningku berkerut mengamati profilnya. Wajah yang biasanya terlihat segar dengan binar jahil di mata, kini terlihat kuyu dan berantakan karena bakal jenggot yang memenuhi dagu dan rahang. Dan yang paling kentara sekaligus menganggu mata adalah rambutnya. Ia biasa memotong rambutnya dengan model undercut dan disisir rapi ke ke belakang, bukan acak-acakan seperti ini dan ditahan dengan bandana.

Dasar anak ekonomi gadungan! Pasti dia menjadi si buruk rupa di fakultas kami kalau dandanannya macam itu.

"Hai,"

Wajahnya semakin terlihat kacau saat ia menyapaku. Cekungan hitam di sekitar mata yang tadi kulewatkan, kini terlihat jelas.

Kuhela napas panjang. Apalagi ini, Tuhan? Kupikir aku bisa langsung istirahat saat sampai kos, ternyata masih ada tamu sekarat yang harus kuhadapi.

Tanganku bersidekap di depan dada sambil kutatap ia lekat-lekat. "Bruno, gue ca–"

"Bisa kita bicara?"

Suaranya terdengar serak. Berapa lama laki-laki ini tidak tidur?

"Please?"

Aku pasrah. Kalau sudah begini, mana mungkin aku tega menolaknya.

"Oke. Tapi jangan di sekitar kampus!"

Aku bersyukur saat Bruno langsung menyetujui tanpa bertanya alasannya apa. Atau mungkin dia sudah tahu kalau aku tidak nyaman dengan kehadirannya di kosku? Terserahlah. Yang jelas aku masih menghindari pertemuan dengan laki-laki manapun –selain keluarga –di lingkungan kampus. Berita di media memang sudah tidak seheboh minggu lalu, tetapi respon dari anak kampus dan tetangga tetap sama saja. Aku jengah.

***

"Lo, oke?" adalah pertanyaan pertamaku setelah selesai menikmati hidangan di rumah makan padang yang letaknya memang jauh dari lingkungan kampus.

Bruno melirikku sekilas. Ia kembali memakan ayamnya yang masih secuil dan meminum es tehnya yang tinggal seperempat gelas.

"Apa gue Cuma disuruh lihatin lo makan saja?" Kupukul berkali-kali sendokku ke piringnya hingga menimbulkan bunyi dentingan yang cukup menganggu. Untung saja rumah makan ini ramai, jadi aku tidak sampai menjadi pusat perhatian.

Alih-alih menjawab, Bruno justru tersedak di sela kegiatan minumnya. Ia batuk berkali-kali dan memberiku tanda untuk menunggunya meredakan efek sedakan es teh. Dengan kesal kudorong gelasku yang masih berisi setengah air putih kepadanya. Dasar bego! Makan seperti orang kesetanan dan minum seperempat gelas, memangnya apa yang diharapkan selain tersedak?

"Thanks." Ia tersenyum lega, lalu pandangannya beralih ke piringku. "Gue jadi pengen makan lele."

Aku mencibir kelakuannya. Dengan segera kutumpuk piringnya di atas piringku lalu menyingkirkan ke pinggir meja bersama dua gelas yang sudah kosong. "Gue nggak punya cukup waktu buat basa-basi, Bruno! Dan kalau lo lupa, gue juga belum sepenuhnya maafin kesalahan lo."

Bruno menyandarkan punggungnya di kursi. Mungkin ia menyadari kalau aku sedang dalam keadaan serius, jadi muka tengilnya saat makan tadi sudah berubah menjadi kuyu kembali. "Apa gue harus minta maaf karena suka sama seseorang?"

Harusnya aku tahu ini tidak akan mudah. Berbicara dengan Bruno memang lebih asyik daripada dengan Yoga, tapi itu dulu. Sekarang yang ada aku malah canggung menghadapinya dan ingin segera melepaskan diri dari situasi ini.

Kalau saja yang kutahu hanyalah sebatas Bruno yang menyakiti April, tentu aku akan dengan mudah membencinya. Tapi aku terlanjur tahu lebih banyak. Di depanku, duduk seorang laki-laki yang memendam sakit hati kepada siapa saja. Kepada ayahnya, kepada ibu tirinya, kepada Yoga, dan mungkin kepada dirinya sendiri.

