OBSESSION

By slay-v

99.7K 10.2K 6K

Bethany Chance dan Aimee Parker. Mereka gadis berusia 17 tahun yang sekilas terlihat seperti remaja pada umum... More

OBSESSION
CAST
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 30 (2)
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 34 (2)
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 36 (2)
Chapter 37
Chapter 37 (2)
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Epilog
Author's Notes
Random Part
Bonus Chapter: Through The Dark
Bonus Chapter: After
Bonus Chapter
Bonus Chapter: Tough Guys

Chapter 38

1.6K 166 117
By slay-v

( Harry's Pov )

Setelah ucapan Thomas, kondisi basecamp menjadiheboh. Heboh disini ada dalam dua arti. Pertama, karena agents yang berlalu lalang keluar-masuk rumah untuk menyiapkan senjata dan kendaraan. Setidaknya mereka melakukannya dengan tenang, tanpa keributan. Hanya gerakan mereka saja yang serba cepat membuat semuanya terlihat heboh bagiku.

Arti kedua—Niall panik. Selama yang lain sedang bersiap-siap, Ia histeris. Seperti sekarang. Clark sedang membantuku memakai rompi anti peluru yang baru dibalik bajuku. Sedangkan dia sedang setengah menangis di kursi meja makan.

"Kau tahu, Niall? Kau hanya mempersulit semuanya. Kau hanya akan membuat semua orang menjadi ragu untuk bertindak karena keadaanmu," aku mendengar Louis berkomentar saat Ia melangkah keluar dari garasi melalui pintu belakang.

Kemudian Greyson ikut bersuara. "Lihatlah Beth. Dia tenang. Malulah padanya."

Beth tertawa dan berkata, "satu-satunya alasanku tenang adalah karena melihat Niall. Ekspresinya lucu saat panik dan itu menghiburku."

"What the fuck, Bee. Kau kejam sekali," sungut Niall.

Beth terkekeh geli. Ia tak menyadari James sedang memerhatikannya saat Ia seperti itu. Aw. Sebenarnya aku tak menyangka kalau pada akhirnya mereka akan berpacaran. Tetapi, tidak masalah. Mereka terlihat cocok bagiku. Lagi pula, aku yakin James akan melindungi Beth dengan baik.

Namun setiap memerhatikan Beth, aku selalu teringat semua tindakannya padaku, Niall, Louis dan Liam. Beth dan fans kami pantas menerima lebih dari kata "terima kasih". Terutama yang telah kehilangan nyawa mereka demi kami—yaitu Olivia, Carly, Cynthia, Kenya, Georgia dan Lily. Mereka seharusnya tidak mengalami ini; yaitu kehilangan nyawa karenaku dan keempat sahabatku. Mereka pantas menerima yang lebih baik dari ini.

Dan sungguh, aku tidak dapat mengatakan betapa sedihnya aku ketika mengetahui mereka meninggal karena dibunuh oleh Shahid. Semua kepercayaanku kepada orang itu hancur lebur. Aku sangat marah padanya. Aku tidak akan lagi bermurah hati padanya jika saja kami berpapasan. Aku tak akan berfikir lagi untuk menghajarnya. Masa bodoh jika pada akhirnya aku akan diadili. Dia telah membunuh banyak orang, fans-ku, yang merupakan orang-orang yang selalu memberi dukungan dan cinta mereka kepadaku, juga Niall, Liam, Louis dan Zayn.

"Harry," tegur agent Peter. Ia menyodorkanku sebuah senjata dengan dua magasin cadangan, "bawa ini."

"Tetapi aku mengendarai motor. Kemungkinan aku tak akan menggunakannya," walaupun begitu, aku tetap menerimanya. Siapa tahu berguna untuk menembak Shahid. "Yah, sudahlah. Siapa tahu berguna."

"Tidak perlu gengsi seperti itu," Peter mencibir. Ia mengeluarkan sebuah benda semacam headset namun tanpa kabel, lalu mengeluarkan benda yang sama dengan jumlah enam buah. Ia memberikannya padaku, Beth, Greyson, Niall, Louis dan Liam. "Pakai ini untuk berkomunikasi dengan agen lainnya."

Kami pun memakainya, lalu mengetes agar benda ini benar-benar berfungsi.

"Sebelum pergi, aku ingin memberitahu kalian beberapa peraturan selama perjalanan ke Oxford nanti," kata James sambil memasukkan senjata ke saku pistol di sisi celananya. "Peraturan pertama, jangan melenceng keluar dari rencana. Harry, Liam, Louis, nanti kalian berpencar namun pergilah ke jalan-jalan yang sudah kita tentukan tadi. Aku dan agen lainnya akan membereskan bandits jika saja mereka datang mengganggu. Jadi jika mereka menyerang, kalian jangan terlibat. Teruskan perjalanan."

Kami semua mengangguk paham.

"Lalu peraturan kedua ..." James memandangiku, Beth, Greyson, Niall, Liam dan Louis satu persatu. "Jika ada di antara kalian yang mengalami kecelakaan maupun cedera akibat serangan bandits saat di jalan, yang selamat teruslah melajukan kendaraan menuju Oxford. Jangan berhenti."

"No way," Greyson menggeleng tidak setuju. "Kita tidak mungkin meninggalkan seseorang di belakang."

"Peraturan itu tidak masuk akal bagiku," aku ikut berkomentar. "Aku tidak mau meninggalkan seseorang yang celaka dan melanjutkan misi."

