OBSESSION

By slay-v

99.7K 10.2K 6K

Bethany Chance dan Aimee Parker. Mereka gadis berusia 17 tahun yang sekilas terlihat seperti remaja pada umum... More

OBSESSION
CAST
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 30 (2)
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 34 (2)
Chapter 36
Chapter 36 (2)
Chapter 37
Chapter 37 (2)
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Epilog
Author's Notes
Random Part
Bonus Chapter: Through The Dark
Bonus Chapter: After
Bonus Chapter
Bonus Chapter: Tough Guys

Chapter 35

1.4K 171 137
By slay-v

( Beth's Pov )

Ini sudah setengah jam sejak aku meninggalkan basecamp. Taksi yang kutumpangi telah memasuki jalan tol sejak lima belas menit yang lalu. Untungnya kondisi lalu lintas lancar tanpa ada kemacetan. Kondisi jalan tol pun ramai lancar. 

Dan sekarang aku sedang menelepon Ibu. Aku memberitahunya tentang Aimee. Bahwa dialah yang menculik Zayn. Dia juga yang mencoba mencelakaiku, Greyson dan the lads. Pada awalnya aku ingin bersikap tegar dan menceritakannya tanpa mengeluarkan air mata. Namun pada akhirnya, pertahanan diriku hancur.

"Tidak mungkin, Bethany," aku mendengar penolakan Ibu. Suaranya terbata, "Sayang, tidak mungkin Aimee melakukan itu semua."

"Ibu, ada rekaman CCTV ketika Zayn diculik. Seorang bandit mengaku bahwa bosnya bernama Aimee Parker. MI6 mempunyai semua bukti yang mengarah kepadanya sekarang," aku terisak. Semua emosi yang kurasakan ini membuat jantungku begitu berdebar dan agak sulit bernafas. Semua kenyataan yang baru kuketahui ini membuatku hancur. "Ternyata selama ini yang melukai Niall, Liam, Harry dan Louis adalah Aimee. Dia juga yang menculik dan meracuni Greyson. Dia pula yang mencoba membunuhku saat di arena tadi ..."

"Sayang, tenanglah. Ibu tahu kau sedih, kau boleh menangis ..."

"Dan belum itu saja, Ibu. Yang membuatku semakin terpuruk adalah semua ucapan Niall padaku. Tiba-tiba Ia marah, mengatakan kalau aku dan Greyson bersekongkol dengan Aimee untuk melukainya, Louis, Liam dan Harry ..."

"Oh, Bethany—"

"Aku tidak mungkin bersekongkol dengan Aimee! Walaupun dia sahabatku, aku tidak mungkin melakukannya ..." karena aku rela melakukan apapun agar Niall, Louis, Liam dan Harry baik-baik saja. Aku bersungguh-sungguh.

Tetapi untuk sekarang aku dalam posisi sulit. Haruskah aku tetap melindungi mereka, padahal di sisi lain Niall telah mendorongku pergi? Atau haruskah aku tetap disini, mencari Aimee setelah dia merusak kepercayaanku padanya?

"Ibu tahu betapa kau memuja keempat lelaki itu. Sungguh," ujar Ibu. "Um, tetapi, bisa kau ulangi tentang Frank?"

"Saat di arena, Ia memberitahu kami kalau Aimee adalah bosnya. Tidak hanya itu. Dia juga menunjukkan semua bukti yang menunjukkan kalau Aimee adalah boss-nya serta video CCTV ketika Aimee menculik Zayn. "

Aku tidak mendengar suara Ibu selanjutnya.

"Ibu?" aku melirik ke depan, dimana sopir taksi ini mengulurkan tisu kepadaku dengan tangan kanannya. Aku bergumam "terima kasih" kepadanya, dan mengambil selembar untuk mengeringkan air mata yang membasahi pipiku. "Ibuuu?"

"Dan kau percaya begitu saja dengannya, Bethany?"

"Um ..." aku mengerutkan dahiku bingung. "Frank menunjukkan videonya padaku. Di video itu memang Aimee. Ia sempat menodongkan senjata dan membuat Zayn pingsan sebelum membawanya pergi."

"Abaikan dulu tentang buktinya, Sayang. Ibu ingin memberitahumu sesuatu."

"Apa itu?"

"Aimee sahabatmu sejak lama. Jangan melupakan hal penting itu. Mungkin Aimee memang melakukannya—menculik Zayn. Tetapi bukan berarti dia yang mencoba melukaimu, Greyson, Niall, Louis, Liam dan Harry. Ibu pun telah mengenalnya sejak lama. Ibu tahu dirinya seperti apa."

"Ta—tapi ... Frank mengatakan—"

"Siapa yang kau percayai, Sayang?" Ibu menyela ucapanku. Ia terdengar lembut dengan sedikit ketegasan disana. "Bandit yang melukai idolamu, atau Aimee, sahabatmu?"

...

Pertanyaan Ibu membuatku semakin pusing.

Aku memang percaya pada Aimee. Setidaknya, sebelum Frank menunjukkan video rekaman CCTV itu dan memerlihatkan padaku bagaimana Aimee berhasil membawa kabur Zayn. Walaupun aku masih merasa bimbang ...

Karena jauh di lubuk hatiku, aku merasa kalau Aimee memang tidak sepenuhnya melakukan ini semua.

"Pikirkan itu. Oke, Nak?" ucap Ibu lembut. "Kabari Ibu jika kau ada perubahan rencana lagi, oke? Hati-hati, Sayang."

Aku menggamit ponselku dan meletakkannya di dadaku. Ucapan Ibu tentang kepercayaan membuatku berfikir lagi.

Sialan. Ini membingungkan!

Ibu benar. Aimee sahabat baikku sejak lama. Aku seharusnya percaya padanya.

Namun ... Frank.

Mungkin dia memang seorang bandit, tetapi dia memiliki bukti asli kalau Aimee yang menculiknya.

Siapakah yang harus kupercaya sekarang?

Mmm, by the way ... Jika kau tanya padaku apakah aku benci pada Niall karena ucapannya tadi saat kami bertengkar, jawabannya tentu saja tidak.

