Accidental Encounter

By ChenChenLing

787 207 157

Elena Lan seorang wanita yang memiliki kecantikan sempurna. Kecerdasannya dan ketelitiannya membuat dirinya m... More

Cast
Prologue
Chapter 1 : Dolphine Necklaces
Chapter 2 : Fail Dinner?
Chapter 3 : How Cruel You Are!
Chapter 5 : Double-Date (part 1)
Chapter 6 : Double-Date (part 2)
Chapter 7 : Double-Date (part 3)
Chapter 8 : Julian Chen
Chapter 9 : Steven Wu
Chapter 10 : Reunion
Chapter 11 : Paris
Chapter 12 : Between Stars and Smiles
Chapter 13 : Childish Side Of You And Me
Chapter 14 : Someone

Chapter 4 : Misunderstanding?

43 15 7
By ChenChenLing

June 20, 2016
Beijing, China

Di tengah malam yang gelap gulita, aku duduk sendirian di kursi taman panjang. Menangisi hubunganku dengan Julian yang entah akan seperti apa jadinya. Kenapa Julian begitu tega. Tak lama kemudian, seseorang ikut duduk satu kursi denganku. Siapa yang pergi ke taman di tengah malam seperti ini? Kalau bukan hantu, pastilah orang yang berniat buruk. Aku menegang, sedikitpun aku tidak berani melihat orang itu.

"Elena..."

Kudengar sayup-sayup, namaku dipanggil. Kok dia bisa tahu namaku?! Berarti orang yang duduk di sebelahku bukan manusia. Aku semakin ketakutan, tapi tidak berani bergerak, aku takut dikejutkannya nanti. Jadi aku hanya diam saja, bagai patung.

"Elenaaa..."

Sekali lagi, suara itu terus memanggilku. Kututup mataku rapat-rapat, berharap suara itu segera menghilang dan aku dapat pergi dari sini secepatnya. Aku mulai merasakan hangat di bahuku. Apakah mereka sedang menyentuhku? Aku semakin panik.

"Elenaaaaa..."

Suara itu memanggilku lagi. Aku tidak tahan lagi. Aku berdiri, bersiap lari. Aku berteriak sekeras-kerasnya.

"ARGGHHHH!!!!! HANTUUUU!!!"

Tetapi...

"Mana?! Mana?! Mana hantu?!" pekik orang itu.

Reflek orang itu memelukku karena kaget. Aku hanya melotot kaget karena secara tiba-tiba dipeluk seperti itu.

Ternyata yang memanggilku tadi adalah Steven. Dan rasa hangat di bahuku, adalah hangat tangannya yang memegang bahuku. Entah kenapa aku mendengarnya seperti panggilan aneh. Masalahnya, dulu orang tuaku selalu mengingatkanku agar tidak menoleh saat dipanggil seseorang di malam hari, karena mungkin saja yang memanggil bukanlah manusia. Dan mungkin itu selalu terbawa-bawa sampai sekarang, terdengar konyol memang.

"Jangan takut, aku tidak melihat ada hantu disini."

Ia sepertinya berusaha menenangkan aku. Belaiannya di rambutku membuatku merasa tenang. Astaga... pelukan yang sangat hangat darinya membuat diriku yang sedang ketakutan dan sedih merasa sangat nyaman dalam pelukannya.

Kemudian belaiannya berhenti. Ia mendorongku menjauh darinya.

"A-apa ya-yang kau lakukan?!"

Tampaknya ia baru sadar, kalau yang dipeluknya adalah aku, bukan Cindy. Ia memejamkan matanya. Kelihatannya ia jadi salah tingkah. Wajahnya sungguh lucu. Tak tahan, aku kembali menertawakannya.

"Cukup! Itu tidak lucu!"

Aku tetap tertawa. Ia berusaha menutup mulutku dengan tangan hangatnya, namun berkali-kali kutepis. Untuk beberapa saat kami seperti itu, ia berusaha menutup mulutku, sedangkan aku yang terus berusaha mengelak. Aku terus tertawa. Hingga...

bruukk!

Kami terjatuh. Kenapa tidak sakit sama sekali? Ah ternyata aku jatuh tepat di atas tubuhnya. Untuk sesaat kami berdiam dalam posisi itu, saling memandang.

Kalau kulihat-lihat, ia memang tampan, apalagi saat dilihat dari dekat seperti ini. Setiap kali aku melihatnya, aku seperti pernah melihatnya, tapi entah siapa, aku tidak pernah berhasil mengingatnya.

Kemudian aku sadar, ini sungguh tidak etis. Aku beranjak bangun terlebih dahulu. Diikuti olehnya.

"Kamu cari-cari kesempatankan?! Akui saja!" sergapku.

Ia kaget, kusergap seperti itu. Ia hanya menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Pasti!!" tuduhku.