"Guys, ucapan James benar," kami semua kini memandangi Liam. "Jika saja salah satu diantara kita mengalami kecelakaan dan yang lainnya lebih memilih berhenti, maka itu hanya akan mempermudah Shahid untuk semakin mendekat kepada Aimee dan Zayn."

"Tidak. Aku tetap tidak setuju dengan peraturan itu," kali ini Beth kembali membantah.

James berkacak pinggang sambil menatap gadis di sampingnya dengan tegas, "peraturan itu tidak bisa dibantah, Bethany."

"Aku tidak setuju! Bagaimana jika kau dan teman-temanmu yang celaka, hah?" Beth merespon, seperti biasa—dengan ucapan dan lagaknya yang sama sekali tak mau dibantah. Ia selalu mengingatkanku dengan Louis dengan sikapnya yang seperti itu.

"Maka kalian pergi tanpa kami," Clark berkata dengan santai, seakan kehilangan nyawa baginya bukanlah masalah besar. Bahkan agen lainnya pun sama santainya dengannya. 

"Apa? Tidak!" Beth menggeleng. "Tentu saja tidak."

"Kami tak mau lagi ada korban!" seru Niall.

"Tetap lanjutkan misi—" kata James.

"Tidak!"

"—no matter what," kini James melanjutkan ucapannya sambil menatap tajam kepada Beth. "You listen to me?"

Beth menggeleng, masih tidak setuju. Begitu pun aku yang lainnya.

"Well, jika kalian tidak mau meninggalkan bergeraklah dengan cepat, berhati-hati dan taati peraturan," ujar James. Ia menyambar jaket kulit hitamnya di atas kursi dan mengenakannya dengan cepat. Ia pun berjalan menuju pintu utama, "ayo kita keluar. Kita harus pergi lebih dulu sebelum Shahid tiba disana."

Aku melirik kelima sahabatku—Greyson, Bethany, Niall, Louis dan Liam. Mereka berlima hendak mengikuti langkah James keluar rumah. Namun aku memikirkan suatu hal. Aku ingin berbicara dulu pada mereka. 

"James, beri kami waktu lima menit," aku berkata sambil memeluk helm di depan dadaku. "Aku ingin berbicara dulu dengan mereka."

"Lima menit, tidak lebih," ujarnya tegas. Kemudian Ia keluar dari rumah, meninggalkan kami berlima yang masih berada di ruang keluarga.

"Ada apa, Harry?" tanya Greyson. Ia terlihat penasaran. "Kita harus pergi sekarang juga."

"Aku ingin berbicara dulu," kami berkumpul di satu titik hingga posisi kami membentuk lingkaran dan saling merapat. Aku berdiri diapit oleh Louis dan Greyson. "Pertama, untuk Louis, Niall dan Liam. Ketahuilah aku tidak pernah menyesal mengenal kalian dan bersama kalian ..."

"Harry," Louis menatapku risih. "Kau mengatakannya seakan kita akan mati."

"Aku ..." well, aku memang merasa ajal kami akan tiba ketika melakukan ini. Tetapi, hanya Tuhan yang tahu. "Aku hanya ingin kalian bertiga tahu itu. Aku juga ingin Zayn tahu kalau aku benar-benar bahagia bisa bersaudara dengannya serta kalian. Zayn, Niall, Louis, Liam, kalian telah menjadi bagian dari diriku. Jadi, aku tak dapat membayangkan bagaimana perasaanku jika aku kehilangan salah satu dari kalian."

Aku melirik Greyson dan Beth. Gadis muda ini terlihat sedih. Matanya berkaca-kaca. Aku merasa agak menyesal karena sepertinya ucapanku mengingatkannya pada kedua sahabatnya yang telah tiada, Olivia dan Carly. "Greyson, Beth, kalian juga," aku meraih tangan Beth, menggandengnya hangat. Sedangkan tangan sebelahku lagi merangkul Greyson dan menariknya agar semakin mendekat padaku. "Sebulan lebih ini mungkin kita mengalami banyak bahaya namun aku senang karena dapat bertemu dengan orang hebat seperti kalian."

"Aw, Harry ..." Beth tersenyum haru. Ia membalas genggaman tanganku. "Kau manis seperti biasanya," ucapnya pelan. "Aku ... aku pun senang sekali bertemu kalian. Aku tak pernah menyesali semua yang terjadi. Aku beruntung mengidolakan kalian, aku beruntung mencintai kalian. Aku beruntung dan bersyukur atas semuanya."

"Kita akan baik-baik saja, bukan?" Niall berkata dengan takut. "Maksudku, kita akan selamat sampai bertemu dengan Aimee dan Zayn, bukan?"

"Tentu saja, Niall," Liam merangkul Niall dan Greyson yang berdiri mengapit dirinya. Keduanya tergelak dan saling membalas rangkulan. "Kita semua akan baik-baik saja. Kita pun akan memastikan Aimee dan Zayn selamat hingga kembali kemari bersama kita."

"Dan tidak akan ada lagi korban," Louis berkata dengan serius. 

Aku tersenyum, merangkul pundak Louis dan menariknya agar semakin merapat padaku. "Ini semua untuk Aimee, Zayn ..." ujarku. Suaraku terdengar semakin pelan, karena aku merasa sedih. "... dan fans."