Aku tidak membencinya. Aku pun tidak marah padanya. Aku hanya kecewa padanya. Dia merupakan seseorang yang sangat berarti bagiku tetapi dia malah membuatku tersakiti dengan ucapannya. Aku tahu dia marah karena yang menculik Zayn dan pelaku penyerangan yang kami alami ternyata adalah Aimee. Tetapi tak seharusnya dia menuduhku seperti itu.

Dan mengenai Aimee, aku sahabatnya. Dan aku mengenalnya jauh lebih baik dari Ibunya sendiri. Aku tahu dia sangat mencintai Zayn, Liam, Niall, Louis dan Harry. Bahkan aku tahu perasaan Aimee berbeda untuk Zayn. Bukan lagi antara idola dan fans, lebih dari itu. Jadi aku yakin kalau Aimee tidak melakukannya.

Tetapi keyakinanku hancur setelah melihat rekaman CCTV tersebut. Aku sangat kecewa dan sedih begitu tahu kalau Aimee-lah yang sebenarnya menculik Zayn dan mencoba membunuhku, Greyson dan the lads.

Sejauh ini, dialah sahabat terbaikku. Maka aku rela pergi ke London hanya untuk mencarinya. Walaupun aku takut karena selama melakukan itu, aku kerap mengalami "penyerangan" yang selalu mengancam nyawaku. Namun aku terus melakukannya dengan harapan aku akan segera menemukan sahabatku dan mengajaknya pulang.

Namun yang kudapatkan adalah sebuah kenyataan bahwa dia mencoba membunuhku.

Kenapa Aimee melakukan itu padaku dan Greyson? Juga the lads? Kenapa dia tega? Bahkan dia—secara tak langsung—telah membunuh banyak orang.

Ponsel di genggamanku berdering. Ada telepon masuk dari nomor tidak dikenal.

"Halo?"

"..." tidak ada jawaban. "Beth?"

Aku membelalak mendengar suara si penelepon.

Aimee!

Dia meneleponku?!

"Beth," aku merasakan hal ganjal karena mendengar suaranya setelah sekian lama. "Aku minta kau kembali ke basecamp."

Hah?

Bagaimana dia tahu aku pergi?

"Kenapa?" aku bertanya, sebisa mungkin terdegar dingin.

"Karena kau dalam bahaya? Aku tahu kau keluar dari basecamp dan pergi ke bandara. Kau telah terpisah dari Greyson, the lads dan MI6. Kau mempermudah bandits untuk mengejarmu sekarang."

Tubuhku langsung bereaksi—bergidik ngeri sekaligus takut. Namun perasaan itu hilang karena aku menyadari suatu hal dari ucapan Aimee. "Tunggu," aku menyela dengan kesal. "Bagaimana kau tahu aku pergi dari basecamp, Aimee?"

"Karena aku membajak akun e-mail Frank. Tentu kau sudah tahu siapa dia."

"Ap-apa?" aku merasa heran. "Tapi Frank sudah ditangkap MI6! Dan—"

"Ya, aku tahu kalau Frank Chester telah ditangkap MI6. Sepertinya sisa anak buahnya lah yang memegang akun e-mailnya sekarang."

Penjelasan Aimee hanya semakin menambah jumlah pertanyaan dariku untuknya.

"'Anak buahnya'?" aku mengulang ucapan Aimee. "Bukankah kau satu kubu dengan Frank dan bandits? Dan untuk apa kau membajak akun e-mail Frank segala?! Kau tinggal menunggu laporan dari anak buahmu yang belum tertangkap!"

"Tunggu. Beth—"

"Aku dan Greyson pergi sejauh ini demi mencarimu! Kami berdua pun bersama the lads mencari Zayn namun apa yang kuketahui tadi?! Frank, anak buahmu, mengatakan kalau kaulah yang menculiknya. Kaulah yang berusaha membunuh kami! Astaga—kau tega sekali melakukan itu kepada kami!"

...

Kenapa Aimee tak menjawab?

Apa dia takut?

"Hei," aku menggeram marah. "Bicara padaku!"

"Uhm," kudengar Aimee berdehem. "Oke. Tak kukira mereka melakukan itu. Well, mereka cerdas. Tapi, aku melakukan hal yang sama pada Zayn."

"Maksudnya?!" aku menjerit karena sama sekali tak paham atas ucapannya. "Katakan padaku kenapa kau menculik Zayn dan mencoba membunuh kami semua!"

"HEI!" Aimee berteriak. Ia terdengar jengkel. "Oke, aku akan mengakuinya padamu. Aku menculik Zayn. Namun semuanya tidak seperti yang kau fikirkan! Aku menculiknya karena aku harus melakukannya! Aku berakting pada Zayn seolah akulah bos dari komplotan untuk mencelakai kalian. Namun, aku berani bersumpah aku tak benar-benar melakukannya! Kau fikir aku bos dari komplotan orang sinting itu? Kau fikir aku tega melukai kalian semua?! Tentu saja aku tidak mau melukai kalian! Sampai kapan pun tidak!"

Aku sekarang benar-benar bingung.

Aimee mengaku dia menculik Zayn dengan alasan dia harus melakukannya.

Namun, dia bilang dia bukanlah bos dari bandits.

...

Aku butuh waktu lama hingga mengetahui maksud dari semua ini.

Frank berbohong padaku. Pada Greyson, Niall, Louis, Liam dan Harry.

AIMEE BUKANLAH BOS DARI FRANK DAN ANAK-ANAK SINTINGNYA!

"Shit," aku menyenderkan punggungku ke jok. Ini benar-benar kacau. "Aku memang mudah dibohongi."

"Ya," Aimee menyahut, terdengar sarkastik. "Sekarang, dengarkan aku. Ini memang akan berbahaya, tetapi kau harus mengetahuinya sekarang juga."

"Apa maksudmu?"

"Aku memasukkan laptopku ke dalam kopermu, Bee," ujar Aimee. "Di dalamnya ada banyak informasi tentang alasan aku harus menculik Zayn. Bukalah laptopku dan cari folder 'Plan X' di desktop."

"Koperku—" aku berhenti berbicara. Aku jadi teringat suatu pagi, saat Ayah membangunkanku, aku mendapati koperku berada di depan lemari dan jendela kamarku yang tidak terkunci. "Jadi kau masuk ke kamar dan meletakkan laptopmu di koperku?"

"Ya."

