Pangeran Es [End]

By anakumak

95.7K 3.4K 111

[Yoshil Area] = Icil/Idola Cilik Ini tetang kedatangan Ashilla ke kota baru. Mempertemukan dia dengan sepupu... More

Blurb
Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Promo New Story
Part 17
Part 18
Bukan Update
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Epilog
Last and Thanks

Part 6

4K 146 9
By anakumak

Sudah terhitung satu minggu Shilla menjadi anak baru di sekolah elit tersebut. Membuat ia cukup tahu tentang seluk-beluk gedung sekolahnya yang besar. Setidaknya jika ia sedang ingin jalan-jalan sendiri, ia tidak akan tersasar. Seperti saat ini, Shilla melangkah menuju perpustakaan. Ia ingin meminjam buku bacaan seperti novel untuk sekadar menemani kesuntukannya nanti saat pelajaran Sejarah yang terdengar kabar kalau semua guru akan mengadakan rapat sehingga semua kelas akan kosong alias free.

Sekitar dua ruangan lagi menuju perpustakaan, tiba-tiba Alvin datang dari belakang Shilla lalu menutup mata gadis itu dengan ke dua tangannya. Beruntung saja koridor di sekitar sepi sehingga tidak perlu mendengar teriakan atau bisikan-bisikan kecil dari bibir-bibir cerewet murid perempuan yang sukanya mengepokan urusan orang.

Shilla mendadak berhenti kemudian berdecak, "Lepasin. Siapa sih, nggak tau apa orang lagi buru-buru!" dengkus Shilla mencoba meraba tangan yang menutup matanya kemudian beralih pada wajah Alvin yang terus menghindar.

"Siapa, sih!" teriak Shilla kesal.

"Tebak dulu baru gue buka," kata Alvin.

Shilla tersenyum miring. "Cigaso begok, bodoh. Bege lo. Lepasin!" Shilla memukul lengan kokoh Alvin dengan pelan. Ia tidak ingin menyakiti tangannya sendiri.

Alvin menurunkan tangannya dari mata Shilla kemudian memasukkan tangannya sebelah ke kantong celana dan mendengkus.

"Tau dari mana lo, itu gue?"

Shilla tersenyum miring lalu membalikkan badan. Meletakkan tangan di dagu seolah-olah ia terlihat sedang berpikir.

"Gue punya mata empat," balas Shilla mengendikkan bahu.

"Gue serius!"

Shilla tertawa. "Begok, sih. Lo 'kan tadi ngomong 'tebak dulu baru gue buka' ya, jelas gue tau lah. Lo pikir gue nggak tau suara lo gimana apa."

"Sialan! Lo suka banget ngatain gue. Udah cigaso, bodoh, begok, bege apaan coba," dengkus Alvin menoyor kepala Shilla, membuat gadis itu meringis sambil mengerucutkan bibirnya.

"Emang lo begok!"

"Ish, gue nggak suka cewek kasar."

Shilla memutar mata."Bodo amat!" lalu berjalan memasuki perpustakaan diikuti Alvin.

Shilla menghela napas pasrah, membiarkan Alvin mengikutinya ke perpustakaan adalah kesalahan, menurutnya. Bagaimana tidak lihat saja ketika Alvin memasuki tempat itu membuat orang-orang di dalamnya seketika menghentikan kegiatan dan fokus melirik Alvin, sesekali berbisik dengan teman sebelahnya.

Bahkan termasuk guru penjaga perpus yang kini terang-terangan menatap Alvin. Ia tahu siapa anak-anak yang terkenal di sekolah dan termasuk Alvin. Bukan hanya karena ketampanan atau pun kekayaan keluarga, tapi juga pemuda itu beserta teman-teman nya sering menyumbangkan piala dalam lomba basket yang di ikuti dan selalu memenanginya.