Kami berangkulan erat, lalu membisu karena berdoa. Yang kami inginkan sekarang hanyalah diberi keselamatan dan kelancaran selama kami menjemput Aimee dan Zayn. Kami tak akan lagi mengalami bahaya. Dan kuharap ketika kami tiba disana, Aimee dan Zayn dalam kondisi baik-baik saja. Dan kuharap Shahid mengalami kecelakaan di tengah jalan hingga dia tidak dapat mendekat kepada Aimee dan Zayn.

Amen.

...

( Beth's Pov )

Perbincangan di ruang keluarga tadi benar-benar menguras emosiku. Aku keluar dari rumah dalam kondisi setengah menangis. Sebelum para agen menyadari kondisiku, aku segera mengusap mataku.

"Apa yang kalian perbincangkan? Raut wajah kalian menyedihkan," komentar James heran.

"Tanya saja pacarmu."

James memutar kedua bola matanya. "Kami belum berpacaran. Aku baru mengajaknya makan malam."

Gadis batinku dengan sewot menoleh kepada James. Apakah dia perlu mengatakan itu kepada Greyson? Kini semua orang di sekitar kami pun dapat mendengarnya dan menyebabkan kami berdua lagi-lagi menjadi sasaran ejekan.

"Smooth, James. Aku tahu kau tipe lelaki yang tidak terburu-buru dalam hubungan," Liam tersenyum penuh arti.

"Thanks," James terlihat bangga saat menatapku. Aku tak dapat berbuat apapun selain memberinya ekspresi datar terbaikku (padahal gadis batinku merasa malu setengah mati).

Kemudian, James menyuruh kami bersiap-siap dengan kendaraan masing-masing. Louis memarkirkan mobil Porsche dua pintu miliknya didepan rumah, berdampingan dengan mobil Range Rover hitam yang akan dikemudikan Liam. Louis dan Greyson sempat berdebat soal mobil Porsche tersebut. Karena menurut Greyson, mobil Porsche terlalu berlebihan untuk "misi penyelamatan" ini.

"Gee, kau harus tahu rasanya mengebut dengan mobil Porsche. Rasanya menyenangkan," Louis menepuk pundak Greyson. "Kau akan bergembira selama aku mengemudi nanti."

Greyson bengong, lalu menoleh padaku dengan horor. "Beth, kenapa aku menangkap arti lain dari ucapannya?"

Aku tergelak. Sebelum aku menjelaskan, Niall keburu melakukannya lebih dulu.

"Arti bergembira di kamus kita dengan Louis berbeda, Gee," kata Niall seraya menempati jok penumpang di Range Rover. Ia menonton Liam yang sedang memperbaiki posisi cermin spion dan cermin di atas dashboard. "Pastikan kau memakai sabuk pengaman."

"Beth, ini. Kau pakai helm Gemma saja dulu," Harry memberikanku helm berwarna hitam. Ketika aku memakainya memasuki kepalaku, Ia bertanya. "Bagaimana? Longgar?"

Aku menggeleng pada Harry dan memberinya senyuman, pertanda bahwa helm milik kakaknya ini pas berada di kepalaku. Aku pun memasang penjepit di bawah leherku agar aman. Kemudian aku duduk di atas jok setelah Harry duduk disana lebih dulu. Tiba-tiba saja aku merasa takut karena menghadapi fakta bahwa aku mengebut dengan motor ducati menuju Oxford.

"Bethany," aku menoleh mendengar James memanggilku. Ia berada di dalam mobil SUV hitam yang berada disampingku namun berjarak agak jauh ke belakang. Ia duduk di jok pengemudi, "berpegangan erat pada Harry."

"Ya, ya," aku pun melingkarkan tanganku pada pinggang Harry dan memeluknya erat. Gadis batinku cengengesan girang karena ini. Di sisi lain, aku merasa ragu karena disini ada James.

"James, kau tidak akan menghajarku karena dia memelukku, bukan?"

James tersenyum miring mendengar pertanyaan Harry. "It's fine. Alasan aku akan menghajarmu jika kau membuatnya jatuh dari motor."

Harry mengangguk. Ia menoleh padaku sambil membuka kaca penutup helmnya. "Berpegangan yang erat, Bee."

Aku mengangguk. Aku menoleh ke belakang, memerhatikan posisi kami sekarang. Motor Harry yang kutumpangi berada di posisi paling depan dan di tengah, diapit oleh mobil Louis dan Liam dengan posisi yang agak ke belakang. Sedangkan mobil James dan agents lainnya berada di belakang mobil Louis dan Liam.

Posisi ini mengingatkanku akan geng motor.

Lamunanku buyar saat Harry mengaktifkan motor hingga suara khas motor ducati terdengar jelas. Lalu suara mobil Range Rover, Prosche dan mobil SUV agents di belakang seakan menggema hingga ke sudut jalan.

Satu kata untuk kondisi seperti ini—keren.

"Oke," aku mendengar suara James dari headset di telinga kiriku. "Ingat rencana yang sudah kita diskusikan. Kemudikan senjata kalian secepat mungkin namun usahakan jangan sampai celaka dan memakan korban. Kalian tahu apa yang harus dilakukan jika tiba-tiba mendapat serangan, bukan?"

Aku teringat dengan ucapan James tentang perbincangan kami bertujuh saat di dalam tadi. Ugh.

"Ya," Greyson menyahut yakin. "Semoga semua lancar."

"Amen," semuanya menyahut.