"Dan di laptopmu ada informasi penting ...?"

"Ya tuhan, ambil saja laptopku! Memang, informasinya masih sedikit karena aku baru mengetahui semua hal gila ini beberapa hari terakhir. Tetapi itu cukup untuk kau berikan pada MI6."

Aku mulai paham. Well, sedikit. Ini semua terlalu memusingkan. Terlalu banyak teka-teki yang ada dan keadaan memaksaku untuk mencari tahu jawabannya satu persatu dalam waktu singkat.

"Dan, Beth, begitu kau mengaktifkan laptopku, maka bandits akan mengetahui posisimu sekarang."

Aku nyaris tersedak oleh air liurku sendiri. "Apa maksudmu?! Kenapa mereka dapat langsung mengetahui posisiku hanya dari laptopmu?!"

"Karena ... ingat saat kita di perpustakaan sekolah, kau menemuiku di perpustakaan? Aku sedang membuka laptopku dan tumpukan buku hacker di sebelahku?"

"Ya ...?"

"Aku menggunakan laptopku untuk meretas ... sesuatu. Kau akan mengetahuinya setelah membuka isi folder Plan X. Aku memang gagal meretas saat itu karena sistem protect-nya benar-benar banyak. Namun karena tindakanku itu, aku mengetahui sebuah rencana pembunuhan, dan mereka mendeteksi keberadaanku melalui laptopku. Itulah alasan begitu kau datang, aku langsung menutup laptopku sebelum mereka berhasil menemukan lokasiku. Jadi, begitu kau membuka laptopku nanti, mereka akan mengetahui lokasimu dan langsung mengejarmu."

Gadis batinku bengong karena penjelasan Aimee yang begitu panjang serta rumit. "Kalau begitu kenapa kau malah menyimpannya di koperku?!" aku berseru frustasi.

"Aku—aku akan memberitahunya nanti! Aku berjanji."

"Baik, baik," aku memijat keningku. "Ja—jadi, apa yang harus kulakukan?"

"Buka laptopku, buka folder Plan X, bacalah semua isi foldernya, dan kau akan mengerti kenapa aku menculik Zayn. Begitu kau membuka laptopku, bandits akan mengetahui lokasimu dan langsung mengejarmu. Jangan sampai laptopku jatuh ke tangan mereka, Beth. Semua bukti ada disana, dan harus segera kau berikan pada MI6."

"O—oke. Ada lagi?"

"Ya. Jangan sekali pun berhenti. Itu hanya akan mempercepat usaha bandits untuk mengejarmu."

"Kau membuatku takut."

"Hell! Kau pikir aku tidak takut disini?! Sekarang, buka laptopmu. Berhati-hatilah. Kita akan bertemu sebentar lagi."

Aku melotot. "Apa?! Kapan?! Aimee—"

Sambungan terputus. Bagus sekali.

Aku menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada kendaraan mencurigakan yang mengikuti dari belakang. Sepertinya, untuk sementara, aku aman.

Aku memajukan posisi dudukku agar mendekat ke jok depan, "mm, maaf, siapa namamu?" aku bertanya kepada sopir.

"Kau bisa memanggilku Drake," Ia menjawab. "Kau butuh bantuan?"

"Ya. Apakah jok belakang ini bisa dibuka? Karena aku harus mengambil sesuatu di koperku."

"Sebenarnya bisa. Tetapi kau tahu bukan, kita bisa berhenti di pinggir jalan? Atau tidak, kita bisa mampir ke tempat peristirahatan."

"Sayangnya temanku melarangku berhenti," aku menarik jok belakang ke depan dan hasilnya, benda ini terbuka. Aku dapat melihat isi bagasi yang merupakan koperku dan ember berisi alat-alat kebersihan mobil. "Tolong percepat laju mobilmu."

Drake tidak menjawab, tetapi aku dapat merasakan mobil ini melaju semakin cepat. Aku pun merangkak masuk hingga setengah tubuhku berada di dalam bagasi. Dengan hati-hati, aku menarik koperku lalu bergerak mundur, turut membawa koper keluar dari bagasi. Untung saja benda ini berukuran sedang hingga aku tak perlu kesulitan mengeluarkannya.

Kuletakkan koperku di jok sebelah setelah mengangkat kembali joknya. Dengan tergesa aku menarik risleting kopernya dan membuka benda itu ke atas. Koperku ini penuh dengan pakaian yang tidak terlipat rapi karena aku memasukkannya secara asal saat tadi di basecamp.

Aku memeriksa setiap saku yang ada di koper namun aku tidak menemukan laptop. Lalu aku "menggali" tumpukan pakaianku hingga jariku mencapai dasar koper. Aku meraba kain yang melapisi dasarnya, hingga jariku menyentuh sebuah robekan panjang pada kainnya.

Aku pun mengeluarkan pakaianku dari koper. Aku melihat sebuah robekan panjang di kain pelapis dasarnya.

Sebenarnya, aku memang melihat robekan saat merapikan pakaianku, namun aku tak terlalu memikirkannya. Namun sekarang robekan ini membuatku curiga.

Batinku menjadi sangat penasaran. Maka, aku merobek kain pelapis itu hingga memanjang dan membukanya. Dibalik kain ini terdapat benda berbentuk seperti laptop, namun dibalut beberapa kain tebal.

Aku membuka lapisan kain tersebut hingga menemukan laptop Aimee dibaliknya.

Jadi sejak aku pergi ke London, Aimee menyimpan benda itu disini? Kuharap laptopnya tidak rusak karena sehari sebelum kembali ke Oklahoma bulan lalu, saat Liam sedang membantuku mengepak pakaian, Ia tak sengaja menendang koperku (awalnya dia ingin balas menendang betis Louis karena Louis menyiramnya dengan air. Tetapi tendangannya meleset).

Uh, abaikan. Aku harus berkonsentrasi.

Aku membuka laptopnya dan mengaktifkannya. Tak lama, layar desktop muncul, menampilkan foto manipulasi Aimee dengan Zayn yang Ia buat sendiri. Jika kalian belum tahu, dia memang pengguna Photoshop yang handal.

Perhatianku beralih ke sebuah folder bernama Plan X di sudut desktop. Jadi, aku membukanya.