Ia kembali menggeleng seperti tadi. Aku tetap pasang wajah yang tidak menyenangkan. Walau sebenarnya aku tahu dia tidak sengaja, dan saat jatuh tadi ia pasti kesakitan. Tapi tetap... aku tetap mempertahankan wibawaku sebagai seorang perempuan terhormat.

"Sialnya aku punya partner kerja yang tidak sopan seperti ini. Kalau tidak kita batalkan saja deh." ucapku yang sedang labil tidak jelas.

"Mana bisa begitu?! Seenaknya saja membatalkan kerja sama! Urusan pribadi tidak bisa dicampur dengan urusan pekerjaan!!" balasnya yang tampak kalut.

"Hahaha..." aku tertawa lagi.

Ekspresi wajahnya itu benar-benar lucu sekali. Aku tidak tahan untuk terus menerus tertawa. Ia tampaknya tidak senang.

"Gila..." ujarnya, asal.

Aku langsung menunjukan ekspresi tidak senangku kembali. Aku memicingkan mataku, menatapnya dengan tajam. Ia hanya diam. Kalau dipikir-pikir, aku ini egois juga. Giliran dia yang mengejekku, tidak boleh. Sedangkan aku, ia tidak boleh melarangku mengejeknya. Tapi ya sudahlah.

"By the way... sedang apa kamu sendirian di tengah malam seperti ini? Malah di tempat umum lagi." tanyaku.

"Bukankah seharusnya aku yang menanyakannya padamu?" sahutnya.

"Sudah, jawab saja kenapa sih!" ujarku yang sedikit memaksa.

"Karena sedang ada masalah... kalau kamu?" jawabnya.

"Sama."

Ia diam sejenak. Lalu tersenyum melihatku.

"Apa?" tanyaku bingung, melihatnya tersenyum sendiri seperti itu.

"Kita ini sebenarnya kenapa ya? Setiap bertemu pasti bertengkar." tanyanya seraya terkekeh.

"Ya... karena kamu menyebalkan, mungkin?" jawabku asal, yang aku sendiri tidak yakin.

"Tuh kan! Kamu saja tidak yakin. Bagaimana kalau kita berteman saja? Siapa tahu ini juga membawa keuntungan pada kerja sama kita."

Ia merentangkan tangannya, menungguku menyambut tangannya. Aku berpikir sesaat, lalu menjabat tangannya.

"Baiklah, aku bersedia." jawabku acuh.

Ia tersenyum. Ia membuka kancing jasnya satu persatu, lalu melepas jasnya.

"Hei... hei! Kamu sedang apa?! Jangan macam-macam ya!" aku memperingatinya.

Ia tertawa, dan memakaikan jasnya padaku. Aku terdiam, tidak enak juga selalu berperasangka buruk padanya.

"Lebih baik ku antar pulang saja, bagaimana?" tawarnya seraya tertawa.

Aku menerima tawarannya. Aku tidak bawa mobil karena tadi aku datang bersama Julian. Jadi, dari pada aku mencari kendaraan umum lagi, pasti akan memakan banyak waktu, lebih baik ikut dengannya saja.

...

Akhirnya sampai juga di rumahku. Aku mengembalikan jasnya dan turun dari mobilnya. Ia membuka kaca mobilnya.

"Besok aku datang ke kantor, membahas kerja sama perusahaan untuk ke depannya."

Aku hanya mengangguk saja. Ia melambaikan tangannya dari dalam mobil, menutup kacanya, dan melaju pergi meninggalkanku.

Dia sungguh berbeda dengan yang kukira. Semoga berteman dengannya bukanlah hal yang buruk.

-----------------------------------------------------------

June 21, 2016
Beijing, China

Baru saja sampai di kantor, Steven telah menunggu di lobby dengan membawa berkas-berkas di tangannya.

"Tn. Wu?" aku berusaha tetap profesional.

"Saya telah menunggu anda Nn. Lan. Saya ingin memperbaiki kesalahan saya dulu, karena telah membuat anda menunggu terus menerus seperti saat itu."

Aku tersenyum, tampaknya berteman dengannya memang bukanlah hal buruk. Aku merasa ia orang yang sadar akan kesalahannya. Cukup membuatku terkesan. Kuberitahu karyawatiku agar tidak menggangguku dalam beberapa jam ke depan.

