OBSESSION

By slay-v

99.7K 10.2K 6K

Bethany Chance dan Aimee Parker. Mereka gadis berusia 17 tahun yang sekilas terlihat seperti remaja pada umum... More

OBSESSION
CAST
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 30 (2)
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 34 (2)
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 36 (2)
Chapter 37 (2)
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Epilog
Author's Notes
Random Part
Bonus Chapter: Through The Dark
Bonus Chapter: After
Bonus Chapter
Bonus Chapter: Tough Guys

Chapter 37

1.6K 162 176
By slay-v

Terlalu banyak yang terjadi di hari itu. Peristiwa peledakan di arena saat konser berlangsung, kematian sejumlah fans, agen dan bodyguard. Semua itu semakin memburuk ketika Frank mengatakan kebohongan bahwa Aimee-lah bos mereka hingga menyebabkan pertengkaran antara Niall dan Beth. Beth sempat kabur, namun, ia kembali lagi ke basecamp setelah mengalami peristiwa sengit di jalan tol yang juga menimbulkan korban jiwa.

Kini semua rahasia yang membingungkan mereka sudah terungkap. Kecurigaan mereka pada Aimee lenyap, beralih dengan perasaan marah kepada Shahid Khan. Sejauh yang mereka tahu dia telah mati karena menyelamatkan Liam. Namun ternyata, itu hanya salah satu rencananya untuk membunuhnya (yang ternyata gagal).

Kesimpulannya—Shahid Khan adalah "kepala" dari penyerangan kepada Beth, Greyson dan the lads. Rencana utamanya (yaitu menculik dan membunuh Zayn Malik) digagalkan oleh Aimee, yang membawanya keluar kota. Tentu Shahid langsung beranggapan bahwa Niall, Liam, Louis dan Harry (serta Beth dan Greyson yang secara kebetulan bersama mereka) yang menyembunyikan Zayn darinya. Maka itulah dia memerintahkan Frank dan anak buahnya untuk menyerang ketujuh orang itu.

Namun, setiap Frank ingin menanyakan posisi Zayn kepada mereka, pasti ada hambatan. Seperti ketika Ia mencegat Niall dan kawan-kawannya di depan Big Ben dan hendak bertanya soal posisi Zayn Malik, Ia malah ditembak oleh Louis. Lalu percobaan kedua saat Ia menculik Greyson dan memerintah anak buahnya untuk memberi remaja itu obat bius (agar tidak memberontak), anak buahnya malah memberikan racun pencernaan yang membuat Greyson mabuk dan sakit selama tiga hari mendekam disana.

"Aku percaya pada Shahid," Louis berkata pelan. Selanjutnya Ia nyaris berteriak, begitu marah. "Kami percaya padanya! Bahkan kami memaafkannya setelah dia menghina kami, dan ini yang dia lakukan?!"

"Jadi permintaannya untuk bekerja sama dengan kita hanyalah kedok," Greyson bergumam kesal. Kedua tangannya kini mengepal menahan emosi. "Pasti dia bekerja sama dengan kita untuk mencari tahu posisi Zayn!"

"Dasar ular," hanya itu yang bisa Beth katakan. "Berarti dia sengaja mengajak salah seorang dari kita untuk masuk ke mobilnya hari itu! Dan akibatnya apa?! Liam nyaris mati!"

"Oke, oke, dengarkan aku," James bangkit berdiri dan berpindah posisi ke sebelah Thomas. "Aku tahu kalian marah, tetapi kurasa Thomas belum menjelaskan semuanya. Kalian harus tenang dan mendengarkannya dulu."

"Memang. Masih banyak yang harus kuberitahu," ungkap Thomas. "Ya, Shahid merupakan A.P yang mencelakai kalian selama ini. Namun, orang tua Shahid tidak ada keterlibatan dengan tindakan Shahid ini. Mereka bahkan tidak tahu Shahid masih hidup. Yang mereka ketahui adalah mereka menguburkan jasadnya yang nyaris tak terbentuk karena terbakar saat kecelakaan. Kemungkinan besar Shahid menggunakan jasad orang lain untuk "menggantikan" dirinya di pemakaman."

"Jadi, saat kita bekerja sama dengannya, dia hanya berpura-pura?" tanya Harry polos.

"Kenapa kau bertanya lagi, Harry? Tentu saja Ia berpura-pura! Ia bersikap sok baik dan membantu kita padahal dialah yang selama ini mencelakai kita!" Liam berseru dengan gemas. Ia menarik rambutnya ke belakang dan mengerang geram, "aku tak percaya ini!"

"I told you. Trust is bullshit," timpal Niall enteng.

"Kemudian, Bethany Chance," Thomas memanggil nama gadis itu hingga Ia mendongak. "Kau memberitahu Barnes tentang kematian sahabatmu dari Washington, Carly Hills."

"Ya," Beth mengangguk. Kemudian Ia memekik kaget, "kalian menyelidiki kematiannya juga?!"

"Tentu saja. Ucapanmu waktu itu memang benar. Kematiannya mencurigakan, banyak kejanggalan," tukas James. "Aku curiga kalau kematiannya terlibat dengan peristiwa ini, jadi kami memutuskan menyelidikinya lebih lanjut."

"Ya," Thomas mengangguk. "Namun masalahnya, di saat aku mencari tahu kematian Carly, aku juga malah mengungkap kematian kelima remaja lainnya, yang berstatus sama—Directioner—dari negara lain."

Louis melotot. "Ada lagi yang meninggal?"

Thomas terlihat ragu untuk menjelaskan. Ia tahu ini hanya akan membuat Louis, Liam, Niall, Harry serta Greyson dan Beth semakin marah. "Terdapat lima gadis yang meninggal di tanggal 25 Maret, dan mereka berasal dari negara yang berbeda-beda," ujarnya. Ia menampilkan enam foto remaja serta sejumlah keterangan di bawahnya. "Mereka dikabarkan meninggal karena kecelakaan maupun bunuh diri. Namun ternyata itu hanya kedok. Sebenarnya mereka tewas karena dibunuh. Siapapun yang membunuh mereka menghapus bukti pembunuhan."

