Borneo Darkness

By TitisariPrabawati

136K 11.1K 1K

This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia ( UU Hak Cipta Indonesia Republi... More

Borneo Darkness
[ Part 1 - Peteh ~ Ikatan ]
[ Part 2 - Mainsek ~ Tanya ]
[ Part 3 - Hiau ~ Suara ]
[ Part 4 - Batekang ~ Keras ]
[ Part 5 - Buhen ~ Kenapa ]
[ Part 6 - Mikeh ~ Rasa Takut ]
[ Part 7 - Narai ~ Apa gerangan ]
[ Part 9 - Mandinu ~ Mengambil ]
[ Part 10 - Mahalau ~ Melewati ]
[ Part 11 - Mamalar ~ Memanfaatkan ]
[ Part 12 - Mahining ~ Mendengar ]
[ Part 13 - Kabuat ~ Sendiri ]
[ Part 14 - Mamparahan ~ Menampilkan ]
[ Part 15 - Manggilau ~ Mencari ]
[ Part 16 - Mahapa ~ Memakai ]
[ Part 17 - Mambelep ~ Mematikan ]
[ Part 18 - Dehen ~ Erat ]
[ Part 19 - Mahundang ~ Melepas ikatan ]
[ Part 20 - Mangirut ~ Tercabik ]
[ Part 21 - Maimbit ~ Membawa ]
[ Part 22 - Mahilung ~ Merawat ]
[ Part 23 - Mamangkit ~ Menggigit ]
[ Part 24 - Balemu ~ Melemah ]
[ Part 25 - Kapehe ~ Sakit ]
[ Part 26 - Batajim ~ Tajam ]
[ Part 27 - Ikau ~ Dirimu ]
[ Part 28 - Yaku ~ Diriku ]
[ Part 29 - Katining ~ Jernih ]
[ Epilog ]
~ Tale From The Dark ~

[ Part 8 - Buahen ~ Mengapa ]

5.5K 461 35
By TitisariPrabawati


Harum mawar di taman

Menusuk hingga ke dalam sukma

Yang menjadi tumpuan rindu cinta bersama

Di sore itu menuju senja

---

Aroma manis bunga anggrek, indah dan menenangkan, jika saja indera perasa mampu mengutarakannya, pasti manis seperti strawberry yang benar-benar matang. Rayn bergelung dengan semua kemewahan itu, seolah kamar-kamar mewah di apartemen dan rumahnya, tidak ada yang bisa membuatnya tidur senyenyak dan senyaman ini. Bahkan beludru hitam yang tebal seperti bulu beruang yang menjadi tempat kesayangannya untuk menyamankan diri tidak terasa seindah ini.

Nila berusaha tidak bergerak, bertahan dengan kondisi aneh yang menimpanya.

Sejak beberapa jam yang lalu, kepala Rayn terkulai di pangkuannya, tangan lelaki itu memeluk erat pinggangnya dan tertidur seperti anak kecil yang merindu pangkuan ibunya. Walaupun dengan mata tertutup, Nila bisa merasakan hembusan nafas Rayn yang panas di pahanya yang dibalut kain putih tipis.

Mungkin Rayn terlalu lelah karena perjalanan panjang kemarin sehingga tidurnya menjadi tidak karuan seperti itu, tapi lama kelamaan, kepala Rayn terlalu mendesak ke perutnya dan Sangiang Datau tidak menyukai kondisi itu. Nenek tua itu merancau marah, walaupun mata Nila sudah ditutup, tak urung Sangiang Datau membuat gerakan pada lututnya yang mengguncang kepala Rayn.

---

"Aduh!" Rayn terkejut dengan guncangan yang tiba-tiba dan saat melihat posisi tubuhnya berbaring dengan tidak senonoh menyurungkan kepala di pangkuan gadis perawan, Rayn tercekat.

"Maaf tuan tentara kalau gerakan Sangiang Datau membuat kau terbangun, aku tidak mampu melawan kekesalannya walaupun aku sudah berusaha membelamu, kau terlalu lelah karena perjalanan kemarin, bukan?"