Aku mempersilahkannya. Kami memasuki lift berdua. Lagi-lagi manager gila itu ada disana. Aku hanya memasang tampang tidak suka terhadapnya. Steven yang ada di sebelahku hanya memperhatikan angka yang menunjukan kami dilantai berapa. Aku berada di tengah, antara Steven yang berada di kananku dan manager brengsek itu yang berada di sebelah kiriku. Aku mulai merasakan pinggangku di sentuh. Entah siapa yang menyentuhku, mungkinkah manager brengsek itu? Berani sekali, apa ia tidak takut ku pecat. Atau mungkin bukan dia? Aku menatap Steven dengan tatapan menelisik. Ia yang sadar kuperhatikan hanya menatapku dengan tampang polos dan tersenyum kepadaku. Sepertinya bukan Steven. Ku tatap lagi manager itu. Ia pura-pura tidak melihatku. Pasti manager ini. Aku pura-pura tidak sadar, tapi sebenarnya aku sudah bersiap, bila-bila ada yang menyentuhku lagi. Dan benar saja, lagi-lagi kurasakan ada yang menyentuhku. Kutangkap tangan itu dengan cepat. Ternyata benar dugaanku, yang menyentuhku adalah manager brengsek itu! Kutampar wajahnya yang menyebalkan itu sekeras-kerasnya.

"Ada apa?" tanya Steven bingung.

"Pria tidak bermoral ini, berlaku sangat tidak sopan terhadap saya." ujarku seraya menunjuk pria yang sedang memegangi pipinya akibat tamparanku tadi.

Steven kemudian menghadiahkan lebam di pipi dan hidung yang mengeluarkan darah untuknya.

"Tn. Norton,  besok anda tidak perlu bekerja lagi disini. Anda saya pecat!"

Wajahnya tampak kesal. Ia segera menekan tombol lantai terdekat.

ting...

Pintu lift terbuka lebar. Ia keluar dari lift di lantai tiga. Kami tetap berada di lift sampai lantai lima, dimana ruang meeting berada. Steven mengambil kembali berkas-berkasnya yang terjatuh di lantai. Tangannya tampak memerah.

"Tn. Wu, anda tidak apa-apa?" tanyaku yang khawatir padanya.

"Kalau tidak ada bawahan, panggil Steven saja." ia tersenyum padaku.

"Ah... baiklah Tuan- eh? Umm... maksudku... Steven. Steve tanganmu baik-baik saja?"

Ia menggelengkan kepalanya. Ia bilang ini sudah biasa. Kutanya, apa dia pernah belajar ilmu bela diri. Ia mengangguk. Ia mengaku pernah belajar taekwondo dan judo.

Aku selalu kagum dengan pria yang hebat dalam bela diri. Aku selalu mendorong Julian untuk belajar salah satu ilmu bela diri, tapi tetap saja. Julian tidak sanggup, ia hanya belajar sampai satu atau paling lama dua minggu. Selanjutnya ia tidak mau melanjutkannya lagi, dengan alasan tubuhnya seperti remuk akibat kelelahan. Ia hanya terlalu lembut untuk itu. Jadi sekarang melihat Steven menggunakan ilmu bela dirinya sebenarnya membuatku sedikit terpana. Ya, cuma sedikit saja. Tapi... kenapa aku jadi membandingkan mereka berdua?

ting...

Pintu Lift terbuka di lantai lima. Aku mempersilahkan Steven keluar terlebih dahulu, namun ia juga mempersilahkan aku keluar lebih dulu. Kami tertawa dan akhirnya kami melangkahkan kaki keluar dari lift bersama.

Aku membuka ruang meeting. Kunyalakan pendingin ruangannya dan membuka gorden-gorden yang ada di dalam ruangan, di bantu oleh Steven. Lalu kami duduk bersebelahan. Kami mulai membahas tentang kerja sama perusahaan. Aku merasakan aroma yang sangat harum. Sepertinya aroma itu berasal dari Steven. Wangi sekali. Walau agak terganggu, aku tetap berusaha fokus pada topik kami.

...

Setelah membahas kerja sama perusahaan selama lebih kurang satu jam. Steven pamit, ia harus kembali ke kantor. Kami saling melempar senyuman lalu berjabat tangan. Tampaknya kerja sama ini semakin membaik. Kemudian Steven meninggalkan ruang meeting. Akupun kembali ke ruanganku.

...

Kubuka pintu, dan masuk ke dalam ruanganku yang nyaman. Kemudian menutup pintunya. Lalu...

"Len..." panggil seseorang.

Aku berbalik. Dan melihat Julian berdiri disana.

"Julian?! Ka-kamu?? Ke-kenapa bisa masuk ke dalam ru-ruanganku?!" tanyaku terbata-bata.

Julian menghampiriku dan memelukku.

"Kemarin kamu salah paham, a-aku bisa jelaskan semuanya padamu."

Kulepaskan pelukannya. Kutatap matanya dengan sinis.

"Jelaskan apa? Semua sudah kulihat dengan mataku sendiri! Kalian berciuman!!"

Air mata mulai keluar dari sudut mataku. Aku berusaha menahannya agar tidak terlihat lemah.