Olivia Jones, Edmond (17), Oklahoma. Tewas tertabrak pada tanggal 25 Mret 2015

Carly Hills (17), Washington DC. Tewas diperkosa dan jasad dibuang ke sungai (11 April 2015)

Kenya William (18), New York. Tewas gegar otak dan pendarahan di kepala akibat pukulan benda tumpul (25 Maret 2015)

Cynthia Quentin (17), Singapura. Tewas tertabrak (25 Maret 2015)

Lily Carter (18), Los Angeles. Tewas tenggelam (25 Maret 2015)

Georgia Rogers (17), Kanada. Tewas karena sebatan lebar di leher hingga mengalami pendarahan. Namun diberitakan kepada publik bahwa Georgia tewas karena bunuh diri (25 Maret 2015)

"Kecuali Carly Hills, semuanya meninggal pada tanggal 25 Maret," kata James setelah membaca satu persatu keterangan foto di televisi. "Mereka semua dibunuh."

"Kenapa?!" mereka dikagetkan karena Harry tiba-tiba berteriak. Ekspresinya begitu marah. "Kenapa mereka dibunuh?!"

"Sama seperti Aimee Parker, mereka mengetahui rencana pembunuhan A.P kepada kalian. Namun yang berbeda, mereka berhasil meretas semua sistem hingga mereka dapat membaca isi e-mail yang merupakan rencana A.P dengan komplit," jelas Thomas. "Saat itu juga Shahid memerintah anak buah Frank untuk melacak posisi Olivia Jones, Cynthia Quentin, Lily Carter, Kenya William dan Georgia Rogers. Setelah lokasi mereka ketemu, Frank menghubungi orang-orang yang Ia kenal dari wilayah masing-masing korban—pada umumnya sesama kriminal, secara Frank merupakan seorang buronan yang telah "berlarian" hampir ke semua negara. Lalu kelima remaja itu dibunuh, namun bukti-bukti pembunuhan mereka hapus dan mereka rekayasa hingga terlihat seperti kecelakaan. Keluarga yang menyadari kejanggalan kematian anak mereka, mendapat ancaman pembunuhan jika melapor ke polisi maupun memberitahu hal ini kepada publik."

"Lalu Carly Hills?" Greyson bertanya sambil meraih tangan sepupunya. Gadis itu hanya terdiam di sampingnya, tidak mengatakan apapun. "Dia satu-satunya orang yang meninggal di tanggal yang berbeda."

"Ya. Tentang Carly Hills. Aku meretas akun twitter-nya untuk memeriksa apakah dia menerima link yang sama yang kelima korban lainnya dapatkan. Ya, dia mendapatkannya namun dia baru mengaksesnya di tanggal 11 April. Dia berhasil menembusnya dan dia mengetahui semuanya. Dia sepertinya berniat memberitahu ini kepadamu, Beth. Karena dia mengetik hal itu di DM untukmu. Namun sepertinya sebelum dia mengirimnya, seseorang membunuhnya."

Kini, Beth menjadi pusat perhatian. Walaupun begitu, ia tak menyadarinya. Karena tatapannya hanya tertuju pada foto Olivia dan Carly yang berdampingan.

"Beth," Niall melihat sepasang mata gadis itu berkaca-kaca. "Maafkan aku."

"Jadi," Beth mendongak kepada James dan Thomas. Ia membiarkan air matanya turun. "Shahid membunuh mereka semua. Dia membunuh Olivia dan Carly. Dia pun memanfaatkan nama Aimee hingga semua orang membencinya ..."

"Kami harus kesana," tekad Louis. Ia bangkit berdiri, "kami harus ke tempat Aimee dan Zayn sekarang juga. Aku khawatir si Brengsek itu akan kesana dan membunuh mereka. Aku tidak akan membiarkannya membunuh satu orangpun lagi!"

"Tunggu, Tomlinson!" James mencegat Louis yang hendak menuju tangga. Ia menahan lengannya, namun Ia menepisnya kuat. "Kau tidak bisa berbuat seenaknya."

"Kenapa tidak?!" Louis berteriak, terdengar sangat keras hingga mengagetkan James serta agents lainnya yang ada disekitar mereka. "Shahid pun dengan "seenaknya" mencelakai kami. Dan—BAHKAN DIA MEMBUNUH BANYAK FANS KAMI!"

"Itu rencanamu?! Pergi kesana sendirian? Aku tidak dapat membiarkanmu melakukan itu, Tomlinson!" James membentak tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu dan yang lainnya pergi! Yang akan menjemput Parker dan Malik adalah MI6. Itulah keputusan akhirnya!"

"What?! No, no!" Greyson menggeleng tak setuju. Kini Ia menghampiri James dan berkata dengan jengkel, "jadi, kau yang akan kesana?! Lalu apa yang akan kulakukan disini?! Diam, menonton televisi dan bersikap santai di saat sahabatku dalam bahaya?! Tidak, aku tidak setuju. Aku ikut!"

"Chance, jangan lagi. Aku tak mau ada keributan sekarang," kata James geram.

"Keributan apa?" Beth menatap James dan berujar, "ucapan Greyson lagi pula benar! Aku tak mau diam disini dan membiarkanmu membahayakan nyawamu demi Aimee dan Zayn! Mereka adalah sahabat kami, James! Jadi kamilah yang harus kesana, bukannya kau!"

"Aku tidak setuju! Kalian akan mengacaukan semuanya jika bertemu dengan Shahid disana!"

"DIA MEMBUNUH BANYAK ORANG!" Liam mencengkeram kaus James, bahkan mengguncangnya kuat karena marah. Tindakannya membuat semua orang di sana terkejut. "Dia mencelakaiku dan teman-temanku. Dan apa kau tidak dengar ucapan Louis tadi?! Dia membunuh banyak fans kami dan kami tak akan ragu untuk membalas perbuatannya dengan lebih buruk! Dengar itu!"