Rayn berjuang keras menaklukkan nafsunya untuk tetap memeluk Nila dalam kondisi yang menenangkan seperti ini, sisi rasionalitasnya mengeliat dan melepaskan Nila, aaahh...pria itu melepaskan penutup mata gadis itu dan tak lama gerutuan panjang keluar dari bibir Nila. Matanya masih gelap, tapi kekuatan magisnya mulai melemah, hari sudah menjelang fajar dan saat matahari di luar sana mulai menampakkan cahanyanya, terang di mata Nila mulai menyala.

"Selamat pagi..." sapa Rayn. Nila tersenyum.

Jenis senyuman yang mampu memporak porandakan pertahanan lelaki manapun, tetapi dengan tenang Rayn mengendalikan dirinya dan melepaskan ikatan di tubuh Nila.

Dengan penuh penyesalan, Rayn meraba guratan merah bekas ikatan tali pada pergelangan tangan dan kaki gadis itu.

Melihat dahi Rayn mengernyit, Nila seolah mengerti. "Tidak apa, aku tidak terluka, itu akan pulih dengan sendirinya..." Rayn membantu Nila berdiri.

"Sudah hampir pukul enam, aku akan mencoba menghubungi Erwin lagi memastikan posisi lokasi kita, setelahnya kita akan kembali meneruskan perjalanan..."

Nila mengangguk. Lalu memandang Rayn.

"Tuan tentara, bolehkah aku mandi? Sudah dua hari aku tidak mandi, tubuhku mulai gatal?"

"Tapi di luar sana berbahaya, Nila..."

Gadis itu tersenyum memperlihatkan giginya yang berderet rapi.

"Di dalam gua ini ada mata air..."

"Benarkah?"

Nila mengangguk lalu meminjam senter yang dimiliki Rayn.

"Di dalam sana..." mereka berjalan bersisian dan menemukan sebuah mata air di dalam gua.

"Kita isi botol kita dulu, Rayn. Setelah itu izinkan aku mandi..." Nila mencelupkan jemarinya ke dalam air dan mendesah. "Segarnyaaa..."

Mata Rayn menyipit melihat sebuah ceruk di dekat mata air dan menyenterinya, ada ular kecil bergulung di sana.

"Ada ular di sana, biar kubunuh dulu..." gumam Rayn. Nila tertawa.

"Tidak apa-apa, ular air itu tidak beracun, hanya menggigit, tapi dia tidak akan pernah mengigitku, aku akan mengusirnya untukmu nanti jika kau juga akan mandi di sini...aku pinjam sumber cahayamu ini ..." Nila meletakkan senter di sebuah ceruk di atas mata air sehingga ruang gua menjadi sedikit tersiram cahaya.

Mereka berdiri berhadapan lalu Nila memandang Rayn dengan bingung.

"Tuan tentara, apakah kau mau melihatku mandi?"

Rayn memaki dalam hati. Tapi melihat tatapan Nila yang menyiratkan gadis itu bercanda, bercanda ringan dan bukan menggodanya, tapi bukan level Rayn untuk tingkatan candaan seperti itu.

"Bolehkah?" Rayn meniadakan jarak diantara mereka dan merangkum wajah Nila dengan salah satu tangannya, mengelus bibir gadis itu.

Nila terjajar mundur karena tidak menduga tanggapan Rayn seperti itu.

Mereka bertatapan.

"Jangan memancingku, anak manis. Aku bukanlah orang baik. Tidak sebaik yang kau pikirkan. Kalau kau tidak berhati-hati, kita berdua akan menikmati sejuknya mata air itu dan berakhir dengan hilangnya keperawananmu ..." gumam Rayn mengancam. Nila menggigit bibirnya.

"Maaf, aku hanya..."

"Jangan bercanda dengan lelaki dewasa, apakah Khafi tidak pernah mengajarimu?"

Nila menggeleng tak mengerti.

Rayn menghela nafas lalu mengacak rambut Nila. "Sudahlah, mandilah aku akan berjaga di luar..."

---

Rayn mencoba membayangkan kira-kira kesibukan apa yang sedang dilakukan Harris, sekretarisnya sekarang di kantor? Tanpa Rayn selama tiga bulan, walaupun dengan bantuan para ahli yang kompeten, mungkin Harris tetap kewalahan. Tapi mungkin juga Harris merasa lega tidak berada dalam cengkeraman tekanan tinggi yang diakibatkan Rayn setiap kali mereka memiliki tender besar yang harus diselesaikan.