Alvin melangkah santai mengikuti kemana pun Shilla pergi. Menghiraukan tatapan kagum dyang diberikan orang di sekitarnya. Toh, ia sudah biasa mendapatkan tatapan seperti itu. Ia tidak akan menanggapinya seperti biasa.

Alvin bersandar di rak buku di ujung lorong lalu tersenyum saat melihat Shilla meloncat-loncat untuk mengambil sebuah buku yang ada di rak paling atas. Jelas Shilla tidak bisa mengapainya meskipun gadis itu berjinjit, karena Shilla tidak termasuk cewek yang tinggi atau pun pendek. Jadi, ia selalu mengatakan kalau tingginya itu pas-pasan.

Alvin mendekat dengan gaya cool-nya lalu berdiri di belakang Shilla dan mengambil buku itu. Membuat Shilla membalik seketika tersentak ketika jarak antara mereka benar-benar dekat. Shilla terpaku menatap mata Alvin yang memandangnya dengan tatapan yang tidak Shilla tahu artinya.

"Pendek, nakanya minta tolong," kata Alvin sengaja membuat Shilla kesal.

Shilla mendengar itu berdecak pelan. "Balikin buku gue!"

Alvin menaikkan sebelah alisnya dan menggoyangkan buku di tangannya itu.

"Enggak." Alvin berbalik dan berjalan menuju meja panjang yang di sediakan untuk membaca. Shilla menghentakkan kaki kesal sebelum mengikuti kemana Alvin pergi.

Kepala Alvin terangkat dengan senyum geli terukir di bibirnya. "Duduk sini." Alvin menunjuk kursi kosong di sebelahnya.

Shilla menggelengkan kepala pelan dengan tangan yang bersedekap di depan dada. Bibirnya mengerucut seolah tengah merajuk, membuat Alvin tersenyum lebar.

"Berasa pacar gue lagi ngambek. Udah duduk dulu, baru gue kasih," kata Alvin sambil meraih tangan Shilla. Membawanya duduk.

Akhirnya Shilla menuruti perintah Alvin dan menghiraukan curi-curi pandang dari orang di sekitar mereka. Bahkan beberapa gadis di depannya terang-terangan menatapnya. Setelah Shilla duduk, Alvin menyerahkan novel pada Shilla yang langsung membuka halaman pertama.

"Lo kenapa, sih?" tanya Alvin dengan menumpukan wajah di tangan sambil menatap Shilla yang fokus membaca novel.

"Kenapa, kenapa apanya?" tanya Shilla ogah-ogahan.

"Ya ... kayaknya lo kurang nanggepin gue deh, hari ini," ujar Alvin pelan, mengangkat bahunya.

"Gue lagi malas debat dan lo jangan ngajak gue ribut."

"Kalau ngomong, liat lawan bicaranya, dong."

"Males. Gue selalu emosian ngeliat wajah lo." Shilla mengangkat bahunya tanpa melirik Alvin yang kini mendengkus.

Alvin meraih asal buku di tangan Shilla kemudian menutupnya keras lalu menjauhkannya dari jangkauan gadis yang kini tengah menatapnya kesal.

"Balikin, ah, Vin!"

Alvin menggeleng. Wajah kesalnya tadi berubah menjadi senyuman geli saat berhasil melihat wajah kesal Shilla yang ia tunggu-tunggu tanpa di sadarinya.

"Bahkan gara-gara buku itu, lo berani cuekin gue. Kalah saing namanya. Gantengan gue dari pada ini," kata Alvin semakin menjauhkan benda itu dari Shilla.

Shilla mendelik kesal. "Bahkan novel itu jauh lebih tampan dari pada orang di depan gue."

Alvin tertawa menanggapinya, membuat Shilla menautkan kedua alisnya. Menatap Alvin aneh dan bingung.

"Lo kenapa? Di ledek selalu aja ketawa. Begok."

"Begok karena mu."

"Ih."