"James, dia membunuh Joshua, Rose dan Finn!" ucapan Niall membuat suasana semakin menegangkan. James terlihat marah dan gusar.

"Kalian melibatkan emosi dan itulah yang akan memperburuk keadaan!" James mengabaikan perasaan pedih yang sempat datang padanya tadi. Ia tahu kalau Joshua, teman dekatnya meninggal karena tertembak saat di arena. Ia tahu itu. "Aku tetap tak akan mengizinkan kalian pergi!"

Beth jengkel karena pengelakan James. Maka Ia bangkit berdiri, mendekat kepada James sambil berkata, "kau tahu, James? Aku tak peduli. Kau tidak bisa memaksa kami untuk menetap disini!"

"Bethany!"

"TIDAK!" Beth menjerit, tidak mau mendengar penolakan dari James lagi. "Karena Shahid, aku kehilangan banyak sahabatku dan aku tak akan memaafkannya atas itu!" suaranya meninggi saat mengatakannya. Ia benar-benar marah dan jengkel. "Dan dengarkan ini James—aku akan pergi. Dengan atau tanpamu. Aku pun tak peduli jika pada akhirnya aku akan mati!"

Setelahnya, Beth langsung beranjak menaiki tangga menuju kamar tamu yang Ia tempati. Karena khawatir, Louis menyusulnya, diikuti oleh Liam dan Niall. Sedangkan Harry masih berada di lantai satu, bersama Greyson dan James. Menyadari suasana yang mulai berubah canggung, para agen memilih pergi. Termasuk Thomas. Ia membawa laptopnya menuju ruang tamu sambil berujar, "aku akan memeriksa apakah sudah menemukan lokasi Aimee."

Greyson dan Harry bertatapan. Mereka bimbang. "James—"

"Nope," James mendongak, menatap Harry dan Greyson sambil menggelengkan kepalanya. Ia melangkah menuju dapur untuk mengambil segelas air. "Jangan katakan apapun."

"Apakah kau mengerti keadaan disini?" tanya Harry. "Kami harus kesana."

"Tentu. Aku tahu. Tetapi bagaimana jika kalian bertemu Shahid? Dia akan langsung membunuh kalian. Jangan lupa kalau kalian masih menjadi target pembunuhannya," kata James datar, tanpa memandangi kedua orang yang kini berdiri di belakangnya. "Aku tidak bisa mengambil resiko kalian diserang lagi. Aku sudah ceroboh membiarkan Donald mengadakan konser. Banyak fans kalian yang terluka bahkan terbunuh. Begitu pun teman-temanku."

"James, itu bukan salahmu," kata Harry seraya menggelengkan kepalanya. "Kau tidak dapat berbuat apapun untuk menggagalkan konser tadi. Dan soal peledakan dan penyerangan di arena, itu bukanlah atas kecerobohanmu maupun teman-temanmu. Itu karena ulah brengsek Shahid dan anak buahnya."

James enggan mendengarkan Harry. Ia menyenderkan pinggangnya ke counter dapur selama meneguk segelas air di dalam gelas. "Maaf," Ia lalu mendongak, memberi Greyson dan Harry senyuman tipisnya. "Aku tetap tidak akan mengizinkan kalian pergi. Begitu Thomas menemukan lokasi Parker dan Malik, akulah yang akan kesana."

"Itu sama saja dengan membahayakan dirimu sendiri, James," Greyson tidak setuju atas usul dari James.

"Aku tak peduli."

"Astaga," Harry dongkol karena sifat James yang keras kepala. "Aku menyerah. Aku akan ke atas, memeriksa keadaan Beth. Dia pasti sangat kacau setelah mengetahui kebenaran dari kematian sahabatnya."

Seperginya Harry, Greyson masih berada di dapur, memerhatikan James yang bersedekap dengan kepala tertunduk.

"Kau tahu," Greyson berdiri di depan James, berjarak sekitar satu meter. Ia menumpu kedua tangannya ke counter di belakangnya kemudian melanjutkan, "tentu kau tahu tentang apa yang kualami bersama Aimee dan Beth hingga kami bertiga dikucilkan dari sekolah."

James tidak mengatakan apapun atau mengangguk tanda mengiyakan. Ia hanya meresponnya dengan lirikan mata. Terlalu gundah untuk bersuara.

"Setelahnya aku memilih menghindar dari masalah itu dengan pergi mengurus karir musikku. Ya, aku menjauh dari masalah namun di saat yang sama aku menjauh pula dari Aimee dan Beth. Aku meninggalkan mereka ketika mereka membutuhkanku. Aku merasa hina dan malu karena menyadari perbuatanku yang selayaknya pengecut. Ketika aku datang, keduanya menolakku. Marah padaku dan mendorongku pergi. Di saat itulah aku takut kalau aku akan kehilangan mereka berdua."

James masih diam.

"Maka disaat aku mendengar Olivia meninggal, aku mulai merasakan hal itu—perasaan kehilangan yang mendalam. Lalu dengan menghilangnya Aimee, aku semakin ketakutan. Aku memutuskan meninggalkan karir musikku untuk menemani Beth kemari demi mencari Aimee. Lalu, kami bertemu Niall, Louis, Liam dan Harry. Kami mengalami hal membahayakan yang membuat kami ketakutan ... namun kau tahu? Aku sama sekali tak menyesalinya," ungkap Greyson.

James tak merespon. Ia hanya melirik Greyson dengan kondisi mulut yang terkatup rapat.

"Aku mengerti," Greyson memaksakan sebuah senyuman. "Kau khawatir pada kami. Dan aku berterima kasih atas itu. Tetapi aku tak mau membiarkanmu melakukan ini, James. Melewati bahaya lagi demi menyelamatkan Aimee. Tidak setelah aku meninggalkannya. Aku tak peduli pada akhirnya aku akan meninggal selama mencari ataupun menjemput Aimee. Karena aku hanya ingin dia kembali lagi dan menjauh dari masalah. Aku ingin menyelamatkannya."