Gadis itu pasti sedang membuka pakaiannya sekarang, apakah dia memakai bra seperti gadis kota? Tapi mana mungkin Khafi memberikan Nila sebuah bra dan pakaian dalam? Hmm, tapi di balik gaun putihnya, sepertinya payudara gadis itu tersangga dengan kencang.

Rayn menggelengkan kepalanya mengusir bayangan erotis itu.

Harris mungkin sedang berlibur ke Bali atau ke suatu tempat, mungkin? Saat Tito mengetahui sekretarisnya itu terpaksa bekerja keras selama lima tahun ini menemani Rayn mengelola Almahendra Group.

Tangan Rayn gatal ingin menyusuri kulit putih menawan gadis itu dan merasakan sejuknya kulit Nila setelah gadis itu selesai mandi.

Rayn menggigit bibirnya kesal lalu membuka jacketnya untuk mengusir hawa panas yang mengaliri tubuhnya.

Nila! Jangan bersenandung seperti itu, nyanyianmu seperti nyanyian puteri duyung yang memaksa pelaut mendekat!

Rayn membuka kaos hijau lumutnya dan membantingnya di atas jacketnya dengan kesal. Ugh! Dengan geram dia menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.

Konsentrasi Rayn!

Senandung yang dinyanyikan Nila seperti menampar-nampar gendang telinga Rayn. Suara Ariana Grande bahkan kalah seksi dibanding suara Nila! Sial!

Karena tidak ada sabun, mungkin Nila sedang menggosok kulit tubuhnya dengan sedikit keras untuk menghilangkan debu yang menempel di tubuhnya! Duh enak dong jadi debu, bisa nempel-nempel...

Rayn menggigit bibirnya, frustasi.

Dia hendak berteriak memperingkatkan Nila untuk berhenti bersenandung dan menanyakan apakah gadis itu telah selesai mandi tatkala dilihatnya bayang samar cahaya senter menghampirinya.

"Aku sudah selesai, tuan tentara..." mata Nila mengerjap memandang Rayn. Tubuhnya...tubuh lelaki itu yang bertelanjang dada...Nila memiringkan kepalanya. Dia sering melihat tubuh lelaki bertelanjang dada, para pemuda di sukunya jarang yang memakai pakaian atau rompi adat, mereka sering bertelanjang dada kemana-mana, tapi Nila tidak pernah melihat bentuk tubuh lelaki seperti milik Rayn, tubuhnya aneh, tapi indah, ramping dan berkotak-kotak. Sepertinya lelaki itu telah melatih seluruh otot tubuhnya dengan baik, dengan penasaran Nila mendekat, tapi sebelum tangannya menyentuh perut Rayn yang berkotak-kotak, lelaki itu meraih tangan Nila dan menghentikannya.

"Maaf, tapi aku belum pernah melihat yang seperti ini, tubuhmu aneh..." mata Nila mengerjap polos. Rayn menggertakkan rahangnya.

Kondisi yang paling berbahaya saat melihat seorang wanita adalah, wanita itu dalam kondisi berrambut basah, lehernya yang jenjang terlihat dan tetesan air yang nakal menuruni leher dan terus menuju ke celah surga yang hanya Tuhan yang tahu bagaimana kelembutannya, membuat Rayn menelan ludah dengan susah payah, Tuhan sudah sangat sangat sangat menguji kesabarannya hari ini dengan kepolosan gadis di depannya ini.

Dengan cepat Rayn mendorong tubuh Nila ke dinding gua dan merangkum kedua tangan gadis itu dengan tangannya dan mencengkeramnya membingkai di sisi kanan dan kiri wajah gadis itu seperti pasung dan dengan putus asa karena tidak mampu menahan dirinya, Rayn membekap bibir Nila yang merah dan lembut dengan ciuman kasar dan menuntut, menggoda kesegaran yang ada dalam bibir Nila dengan lidah Rayn yang menjelajah ke setiap tempat dengan kasar dan semena-mena. Rayn tidak memberi ruang pada Nila untuk bernafas, saat gadis itu mnegerang lemah dan mendesah, membuat Rayn semakin gila, tapi sekaligus juga menghentak kesadarannya.