Dalam hati tentu saja Shilla kebingungan. Kenapa bisa Alvin seperti ini, seolah-olah cowok itu tengah menjalani pendekatan dengannya. Katakan saja Shilla bukan tipikal cewek polos, meskipun dari desa sekalian. Sekarang zaman modern, ia bisa menonton TV yang menayangkan sinetron-sinetron atau FTV ala anak remaja di mana pun. Selagi masih terdapat arus listrik di tempat itu.

Bingung? Pantas. Secara hubungan keduanya tidak bisa di katakan hanya sebatas 'teman' seperti diketahui teman mereka, bahkan lebih dari itu. Mereka keluarga, mereka sepupu. Walaupun ia dan Alvin baru beberapa bulan menjabat sebagai sepupu, tetap saja judulnya 'sepupu'.

Kalau Alvin memiliki rasa padanya, itu tidak harusnya terjadi. Jika benar tebakannya, apa yang harus ia lakukan? Apa Shilla harus menjauhi Alvin? Atau ....

Shilla menggeleng. Refleks memukul kepalanya yang telah jauh berpikir entah kemana menghiraukan Alvin yang mengerutkan kening menatapnya saat ini.

Shilla berdecak kesal. Nggak. Nggak mungkin Alvin punya rasa sama gue. Mungkin Alvin gini karena emang sifat aslinya seperti ini. Ya, mungkin sifatnya bersahabat dan jahil, suka ngebuat orang kesel bukan dingin, cuek atau sebagainya seperti yang di bilang Via atau anak lainnya. Ya. Shilla harus percaya. Alvin tidak memiliki perasaan apapun. Percaya itu, Shilla! Gumam Shilla dalam hati.

"Lo kenapa, sih?" tanya Alvin bingung.

"Ha?" Shilla tersentak. "E-nggak. Nggak papa," ujar Shilla gelagapan. "Lo suka pelajaran apa?" tanya Shilla menganti topik dan mencoba mencairkan suasana.

"Olahraga," jawab Alvin santai.

Shilla menghela napas dalam-dalam. "Cigaso. Selain itu bege! Itu mah pelajaran di luar. Maksud gue pelajaran yang ada di dalam kelas."

"Lah, lo nggak bilang gitu tadi."

"Ya, lo ngerti kek makna terselipnya." Shilla refleks memukul lengan Alvin.

"Nggak ada makna terselipnya, Sisir!" ujar Alvin meniru gaya Shilla.

"Ada."

"Lagian salah gue jawab gitu? Mengingat gue anak basket yang selalu nyumbangin piala. Gue harusnya bangga dong, kalau ada yang nanya pelajaran kesukaan gue. Gue tinggal jawab 'OLAHRAGA', " kata Alvin diakhiri alis yang dinaik turunkan seraya tersenyum lebar.

Shilla mendelik kesal dan kembali memukul Alvin keras. "Sebahagia lo aja, dah. Jadi, apa?"

"Apa, apanya apa?" tanya Alvin dengan ekspresi wajah yang kelewatan santai.

Mampu membuat kekesalan Shilla saat itu juga mencapai ubun-ubun.

"ALVIN JHO!" pekik Shilla kesal.

Pekikan itu berhasil membuat semua orang menatap ke arah mereka dengan tatapan kesal karena sudah menganggu suasana ketenanga perpustakaan. Shilla meringis lalu meminta maaf sebelum guru penjaga datang dan menyeret keluar mereka secara paksa. Alvin tertawa terbahak-bahak melihat wajah Shilla yang terkesan lucu baginya.

"Ngapain lo ketawa?" tanya Shilla ketus.

"Lo sih, pake teriak segala. Kita 'kan di perpus," kata Alvin dengan tampang tak berdosanya.

Shilla menggeram kesal dengan tangan yang mengepal erat. "ITU KARENA LO, CIGASO!"

Lagi, Shilla tidak bisa mengontrol dirinya membuat orang kembali meliriknya dengan tatapan tidak suka. Shilla kembali meminta maaf menghiraukan Alvin yang terus tertawa sambil memegang perut serta mencoba menetralkan emosinya.