James menghela nafas. "Aku masih bimbang—"

"Aku akan menjaga Beth selama melakukannya. Tentu kau tahu, Harry, Liam, Niall dan Louis pun akan melakukannya," kata Greyson. Ia kini berbalik meninggalkan dapur untuk ke kamar Beth. "Datang ke kamar setelah memikirkan keputusanmu lagi."

...

Beberapa menit sebelumnya ...

( Bethany's Pov )

Aku tidak dapat mengekspresikan isi hatiku dengan baik sekarang. Yang terpenting adalah—aku marah. Namun di saat yang sama aku merasa kecewa, sedih dan terkhianati. Aku marah karena James terlalu menyebalkan hingga melarang kami untuk pergi. Aku kecewa dan merasa terkhianati setelah mengetahui bahwa Shahid yang selama ini mencoba mencelakai kami, padahal aku sudah mulai mempercayainya setelah dia datang ke rumah waktu itu.

Dan aku sedih, sangat sedih setelah mengetahui kebenaran dari meninggalnya Olivia dan Carly.

Aku tak pernah membayangkan mereka akan meninggalkanku dengan cara seperti itu ...

"Bethany," Louis masuk ke kamarku. Ia duduk disampingku dan memelukku saat aku kembali menangis di pundaknya. Aku histeris, merasa sangat sedih dan tersakiti karena teringat lagi atas Aimee, Olivia dan Carly. Ketiga sahabatku itu menderita karena Shahid. "Lampiaskan semuanya. Kau tidak perlu menahan tangisanmu."

"Dia membunuh kedua sahabatku," aku berkata dengan parau. Nafasku tersendat hingga ucapanku terdengar tidak jelas dan aneh. "Shahid membunuh sahabatku ..."

Louis tidak menyahut. Aku dapat merasakan kedua tangannya memelukku begitu erat dan hangat. Ia meletakkan dagunya di atas kepalaku selama aku menangis. Dan kuharap dugaanku salah—karena kurasa Louis kini menangis pula. Tubuhnya berguncang dan kudengar isak tangisnya yang tidak terlalu jelas.

"Louis," aku mundur, merasa tertekan ketika melihat air mata yang membasahi pipi Louis. Ia meringis, "Louis, don't—"

"Dia membunuh banyak orang," Louis menunduk. Ia enggan menatapku. "Dia membunuh fans. Dia ..."

Aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkannya. Karena aku pun disini shock setelah mengetahui kebenarannya. Disini, aku dan Louis sama-sama korban, pihak yang dikhianati hingga kami tidak tahu bagaimana cara untuk menenangkan diri sendiri maupun orang lain.

"Aku tidak peduli ini terdengar dramatis," Louis semakin menunduk. "Aku sangat menghargai fans-ku dan aku tak mau hal yang buruk menimpa mereka. Namun apa yang terjadi sekarang? Mereka terluka bahkan meninggal karenaku."

"Stop," aku menggeleng. "Ini bukan salahmu ..."

"Tentu ini salahku!" Ia terisak. "Mereka meninggal demi melindungiku. Ba—bahkan Aimee? Aku tidak percaya dia rela berbuat sejauh itu demi melindungi Zayn. Aku tidak pantas menerima ini semua."

Aku baru saja akan merespon ucapannya ketika Liam dan Niall masuk ke dalam kamar. Mereka menatapku dan Louis dengan cemas. Ketika aku mendongak pada mereka, Niall langsung menghampiriku dan memelukku.

"Maafkan aku, Bee," Niall berkata dengan lirih. "Aku tidak dapat berbuat apapun untuk menyelamatkan Olivia dan Carly. Semuanya terlambat."

Aku menggeleng. Terus seperti itu. Dan ada yang difikiranku sekarang hanyalah Aimee, Olivia dan Carly. Ketiga sahabat terbaikku, mereka menderita karena Shahid. Bahkan Carly dan Olivia terbunuh karenanya.

Aku tidak akan pernah memaafkan Shahid.

Kalau saja pembunuhan itu legal, aku tidak berbohong kalau aku akan menendangnya ke sungai Thames. Kuharap dia tidak bisa berenang dan tenggelam disana. Atau tidak, aku akan mengambil senjata James, menembak tepat di jantungnya berada hingga Ia tidak bernafas.

Aku sama sekali tak ragu untuk melakukannya.

Karena di dunia ini aku sedikit sekali memiliki sahabat terdekat. Namun Shahid merenggut semua itu dariku.

"Bee," Harry datang, Ia berlutut didepanku yang duduk di atas kasur. "Bagaimana keadaanmu?"

"Buruk," aku menjawab dengan jujur. Aku meringis, "aku ... aku ingin Olivia dan Carly kembali ..."

"Me too, love," Harry memajukan posisi tubuhnya untuk memelukku. "Aku juga ingin semua orang, semua fans yang mencoba melindungiku kembali. Tetapi itu hal yang mustahil, Bee. Kau tahu itu."

"Aku tahu. Aku tahu ... tetapi aku tetap ingin mereka kembali ..." aku merengek, terdengar menyedihkan. Aku sudah tak peduli lagi dengan ekspresiku sekarang yang pasti terlihat aneh. "Mereka sahabat terbaikku. Aku mau mereka kembali, Harry ..."

"I'm sorry, I can't do that," Harry berbisik. Ia terdengar sedih. Kemudian aku merasakan cairan hangat menyentuh leherku, dan aku yakin itu air mata Harry. "I'm so sorry, Bee. Forgive me ..."

Aku menggelengkan kepalaku berulang kali. Aku ingin Harry tahu bahwa ini bukanlah kesalahannya. Ini semua kesalahan Shahid. Dialah yang membuat kami semua seperti ini!