Dan dengan itu, Harry memacu motornya secepat mungkin. Kontan aku terkejut, jadi aku mengencangkan pelukanku padanya ketika merasa motor melaju semakin cepat dan cepat menuju tengah kota. Aku sempat menoleh ke belakang, melihat mobil Liam, Louis, James dan agents lainnya yang turut mengebut di belakangku.

Ini semua membuatku kembali teringat dengan tujuan utama kami.

Yaitu menyelamatkan Aimee dan Zayn.

***

( Author's Pov )

Tak lama, mereka mulai memasuki pusat kota, dimana kondisinya tidak terlalu ramai walaupun hari menjelang malam. Langit memang belum terlalu gelap, melainkan berwarna jingga keunguan—sore hari yang cerah.

Kendaraan Harry, Liam, Louis dan MI6 menjadi pusat perhatian ketika mengebut selama melewati jalan. Beth pun melihat banyak personel polisi yang berjaga disepanjang jalan. Ia mendug bahwa MI6 telah bekerja sama dengan mereka untuk menjaga jalan selama mereka melewati kota menuju Oxford.

"Louis," Greyson memegang erat sabuk pengaman yang terpasang di depan tubuhnya. Ia bergidik karena cara mengemudi Louis yang mengerikan. "Jangan sampai kau menabrak orang."

"Tidak akan," Louis menertawai sikap Greyson. "Aku memang suka mengebut namun aku tidak ugal-ugalan, oke? Aku tidak segila itu," lanjut Louis sembari membelokkan mobilnya, mengikuti motor ducati didepannya. "Aku penasaran bagaimana perasaan Beth diboncengi Harry. Karena dia menggunakan motor, mudah baginya untuk mengebut."

Greyson pun memerhatikan sepupunya. "Kuharap semuanya baik-baik saja—"

"Tunggu," mereka mendengar suara Thomas di headset masing-masing. Thomas berkomunikasi dengan mereka dari basecamp, mengawasi dan memberitahu mereka jika ada bandits yang mendekat. Ia dapat mengetahuinya dari program khusus MI6 yang memanfaatkan satelit untuk mengetahui informasi semacam itu. "Harry, pelankan laju motormu! Aku melihat segerombolan bandits didepanmu!"

Kontan Harry mengerem tepat setelah Ia membelokkan motornya. Ia membuka kaca penutup helm, hingga Ia dapat melihat bahwa ucapan Thomas sepenuhnya benar. Banyak mobil hitam yang menutupi jalan utama mereka menuju keluar kota.

Gadis batin Beth merinding ketakutan. Kini Ia merasa menyesal karena berada di motor. Setidaknya jika di mobil, Ia akan terlindungi dan tak akan langsung menjadi sasaran tembak dengan mudah.

"Harry, Liam, Louis," James berkata dengan tegas. "Putar balik."

"What?!" Beth menjerit kaget mendengar perintah James. "Tapi, James! Ini jalan utama menuju luar kota!" tanya Beth sambil membuka kaca penutup helmnya.

"Terlalu beresiko untuk melawan mereka! Dengar aku! Putar balik, dan kalian bertiga—Harry, Louis dan Liam harus berpencar ke jalan yang sudah kita diskusikan tadi! Jangan ragu untuk menembakkan senjata kalian!" James berteriak tegas. "Sekarang, putar balik!"

Mobil James dan agents mundur lebih dulu agar memberi jalan bagi Harry, Louis dan Liam untuk "kabur". Dengan cekatan, Louis dan Liam pun menarik gigi mundur, lalu melaju cepat ke jalan yang berbeda. Harry pun melakukan hal yang sama. Motornya menukik tajam saat berputar balik, dan ngebut melewati mobil James dan agents lainnya.

Ketika sejumlah mobil bandits itu hendak menyusul Greyson, Beth dan the lads, kontan James dan agents menembakkan senjata mereka hingga beberapa mobil rusak hingga meledak di tengah jalan. Namun tidak semudah itu mereka menang. Karena James melihat sejumlah mobil bandits ada yang berhasil kabur dari tembakan, dan mencari jalan lain untuk mengejar Greyson, Beth dan the lads.

"Beth, Harry, tiga mobil mengejar kalian dari belakang!" Thomas memberi peringatan dengan tergesa. "Gunakan senjata kalian!"

"Sulit untuk mengeluarkan pistolku saat sedang mengebut!" omel Beth saat tangannya terulur masuk ke dalam jaket guna mengambil pistolnya. Ketika Ia hendak menembak, Beth mendengar suara tembakan peluru berturut-turut, menyerbu ke arahnya dan Harry.

Menyadari mereka menjadi sasaran tembak, Harry dengan cekatan mengemudikan motornya secara zig zag guna mempersulit bandits untuk menembak mereka. Selama mengemudi, Harry menghubungi keempat temannya dari headset. "Louis, Liam! Kalian dimana?!"

"Di belakangmu!" Liam menjawab dengan bersemangat. Ia melajukan mobilnya dengan cepat ke salah satu mobil yang mengejar Harry.

"TABRAK!" Niall berteriak garang.

BRAK!

Liam terus menginjak pedal gas saat ujung kap mobilnya menabrak dua mobil bandits sekaligus hingga terdorong ke depan. Satu mobil bandits yang ada di samping mencoba menabrak Liam, namun dengan cekatan Liam mengemudikan mobilnya mundur hingga mobil itu menabrak mobil kawannya sendiri. Karena tabrakannya keras, mobil tersebut terlempar ke sisi jalan, menabrak dan menghancurkan sebuah toko pakaian di trotoar.