Rayn melepaskan Nila sebelum bertindak lebih jauh dan lebih buruk.

"My God! You make me crazy!" maki Rayn.

Nila hanya menatap Rayn polos. Tidak mengerti.

"Maafkan aku...kau tidak apa-apa?" tanya Rayn.

"Uh...huh..." Nila mengangguk, jantungnya berdebar begitu kencang hingga hampir terasa sakit karena perbuatan Rayn, tapi itu tidak melukainya.

Rayn mengambil senter yang terjatuh di kaki mereka karena perbuatan tadi dan bergerak menuju ke dalam gua.

"Giliranku yang mandi...kau makanlah emm...buah di sana, aku sudah mengupaskannya untukmu..."

---

Nila mengigit bibirnya lalu meraba dengan jemarinya.

Kenapa Rayn suka sekali melakukan itu?

Hal yang mereka lalukan kemarin dan tadi, yang membuat Sangiang Datau semakin marah dan mengatakan kalau Rayn bukanlah lelaki yang baik dan harus dijauhinya!

Pada awalnya, Nila merasa takut dengan perbuatan Rayn itu, tapi itu bukan sejenis rasa takut yang menakutkan, tapi rasa takut yang justru menyenangkan, membuat dadanya berdebar keras seolah akan meledak, begitu nyeri, sakit di sekujur tubuhnya yang mendambakan tubuh Rayn untuk lebih mendekat.

Seharunya dia menuruti keinginan Sangiang Datau untuk segera pergi jauh-jauh dari lelaki itu, tapi Nila tidak bisa, seolah Rayn bagaikan magnet yang selalu menariknya untuk berada di dekat lelaki itu. Rayn memberikan kenyamanan dan kebahagiaan yang tidak dia mengerti.

Dia ingin selalu berada di dekat Rayn dan melindungi lelaki itu.

Menjaganya sepenuh hati.

Nila bertanya-tanya, kenapa dia seperti terikat dengan Rayn sejak pandangan mata mereka bersitatap di malam pembantaian itu?

Bahkan setelah mereka tidak bertemu beberapa lama, ada firasat dalam diri Nila jika mereka akan bertemu kembali. Benar saja, saat dia melarikan diri dari kejaran pamannya, dia menemukan lelaki itu sedang bertarung dengan kawan-kawannya.

Seharusnya dia bisa meninggalkan Rayn saat itu.

Tapi kenapa dia malah melindungi lelaki itu dan tidak ingin menjauhinya lagi? Nila memandang sedih tanah di bawah kakinya.

Seharusnya, dia tidak boleh merasa sedih, setelah mengantar Rayn ke perbatasan dengan selamat, dia akan kembali ke sukunya, walaupun banyak hal yang harus diselesaikannya. Tentu saja dia tidak akan menuruti keinginan Arai untuk menikah, walaupun banyak gadis di sukunya memandang Arai sebagai lelaki yang gagah dan rupawan, tapi Nila sama sekali tidak bisa menyukai Arai.

Nila merasa bingung dengan pikiran-pikirannya.

Apa yang harus dia lakukan dan dia pilih selanjutnya?

---

Rayn menghubungi Erwin dan melakukan perjanjian. Jarak mereka tinggal 12 kilometer lagi akan tetapi medan berbukit yang cukup sulit akan membuat waktu mereka cukup terhambat untuk mencapai pos perbatasan.

"Kurasa kemampuan Nila hampir sama dengan kita." Rayn mengangkat alis saat melihat Nila memakai sepatu boot kulitnya. Dia mengenyahkan kata 'sexy' dari pikirannya melihat paha mulus itu sedikit tersingkap.

"Dia dapat mengimbangiku dalam perjalanan kami nanti, berarti dapat dipastikan kami sampai di pos perbatasan menjelang maghrib jika perjalanan lancar, bukan?"

"Benar," jawab Erwin. "Satu lagi Rayn, bawa Nila kemari dengan selamat, bapaknya sedang dalam perjalanan menuju ke Borneo..."

"Apa? Serigala tua itu?"