Lupakan tentang para gadis yang menatap Alvin dengan terpesona apalagi ketika melihat pemuda itu tertawa. Bagi mereka tu sesuatu yang langkah terjadi. Mengingat image Alvin di mereka tahu tidak pernah tertawa dengan seorang gadis selama ini.

"Jadi, pelajaran apa yang lo suka?" tanya Shilla setelah sedikit bisa mengendalikan kekesalannya.

"Hm ... bagaimana kalau gue bilang Bahasa Indonesia." Alvin menanggapi dengan ekspresi wajah songong yang langsung ingin Shilla tonjok seketika itu juga.

Shilla memutar mata. "Lo orang Indonesia nggak, sih? Pelajaran yang di sukai malah itu. Yang lain kek!"

"Udah untung gue jawab. Sejujurnya sih, gue nggak punya pelajaran kesukaan kecuali basket."

Shilla mengendikkan bahu dan beranjak dari duduk, meninggalkan Alvin begitu saja. Ia tidak ingin kembali mendapatkan tatapan 'ketidaksepihakan' dari para gadis aneh di sana dan jika Shilla kembali lepas kontrol, ia jamin guru penjaga perpustakaan pasti langsung mengusirnya dari sana. Sebelum semua itu terjadi, lebih baik Shilla pergi. Lagian ia sudah cukup malu untuk terus duduk di sana dan pura-pura tidak terjadi apa-apa.

"Kemana?" tanya Alvin mensejajarkan langkahnya.

Shilla menoleh. Menghentikan langkahnya yang di ikuti Alvin kemudian memukul Alvin sekuat tenaganya, menyalurkan emosi melalui pukulan-pukulan itu. Alvin meringis menahan sakit. Wajah memerah Shilla karena emosi membuat Alvin 'sedikit' merasa bersalah.

"Ampun ... ampun ... ampun Shil. Sakit Shil," kata Alvin saat mendapatkan pukulan bertubi-tubi itu. Ia akui pukulan Shilla kali ini sakit.

¶Yoshil¶

Semua guru tengah menghadiri rapat mendadak yang dilakukan kepala sekolah, membuat jam pelajaran selesai istirahat itu kosong dan guru memutuskan untuk memulangkan anak muridnya lebih cepat dari biasa. Membuat semua siswa-siswi bersorak senang tanpa pandang jurusan. Pulang ya, tetap pulang tidak ada anak IPA atau pun IPS jika situasinya seperti itu. Mereka ikut berteriak senang dan menyerbu gerbang tanpa henti.

Kini di sinilah mereka sekarang. Alvin, Rio, Gabriel, Cakka, Shilla, Ify, Via, dan Acha--setelah melakukan sesi perkenalan beberapa hari lalu-- di area parkir salah satu mall di pusat kota.

"Turun lo!" Suara ketus itu membuyarkan lamunan Shilla.

Shilla mendengkus pelan kemudian meloncat turun dengan asal dari motor besar pemuda itu, membuat roknya seketika sobek. Seolah telinganya memang dirancang peka, Rio menoleh ketika mendengar suara sobekkan. Ia menghela napas sangat pelan saat melihat Shilla mematung.

"Suara apa?" tanyanya datar, seolah tidak peduli. Shilla menggeleng lalu menutupi rok bagian sampingnya yang robek dengan tas.

Rio mendengkus. "Ck, perdana naik motor lo?" Shilla menatap malu Rio."Tutupin. Jangan sampai ada yang ngeliat. Ntar lo malu sendiri," ujar Rio berlalu pergi. Shilla berputar memandang jengkel punggung pemuda itu.