Isi folder ini adalah sejumlah foto dan notes. Kugerakkan kursor laptopku ke foto paling atas, karena nama file-nya membuatku tertarik.

Surat dari Olivia

Lalu, aku membukanya.

Foto sebuah surat dengan tumpukan foto One Direction di belakangnya. Tulisan di surat itu membuat tubuhku melemas.

Selama beberapa detik pertama, aku enggan mempercayai atas apa yang telah kulihat.

Jadi di hari itu, tanggal 25 Maret, Olivia sudah mengetahui tentang rencana pembunuhan kepada One Direction! Kurasa saat itu dia pergi ke sekolah demi menemuiku dan Aimee untuk memberitahu tentang ini—bahwa the lads menjadi target pembunuhan yang dilakukan bandits atas perintah seseorang.

Aimee benar. Aku harus kembali ke basecamp. Greyson harus tahu ini! Tidak hanya itu. Louis, Liam, Harry dan Niall—oh, terutama Niall harus mengetahui ini semua!

"Drake," tanganku bergerak cepat saat menutup laptop dan memasukkannya ke dalam sling bag-ku yang berukuran cukup besar. "Maaf, tapi kurasa kita harus putar balik."

"Apa?" Drake menoleh padaku dengan ekspresi heran. "Kita tidak bisa putar balik di jalan tol!"

"Well, keluar dari gerbang tol lainnya! Kau pasti tahu jalan lain agar kembali ke London, bukan?"

BRAK!

Aku menjerit ketika merasakan hentakan kuat dari belakang. Kontan ponselku terlempar dan jatuh ke dekat kakiku. Kutolehkan kepalaku, dan mendapati sebuah mobil SUV hitam berada tepat di belakang taksi. Mobil itu mundur, kemudian maju dengan kecepatan tinggi, sengaja menabrak bagian belakang taksi berulang kali. Ada juga dua mobil yang sama mengikuti di belakang.

BRAK!

"Ouch!" aku merunduk saat mobil SUV itu menabrak lagi. "Drake, cepat pergi dari sini!"

"Tidak bisa! Mobil tua ini tiba-tiba mati! Kita terdorong!"

Great! Tamat riwayatku sekarang!

Aku bisa saja melompat keluar dari mobil, namun, aku takut kalau mobil SUV hitam lainnya akan melindas tubuhku. Aku berencana menembaki mobil mereka, tapi percuma saja karena aku meninggalkan senjataku di basecamp!

Aku segera meraih sling bag-ku dan memeluknya erat di depan dadaku. Di dalam tas ini ada laptop Aimee dan aku tak mau sampai benda ini rusak karena berisi banyak informasi yang berkaitan dengan penculikan Zayn!

Aku menoleh lagi ke belakang untuk melihat situasi. Namun yang terjadi adalah taksi ditabrak dari samping dengan kuat. Aku menjerit, memegang jok didepanku saat merasakan mobil ini berputar cepat hingga menabrak pembatas jalan. Benturannya sangat kuat, menyebabkan kepalaku terhentak ke samping dan sempat membentur kaca.

Sialan. Ini menyakitkan.

Aku merasa kepalaku sakit dan sekujur tubuhku lemas. Bahkan kurasa beberapa bagian di wajahku terluka.

Walaupun merasa kepalaku pening, aku menolehkan kepalaku untuk memandangi keadaan sekitar. Karena semua kaca jendela mobil ini pecah, aku dapat melihat tiga mobil SUV hitam yang berhenti berjarak 10 meter dari taksi. Sejumlah pria bertampang preman keluar dari sana sambil mengangkat senjata mereka.

Sudah kuduga. Bandits!

"Miss," Drake menolehkan kepalanya padaku. Astaga. Keningnya berdarah. Kurasa terbentur saat tabrakan tadi. "Anda terluka—"

DOR!

Batinku menjerit saat melihat bagaimana peluru perak itu menembus kepala Drake, membuatnya tewas.

Orang lain mati lagi, gadis batinku meringkuk, menangis ketakutan. Orang lain mati—

"Boss," seorang bandit berjalan mendekati taksi dengan santai. Ia berbicara melalui talkie walkie, "we got the girl."

"Good," aku mendengar jawaban dari walkie talkie si Bandit. Itu bukan suara Aimee, thank God. Melainkan suara seorang lelaki yang tidak kukenal. "Bawa dia kemari. Kita akan buat dia bicara."

Aku membungkuk untuk menyembunyikan sling bag-ku di bawah jok Drake. Tepat setelah aku menegakkan punggungku, tahu-tahu si Bandit tadi ada di sebelah pintuku.

Glek. Semoga tadi dia tidak melihatku menyembunyikan tas di bawah jok.

"Ayo keluar," ucapnya tegas.

"Go away!" aku menggeser posisi dudukku untuk menjauh darinya.

Si Bandit ini membuka pintu, lalu setengah tubuhnya masuk ke dalam mobil. Ia merentangkan tangannya untuk meraihku, "come on! Jangan memaksaku untuk bersikap keras padamu!" Ia mengomel ketika aku semakin menyudut ke pintu sebelah kanan.

Aku tak peduli. Aku mengangkat kakiku untuk menendangnya menjauh, namun dia malah menangkap kakiku, kemudian menarikku mendekat padanya. Sebelum aku menendang perutnya lagi, Ia mencengkeram kedua lenganku dan memaksaku keluar mobil.

"Lepaskan aku!" aku menjerit-jerit. Aku tetap memberontak agar dia melepas pegangannya dariku. "Bastard, let me go!"

Aku terperengah saat dia mendorongku kasar hingga aku jatuh tersungkur ke atas jalan. Ia maju mendekatiku, namun aku terus mundur hingga tersudut oleh bandits lainnya yang kini berdiri mengelilingiku. Mereka menunduk padaku, memandangiku dengan senyuman sinis dan penuh kemenangan.

"Sekarang tidak ada lagi yang akan melindungimu," ejek seorang bandit. "Aku turut prihatin karena Niall Horan mengusirmu pergi, Gadis."

Aku memandanginya penuh kekesalan. Ucapannya yang memang berdasarkan kenyataan membuatku marah sekaligus sedih.

Salah seorang dari mereka berlutut di depanku. Dan ia tersenyum tipis, memandangiku dengan tatapan mesumnya yang membuatku ingin menghajarnya hingga wajahnya penyok.