"Bethany," Liam duduk di sampingku, hingga kini aku berada diantara Louis dan Liam. Ia berbicara dengan lembut. "Maafkan aku karena kejadian ini kau kehilangan banyak sahabatmu. Maafkan aku karena tidak bisa melindungi dan menyelamatkan mereka. Maafkan aku ..."

"Please, berhentilah meminta maaf padaku! Ini bukan kesalahan kalian. Sama sekali tidak," aku merasa sedih saat melihat Liam menangis, begitu pun Louis, Niall dan Harry. "Aku yakin Carly, Olivia serta korban lainnya pun tidak menginginkan ini. Mereka pun pasti tidak menyangka bahwa seseorang akan mencelakai mereka begitu menerima link tersebut. Yang mereka inginkan hanyalah kalian baik-baik saja dan selamat. Hanya itu. Dan semua peristiwa yang terjadi bukanlah salah kalian, oke?"

"Pengorbanan kalian terlalu banyak untuk kami yang hanya tampil diatas panggung tanpa mengenali kalian satu persatu," kata Niall getir. "Kami tidak pantas menerimanya."

"Tidak. Kalian pantas," aku menatap Niall serius. "Kalianlah yang selama ini membuat fans bertahan dan bahagia. Banyak diantara kami yang depresi hingga berniat bunuh diri, namun apa yang membuat mereka bertahan? Tentu saja kalian berempat, juga Zayn. Kalian berlimalah alasan kami tidak pernah berhenti untuk tersenyum, merasa bahagia dan hidup. Hanya kalian. Bukan yang lain ..."

Kurasa ucapanku terlalu dramatis dan menyedihkan, karena tangisan Louis, Niall, Liam dan Harry semakin deras. Mereka menangis disekitarku, dan tak khayal ini membuatku menyesal karena telah mengatakan semua itu. Padahal tujuanku adalah untuk menahan mereka untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Kurasa aku terlalu berlebihan.

"Dengarkan aku, Beth," Niall berlutut di depanku, kini berdampingan dengan Harry. Ia meraih tangan kananku, mengenggamnya erat saat meletakkannya di atas dadanya, dimana aku dapat merasakan detak jantungnya, "ini janjiku. Janji kami berempat, bahwa kami akan menyelamatkan Aimee hingga kau tak perlu bersedih lagi. Kami pun akan berusaha agar tidak ada korban lagi."

"Ya," Louis, Liam dan Harry menyetujui ucapan Niall. "Itu janji kami, Bee," kata Liam lembut.

Gadis batinku menangis tersedu-sedu karena mereka.

Apa yang kuperbuat hingga aku dapat bertemu langsung dengan mereka? Mereka begitu manis dan perhatian. Mereka turut bersedih atas kehilanganku. Mereka marah dan sedih saat mengetahui Shahid membunuh fans mereka demi balas dendam atas kematian adiknya yang sepenuhnya bukanlah kesalahan Zayn maupun Niall, Louis, Liam dan Harry.

Aku tidak ingin kehilangan Liam, Niall, Louis, Harry dan Zayn.

Aku pun tidak ingin kehilangan Aimee.

Kreek.

Pintu terbuka, dan sepupuku itu masuk. Ia menatapku yang dikelilingi the lads, dengan tatapan yang begitu muram dan sedih. KIa tersenyum padaku. Terlihat dipaksakan.

"Aku ragu James akan mengizinkan kita pergi," ujar Greyson, terlihat pasrah.

"Kalau begitu," Harry berkacak pinggang. "Kita pergi saja tanpa James."

"Apa?" Niall melotot. "Maksudmu, kita pergi menjemput Aimee dan Zayn tanpa pengamanan MI6?"

"Ya. Bagaimana?" Harry berlagak bangga atas usulnya sendiri. Yang menurutku sangat beresiko. Karena itu berarti kami pergi tanpa pengawasan MI6, yang sama saja dengan misi bunuh diri.

Sepertinya Louis, Liam, Niall dan Greyson berfikiran yang sama denganku. Kami berlima saling melempar tatapan bimbang. Di sisi lain, Harry masih berkacak pinggang di depan kami dengan senyuman lebar di wajahnya.

"Tidak. Menurut kalian aku akan mengizinkan kalian pergi?"

Ugh.

Dia lagi.

James menyender di dinding sambil mendekap kedua tangannya. Ia menatap Harry dengan aneh, "Harry, berhentilah menyeringai," Ia berkata malas, memutar kedua bola matanya. Kemudian Ia berujar, "tidak mungkin aku membiarkan kalian pergi tanpa pengawasanku."

"James, harus kubilang berapa kali? Kami harus pergi!" Greyson berteriak gemas.

"Greyson, itu maksudnya ..." James memberi tatapan meremehkan kepada Greyson. "Aku akan ikut dengan kalian. M mengizinkan kalian pergi, namun tetap—denganku bersama agents lainnya."

"Oh my! Akhirnya!" Niall begitu kegirangan. Bahkan Ia melompat turun dari kasur dan bersujud—suatu tindakan yang membuatku terkejut. Setelahnya Ia mendekati James dan memeluknya. "Akhirnya kau paham, James! Aku tahu kau akan mengizinkan kami!"

"Ya, tetapi ada beberapa aturan yang harus kalian patuhi jika memang ingin pergi!"

"Ah, god," Louis memutar kedua bola matanya. Ia mencibir ucapan James tadi, "peraturan apa memangnya?"

"Akan kita bahas setelah kalian bersiap-siap. Jadi kalian semua, pergilah ke lantai satu. Agent Peter dan Clark akan membantu kalian mendiskusikan kendaraan serta senjata yang akan kalian gunakan," ujar James. Tidak ada emosi di suaranya. "Kecuali Beth. Tetaplah disini."

Hah?

Apa lagi salahku? Apa dia ingin memarahiku?

Lihat ekspresinya! Keras dan tegas—eh, tetapi wajahnya memang seperti itu setiap saat.