Entah kenapa, ia selalu tidak bisa berkutik di depan Rio. Tidak bisa banyak bicara selain menuruti ucapan cowok itu. Membantah atau melawannya seperti yang ia lakukan pada Alvin sangat lah sulit jika berhadapan dengan Rio. Jadi, Shilla selalu lebih banyak mengangguk dalam diam dan memendam kekesalannya dalam-dalam.

"Shill, ngapain masih di sini? Yuk," ajak Acha yang di angguki Shilla dan mengikuti langkah Acha yang berjalan beriringan dengan Cakka di depannya.

Shilla masih bersusah payah menutupi roknya sehingga membuat ia tertinggal cukup jauh dari ke dua temannya.

Acha dan Cakka telah sampai di depan gedung bioskop, membuat orang yang mengenal mereka menoleh.

"Loh ,Cha, Shilla mana?" tanya Via bingung.

"Ada di belakang," balasnya. Alvin melirik ke belakang Acha dan tidak menemui siapa pun di sana.

"Di belakang lo nggak ada siapa-siapa," ujar Alvin berusaha menutupi kekhawatirannya.

"Hah?" Acha menoleh ke belakang dan tepat seperti ucapan Alvin tidak ada Shilla sama sekali.

"Tadikan dia bareng kita 'kan Cak?" tanya Acha menoleh ke Cakka yang di angguki pemuda itu.

"Terus sekarang dia di mana?" tanya Via cemas.

"Katanya nggak mau pergi bareng, tapi teman hilang aja malah nggak tau," sindir Ify.

Acha mendelik. "Lo jangan salahin gue dong, yang bareng Shilla sebelumnya 'kan Rio."

Rio menatap Acha tajam. Alvin menoleh ke arah Rio."Lo seharusnya bawa dia ke sini!" ucap Alvin dingin.

Rio menoleh, menatap Alvin datar."Dari pada lo nyalahin gue, mending lo cari dia."

Alvin menggeram kemudian beranjak pergi.

"Terus gimana jadi nonton atau nggak, nih?" tanya Ify.

"Teman lo hilang, malah mikirin nonton. Sahabat macam apa lo?" ujar Cakka geram.

Ify menatap Cakka tajam. "Apa lo bil-"

"Udah, lo berdua ribut mulu. Dari pada ribut mending kita mencar cari Shilla," putus Iel menengahi dan diangguki yang lainnya kecuali Rio.

"Biar gue bareng Acha ke sebelah sana," ujar Cakka lalu menarik paksa tangan Acha dan berlalu pergi dari hadapan yang lain.

Gabriel menoleh pada Via yang diam menatap kepergian Cakka dan Acha. "Ah, gue bareng mereka aja, deh," ujar Via ke Iel seraya melirik sekilas ke arah Rio. Iel yang mengerti mengangguk mengiyakan.

"Cakka tungguin gue!" teriak Via sambil berlari menyusul.

"Ya udah bro, lo cari sendiri nggak papa 'kan? Soalnya gue bareng Ify." Rio menatap Iel sebentar dan berlalu melewati Iel yang saat itu melirik Ify.

Ify balas menatap Iel. "Yakin nggak kenapa-napa?" tanya Ify.

Gabriel melirik punggung Rio yang mulai menghilang di tengah keramaian mall, lalu kembali menatap Ify dan mengangguk.

"Dia bisa sendiri."

¶Yoshil¶

Pemuda itu mendengkus pelan melihat seorang gadis yang dicarinya sedari tadi tengah duduk manis menikmati ice cream yang menggiur di lidah.

Ia mendekat dan menyambar ice cream dari tangan gadis itu. Shilla mendongak dan menemukan pemuda yang menjengkelkan tengah berdiri menatapnya dingin, seperti dinginnya es krim yang ia makan.

"Balikin!" pinta Shilla mengulurkan ke dua tangan dengan mata masih menatap Rio kesal.

Rio mendecih melihat mata Shilla yang terlihat seperti mata anak kecil yang tengah merajuk dibelikan permen. Alih-alih memberikan kembali Rio malah membuangnya ke tong sampah yang berada di samping Shilla. Melihat itu mata Shilla terbelalak dan menatap Rio geram.