"Dimana Aimee Parker?"

"Katakan padaku dulu alasan kalian mencarinya."

Dia mengangkat kedua alisnya. Ia melirik kepada beberapa temannya kemudian melanjutkan, "Aimee Parker adalah seseorang yang meretas akun e-mail bisnis antara Frank dengan boss kami sekitar satu setengah bulan yang lalu. Kami mencoba melacaknya melalui laptopnya, namun sejak hari itu dia lenyap. Hari ini lokasinya terdeteksi lagi, namun yang kami dapatkan saat mengikuti posisinya berada adalah kau, bukan dia."

"Aimee Parker bukan bos kalian yang sebenarnya, bukan begitu?" aku bertanya. Suaraku terdengar getir. "Kalian memanfaatkan namanya! Kalian sungguh munafik! Kalian membuat banyak orang membenci Aimee! Padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun!"

"Berisik!" Ia mengangkat pistolnya dan menusuk ujungnya ke bawah daguku. Gadis batinku sepenuhnya ketakutan sekarang. "Katakan dimana posisi Aimee Parker! Aku yakin kau dan teman-temanmu itu bersekongkol dengannya untuk menyembunyikan Zayn Malik dari kami!"

Aku sepenuhnya mengerti apa yang terjadi sekarang. Para brengsek ini sungguh keterlaluan. "Aku tak akan menjawab pertanyaan apapun darimu!"

PLAK!

Shit.

Sekarang dia menamparku.

Aku merasakan robekan kecil di ujung bibirku karena tamparan darinya.

"Dengarkan aku!" Ia memegang daguku dengan jari telunjuk dan jempolnya. Ia memaksaku untuk menatap wajahnya, "kami sudah muak mengejar kalian. Katakan padaku—dimana kau dan teman-temanmu menyembunyikan Zayn Malik?"

Gadis batinku menyeringai angkuh karena pertanyaannya.

Kini semuanya menjadi jelas.

Aimee memang menculik Zayn. Aimee menculiknya agar mempersulit bandits untuk membawanya dan membunuhnya. Jadi, dia sama sekali tidak ada keterlibatan dengan penyerangan yang dilakukan Frank Chester dan anak buahnya!

"Hei, jawab aku, Jalang!" Ia mencengkeram daguku semakin kuat. Rasanya cukup perih. Apalagi, ibu jarinya menekan robekan kecil di ujung bibirku. Aku dapat merasakan darah mengalir dari sana. "Aku tahu kalian menyembunyikan Zayn Malik dari kami! Sekarang, beritahu aku!"

Aku memang tidak tahu dimana posisi Zayn sekarang. Namun aku tahu dia sedang bersama siapa. Dan tidak mungkin aku memberitahunya. "Aku tidak tahu apapun," ketusku. "Persetan denganmu!"

Awal mulanya dia hanya menatapku dalam diam. Kemudian, ia berdiri dan melangkah mundur sebelum berbalik menuju mobilnya. Sambil melangkah, aku mendengarnya berteriak kepada anak buahnya. "Bawa dia ke markas!"

APA?!

"What the hell—" aku mulai merasa gentar saat dua bandits menarikku untuk berdiri dan menyeretku ke mobil mereka. "Untuk apa kalian membawaku?! Aku tidak tahu apapun! Lepaskan aku! Lepas!"

"Well, mungkin kau tidak tahu apapun," bandit disebelahku berkomentar di saat Ia masih memaksaku berjalan menuju mobil. "Tapi kau pasti dapat melakukan sesuatu untuk memuaskan kami saat di markas, bukan?"

Gadis batinku membelalak. "Ti-tidak-" tubuhku gemetar hebat. Keberanianku seketika lenyap. Aku sungguh ketakutan. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!"

"Bos! Ada yang datang!" seorang bandit yang berdiri di sisi mobil menunjuk ke belakang, jadi aku (dan bandits lainnya) mengikuti arah yang Ia maksud.

Sebuah mobil Range Rover melaju cepat sebelum berhenti tak jauh dari posisiku dan yang lainnya. Kuharap aku salah lihat, namun ketika Si Pengemudi melompat turun dari mobil sambil membawa senjata di genggamannya, batinku melotot karena terkejut. 

Niall. 

Apa yang Niall lakukan disini?!

Semula dia begitu brengsek kepadaku. Dan saat aku pergi, tiba-tiba saja dia disini dan membawa senjata? Ada apa dengannya?

Kedatangan Niall membuat bandits terkejut. Salah seorang dari mereka mendekat dan berdiri di belakang tubuhku, "Oh, kita kedatangan tamu!" ia melingkarkan lengan kirinya di sekeliling leherku, "selamat datang, Niall Horan."

"Lepaskan Beth," Niall berkata dengan geram. "Lepaskan dia!"

"Um, kurasa tidak," nafasku tertahan saat Ia menodongkan senjata di tangan kanannya ke kepalaku. "Karena kau dan teman-temanmu hanya mempersulit keadaan, lebih baik aku membawa gadis ini untuk kami tanyai seputar Zayn Malik."

"Apa maksudmu?!"

"Jangan berpura-pura!" Bandit berteriak geram. "Kau dan teman-temanmu menyembunyikan Zayn Malik dari kami! Rencana kami untuk membunuhnya dan kalian semua menjadi kacau! Apalagi sejak MI6 terlibat!"

Niall membelalak. "Kami bahkan tidak tahu tentang itu," genggaman Niall pada senjatanya terlihat mengeras. Ia menahan emosinya. "Kami tidak tahu dimana dia berada-"

"Bullshit!" Ia membentak. "Berhenti mengatakan kebohongan dan katakan padaku dimana posisi Zayn sekarang!"

Aku memejamkan mataku saat ujung senjata menekan pelipisku.

Dia benar-benar akan membunuhku.

"Sungguh?" Niall melirik satu persatu bandits lainnya disekitar kami. "Apakah kau mempunyai pekerjaan lain selain membunuh orang?! Dimana otakmu?!"

Bandit ini tidak menyahut ucapan Niall. Ia malah mempererat rangkulannya hingga punggungku merapat ke dadanya. Tubuhku merinding karena kini dia bernafas di sisi telingaku, "sepertinya Niall Horan tidak akan membiarkan satu orang fansnya tewas lagi. Benar begitu?"