Astaga... memendam cinta beribu kali lebih baik daripada memendam kepahitan seperti Bruno.

Dan kalau saja, orang yang disukai Bruno bukanlah aku, tentu semua akan lebih mudah. Aku bisa dengan tenang menemani April tanpa rasa bersalah. Ya, aku merasa bersalah karena Bruno lebih memilihku daripada sahabatku, bukan karena mereka berdua adalah saudara tiri tapi karena sejak awal laki-laki itu tidak pernah memiliki rasa kepada April.

"Jadi nggak cukup lo nolak gue, gue juga harus meminta maaf soal perasaan gue? Apa lo nggak merasa terlalu kejam, Va?"

Ucapan Bruno kembali menarik atensiku padanya.

"Perasaan lo itu hak lo. Gue nggak berhak ikut campur."

"So?"

"Kenapa lo bawa-bawa April? Lo sakit hati sama nyokapnya, bukan anaknya!" Aku membuat suara sepelan mungkin agar mereka yang berada di sekitar kami tidak mendengar. "Lagipula, lo bohong soal keluarga kalian yang bersaing dalam bisnis."

Mengatakan hal itu membuatku sadar kalau aku memang tolol. Mau-maunya dibohongi sana-sini dan akhirnya sakit hati.

"Bisa kita bicarakan hal ini ke tempat yang lebih... private?"

Orang gila! Di saat memutuskan untuk berhenti di rumah makan padang, ia harusnya tahu kemana arah pembicaraan kami.

"Udahlah,lupain aja!" balasku kemudian. "Penjelasan lo nggak akan mengubah apa pun. Semakin banyak yang gue dengar, semakin gue nggak ngerti. Lagipula, gue merasa kurang ajar kalau menuntut lo menjelaskan masalah keluarga."

Bruno yang sudah akan beranjak dari tempatnya, kembali duduk dengan tenang. Ia seperti tak percaya dengan apa yang kukatakan. Oh andai dia tahu, aku juga merasakan hal yang sama. Sedetik yang lalu aku menggebu-gebu ingin mengorek kesalahannya, tapi detik selanjutnya aku mengabaikan apapun yang ingin ia jelaskan.

"Let's make it simple, Bruno," kuamati ekspresinya sebelum melanjutnya. "Kita sama-sama tahu perasaan masing-masing, jadi gue asumsikan kalau kita juga tahu tentang apa yang harus kita lakukan." putusku.

Matanya membelalak tepat saat aku mengakhiri dialogku. "Jadi jalan gue buat dapatin lo sudah tertutup, ya?"

Pertanyaan itu tak membutuhkan jawaban. Dia sudah tahu maksudku dengan baik. Inginnya kutambahkan kalau aku tidak pernah membuka kesempatan untuk 'kami', tapi aku tak sanggup. Aku sudah cukup jahat dengan mematahkan hati yang sakit, kalau aku bertindak lebih, aku takut Tuhan akan menghukumku.

***

"Pujaan hati lo datang." Bruno menggedikan dagunya ke arah Yoga yang memandang nyalang mobil Bruno.

"Mobil kalian bikin jalanan jadi penuh." candaku yang terdengar garing di telingaku sendiri. "Gue turun."

"Gue temani."

Aku belum sempat mencegah saat Bruno melepaskan seatbelt-nya lalu melesat keluar. Dan seakan hal itu belum cukup, ia membuka pintu sampingku dan membantuku untuk turun.

"Kayaknya kita terlalu asyik sampai membuat seseorang menunggu, iya kan?" Bruno menatap ke arahku dengan seringaiannya.

Aku mencebik. Terlalu asyik apanya? Yang ada kami terlalu lama terjebak di jalan. Tapi biar begitu aku tak membantah ucapan Bruno. Laki-laki itu pasti sengaja ingin membuat Yoga kesal, dan aku mendukungnya.

Bruno merangkul bahuku dengan akrab saat kami berjalan menuju Yoga. Kali ini pun juga kubiarkan. Diam-diam aku penasaran, apakah laki-laki yang mengaku suka padaku tempo hari itu akan cemburu?

"Sorry, kita memang suka lupa waktu kalau ketemu." Tatapan Bruno beralih ke Yoga. Ia masih mempertahankan gaya sok asyik-nya, meskipun aku sempat mendengar geraman di ujung kalimatnya.