"Kamu-" Sebelum suara itu merusak telinganya, Rio menarik tangan Shilla dan membawanya ke sebuah toko pakaian.

Shilla menatap binggung orang aneh di depannya. "Kenapa ke sini?"

Rio melirik rok Shilla yang robek,  seolah mengerti ia refleks menutupi rok itu dengan tangannya.

"Masuk!" suruh Rio, tapi Shilla masih bergeming di tempat yang membuat Rio langsung mendorong Shilla memasuki toko yang di sambut ramah oleh salah satu pegawainya.

Setelah membelikan rok baru untuk Shilla. Gadis itu mengajak Rio dengan paksa ke toko buku, karena ingin membeli sebuah novel yang sinopsinya sempat ia baca tadi. Namun Shilla tidak membelinya karena uang di dompet tidak mencukupi sehingga ia keluar dari tempat itu dengan tangan hampa dan beralih ke kedai es krim.

Karena Shilla bersama Rio, ia meminta Rio untuk membelikannya novel tersebut dan masalah ganti rugi, itu urusan belakang yang besok pasti ia kembalikan uang Rio.

"Nah, buku ini cocok buat kamu. Biar kamu tau apa makna tersenyum, bicara dan lainnya. Nggak diam kayak patung aja," ujar Shilla mengambil salah satu buku dari rak buku tersebut.

"Ambil novel yang lo maksud tadi, setelah itu kita pergi."

"Nih," Shilla mengacungkan novel yang di maksud. "Ini juga, ya." Shilla tersenyum menatap Rio yang menaikkan alisnya.

"Tadi lo bilang cuma satu."

"Emang, tapi saat aku ngeliat ini, pengen beli."

"Beli seperlunya aja. Jangan boros. Gue bahkan yakin lo nggak mampu baca ke dua buku itu dalam semalam."

Shilla mengerjap dengan mulut yang terbuka sedikit. Apa telinganya bermasalah sehingga ia baru saja mendengar Rio berbicara panjang?

Bagi Shilla itu suatu hal yang langka. LANGKA, Broh. Mengingat selama mengenal Rio --meskipun baru beberapa hari-- baru kali ini Rio bicara lebih dari kata 'Ya. Tidak. Terserah. Atau kata-kata super pendek lainnya.

"Kamu ngomong pan ...."

Tanpa menunggu Shilla mengoceh tidak jelas. Rio mengambil ke dua buku itu dan memberikannya pada pegawai di kasir. Setelah mengurus tetek bengek pembayaran, keduanya keluar dari toko kemudian Rio memberikan paper bag berlogo tersebut pada Shilla.

Shilla membukanya lalu mengeluarkan salah satunya dan meraih tangan Rio yang membuat cowok itu berhadapan dengannya.

"Nih," ujar Shilla memberikan sebuah buku pada Rio yang mengangkat sebelah alisnya menatap buku dan Shilla malas. "Buat kamu. Aku ngebeliinnya buat kamu. Tenang, kalau soal bayar ntar aku ganti uang kamu, deh," jelas Shilla sambil meletak paksa buku itu di genggaman Rio karena gemas sendiri saat Rio tidak mengambilnya.

"Gue nggak butuh itu."

"Kamu butuh." Shilla menampilkan ekspresi yakin ditambah anggukan kecil.

Tidak ingin berdebat lama, akhirnya Rio menerima buku itu lalu melangkah terlebih dahulu meninggalkan Shilla yang berusaha mensejajarkan langkahnya yang berjalan kembali ke tempat anak-anak yang lainnya.

"Lo dari mana aja sih, Shill?" Serobot Ify saat melihat Shilla menarik bangku di depannya.

Shilla hanya tersenyum canggung."Hampir aja kita mau ngelaporin lo sebagai anak hilang," ceplos Acha yang di pelotot oleh Shilla. Acha meringis lalu mengacungkan jarinya membentuk tanda V.