"WOW!" Niall dan Liam bertatapan, lalu berteriak girang. "That was awesome!" jerit Niall sambil tergelak.

"Jangan senang dulu. Masih tersisa dua mobil lagi," cibir Thomas. "Oke. Perubahan rencana. Liam, kemudikan mobilmu dibelakang motor Harry untuk menjadi tameng baginya jika ada tembakan lagi. Dan, Louis, kenapa kau malah berkeliling? Cepat kemudikan mobilmu keluar kota!"

"Para kriminal itu mengejar sambil menembaki kami, Brengsek!" omel Louis.

PRANG!

Louis dan Greyson terperanjat saat kaca jendela belakang mobil mereka tertembak hingga pecah. Puing-puingnya terlempar ke depan hingga mengenai lengan Greyson dan Louis. Untungnya hanya menimbulkan luka gores tanpa mengeluarkan darah. Namun tetap saja itu membuat mereka kaget. Louis pun sempat kehilangan kendali setirnya.

"FUCK!" Louis menundukkan kepalanya kaget. "Mereka menembak mobilku. Oke, Sialan. Mereka berurusan dengan orang yang salah."

"Apa yang kau lakukan?!" Greyson menatap Louis was was saat pria itu menoleh ke belakang, memerhatikan sebuah mobil hitam yang mengejar mereka. Seorang bandit menjulurkan setengah tubuhnya keluar dari jendela dan menembaki mereka tanpa henti. "Louis!"

Louis mengabaikan Greyson. Ia mendongak kembali ke depan, memerhatikan lampu lalu lintas di seberang yang akan menyala merah dalam enam detik. Melihat kesempatan itu, Louis pun menginjak pedal gas semakin dalam, hingga mobil Porsche-nya melaju semakin cepat menuju perempatan.

Greyson mengetahui rencana Louis. Tangan kirinya kini berpegangan pada pintu disebelahnya sedangkan tangan kanannya mencengkeram jok saat laju mobil semakin cepat dan cepat, hingga mereka berhasil melewati perempatan, tepat ketika lampu lalu lintas berganti dengan merah.

Greyson menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat situasi. Ia melihat mobil yang mengejar mereka masih mengejar. Mobil tersebut melaju kencang menerobos lampu lalu lintas, hingga sebuah truk yang berasal dari jalan lain menabrak dengan kuat hingga terseret beberapa meter.

"Berhasil!" sorak Greyson girang. Ia dan Louis melakukan fist pump andalan mereka sambil tergelak puas. "Satu mobil tumbang, James," lapor Louis sambil menekan headset di telinganya.

"Kami pun sudah beres disini," ujar James. Ia mengemudikan mobilnya secara cepat menuju lokasi dimana motor Harry dan mobil Liam berada. Disebelahnya, agent Owen sedang mengisi ulang senjatanya. Mereka baru saja mengalami baku tembak dengan bandits, dan tentu mereka mengalahkannya dengan mudah. "Louis, kembali ke jalan utama menuju luar kota. Harry dan Liam pun berada disana."

"Got it, Boss."

Ketika James kembali mengemudikan mobilnya, di sisi lain, Louis sudah tiba di jalan utama, dimana kebetulan motor Harry dan mobil Liam sedang melaju kencang menuju perbatasan kota. Louis menekan klakson ketika Ia semakin mendekat kepada mereka. Hingga kini posisi mereka seperti semula—motor Harry memimpin di depan, sedangkan mobil Liam dan Louis berada di kedua sisinya dengan posisi agak ke belakang.

"Louis sudah ada dibelakang," lapor Beth melalui headset di telinganya. "Dimana James dan yang lainnya?"

"Aku di belakang kalian," kata James. "Aku akan memimpin didepan. Ada lima mobil menjaga kalian dari belakang."

Maka Liam dan Louis memperlambat laju mobil mereka agar James dapat melajukan mobilnya di depan mereka. Kini mobil James berada di depan motor Harry, namun ia tidak mengalami hambatan saat mengemudikan motornya karena mobil James pun mengebut sepertinya.

Mereka tinggal melewati perempatan terakhir sebelum ke perbatasan, dan keadaan mendukung mereka karena kebetulan kondisi jalan sepi dan lampu lalu lintas di jalur mereka berwarna hijau. Maka adrenalin mereka semakin berpacu untuk mengebut dan keluar dari kota London.

Namun itu semua tidak semudah dugaan mereka.

Ketika mobil James menyeberang, sebuah truk pengangkut barang dengan kecepatan tinggi melaju ke arahnya, dan menabrak sisi kanan mobil dengan begitu kuat hingga mobil tersebut terdorong ke pinggir jalan dan menabrak mobil lainnya yang terparkir disana. Semua kaca jendela mobil James pecah berkeping-keping, dan body mobil di sisi kanan yang membentur mobil penyok dan rusak parah.

Kontan Harry, Liam dan Louis berhenti mengemudikan kendaraan mereka. Keenamnya terkejut menyaksikan peristiwa tersebut yang terjadi dengan sangat cepat. Bahkan mereka pun tak melihat truk tersebut yang datang—yang kini kabur ke jalan lainnya.

Tubuh Beth gemetar melihat James yang berada di atas jok. Tidak sadarkan diri. Luka yang cukup lebar berada di pelipisnya hingga mengeluarkan darah. Kondisi agent Owen disebelahnya mungkin sama buruknya. Dari kepalanya mengeluarkan darah dan bibirnya robek.