Ekspresi Yoga masih sama. Ia tak lantas bertindak seperti remaja labil yang langsung menghajar setiap orang yang dianggap saingan. Ketika jarak antara aku dengannya hanya tinggal selangkah, ia tanganku untuk menjauh dari Bruno.

Aku mengernyit merasakan genggamannya yang kuat pada pergelangan tanganku. Ini sangat tidak nyaman dan sedikit ngilu di tulang. Beberapa kali aku mencoba melepaskan, tetapi gagal, melonggar pun tidak. Dengan kesal aku mengalihkan pandangan pada Yoga sebagai bentuk protes, tapi pada detik aku melihat ekspresinya, segala yang ingin kukatakan langsung lenyap.

Yoga memberikan tatapan menghunus pada Bruno. Tatapannya... aku tidak ingat apakah ia pernah melihat dengan kejam seperti itu, yang pasti aku jadi mengigil ketakutan karenanya. Dan kalau saja ia basilisk, pastilah Bruno sudah mati dari tadi.

"Entah lo terlalu berani atau nggak tahu diri, yang jelas, nggak seharusnya lo ada di sini." Yoga masih mempertahankan tatapannya sembari memberi Bruno senyum menghina.

"Apa yang salah dengan menemui orang yang gue suka? Gue kangen, jadi gue ke sini." Bruno memberikanku senyum manis yang kali ini kuabaikan.

Yoga sudah akan membalas, tetapi aku lebih dulu menahannya. Kuremas lengannya dengan tanganku yang bebas. Ia lantas menatapku untuk melayangkan protes yang hanya berbalas gelengan kepala.

"Ayo pergi!" geramnya.

Aku menurut saja ketika Yoga membawaku ke mobilnya. Ini lebih baik daripada ia berselisih dengan Bruno di depan kosku. Demi Tuhan, kemana akal sehat kedua pejantan ini? Apa mereka ingin membuatku semakin kehilangan muka?

Sebelum menaiki mobil, kusempatkan untuk menoleh Bruno yang berdiri di belakang kami. Raut wajahnya lebih buruk dari yang kulihat tadi, selain lelah, aku bisa menangkap rasa kecewa di sana. Tuhan, aku sudah membuat hatinya lebur.

***

Kami memasuki apartemen Yoga dalam keadaan diam. Sejak di mobil hingga kini ada di dapurnya, tak satu pun dari kami yang membuka mulut. Yoga sepertinya sibuk menahan amarah karena aku mendengarnya menggeram dan menghela napas beberapa kali. Sedangkan aku sama sekali tidak berminat menganggunya yang sedang cooling down.

"Kamu suka beef teriyaki?" Yoga mengeluarkan daging sapi dan paprika dari dalam kulkas. Kemudian bumbu-bumbu yang lain menyusul di atas table top.

"Gu-" Kugigit bibirku saat nyaris keceplosan mengatakan 'gue'. Sejak sepakat untuk memberinya kesempatan kedua, seperti ada konvensi di antara aku dan Yoga untuk menggunakan 'aku-kamu'. "Aku suka. Tapi ini semua buat apa?"

"Bukannya aku udah bilang kalau kita akan dinner. Kamu pasti nggak akan nyangka kalau aku bisa ma-"

"Tapi aku udah makan." Selaku tanpa pikir panjang.

Gerakan Yoga yang sedang memotong paprika terhenti seketika. Diabaikannya segala 'alat tempur' memasak lalu berbalik menatapku. "Sama Bruno?"

Aku mengangguk pelan. Mataku melihatnya takut-takut sambil menunggu respon yang akan kuterima. Tapi setelah menunggu beberapa saat, Yoga tak kunjung mengatakan apapun. Dalam diam dia memalingkan perhatiannya padaku, kembali berkutat pada bahan beef teriyaki.

"Aku kira kamu bakalan lama di tempat April."

"Jadi itu alasan kenapa kamu makan sama Bruno?" tanyanya sambil membereskan bahan-bahan beef teriyaki yang tidak jadi dimasak. Ia melirikku sekilas, mencuci tangan, baru menghampiriku kembali."Apa kamu marah karena aku batalin janji untuk ketemu April? Iya?"