"Benar, pastikan kalian berdua kembali dengan selamat, ada team yang akan menjemput kalian di perbatasan,"

Tiba-tiba saluran telepon satelit tersendat. Rayn melihat signal merah berkedip. Ada panggilan lain rupanya. Siapa?

"Red team here...who's speak?"

"Wolf here..." sebuah suara dingin menyapa Rayn dan membuat bulu kuduknya berdiri.

"Putriku disana? Serahkan telepon ini kepadanya!" perintah Khafi.

Rayn menyerahkan telepon kepada Nila. "Ayahmu..."

Nila tersenyum dan mengambil telepon dari tangan Rayn.

"Ya ayah? Iya Nila baik-baik saja, tuan tentara menjaga Nila dengan baik. Eh?" Nila memandang Rayn dan tiba-tiba wajahnya memerah membuat Rayn penasaran akan apa yang ditanyakan Khafi kepada Nila.

"Ti...tidak ayah. Dia sangat baik...iya, tidak berbuat macam-macam...ba...baik Ayah," Nila menyerahkan telepon kembali kepada Rayn.

"Awas, jangan sampai kau menyentuhnya sedikitpun, atau kubunuh kau!" geram Khafi. Rayn meringis.

"Yes, Sir! Tapi kalau dia yang menggoda saya, itu lain perkara..."

"Apa maksudmu, hah?"

"Bercanda, pak. Tolong pemetaannya supaya kami segera meneruskan perjalanan menuju ke Pos perbatasan..."

Khafi mendengkus kesal dan terpaksa mematikan saluran.

Rayn memasukkan koordinat yang diberikan Erwin dan menyetelnya pada jam tangannya.

Baterai jamnya hampir habis, saat mereka keluar nanti dan terkena cahaya matahari, jam itu akan kembali mendapatkan energinya.

---

"Apakah di siang hari kau akan menjadi lemah?" tanya Rayn.

Nila menoleh memandang Rayn tidak mengerti.

"Tanpa Sangiang Datau, apakah kau akan kehilangan ilmu beladirimu yang menakjubkan itu?"

"Tidak, ilmu beladiriku masih sama tangguhnya, hanya saja aku tidak bisa menghalangi senjata yang menyasar ke arah kita, karena itu kita harus lebih berhati-hati, sementara jika kita berjalan di malam hari, dukun merekapun memiliki ilmu yang cukup tangguh dan sakti, jadi kupikir perjalanan siang lebih aman ..." Nila mengikuti langkah Rayn yang menyibak jalan.

Mereka menyusuri setapak demi setapak dengan sangat hati-hati. Rayn melihat arlojinya. Perjalanan menaiki bukit memang sangat menyita waktu.

"Kita istirahat lebih dulu..." Rayn mengangsurkan botol minuman pada Nila.

"Terimakasih," Nila menyambutnya dan meminum dengan nikmat.

Mereka berteduh di sebuah pohon besar dan Rayn membuka bekal mereka berupa buah dan crackers tentara.

"Apa rencanamu setelah tiba di perbatasan nanti?" tanya Rayn. "Pasti pamanmu tidak akan melepaskanmu begitu saja saat kau kembali ke sukumu nanti. Apa tidak sebaiknya kau mengikuti Khafi? Ayahmu bahkan sudah menjemputmu di perbatasan,"

Nila mendesah, "Entahlah, sebenarnya aku juga belum bisa memutuskannya, tapi aku tidak tahu bagaimana kondisi kawan-kawanku, saat aku kembali ke kampungku, semua sudah terbakar habis dan aku tidak bisa mendekat karena pasukan pamanku hendak menangkapku sehingga aku terpaksa lari. Aku harus memastikan kondisi teman-temanku, jika mereka sudah tiada, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk bersama ayah Khafi. Tapi jika paman Arai hanya menawan mereka, aku akan berjuang untuk membebaskan mereka,"

"Tapi itu sangat berbahaya..."

Nila mengedikkan bahu. "Mau bagaimana lagi?"

"Kau ini!" Rayn menyentil dahi Nila. "Apa kau tidak berfikir kalau kau hanyalah gadis berusia tujuhbelas tahun. Dikelilingi ratusan pembunuh, kau bisa apa? Tidak bisakah kau bertingkah seperti gadis seusiamu?"