Aku memberi tatapan memohon kepada Greyson dan the lads untuk menetap disini, karena aku khawatir James akan mendampratku dengan emosinya yang mengerikan. Namun tidak. Mereka malah berhamburan keluar dan aku mendengar langkah mereka yang semakin menjauh dari kamar.

Dasar tidak peka.

Akhirnya tinggal aku dan James saja di kamar. Aku mendengar suara pintu tertutup, lalu Ia melangkah mendekatiku. Aku tahu dia sedang memandangiku sekarang—walaupun aku tengah tertunduk, mengusap air mataku yang setengah mengering di pipi dan ujung mataku.

"Berhentilah menangis," James berkata dengan pelan saat Ia duduk disebelahku. "Aku sudah memberimu izin untuk ikut menjemput Aimee."

"Bukan itu masalahnya," aku menggeleng. "Aku masih tidak percaya kalau Shahid membunuh kedua sahabatku. Padahal aku tidak mempunyai banyak teman sebaik Olivia dan Carly."

"Kau tentu akan menemukan teman baik lainnya suatu hari nanti, Beth. Hanya bukan untuk sekarang," James berkata dengan serius, namun suaranya terdengar lembut dan menenangkan. "Untuk menemukan teman sejati memang sulit."

Lagi-lagi ucapannya benar.

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

James mengeluarkan ponselnya dan berkata padaku, "tadi Logan meneleponku."

"Ayah?" aku menatapnya kaget. "Untuk apa dia meneleponmu?"

"Menanyakan kondisimu dan Greyson. Ia juga bertanya apa yang terjadi disini. Aku seharusnya tak mengatakan informasi sepenting ini kepada orang lain. Namun karena dia Ayahmu, aku menjelaskan semuanya. Tentang ledakan di arena, kau kabur dan kembali lagi ke basecamp, juga alasan Aimee menculik Zayn dan perihal Shahid. Semuanya."

"Apa dia tahu tentang misi penjemputan Aimee dan Zayn?"

"Tentu."

"Apa dia tahu aku ikut dengan kalian?"

James melirikku. Ia tersenyum kecil sebelum menggeleng. "Tidak," Ia menjawabnya hanya dengan satu kata namun itu membuatku kaget. "Dia tidak mengetahuinya. Lagi pula, bagaimana jika dia tahu?"

"Dia akan marah besar?" kurasa jawabanku lebih mirip sebagai pertanyaan. Kini aku pun memerhatikan pria didepanku ini dengan penuh kebingungan. "Dan itu adalah malapetaka bagimu. Aku tidak melebih-lebihkannya, oke?"

"Ya," kini jemari James memilin beberapa helai rambutku. "Kau anak tunggal dari seorang Secret Service presiden. Hanya melalui telepon aku tahu sebenarnya aku telah berbohong kepada orang yang salah. Namun setidaknya aku tidak akan melihatmu merengek lagi karena itu menyebalkan bagiku. Jadi, jika Logan memarahiku aku akan menerimanya."

"Kau tahu alasanku merengek, bukan?" gadis batinku kembali meringis menahan sedih. "Shahid membohongiku dan yang lainnya. Ia pun memfitnah sahabatku hingga dibenci banyak orang. Dia juga membunuh dua sahabatku."

"Maka itu aku mengizinkanmu pergi," Ia menggeser posisi duduknya hingga semakin mendekat padaku. "Aku bukannya menganggapmu lemah. Tetapi kau masih tujuh belas tahun. Kau sudah kehilangan banyak sahabatmu dan aku tak mau kau kehilangan Zayn dan Aimee juga nantinya."

Gadis batinku menangis karena ucapannya. Aku merasa beruntung karena banyak sekali orang yang memahami perasaanku sekarang. Greyson, Liam, Niall, Louis dan Liam. Sampai kapanpun mereka akan menjadi orang-orang paling berharga di hidupku dan aku tak mau kehilangan mereka.

Dan itu termasuk James.

Aku tidak akan malu mengakuinya karena kurasa, aku menyukainya. Sikapnya yang manis dan suka melindungiku membuatku tertarik padanya.

Walaupun aku merasa aneh karena di saat yang sama aku begitu mencintai Zayn, Niall, Liam, Louis dan Harry, namun setelah beberapa saat memikirkannya, aku tahu kalau perasaanku kepada mereka dan perasaanku kepada James berbeda. Itu sama-sama perasaan cinta, namun memiliki arti dan maksud yang berbeda.

"Beth."

"Ya?"

"Apa kau akan menerima ajakanku jika aku mengajakmu makan malam?"

Gadis batinku melotot kaget mendengar pertanyaannya. Ya, aku terkejut—tetapi di saat yang sama aku merasa bahagia karenanya. "Makan malam?" aku terbata.

"Kenapa?" raut wajahnya berubah. Ia terlihat ragu dan malu. "Aku ... aku tidak ingin terburu-buru, kau mengerti? Kita baru berkenalan kurang dari dua bulan. Sebelum kita benar-benar berhubungan, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Tetapi, jika kau tidak mau—"

"Um, ... tidak ..."

"Apa?" James menatapku nanar. "Kau tidak mau?"

"Bukan itu maksudku!" tanpa sadar aku memekik. Ia salah paham, dia kira aku menolak ajakannya. "Maksudku, ya, aku menerima ajakanmu. Ya, aku mau."

James menertawaiku dan itu membuatku semakin malu. "Kutebak ini pertama kalinya seseorang mengajakmu kencan."

"Apa terlihat jelas?" aku menatapnya canggung.

"Ya," Ia tersenyum geli.

Selanjutnya, Ia melakukan sesuatu yang membuat gadis batinku benar-benar mati kutu. James meletakkan telapak tangan kanannya di sisi leherku. Posisi wajah diantara kami pun semakin menipis seiring James yang memejamkan matanya.

Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini dan itulah yang membuat gadis batinku pingsan karena tidak bisa bernafas.