Keberanianku seketika lenyap. Kini tubuhku merinding, nafasku rasanya menjadi sesak karena Ia nyaris mencekik leherku. 

"LEPASKAN DIA!" Niall berteriak, mengangkat senjatanya kepada Bandit di belakangku. "KAU DENGAR AKU?! LEPASKAN DIA!"

Mataku membelalak ketika bandit ini mengendus aroma leherku. Aku dapat merasakan kulit hidung dan bibirnya mendarat di leherku.

Bajingan! Berani-beraninya dia—

"Jangan membuat ini semakin buruk!" aku mendengar Niall berteriak. Ketika aku meliriknya, aku melihatnya yang begitu marah. Tangannya mengenggam senjata begitu kuat, terarah ke bandit di belakangku. Jika saja dia meleset saat menembakkan senjatanya, maka tamatlah riwayatku. "Kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa!"

"Tentu aku tahu!" Bandit ini tertawa meremehkan. "MI6 dan sekumpulan remaja yang mengacaukan kondisi dan membuat banyak teman-temanku tewas serta dipenjara! Dan aku akan membalas tindakan kalian atas itu! Aku akan membunuh gadis ini!"

Shit.

"Kalian semua telah melukai sahabat-sahabatku! Bahkan kalian membunuh fansku!" Niall membentak emosi. "Dan aku tak akan membiarkan kalian melakukan itu lagi!"

"Oh, ya?" Bandit ini menoleh padaku. Aku ingin sekali memberontak, namun Ia malah mempererat cekikannya padaku. "Kalau begitu, bagaimana jika kau kemari agar gadis ini selamat?"

Dafuq.

"Aku akan melepaskan gadis ini jika kau kemari," Ia tertawa sinis. "Aku ingin berbincang sebentar denganmu dan Beth. Dan, oh, letakkan senjatamu, Niall."

Kukira dia akan melenggang pergi meninggalkanku. Namun tidak. Dia malah meletakkan senjatanya di atas jalan, dan mendekatiku yang masih di dalam genggaman bandits.

"Niall," nafasku tercekat. "Jangan! Kembalilah ke basecamp. Aku akan baik-baik saja—"

Ia menggeleng saat Ia semakin mendekat padaku dan bandits. Ia akhirnya berdiri di depanku, berjarak sekitar kurang dari satu meter. "Aku tidak akan membiarkanmu dibawa oleh para brengsek ini," Ia berujar dengan suara geram.

"Duduk!" salah seorang bandit memaksa Niall hingga berlutut tepat di depanku. Kedua tangannya menyilang di belakang kepala selama si Bandit memeriksa pakaiannya. Sepertinya untuk memastikan Niall tak membawa senjata lainnya. "Dia bersih."

"Bagus," bandit di belakangku terdengar puas. Ia tidak bersuara selama beberapa saat selanjutnya. Namun, tindakan bandit di sisi Niall membuatku shock—karena dia mengeluarkan senjatanya dan menodongkannya ke kepala Niall.

"Apa yang kau lakukan?" suaraku bergetar. "Kalian boleh bawa aku pergi ke markas kalian, kemana saja! Namun lepaskan dia dan biarkan dia pergi."

"Tidak! Beth, diam!" Niall menolak tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Ti—tidak setelah apa yang kukatakan padamu tadi ..." suaranya melemah. Ekspresinya terlihat menyesal.

Batinku meringis sedih.

Aku sungguh tidak menduga ini.

Kukira dia benci padaku karena mengira aku bersekongkol dengan Aimee. Kukira dia tidak mau melihatku lagi. Namun kini dia malah disini, menyelamatkanku lagi. Entah untuk yang keberapa kalinya.

"I—it's okay," aku merasa dadaku perih. "Tidak perlu memikirkan itu lagi. Kau belum tahu kebenarannya. Kau marah dan khawatir dengan keadaan Zayn. Kau hanya mengkhawatirkan sahabatmu. Aku mengerti," pandanganku kini menjadi kabur. Air mata menggenang di balik kelopak mataku. "Jadi, kau bisa pergi. Sungguh. Pergilah."

"Tidak."

"Niall, kumohon—"

"AKU TAK MAU ADA LAGI YANG MENINGGAL!" Niall berteriak, bersamaan dengan cairan bening yang merebak keluar dari matanya. "Aku tak mau ada lagi yang berkorban demiku! Tidak! Aku tidak pantas menerimanya!"

"Perintah dari boss," bandit lainnya berujar. Aku dan Niall pun menatapnya dengan pasrah. "Bunuh Zayn Malik dan keempat personel One Direction—Niall Horan, Louis Tomlinson, Liam Payne dan Harry Styles. Bunuh siapa saja yang mengganggu—dan itu termasuk Bethany dan Greyson Chance, juga fans gila lainnya."

Niall memberontak, tetapi karena senjata menekan lehernya, membuat perlawanannya terhenti. "Masa bodoh! Terserah kalian! Bunuh saja aku!" ia membentak geram. "Tetapi jangan berani-beraninya kau melukai dan membunuh saudara-saudaraku!"

"Um ..." si Bandit menggumam. "Bagaimana kalau tidak?"

DOR!

Tamatlah. Ini akhir dari Bethany Chance.

DOR!

DOR!

Tetapi kalau aku sudah mati, kenapa aku masih bisa mendengar—

"BETH! NIALL! KEMARI!"

Aku mendongak. Batinku menari gembira karena mendapati diriku yang masih hidup tanpa luka tembak, begitu pun dengan Niall. Aku menoleh untuk melihat situasi di sekitarku. Dimana beberapa bandit telah tumbang di atas jalan dan bandit lainnya yang berlarian ke balik mobil, berlindung dari tembakan yang diberikan oleh agen-agen MI6.

Ya, mereka datang!

Begitu aku mendongak, aku melihat Clark membuka mulutnya, dan dia berteriak.

"LARI!!"

Aku memekik kaget ketika Niall menarik tanganku dan menggiringku paksa menuju posisi MI6 berada. Kami berlari di pinggir pagar tol guna menghindari tembakan beruntun antara para agen dan bandit. Kami nyaris saja tiba, namun perhatianku teralihkan oleh taksi yang setengah bobrok di seberang jalan.