¶Yoshil¶

Di ruangan yang bernuansa merah-unggu terlihat seorang gadis yang meringkuk dalam selimut. Sedari tadi--pulang dari mall-- ia menahan sakit di perutnya.

Suasana sunyi yang sejak tadi mendominasi kini di pecahkan oleh suara merdu Gnash ft Olivia o'brien yang menyanyikan lagu I Hate You, I love You berdering dalam kamar Shilla. Membuat gadis itu terkejut sebelum meraih ponselnya di atas nakas dan segera mengeser icon hijau di layar.

"Hallo." Suara serak keluar dari mulut Shilla yang meringkuk dalam selimut. "Gue di kamar." Setelah ucapan itu keluar, sambungan terputus sebelah pihak.

Tidak ada lagi suara seseorang yang terdengar dari balik teleponnya. Hanya bunyi tut-tut yang menyahut, namun Shilla masih setia menempelkan gawai di telinga, hingga suara orang membuka pintu terdengar.

*Alvin melangkah masuk ke dalam rumah besar itu. Satu dari semua pelayan yang bekerja menunduk memberi hormat. Ia terus berjalan, tapi baru beberapa langkah, berhenti. "Shilla di mana?" tanyanya tanpa membalikkan badan.

"Maaf Tuan, saya kurang tau."

Mendengar jawaban itu, membuatnya kesal. Alvin merogoh sakunya mengambil ponsel dan menghubungi Shilla yang entah di mana.

"Lo di mana?" tanyanya setelah mendengar sahutan di seberang sana. Indra pendengarnya menangkap suara serak Shilla yang membuatnya langsung mematikan sambungan secara sepihak dan berlari menuju kamar gadis itu.*

Alvin membuka kasar pintu kamar Shilla. Matanya mencari keberadaan gadis itu. Saat menemukannya, ia melangkah lebar mendekati ranjang lalu menyibak selimut yang sedari tadi menutupi tubuh sepupunya itu.

"Lo kenapa?"

Shilla menatap Alvin lemas. "Perut gue sakit, Vin," ringisnya dengan tangan masih meremas perut.

"Kita kerumah sakit." Alvin langsung meraih tangan Shilla yang dengan cepat melepaskannya lalu menggeleng pelan. "Nggak usah, ini mungkin bulanan."

Alvin mengernyit."Bulanan?"

"Iya. Bulan ini gue belum, tapi biasanya nggak sesakit ini."

Alvin mengerti dan mengangguk."Terus?"

Shilla menoleh."Gue boleh minta tolong?" Alvin mengangkat alisnya. "Beliin gue pembalut, soalnya simpanan gue habis."

Mendengar itu membuat Alvin tanpa sadar mengerjap beberapa kali. Baru kali ini gue di suruh, apalagi membeli pembalut? Ah, gadis ini! Tanpa sadar Alvin berdesis dalam hati.

"Cewek itu kerjanya bikin susah para cowok," gumamnya beranjak pergi.

Tidak ingin mengajak Shilla berdebat kali ini melihat wajah gadis itu pucat pasi menahan sakit. Alvin baru tahu kalau haid bisa sesakit itu.

¶Yoshil¶

Semua mata menatapnya geli, ada yang tertawa dan berbisik-bisik. Alvin menghela napas panjang sebelum terus berjalan di sekitar rak yang di khususkan untuk tempatnya si brengsek yang bernama 'pembalut'. Dengan wajah datar yang masih Setia menempel dan keberanian yang baru di pupuk sedikit itu, Alvin mengambil pembalut dengan merek yang beberapa menit lalu di SMS Shilla padanya. Mengabaikan beberapa tatapan mata yang mengawasinya sejak tadi.