"Tuan, di tubuhku bersemayam roh yang usianya ribuan tahun, tidakkah kau ingat itu?"

Rayn memutar bola mata. "Terserahlah, bertindaklah sesukamu setelah kau bertemu Khafi, aku yakin dia akan merantaimu supaya kau tidak mendekati bahaya,"

Nila terkikik geli. "Kurasa bukan hanya Sangiang Datau saja yang khawatir tentang kedekatanku dengan lelaki, ayah Khafi pun demikian, karena itu setiap kali beliau bisa datang, aku selalu dilatihnya beladiri dengan keras,"

"Ironis, bukan?" alis Rayn terangkat dan memandang tajam Nila.

"Apa maksudmu?"

Wajah Rayn mendekat dan tiba-tiba mencium Nila, mencicipi rasa manis gadis itu dan memainkan keahliannya di bibir Nila dengan lihai sebelum melepaskan gadis yang terengah karena terkejut dan bingung.

"Kenapa kau membiarkanku menyentuhmu?" tanya Rayn. "Aku bukan orang baik, aku seorang kapitalis, kejam, lelaki yang sangat-sangat buruk, rasanya sungguh ironis keu berjuang begitu keras melepaskan diri dari pamanmu tapi kau malah terjebak dengan lelaki sepertiku,"

Mereka bertatapan dan Nila kesulitan berkata-kata. "Aku sendiri tidak tahu, tuan, selama ini tidak ada lelaki yang berani bahkan hanya untuk menatap mataku, ayah Khafi pun setiap kali bersamaku, menghindari tatapan mataku, kupikir, warna mataku yang tidak biasa, bukan hitam seperti teman-temanku yang lainlah yang membuat mereka takut atau jijik. Tapi kau satu-satunya yang berani memandangku seperti itu, kau tidak takut padaku?"

Rayn menatap Nila tidak mengerti. "Warna hitam kehijauan yang cantik, seperti gadis di Afghanistan. Kupikir, justru karena kau terlalu cantik, mereka sungkan dan terbatasi karena itu, kau seperti malaikat, kau tahu? Tidak heran pamanmu mengejarmu sampai mengorbankan sukunya,"

Nila menunduk. "Aku tidak mau dilahirkan seperti ini, jika cantik merupakan suatu kesalahan, aku tidak mau dilahirkan cantik..." tiba-tiba Nila berdiri. "Oh, tidak, mereka datang..."

"Apa?"

"Kurasa mereka sudah menemukan jejak kita..." Nila meraih tangan Rayn dan menggandengnya berlari menerobos semak.

Tidak lama terdengar pekikan panjang di belakang mereka.

"Mungkin dukun yang dibawa pamanku sangat sakti, dia bisa mengetahui keberadaan Sangiang Datau dengan cepat..." bisik Nila.

Mereka terus berlari dan saat menyadari mereka terjebak di sebuah tebing, Rayn mengerang. "Ya Tuhan...apa yang harus kita lakukan?"

"Tuan tentara, sepertinya mereka menjebak kita ke arah sini...maafkan ketidakwaspadaanku..."

"Oh, sial, bagaimana kita menghadapinya?"

Nila tersenyum, membuat Rayn mengernyit. Bagaimana bisa gadis itu sesantai ini?

Rayn menghadang para lelaki itu dan mulai memukul dan menendang kesana kemari, menghindari tebasan parang dan tusukan tombak, Nila tidak kalah lincah, karena walaupun di hutan, para lelaki itu fair, mereka tidak menggunakan senjata untuk meringkus Nila tapi menggunakan tangan kosong. Gadis itu menghindar dengan gesit, tendangan kakinya yang lentur dan gerakannya yang halus, hampir seperti kupu-kupu yang lincah terbang saat hendak ditangkap.

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan serangan berhenti. Seorang lelaki kekar menyeruak dari balik rerimbunan pohon.

Nila terengah di samping Rayn dan memperhatikan lelaki itu mendekat.

"Paman Arai..." gumam Nila.