Beth mencoba menghubungi James melalui headset. Ia ingin memastikan bahwa James hanya pingsan, tidak mengalami cedera yang lebih parah. "James?! Kau baik-baik saja?! Respon panggilanku!"

"Ingat peraturan nomor dua," tegas agent Peter yang berada di mobil lain. "Tinggalkan jika ada yang celaka dan lanjutkan misi!"

"Kami tidak mungkin meninggalkan James!" teriak Niall marah. "Kami akan pergi dengannya!"

"James!" sekarang, Harry mencoba menghubungi temannya itu. "James!"

Beth ketakutan karena tak juga mendengar jawaban James. "Astaga ..."

"Beth, tunggu disini," kata Harry sambil memutar kunci motornya hingga kendaraannya mati. Harry baru saja akan turun, namun Ia mendengar suara James dari headset di telinganya. Beth, Niall, Greyson, Liam dan Louis pun mendengarnya dari headset mereka.

"Per ... gi ..."

Mereka mendongak, melihat James yang sudah dalam kondisi setengah sadar di atas jok. James sempat mengerang kesakitan saat Ia menoleh keluar jendela untuk melihat Greyson, Beth dan the lads yang memerhatikannya penuh kekhawatiran.

"Ingat peraturan nomor dua," James berkata dengan suara yang begitu lemah. "Pergi dan lanjutkan misi ..."

"Tidak," Beth menggeleng.

James enggan mendengar bantahan lagi dari Beth. "Harry," James kembali menyenderkan kepalanya ke jok. Ia merasa kepalanya sangat pusing. "Louis, Liam."

Louis menatap Liam dan Harry secara bergantian. Walaupun merasa ragu, ketiganya akhirnya memutuskan pergi.

"Maaf, Beth," ujar Harry sambil menurunkan kembali kaca hitam di helmnya. "Kita harus pergi sekarang."

Gadis batin Beth menjerit-jerit tak rela saat Harry kembali menyalakan motornya. Selama beberapa detik awal, motor melaju pelan meninggalkan lokasi. Beth menolehkan kepalanya ke belakang, memerhatikan mobil James yang mulai dihampiri agent Clark dan Peter, sampai Harry semakin mempercepat laju motor dan berbelok ke jalan lain, menyebabkan Beth tidak bisa melihat apapun lagi yang terjadi disana.

"Buruk. Sangat buruk," komentar Peter sambil menarik pintu mobil di sisi James agar terbuka. Namun Ia dikejutkan karena pintu tersebut terlepas dari mobil, dan kini ambruk ke atas jalan. Setengah badan Peter pun tertarik ke bawah karena kaget, "pintu mobil pun sampai rusak."

"Peter, bukan waktunya bercanda!" tegas Clark. Ia membuka sabuk pengaman James dan memerintah agents lainnya untuk mengeluarkan Owen dari jok sebelah.

James hampir kehilangan kesadarannya ketika agent Clark membantunya keluar dari mobil, kemudian mendudukkannya di atas jalan dengan punggung menyender ke badan mobil. Clark berlutut didepannya, melihat luka di pelipisnya yang mengeluarkan darah. "Lukanya tidak dalam namun sepertinya kau mengalami gegar otak ringan," ungkap Clark dengan cepat.

"Kita harus menyusul Harry dan yang lainnya. Terlalu beresiko jika mereka pergi ke Oxford tanpa penjagaan," ujar seorang agent, yang kini berjalan mendekati James. "James, kau masih mampu berdiri?"

"Tentu," tidak terlalu, sebenarnya, batin James melanjutkan dengan lemah.

James mengabaikan rasa nyeri yang terasa disekujur tubuhnya, terutama di pelipisnya. Ia hendak berdiri dan menggunakan mobil lainnya untuk mengejar Harry dan teman-temannya. Tetapi tindakannya tertunda, saat menyaksikan satu persatu mobil sport bermerek BMW yang memiliki empat pintu datang, mengepung mereka hingga membentuk formasi melingkar. Si Pengemudi maupun penumpang mobil itu tidak keluar dari sana. Namun James dan agents lainnya tentu sudah menduga siapa yang ada disana, dan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Sekarang aku paham kenapa mereka menyerangku dan Owen," James berbisik. Matanya meneliti satu persatu mobil yang mengepungnya dan agents-nya dengan senyuman miring di wajahnya.

"Kenapa?" seorang agent bertanya.

"Mereka berencana memisahkan kita dengan Harry dan yang lainnya."

***

Di lokasi lain—tepatnya di sebuah rumah tua di tengah hutan kota Oxford. Zayn duduk di sebuah kursi meja makan, membaca sebuah artikel di internet yang membahas keempat sahabatnya (juga Bethany dan Greyson Chance). Sebenarnya artikel yang sedang Ia baca ini adalah artikel lama, berhari-hari sebelum konser diadakan.

Bulan lalu, Simon Cowell memberi pengumuman yang membuat semua orang terkejut. Bagaimana tidak? Ketika boyband asuhannya—One Direction, sedang mengalami penyerangan yang belum diketahui siapa pelakunya, Simon malah memberitakan bahwa mereka akan mengadakan konser tunggal di arena O2 pada tanggal 23 Mei mendatang.

"Untuk konser kali ini, akan diadakan pula interview. Namun interview dilakukan di dalam arena disaat konser berlangsung. Karena kami tidak mau mengambil resiko mereka—Niall, Louis, Liam dan Harry—mengalami penyerangan selama konser berlangsung," itulah yang dikatakan Simon Cowell saat kami bertemu dengannya di tengah kota London, tanggal 9 Mei lalu.