Aku tak menyangka dia akan menanyakan hal ini. Laki-laki ini apa tidak bisa lebih peka sedikit saja? Apa aku harus mengatakan semua yang kurasakan secara gamblang?

"Aku pikir kamu akan ngerti karena ini tentang April." Ia memegang kedua bahuku dan membawaku lebih dekat padanya. "Kenapa nggak bilang? Kamu bahkan nggak balas pesanku."

"Karena akan terdengar egosi kalau aku bilang." Aku menghindari tatapannya untuk menyembunyikan mataku yang sudah berkaca-kaca. "April memang sahabatku sekaligus sepupu kamu, tapi ternyata aku nggak bisa sebaik yang kamu pikir. Aku tunggu kamu berjam-jam hanya untuk hal yang sia-sia. Kalau seandainya kita bersama, apa kamu akan lebih mentingin April dibanding aku?"

"Sorry." Ia menarik tubuhku ke pelukannya.

"You've said it for many times." gerutuku.

"Aku terlalu panik tadi saat April telepon. Kamu tahu aku bukan orang yang cukup peka kalau menyangkut hubungan kita, jadi lain kali jangan dipendam kayak gini. Oke?"

Aku tidak menyahut, sibuk mengusapkan pipiku yang mulai bahas ke kaosnya.

"Untuk beberapa saat, aku juga rasain marah yang sama." Yoga membelai rambutku sembari melanjutkan ceritanya. "Melihat kamu pergi sama Bruno adalah hal terakhir yang aku inginkan. Makan bareng lagi."

Kuangkat kepalaku dari bahuku lalu mendongak. "Nggak sengaja ketemu tadi, ada yang perlu kami bicarakan.. Makan juga dia yang ngajak."

Yoga hanya mengangguk. Ia mengurai pelukannya untuk mengamatiku. "Aku oke kalau kamu sama cowok lain asal itu hanya teman atau partner, tapi lain halnya kalau sama cowok yang jelas-jelas suka sama kamu. Dan khusus Bruno, alasan apapun akan ditolak."

Otakku berpikir keras, menimbang apakah akan mengutarakan isi pembicaraanku dengan Bruno atau tidak. "Oke," kataku akhirnya. Perbincanganku dengan Bruno biarlah menjadi urusan kami. Lagipula, hubunganku dengan Yoga belum seserius itu sampai aku harus menceritakan semuanya. Cukup dia tahu kalau aku tidak akan menyukai laki-laki lain selama tiga bulan masa percobaan kami.

-bersambung-

Fe's note:

Judul bab 'cemburu', nah silakan menarik kesimpulan siapa yang cemburu. Ini sengaja nggak ada dialog yang isinya 'aku cemburu' atau sebagainya. Karena apa? Karena mengaku cemburu butuh menurunkan gengsi yang serendah-rendahnya (menurut saya). Cukup mereka tahu what-i-feel dan have-to-do. Untuk beberapa saat saya pengen bikin Yoga marah meledak-ledak, tapi nggak jadi. Laki-laki dewasa harus lebih bisa mengendalikan emosi, yang boleh meledak-ledak hanya cewek hehe..

Bab selanjutnya paling cepet Kamis depan ya, saya mau sok sibuk dulu.  Oh ya satu lagi, begitu tamat cerita ini mau saya unpublish. Oke? Oke!

Continue Reading

You'll Also Like

51.3K 2.4K 12
wia yang ditolak saat hari pertama bertemu dengan orang yang dijodohkan dengannya, mau tidak mau menempuh segala cara agar dia bisa menikah dengan la...
333K 18.4K 27
Melanie. Seorang gadis yang mempercayakan hatinya pada seorang Peter Sanjaya. Namun, bukan cincin bermata berlian yang laki-laki itu berikan padanya...
1.3M 25.2K 23
Selamanya Raga adalah cinta pertama dan satu-satunya dihatiku...tapi kenapa tunanganku sibrengsek Wega akhir-akhir ini selalu memenuhi pikiranku memb...
Maps By chodaisy

Teen Fiction

155K 10.6K 25
"Kenapa semua harus kaya gini, Ar?" tanya Aika segugukan. "Gue janji gak bakalan biarin siapapun nyakitin lo lagi." ucap Arkan seraya memeluk tubuh A...