Rayn memandang lelaki itu. Saat Nila berkata 'paman' sebenarnya yang terfikir olehnya adalah lelaki tua keladi yang mengincar gadis-gadis muda untuk memuaskan hasrat, tapi ternyata Arai masih begitu muda, mungkin hanya beberapa tahun diatas Rayn. Kulit kecokelatan dan wajah khas etnis dayak yang menawan terpahat di wajah lelaki itu.

"Dia tampan, bukankah tidak buruk menikah dengannya?" tanya Rayn pada Nila sambil nyengir.

Lelaki itu mengulurkan tangannya dan mengangguk hormat pada Nila dan memandang Rayn penuh ancaman, tapi kembali berkonsentrasi pada Nila.

"Pulanglah panglima, aku janji tidak akan menyakitimu..."

"Dimana teman-temanku?" geram Nila.

"Sayang sekali, mereka tidak menurutiku sehingga kami harus menyingkirkan mereka, lagipula yang kuinginkan hanya menjadikanmu sebagai istri, tidak lagi sebagai panglima..." Arai mengulurkan tangannya.

Nila mendesis marah.

"Kamu kejam! Apalagi kamu tidak berani menghadapi kami secara adil. Aku tidak mengharapkan memiliki seorang suami yang memiliki sikap pengecut!"

Rayn mengangguk menyetujui.

"Aha, tampan dan berotot saja tidak cukup, dengar man! Gadis ini tidak suka dikawin paksa, jadi lepaskan saja dia, oke?"

Arai memandang Rayn dengan jijik.

"Kemarilah Nila, jauhi darah campuran itu dan kembali ke sukumu...akan kuampuni dia asalkan kau mau menurutiku..."

Rayn mendengus. Darah campuran? Dia sendiri baru menyadari Rinai memiliki darah Dayak dan Tito berdarah Jawa.

Nila memandang Rayn.

"Bagaimana tuan tentara? Apakah aku harus menurutinya demi keselamatanmu? Akan kulakukan apapun yang kauminta..."

Rayn tersenyum kecil. "Aku akan terhina kalau aku hidup dari pengampunan atau pengorbanan orang lain, baiklah, mari kita bertarung sampai mati..." lelaki itu memasang posisi siaga siap tempur.

"Sepakat!" kata Nila lalu menunjuk ke arah pamannya.

"Kami akan bertempur hingga mati. Aku tidak sudi menikah denganmu. Lebih baik aku mati..."

Arai mendongakkan kepalanya angkuh. "Aku pasti akan mendapatkanmu bagaimanapun caranya. Tangkap dia, jangan lukai Nila, bunuh lelaki itu!" katanya memberikan perintah.

Para lelaki itu kembali menyerang keduanya hingga terdesak ke tepi tebing. Tiba-tiba mata awas Nila menangkap pergerakan cepat sebuah jarum beracun yang tertuju pada Rayn. "Awas!" Nila menepis jarum yang malah menancap di punggung tangannya. Tidak hanya Rayn yang terkejut, tapi juga Arai.

"Apa yang kau lakukan?" bentak Rayn.

Nila tersenyum samar.

"Tenanglah tuan, kau percaya padaku kan?"

Rayn mengangguk.

"Kalau begitu, kita mundur dan menerjunkan diri ke sungai di bawah tebing," bisik Nila.

"A...apa?" Rayn tercengang.

"Nila, menyerahlah, kami bisa mengobati segera racun upas hitam itu asalkan kau menurut untuk kembali..."

Nila menggeleng tegas dan menggandeng tangan Rayn, Arai yang tidak pernah melihat Nila tersentuh dan disentuh pria menyipitkan mata dan menggeram marah lalu mengacungkan tombaknya.

"Beraninya!"

Gadis itu melentingkan tubuh ke belakang diikuti Rayn dan keduanya menerjunkan diri dari tebing diiringi raungan kemarahan Arai.

---

Continue Reading

You'll Also Like

155K 24.2K 30
Perkataan Kylie yang bersumpah untuk membuktikan kepada Dante bahwa ia bisa bahagia dengan caranya sendiri membuat Kylie menceburkan diri dalam proye...
2.4M 266K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
4.8M 176K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
325K 20.5K 17
Harapan Gianina hancur ketika mengetahui Ferdian yang membuatnya jatuh hati, ternyata telah bertunangan. Demi membalas rasa sakit hatinya, Gianina re...