Sedangkan, Simon Cowell enggan mengatakan alasan kenapa dirinya memaksakan mengadakan konser di saat keempat personel One Direction itu sedang mengalami bahaya. Bagaimana tidak? Sejak setengah sebulan yang lalu, Niall Horan, Liam Payne, Louis Tomlinson dan Harry Styles bersama Greyson dan Bethany Chance diserang oleh orang-orang tak dikenal. Bahkan Liam Payne sempat dirawat di rumah sakit karena mengalami cedera yang parah serta Harry Styles yang mengalami koma selama tiga hari. Tidak hanya itu. Greyson Chance pun dikabarkan sempat mengalami penculikan dan Niall Horan yang mengalami luka tembak saat rumah sakit tempat Harry Styles dan Liam Payne dirawat, diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.

Namun Simon Cowell mengatakan, bahwa konser kali ini akan berlangsung lebih singkat dan diberi keamanan yang ketat selama konser berlangsung.Dan beberapa minggu terakhir sejak peristiwa ini terjadi, boyband ini pun memiliki tambahan bodyguard. Salah seorang dari mereka yang akhir-akhir ini sering dibicarakan adalah James Barnes. Sejak sebulan yang lalu, Ia sering terlihat bersama One Direction, Bethany dan Greyson Chance.

Seperti foto dibawah ini, James Barnes terlihat keluar dari studio bersama Louis Tomlinson yang disusul oleh Greyson Chance dan ketiga personel One Direction lainnya pada hari Senin, 18 Mei lalu.

"Kau sedang membaca apa?" Aimee keluar dari kamarnya dan menghampiri Zayn.

"Artikel lama," Ia melirik Aimee yang menempati sofa di pinggir jendela. Zayn mendapati ekspresi gadis itu muram. Tatapannya sama sekali tak beralih dari hutan yang mengelilingi rumah tua yang mereka tempati.

Zayn segera menundukkan kepalanya, berharap bahwa Aimee tidak melihat rona merah di pipinya. Ia teringat dengan perbincangan keduanya beberapa saat yang lalu; ketika Aimee mengungkapkan perasaannya pada dirinya. Zayn merasa bodoh merasakan ini--malu.

Bukankah seharusnya Aimee yang malu? Dia yang mengungkapkan perasannya padamu, bukan? Kenapa malah kau yang tersipu? Apa jangan-jangan kau menyukainya?

Zayn merasa pusing ketika suara-suara itu kerap menyerangnya. Ia memanggil Aimee, nyaris berteriak karena merasa frustasi atas fikirannya sendiri.

"Aimee."

"Apa?"

"Kau baik-baik saja?"

Aimee menoleh, memberikan Zayn senyuman kecil. "Aku khawatir mereka mengalami hambatan selama perjalanan kemari," Aimee mengungkapkan kecemasannya.

"Kau sudah mendapat kabar dari Thomas?"

"Belum."

"Dia tidak memberitahu apapun tentang identitas A.P? Kau tadi memintanya untuk menyelidiki A.P, bukan?"

"Entahlah. Aku pun heran."

Perbincangan mereka terhenti ketika laptop Aimee yang dihadapan Zayn berbunyi, memunculkan notif berupa undangan video call melalui skype dari Thomas. Segera Aimee menarik kursi di sebelah Zayn, duduk diatasnya dan menggerakkan kursor di laptopnya.

"Thomas?" Zayn bertanya lebih dulu, bahkan sebelum Thomas muncul di layar laptop. "Thomas? Kau mendengarku?"

Lalu wajah pria berusia 25 tahun itu muncul di layar. Ekspresinya panik. Dari gelagatnya, Ia tampak terburu-buru. "Ya. Aku mendengar kalian," ujar Thomas. "Aimee, dengarkan aku. Jika kau punya senjata, siapkan."

"Apa maksudmu? Apa yang terjadi?" Aimee bertanya. Keberaniannya perlahan mulai menciut, merasa resah sekaligus takut. Melalui cara bicara Thomas, Aimee tahu kalau sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. "Thomas?"

Tiba-tiba, jaringan terganggu. Gambar Thomas di laptop agak buram, lalu pecah-pecah dan suaranya pun terdengar agak tak jelas. "Shahid—zzz—"

"Shahid?" Zayn dan Aimee berpandangan. "Ada apa dengan Shahid?"

"Dialah A.P! Dia yang merencanakan ini semua—mencelakai teman-teman kalian, membunuh banyak orang dan yang hendak menculikmu!"

Zayn membelalak, terkejut bukan main. "Kukira dia sudah mati?!"

Berbeda dengan reaksi Aimee—

"I knew it!" Ia menjerit jengkel, menghentakkan kepalan tangannya ke atas meja dengan kuat. Perbuatannya membuat Zayn tersentak kaget. "Oh, sorry ..."

"Apa maksudnya kau tahu?" Zayn menatap Aimee heran. "Jadi selama ini kau sudah tahu Shahid-lah pelakunya?!"

"Tidak. Maksudku—aku memang tidak tahu pasti siapa pelakunya. Tetapi aku sejak dulu membencinya, jadi—"

"Hentikan perbincangan kalian! Sekarang, dengarkan aku, Aimee, Zayn. Aku—zzz—zzz—"

Jaringan kembali terganggu hingga suara serta gambar Thomas pada layar rusak, kembali menjadi pecah-pecah hingga wajahnya tidak terlihat dengan jelas.