Dan selanjutnya, mataku sepenuhnya terpejam ketika merasakan sesuatu yang lembap mendarat di bibirku.

James menciumku.

Hanya ciuman biasa yang berselang selama enam detik lamanya. Ia sempat menjauh. Namun sebelum aku kembali mengangkat kelopak mataku, James menyatukan kedua bibir kami lagi. Kali ini Ia melumat bibirku. Kedua tangannya pun kini berada di kedua leherku dan mengusapnya. Ciumannya lembut, sama sekali tak tergesa maupun terburu-buru.

Rasanya kegelisahanku lenyap, berganti kehangatan yang menenangkan diriku.

Aku mulai merasakan nafasku sesak, jadi aku menjauhkan wajahku darinya. Kening kami bertempelan, dan kami bernafas dengan tempo yang agak cepat karena telah menahannya selama lima menit lamanya. Aku tak sadar aku dapat menahan nafasku selama itu sampai berciuman dengannya tadi.

...

Apa aku benar-benar berciuman dengan James?!

Aku begitu malu hingga tak berani untuk kembali mendongakkan kepalaku. Aku terus memejamkan mataku, walaupun godaan untuk menatap James terus datang seiring tangannya yang mengusap leherku dan suaranya yang rendah memanggil namaku.

"Beth," aku semakin gelagapan karena Ia mencium pipiku. "Buka matamu."

Jadi, aku pun melakukannya. Jarak kami begitu dekat hingga aku dapat melihat pantulan diriku di mata biru milik James. Tatapannya yang begitu lekat dan perhatian padaku membuatku benar-benar berdebar karena gugup sekaligus tersanjung.

"Jadi ... makan malam," Ia tersenyum. "Aku tidak tahu restoran yang bagus di kota ini karena sebelumnya, aku tidak pernah mengajak seseorang makan malam denganku. Mungkin aku harus menanyakannya kepada Harry atau Liam."

Gadis batinku mengangguk setuju. "Boleh juga ..." aku kembali terdiam, meneliti setiap sudut wajahnya. Jari jempol dan telunjukku berada di dagunya, dan mengusapnya. Saat aku kembali menatapnya, Ia langsung tersenyum padaku.

Aku tidak bermaksud dramatis dan percaya diri, namun aku beruntung dapat bertemu dengan James. Mungkin usianya cukup berjauhan denganku. Tetapi dia begitu manis dan selalu melindungiku. Memang, sikapnya yang kelewat protektif membuatku sebal. Namun sepertinya itulah yang membuatku menyukainya. Sikapnya yang tak terlalu berbeda dengan Ayah.

***

James turun lebih dulu karena sebelumnya aku ke toilet. Dari tangga, aku dapat melihat kondisi ruang keluarga dan ruang makan yang ramai oleh agents. Mereka menyiapkan senjata yang berjejer rapi di atas lantai dan meja. Aku melewati mereka, mendekati Greyson dan the lads yang sedang bersama James dan Thomas di ruang makan.

"Ah, dia sudah datang," Greyson menyadari keberadaanku yang sedang berjalan mendekatinya. "Beth, Thomas sudah menemukan lokasi Aimee dan Zayn. Mereka berdua berada di sebuah rumah tua di tengah hutan kota Oxford."

"Really?" aku memekik kaget. "Apakah Oxford jauh dari sini?"

"Satu setengah jam perjalanan dari London," jawab Harry. Dia sedang melihat satu persatu foto enam fans yang meninggal, yang tersusun rapi di atas meja. "Oh, James. Aku mempunyai motor ducati."

"Lalu?" tanya James seraya berkacak pinggang.

"Well, boleh aku menggunakannya untuk menjemput Aimee dan Zayn? Dengan motor, aku aka lebih cepat tiba disana. Jadi aku dapat memastikan kalau Aimee dan Zayn baik-baik saja dan dapat menjaga mereka sembari menunggu agents lainnya datang," Harry menjelaskan dengan santai. "Bagaimana?"

James terlihat ragu, namun pada akhirnya Ia mengangguk. "Benar juga. Dan ucapanmu memberiku ide lain," ujar James. "Tetapi pertama, aku akan menjelaskan ini. Kita akan terbagi menjadi dua tim. Tim pertama dipimpin oleh Kent, yang mengatasi bandits di sekitar jalan besar London. Tim dua ada di markas, yang akan menyerang markas utama Frank karena masih banyak bandits yang belum tertangkap.

Lalu kita—aku, Beth, Greyson, Niall, Liam, Louis, Harry berada di tim 3 bersama Peter dan 15 agents lainnya. Kami akan menjaga kalian selama perjalanan menuju Oxford."

"Lalu, kendaraan?" tanya Louis.

"Yap. Harry membawa motor ducati-nya bersama seseorang diantara kalian. Lalu menurutku, Greyson, Liam, Louis dan Niall terbagi lagi menjadi dua mobil. Jadi kalian berpencar menjadi tiga bagian. Sedangkan aku dan agents lainnya akan mengikuti dan menjaga kalian dari belakang."

"Rencana hebat," komentar Greyson kagum. Ia menoleh kepada the lads, "jadi, bagaimana? Siapa yang mengemudi?"

"Untuk misi seperti ini, kita butuh pengemudi seperti Louis," Liam menepuk pundak Louis dengan bangga. Louis hanya terdiam dengan ekspresi flat andalannya. "Dan aku pun sebenarnya ingin mengemudi. Jadi ... menurutku, Louis bersama Greyson sedangkan aku bersama Niall."

"Tunggu," aku menoleh sewot karena namaku belum disebut oleh mereka. "Apakah aku tidak terlihat disini? Aku akan bersama siapa?"

Harry menatapku. Ia mengangkat kedua pundaknya santai sambil berujar, "dia bisa naik motor bersamaku."

Gadis batinku melotot kaget.

Aku dibonceng motor oleh Harry? Boleh juga—namun yang membuatku ragu adalah fakta bahwa aku akan dibawa kebut-kebutan olehnya. Itu hal yang menyenangkan sekaligus mengerikan.