LAPTOP DAN PONSELKU!

Dengan itu, aku mempercepat lariku. Mula-mula aku berlari di belakang kerumunan agen sebelum menuju taksi secara sembunyi-sembunyi agar bandits tak menyadari keberadaanku. Aku mengabaikan jeritan Niall dan agents lainnya kepadaku. Aku harus mengambil laptop Aimee karena terdapat banyak informasi penting di dalamnya!

Begitu masuk ke taksi, aku menarik laptop dari bawah jok, lalu memasukkannya bersama ponselku ke dalam sling bag milikku. Kurasa aku harus meninggalkan koper dan pakaianku disini. Mungkin aku bisa meminta Clark untuk—

DOR!

PRANG!

"AAH!" aku kontan tiarap di atas jok ketika kaca jendela belakang taksi pecah karena tembakan peluru. Sialan!

Aku terus berlindung di balik jok selama mobil ini menjadi sasaran tembak. Aku mencoba melihat keadaan dengan mengintip dari jendela. Satu persatu bandits tumbang, walaupun masih tersisa beberapa. Namun taksi ini tak lagi ditembaki. Jadi, ini kesempatanku untuk kabur.

Maka, aku bertindak nekat. Sambil memeluk tasku, aku berlari secepat yang kubisa menuju Niall dan agents MI6. Aku mendengar tembakan lagi dari bandits, juga suara pantulan peluru dengan aspal di sekitar kakiku. Hal itu membuat adrenalinku semakin berpacu. Walaupun nafasku mulai tersengal dan lelah, aku tetap berlari, hingga akhirnya aku semakin mendekat pada Niall yang berada di sisi Clark. Tinggal beberapa langkah, namun bodohnya aku malah tersandung. Sebelum tubuhku jatuh ke atas jalan, Niall menangkap tubuhku, memelukku.

"Kau baik-baik saja?" Niall terdengar khawatir. Kemudian Ia melonggarkan pelukannya. Tangannya menangkup kedua pipiku, "astaga. Bibirmu berdarah—"

"Kau idiot!" aku menepis tangannya. "Bagaimana jika kau benar-benar mati ditembak tadi?!"

Niall membelalakkan matanya karena ucapanku. Ia seperti hendak protes, namun kemudian, ia terdiam. Tatapannya melemah. "Bee, aku tahu aku salah. Maafkan aku—"

Terjadi keheningan di antara kami berdua, hingga sejauh yang kudengar hanyalah suara tembakan tanpa henti.

Niall mengusap air matanya. "Aku tahu aku brengsek. Yang kau lakukan hanyalah untuk mencari sahabatmu namun yang kulakukan adalah menuduhmu. Maaf, aku menyakiti perasaanmu, Bee. Maafkan aku ..."

Sejujurnya aku masih kecewa padanya. Aku tak mau memaafkannya begitu saja karena ucapannya sangat menyakitiku. Namun, dia rela datang kemari untuk menjemputku. Tidak mungkin aku tetap bersikap marah padanya.

"Aku rela melakukan apa saja agar kau memaafkanku, sungguh," Niall menangkup kedua pipiku dan menatapku. Aku dapat melihat matanya yang memerah karena menangis. "Kau boleh menamparku dan menonjokku—"

BUK!

"FUCK!" kepala Niall terdorong ke belakang karena aku menonjok hidungnya. Ia langsung menunduk, menutupi hidungnya sembari menatapku dengan mata membelalak.

Astaga.

APA AKU BARU MEMUKUL NIALL?!

"Ya tuhan," aku melotot melihat hidungnya yang berubah menjadi warna merah keunguan. Gadis batinku kini bengong, tak dapat mengomentari tindakanku ini. "A—aku ... aku tidak sadar melakukannya ..."

Niall tidak merespon. Ia mendongak dan menatapku. Namun bagusnya, Ia tidak terlihat marah. Sambil menutup hidungnya, Ia berujar padaku. "Bagaimana? Sudah merasa lebih lega?"

Aku mengangguk. "Y—ya. Sepertinya ... Maafkan aku—"

"Kenapa kau meminta maaf? Aku yang mengatakannya sendiri tadi agar kau memukulku," Ia tertawa canggung, dilanjutkan dengan ringisannya. "Shhiitt tonjokanmu kuat juga."

Aku meringis. Sejujurnya aku merasa sangat menyesal karena telah menonjoknya. Kalau saja Syahna, Azza dan Deandra ada disini kurasa aku akan mendapatkan balasan dari mereka karena telah menonjok Niall.

AKU KECEWA PADANYA, OKE? Dengan memukulnya tadi rasanya perasaanku menjadi lebih lega.

"Baiklah ..." Niall merangkulkan lengannya di sekeliling pundakku. "Kita harus kembali ke basecamp. Tadi aku melihat telepon masuk dari Greyson, tetapi karena aku sedang menyetir jadi aku mengabaikannya," ucap Niall sembari membukakan pintu mobil untukku.

"Semuanya sudah beres," Clark menunjuk situasi di belakang. Sejumlah agents mengamankan bandits yang tersisa. "Bethany Chance, aku tak akan memarahimu karena James-lah yang akan melakukanya setiba kita di basecamp. Sekarang, kau dan Niall masuk ke mobil."

***

"Kau membahayakan dirimu sendiri, Bethany. Kau tahu itu?" Clark bertanya saat mobil kami sudah memasuki kompleks perumahan. "Bagaimana kalau aku tidak datang tepat waktu? Kau dan Niall bisa saja mati."

"Aku tahu," aku menyahut pendek.

"Lalu kenapa kau melakukannya?" agen Chris, yang sedang menyetir kini menoleh ke belakang, menatapku dengan sewot.

"Um, because Niall was being a jerk?" aku menjawab dengan sarkastik. Kemudian menoleh kepada Niall, "I'm sorry."

"It's okay. I deserve it. And this," Niall menunjuk hidungnya yang memerah—bahkan nyaris membiru.

Clark menatap hidung Niall. Ia kembali menoleh ke depan dan mendekapkan tangannya. "Apa isi laptop itu?" tanya Clark tanpa menatapku.