"Thomas? Kau mendengarku?"

"Sial! Aku lupa—zz—mengamankan ... zzz—jaringan—"

Layar pun menghitam sepenuhnya. Aimee mengomel saat Ia mengetik sesuatu di keyboard, mencoba memperbaiki jaringan agar dia dapat kembali tersambung dengan Thomas. Namun selanjutnya, Ia mendengarkan suara seseorang dari speaker laptopnya. Suara seorang pria, yang sama sekali tidak ia kenal.

Namun bagi Zayn, Ia mengetahuinya. Ia mengenal suara itu.

"Shahid?"

Aimee menoleh kepada Zayn, menatapnya kaget. "Apa? Shahid?"? Si Burrito itu yang merusak jaringan kita?!"

"Wow, aku bisa mendengar ucapanmu, Gadis. Kontrol mulutmu."

Zayn berang. "Shahid, kau brengsek! Apa yang kau lakukan?!"

"Menghancurkanmu ... juga keempat saudara lelakimu yang bodoh itu."

Zayn marah. Ia memajukan posisi duduknya dan berbicara dengan geram, "jadi semua itu benar?! Kau yang berencana menculikku?! Kau yang berencana membunuhku dan keempat sahabatku?! Ada apa dengan otakmu, Brengsek?!"

"Demi balas dendam di masa lalu," Shahid menyahut dengan santai, tanpa beban dan rasa sesal. "Karena nyawa dibayar nyawa, Zayn."

"Apa maksudmu?!"

"Waktuku sedikit jika aku harus menjelaskannya padamu sekarang. Kurasa aku akan menceritakannya padamu secara langsung."

Tubuh Zayn menegang. "Maksudmu—"

"Aku sedang dalam perjalanan kesana," Shahid terdengar puas. "Kita bertemu sebentar lagi, Zayn. Dan kau juga, Aimee. Aku akan memberimu pelajaran karena mengacaukan rencanaku untuk menculik dan membunuh Zayn. Kau mengacaukan semuanya! Kau akan kubunuh, Aimee. Lihat saja! Aku tidak akan ragu membunuh satu fans lagi yang selalu berencana untuk mengacaukan rencanaku! Aku akan membunuhmu—"

Aimee tak mampu mendengar semuanya. Ia menunduk sembari menutup kedua telinganya dengan tangan, tubuhnya pun mulai gemetar ketakutan. "Hentikan!"

Zayn menutup laptop Aimee secepat kilat. Ia pun menoleh kepada gadis di sisinya, memegang kedua lengannya dan berujar, "jangan dengarkan ucapannya. Dia bodoh. Dia idiot—"

"Tidak, Zayn. Dia tidak sebodoh yang kau kira—tidak sebodoh yang aku kira," suara Aimee bergetar. "Dia sudah membunuh banyak orang dan dia tak akan ragu untuk membunuh satu orang lagi—yaitu aku! Dia benar-benar akan membunuhku! Dia—"

"Tidak! Dia tidak akan membunuhmu! Aku tidak akan membiarkannya. Kau dengar aku, Aimee?"

Keberanian Aimee yang Ia pertahankan sejak lama tersulut, hancur, lenyap. Tubuhnya gemetar karena takut saat Zayn merengkuhnya, berusaha menenangkannya. Namun itu tak berpengaruh terlalu besar. Walaupun Zayn memeluknya, mengatakan sederet kata lembut untuk memberinya ketenangan, ancaman Shahid padanya terus berputar di kepalanya, membuat batinnya semakin tersiksa.

"Aimee, listen to me," Zayn menangkup kedua pipi Aimee, mendongakkan wajahnya hingga mereka saling bertatapan. Diusapnya air mata Aimee yang mengalir ke pipi dan berkata dengan bersungguh-sungguh, "aku akan melindungimu. Kau dengar aku?"

Aimee menggeleng. "Tidak. Kenapa kau yang melindungiku? Justru aku melakukan ini semua untuk melindungimu darinya ..."

"Kau sudah melakukannya sejak lama! Sekarang, akulah yang akan melindungimu. Aku tak akan membiarkan dia melukaimu bahkan membunuhmu. Aku tak akan membiarkan dia melakukannya! Kau dengar aku?"

Aimee menangis. Takut bercampur haru. Ia memeluk Zayn. Kini isakannya terdengar lebih memilukan. Dan Zayn, membalas pelukannya. Meletakkan dagunya di atas kepala Aimee, melingkarkan lengannya yang cukup kekar di punggungnya, memberinya perasaan aman yang berharap dapat membuat Aimee jauh lebih tenang.

"Aku tak akan membiarkannya melukai lagi seseorang yang berharga bagiku."

***

As always, weekend update. 

P.s: gue ga tau mesti namain apa Liam sama Niall jadinya weird gitu maafkan xD

P.s.s: cek multimedia. How about that? :)


Continue Reading

You'll Also Like

929K 40.7K 97
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...
8.5K 1.1K 29
Rumpang yang tercipta berakibat celaka bagi kita. Perasaan kita berpetualang namun tak kunjung dipertemukan. Hingga saatnya kita satu namun tidak per...
191K 29.6K 54
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
14.6K 2.9K 63
Kata siapa orang cantik selalu jadi prioritas? Kata siapa orang cantik selalu dapat keberuntungan? Kata siapa orang cantik selalu banyak teman? Apa...