"Apa kau bercanda? Tidak," Greyson menggeleng tidak setuju. "Aku tidak akan membiarkannya naik motor! Bagaimana jika dia terlempar saat kau ngebut, Harry?"

"Gee, aku bukan pengemudi ugal-ugalan," dengus Harry sembari mendekap tangannya sebal.

"Tetapi itu terlalu beresiko! Beth, kau bersama Louis! Aku akan di motor bersama Harry," kata Greyson—protektif, seperti biasanya.

Selanjutnya, mereka berdebat. Aku hanya diam diantara mereka yang saling berteriak, bingung harus mengatakan apa. Sebenarnya aku tak masalah harus naik motor bersama Harry atau di mobil bersama Louis. Atau ... kenapa Harry tidak membonceng Louis dan membiarkan Greyson membawa mobil?

Ya. Jangan lupakan fakta bahwa aku seorang Larries.

"Oke, diam! Berhentilah berteriak!" James berseru tegas sembari membenturkan ujung pistol ke meja makan hingga menimbulkan suara yang cukup kencang. Greyson dan the lads pun berhenti berdebat. Kini mereka memandangi James. "Pertama, aku hendak bertanya. Greyson, apa kau terbiasa mengemudi dengan kecepatan tinggi? Karena kita harus melakukannya nanti."

Greyson terlihat bimbang. "Tidak. Aku pengemudi yang tertib."

"Wow, Gee. Ucapanmu layaknya sindiran bagiku."

"Bukan itu maksudku, Lou," dengus Greyson. "Aku memang tak terbiasa membawa mobil kayaknya pembalap karena mobilku adalah mobil antik. Aku pernah mengemudi di atas 80 km/h dan mobilku nyaris meledak."

"Itu berarti Greyson jangan mengemudi," James memberi kesimpulan. "Padahal tadinya aku akan membiarkanmu mengemudi agar Louis bersama Harry, Greyson."

Aku menatap James kaget. Dia Larries sepertiku rupanya!

Suasana kembali hening. Aku menatap James yang masih berfikir sambil menunduk. Beberapa saat kemudian, Ia mendadak kembali mendongak.

"Liam, kau mengemudi dan biarkan Niall menemanimu. Lalu Louis bersama Greyson sedangkan Beth berada di motor bersama Harry," ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya pasrah. "Aku memang bilang mengebut, namun kau tetap harus berhati-hati. Dengar aku, Harry?"

"Tentu," Harry mengangguk mengiyakan. Ia menepuk pundakku dan meremasnya. Ia tersenyum padaku, "aku tak akan membiarkan satu orang fans lagi terluka."

Aaw.

"Ya. Karena jika saja aku melihat Beth jatuh dari motor, aku akan mengurungmu di penjara MI6 selama sepuluh tahun."

"Ooh," Greyson berseru. Ia terdengar jahil. Aku tahu apa yang akan Ia lakukan. "Ada yang mempunyai pacar rupanya."

Kini Louis, Liam, Niall dan Harry bersorak. Bahkan agents lainnya pun turut meledekku dan James. Ugh.

"Ayolah! Berhentilah bercanda! Kita harus serius disini!" James berteriak tegas. Ia terlihat tidak terganggu dengan ejekan teman-temannya. "Semuanya sudah mengerti tugas masing-masing, bukan? Sekarang, Peter, Clark, siapkan senjata untuk mereka berenam. Harry, siapkan motormu. Louis, Liam, siapkan mobil kalian juga."

Semuanya mulai sibuk melakukan apa yang diperintah James. Aku memerhatikan Harry, Louis dan Liam yang mengambil kunci kendaraan mereka dari lemari kecil di samping dapur. Sedangkan Greyson dan Niall sedang menyaksikan Peter dan Clark yang mengeluarkan senjata semacam hand gun dan menjejerkannya di atas meja.

"James," aku mendekatinya. "Sebaiknya Ayahku tidak tahu kalau aku naik motor bersama Harry."

James tersenyum miring. "Tenang saja. Aku tidak akan memberitahunya," otot-otot tanganku melemas saat Ia mengenggam tangan kiriku dan mengusap punggung tanganku dengan jari jempolnya. Tangannya hangat dan lembut! Shit, pengaruhnya padaku begitu besar. Aku merasa sangat malu. "Aku sebenarnya lebih memilih kau berada di mobil bersamaku. Tetapi kau lebih baik bersama Harry menggunakan motor, agar kalian dapat tiba di Oxford lebih dulu dan memastikan Aimee dan Zayn—"

"Oh, fuck."

James menoleh kepada Thomas yang duduk tak jauh darinya. Temannya itu masih berkutat dengan laptopnya. Namun ekspresinya terlihat kaget.

"Ada apa, Thomas?" tanya James.

Thomas mendongak. "Kalian harus pergi sekarang juga," ucapnya dengan terburu-buru. Ia menutup laptopnya dan mengambil sebuah senjata di atas meja.

"Kenapa memangnya?" Greyson mendekati Thomas dengan heran.

"Shahid terdetesi oleh satelit kita," ujar Thomas. "Dan dia sedang bergerak menuju Oxford."

***

WIIIIWW si kampret mulai beraksi wkwk.

P.s: JETHANY KISSING SCENE LOH.

P.s.s: next chapter full of action scenes *dor*ada yang mati lagi*

Continue Reading

You'll Also Like

5.9K 840 31
Henzie, salah seorang anak bangsawan Belanda yang lahir di Rotterdam. Yang cinta pada Netherland, dengan menyebut nama Ratu Wilhelmina, Henzie rela m...
274 156 28
Banyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat de...
1.2M 169K 36
[TERSEDIA DI TOKO BUKU] Im Soha adalah medusa di dunia nyata. Dia cantik, genius, dan tahu apa yang harus dia singkirkan untuk mempertahankan Queena...
95.9K 10.6K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...