"Semua informasi yang MI6 butuhkan perihal Aimee yang menculik Zayn," pandanganku beralih ke rumah sederhana berlantai dua, yang tak lain adalah basecamp. Mobil pun melaju memasuki car pit. Ketika aku turun dari mobil, aku disambut oleh Greyson, Louis, Liam dan Harry.

"BETH!" Greyson-lah yang pertama kali menghampiriku. Ia memelukku erat, kemudian menangkup kedua pipiku. "Aku senang sekali kau kembali! Kau baik-baik saja? Berita tentang kecelakaan dan peristiwa penembakan tersiar di televisi! Dan—dan—"

"Greyson, I'm alright!" kucium pipinya kemudian memeluknya. "Maaf, aku membuatmu khawatir ..."

"Hei, tidak, tidak! Kau tidak perlu meminta maaf," tukas Greyson dengan senyuman.

"AAH! THANK GOD!"

Kemudian, Louis, Harry dan Liam. Kami berenam merapat kemudian saling berpelukan. Gadis batinku merasa terharu sekaligus histeris karena ini.

"Hei, apa ini?" Louis menangkup pipiku. Ia memandangi luka-luka gores serta luka robek di ujung bibirku. "Kau baik-baik saja?"

"Secara fisik, tidak terlalu buruk," aku merasa terharu karena melihat betapa khawatirnya Louis padaku. Dia manis sekali. "Maafkan aku kabur, Louis."

"Kau tidak perlu meminta maaf! Ini semua kesalahan Niall," Liam berseru dan menunjuknya. Ia terkejut dan meringis ngeri melihat kondisi hidung Niall yang membengkak dan agak bengkok. "Uh, ada apa dengan hidungmu?"

"Beth menonjok hidungku," Niall menyahut dengan datar.

Greyson, Louis, Harry dan Liam tertawa terbahak.

"Bagus, Bee. Kurasa itu akan jadi pelajaran baginya," Harry berkomentar di sela-sela tawanya yang terdengar lucu bagiku. Gadis batinku dengan girang menerima pelukan yang diberikan Harry sekarang.

Aku dapat banyak bonus sekali hari ini. Ups.

"Jangan bergembira seakan tidak ada masalah yang melibatkan kalian!" teguran James membuat kesenangan kami berenam tertunda. Kami melepas pelukan kemudian menatap James yang berdiri di atas teras dengan gelagat marah. "Terutama kalian berdua—Beth dan Niall! Sekarang, semuanya masuk ke dalam!"

Uh, oh.

"James. Tunggu," aku mengejarnya yang memasuki rumah lebih dulu. "Aku paham kau marah padaku. Tapi—"

"Aku tidak mau mendengar apapun darimu!" ia membentak, tepat di depan batang hidungku. Ia pun berbalik hingga kami berdiri berhadapan. Seketika nyaliku menciut karena sorot mata dan ekspresi wajahnya yang menyeramkan. "Hari ini kau berhasil membuatku gila. Pertama, kau mempertaruhkan nyawamu sendiri untuk Styles dan yang lainnya. Lalu, kedua, kau lari dari basecamp! Astaga-aku bisa saja mengikat kedua tangan dan kakimu agar kau tidak-"

Benar dugaanku.

"James, ini bukan salahnya! Ini sepenuhnya salahku!" aku mendongakkan kepalaku untuk melihat Niall yang membelaku. Aku mati-matian menahan gelak tawaku menyadari hidungnya yang nyaris membiru. Aku memang merasa menyesal namun di sisi lain aku merasa geli sekaligus bangga dengan tindakanku. Aku tidak pernah berfikiran akan menghajar idolaku sendiri. "Dia pergi karena ucapanku. Jadi yang harus kau omeli disini adalah aku."

"Tidak, Horan. Kau akan mendapat ganjaran yang lebih parah dari sekedar omelan—tunggu. Kenapa hidungmu memar?"

"Beth menonjokku."

Keributan mereka sempat teralihkan oleh deringan ponselku. Aku pun merogoh tasku dan mengeluarkan benda itu dari sana.

"Ini telepon dari Aimee," ucapanku membuat James, Greyson dan the lads menatapku kaget.

"Loudspeaker," pinta James.

Aku mengangguk paham. Begitu aku mengangkat telepon dari sahabatku ini, aku mengaktifkan mode loudspeaker hingga suara Aimee bisa didengar oleh kami semua. Seketika, Greyson, James dan the lads mengerubungiku.

"Kau sudah di basecamp, Beth?"

"Y—ya! Aku sudah bersama Greyson dan yang lainnya."

"Syukurlah. Aku akan menghubungimu melalui Skype di laptopku. Karena bandits sudah tahu tentang laptopku ada padamu, aku yakin mereka tak lagi mengincarmu sekarang. Karena target utama mereka untuk sekarang adalah aku."

Aku terdiam mendengar penjelasannya.

"Sebenarnya apa yang kau lakukan?" suaraku terdengar parau. "Kau menculik Zayn. Frank dan anak buahnya yang tidak berhenti mencoba melukai dan membunuhku, Greyson dan the lads. Semua ini terlalu rumit."

"Aku mencoba menyelamatkan Zayn," suara Aimee memelan. Sedih dan putus asa. "Itulah yang aku lakukan."

***

Fast update wowowow.

Vote vote vote! Dan spam comments ya wkwk. Gue seneng kalo kalian spam comment <3

Semuan rahasia akan terbongkar di next chapter x

Continue Reading

You'll Also Like

49K 2.4K 23
Niran cewek problematik yang hobi bikin onar di sekolah tiba-tiba dijodohkan dengan CEO muda kaya raya yang lemah lembut dan penyayang. Apa jadinya? ...
621 119 11
"Sebelum sedingin es, kita pernah sepanas salonpas." Sebelumnya Syua dan Djatmiko adalah sepasang sahabat yang berubah haluan menjadi musuh. Bertahu...
11.9K 2K 43
Apa sih keuntungannya dapat 1 juta view di Wattpad? 1 Juta view itu hanya angka aja nggak sih? Atau emang beneran yang baca segitu? Baca work ini unt...
1.2M 169K 36
[TERSEDIA DI TOKO BUKU] Im Soha adalah medusa di dunia nyata. Dia cantik, genius, dan tahu apa yang harus dia singkirkan untuk mempertahankan Queena...