"Len, perempuan kemarin itu temanku dari Kanada. Kebetulan kami bertemu di acara itu. Dia memang seperti itu, dia sedikit agresif. Caranya menyapa memang memberikan kecupan singkat. Tapi dia hanya temanku! Tidak lebih dari itu Len! Sungguh!"

Aku mulai lepas kontrol, air mataku terus mengalir membasahi pipiku.

"Teman kamu bilang?! Setelah Kanada, nanti selanjutnya ada teman dari mana lagi? Julian... kamu sungguh terlalu... kamu sudah sepuluh tahun mengenalku, dan kamu tahu aku sangat membenci pengkhianatan!"

Julian tak bisa berkata-kata.

"Ini baru yang aku lihat Julian, sebelumnya aku tidak tahu siapa saja yang dekat denganmu selain aku!!"

Julian sendiri matanya tampak berkaca-kaca.

"Len percayalah padaku! Aku tidak mungkin mengkhianatimu!! Kamu juga sudah sepuluh tahun mengenalku. Masa iya kamu tidak tahu aku orangnya seperti apa?!"

Aku semakin terisak.

"Julian aku benci kamu!! BENCIIIII!!!" teriakku.

Julian langsung memelukku. Membelai rambutku lembut. Aku memukul dadanya yang bidang dengan putus asa. Aku menangis dalam pelukannya. Sesungguhnya aku sangat mencintainya. Di dalam hatiku sebenarnya mempercayainya dan telah memaafkannya. Hanya saja otakku yang terlalu berpikiran negatif. Api cemburu telah menguasaiku. Namun pelukan dan belaian Julian memadamkan api dalam diriku itu.

"Julian... aku tidak ingin kehilanganmu! Tidaakk... aku tidak ingin kehilanganmu!!"

Julian memelukku semakin erat.

"Begitupun aku, maafkanlah aku Elena..."

Aku mengangguk dalam pelukannya. Aku memeluknya erat, seakan enggan melepasnya. Julian mengecup keningku. Aku tersenyum lega karena masalah kami sudah selesai. Aku melepas pelukannya.

"Anna yang persilahkan kamu masuk ke dalam ruanganku?"

"Iya, biasanya kalau kamu lagi meeting kan aku memang menunggu di ruanganmu. Dari kemarin, sepulangnya dari pesta, perasaanku terus tidak enak. Memikirkan kamu pasti marah padaku dan benar saja."

Aku tertawa kecil seraya menghapus air mataku. Julian membantuku menghapus air mata di pipiku.

"Jadi... pagi-pagi sekali, aku sudah kesini. Agar masalah ini cepat selesai."

Aku menatapnya dalam, aku sudah salah menilainya. Siapapun perempuan itu, aku tidak akan memaafkannya. Gara-gara perempuan itu, aku hampir saja kehilangan Julian.

"Kamu tidak ke kantor, Li?" tanyaku lembut.

"Tidak, aku langsung kesini."

Aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum.

"Lebih baik kamu ke kantor sana."

"Iya, nanti saja aku ke kantornya."

Dengan cepat Julian merengkuhku dalam dekapnya dan menciumku lembut. Kami menikmatinya untuk beberapa saat. Kemudian kusuruh Julian pergi ke kantor. Walau dia tampak ogah, tapi Julian tidak pernah tidak mengikuti kata-kataku.

"Baiklah, See you." ujarnya setelah mengecup keningku.

Saat pintu dibuka oleh Julian...

bruaakk!

Lisa dan beberapa karyawatiku terjatuh. Apa mereka baru saja mendengar percakapanku? Ku lipat kedua tanganku dan memasang tampang tidak senang.

"Maaf, Bu..." ujar mereka serentak.

Kemudian satu persatu kembali mengerjakan tugasnya masing-masing. Pastilah Lisa yang mengajak mereka. Soalnya dialah yang ruangannya paling dekat denganku, dan dia juga yang paling mau tahu akan segala hal. Julian hanya menggelengkan kepalanya.

"Ya sudah, aku pergi dulu Len."

"Okay... bye, Li!"

Julian tersenyum dan meninggalkan ruanganku. Aku menghela napas panjang. Akhirnya masalah ini selesai secara damai.

kringg...

Ponselku berdering.

"Halo?"

"Hei Len!"

Ini adalah suara Cindy.

"Hei Cin, ada apa?"

"Kemarin kamu kemana? Belum selesai acaranya sudah menghilang."

"Aku ada urusan kemarin."

"Sama saja kamu sama si Angel. Eh karena kemarinkan cepat banget kamu pulangnya, aku belum puas mengobrol sama kamu cuma segitu, bagaimana kalau kamu ikut ideku ini saja?"

"Ide apa?"

"Double-Date!"

-----------------------------------------------------------

Writer : Evelyn A Chandra

Continue Reading

You'll Also Like

368K 1.5K 16
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
619K 27K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
7.2M 352K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
832K 79.3K 34
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...