Ia menyelesaikan pembayaran dengan cepat dan bergegas pergi dari minimarket tersebut. Ia bersumpah ini pertama dan terakhir Alvin di suruh membeli benda kramat tersebut. Ia bersumpah tidak ingin melakukannya lagi.

Alvin membuka pintu kamar Shilla dan melemparkannya ke arah Shilla yang saat itu tengah menatapnya.

"Oh, thanks."

Alvin duduk di kursi sofa kamar Shilla."Hal bodoh yang lo lakuin ini, akan lo balas Shilla," ujarnya datar.

Shilla mengernyit. "Maksudnya?"

Alvin menatapnya tajam. "Lo harus ganti semua itu!"

Shilla tersenyum. "Tenang aja, ntar duit lo bakalan gue ganti," ujarnya melangkah ke kamar mandi dengan sesekali meringis memegang perut.

Alvin menatap datar pintu yang di tutup Shilla. Ia mengusap wajah dan bersumpah kejadian ini tidak akan pernah sampai ke telinga sahabatnya.

Alvin tidak akan mau membayangkan apa yang terjadi, jika sahabatnya tahu akan hal itu. Ia yakin 1001 persen, Cakka mengolok-olok nya dan Gabriel menertawakannya.

"Eh, masih di sini?"

Suara Shilla membuyarkan lamunan Alvin dan pemuda itu menatap Shilla tajam, yang di tatap pun tak acuh, Shilla duduk berhadapan dengan Alvin.

"Kenapa Vin, natap gue segitunya?"

"Lo ...." Alvin membuang napas kasar. "Weekend lo harus temani gue!" ujar Alvin membuang muka ke arah lain.

"Gue nggak mau."

Alvin menoleh. "Lo harus mau!" Suara dingin itu kembali menusuk telinga Shilla.

"Ah, Alvin. Weekend ini gue mau pergi bareng Via," rengek Shilla.

"Batalin. Lo pergi bareng gue."

"Enggak! Kok lo maksa, sih?"

"Karena lo udah ngegali lubang lo sendiri Ashilla. Pokonya gue nggak mau. Lo harus batalin." Alvin berdiri dan pergi meninggalkan Shilla yang menatap lemas kepergiannya.

"Ah, bego! Ngapain juga gue nyuruh dia beli pembalut. Jadinya 'kan gini," lirihnya bersandar ke badan kursi.

¶Yoshil¶

©2015 - 2021

27 Nov 16

Au

Continue Reading

You'll Also Like

899 253 11
โฒข๐˜ษ‘๐“ฐโ…ˆษ‘๐˜ต ๐’นโ…ˆ๐˜ษ‘๐”ฏษ‘๐–“๐“ฐ ๏ฝ๐–Š๐–“๐’น๐–Š๐š”ษ‘๐˜ต. ๏ฝโ…ˆ๐š”โ…ˆ๐”ฏ ษ‘๐˜๐—Ž๐”ฏ ๏ฝƒ๐–Š๐”ฏโ…ˆ๐˜ตษ‘ ๐“ฐษ‘๐š” ๏ฝ๐—Ž๐’นษ‘าป ๐“ผษ‘๐‘ฆษ‘๐–“๐“ฐ ๐’ฟษ‘๐’นโ…ˆ าปษ‘๐”ฏ๐“ฐษ‘โ…ˆ ๐˜ษ‘าป. ๐˜šโ…ˆ๐˜ษ‘๐š”ษ‘๐–“ ๏ฝ๐–Š๏ฝ๐˜ฃษ‘๏ฝƒษ‘. " gue gak b...
171K 8.4K 28
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
5K 345 8
"Kamu agan kan? Yang punya burung besar? kebetulan anya suka burung apalagi yang besar, kapan-kapan ajak anya liat burung agan ya" tunjuk anya denga...
14.9K 180 12
Suka quotes bermakna, untuk motivasi hidup๐Ÿ˜ Selamat membaca๐Ÿ“– Semoga kalian suka๐Ÿ˜Š.